Parallel Lines

Aku duduk termenung di jendela, memandangi bintang-bintang yang bergemerlapan di langit. Sesekali aku memandangi sebuah apartemen yang berada di sebrang sana. Tempat tersebut tidak seperti biasanya. Semua berubah ketika temanku, tidak, tetapi sahabatku pindah keluar kota. Aku menghirup dalam-dalam udara dingin sembari mengingat kenanganku dengannya selama dia masih masih berada di sebrang sana.

Aliran sungai di bawah sana terdengar sangat lembut. Terkadang, ikan-ikan pun lewat. Airnya turut juga bersih dan bebas dari kotoran. Sekali lagi, semua terasa beda tanpanya.

***

Semua dimulai beberapa tahun lalu, tapi entahlah mungkin saat itu aku kelas satu di sekolah dasar. Namun, kini umurku sudah tujuh belas tahun, berarti itu terjadi sekitar 11 tahun yang lalu.

Pagi itu, jam bekerku berbunyi. Aku berusaha untuk mematikan suara yang berisik itu. Pandanganku masih buram. Aku berusaha meraba meja yang ada di samping kasurku. Aku menemukan kacamata dan mulai memasangkan di mataku. Baiklah, penghlihatanku mulai jelas. Aku turun dari kasurku. Melakukan seluruh kegiatanku seperti biasanya salah satu contohnya adalah memakai seragam sekolahku yang saat itu bebas. Setelahnya, aku mulai sarapan dengan penuh semangat. Saking semangatnya, aku tersedak. Ibuku, memperingatkanku untuk makan dengan pelan. Namun, aku tidak bisa. Lalu, aku mengambil topi yang menggantung di dinding.

Aku pun mulai beranjak keluar dari rumah, tentu saja aku tidak lupa mengucapkan ittekimasu! Sebelum keluar. Sebelum benar-benar turun untuk bersekolah, aku mencoba untuk membenarkan papan nama toko yang miring akibat semalam terkena angin yang sangat kencang.

Aku juga melihat ke sebrang sana. Seorang gadis dengan rambut yang sangat pendek melambaikan tangannya padaku. Aku pun juga melambaikan tangan padanya. Aku pun mulai berlari menurun tangga dengan cepat. Dia pun juga begitu. Kami saling berlomba menuju jembantan yang menghubungkan jalan di toko sekaligus rumahku dengan apartemennya.

Kami pun tiba di jembatan bersamaan. Tidak terlalu buruk juga untuk gadis dengan rambut pendek dan mengenakan pakaian merah muda dan celana pendek. Dia bernama Keiko.

"Haruki-san, kamu bisa secepat itu bagaimana sih?" tanya Keiko dengan sebal.

Aku hanya terkekeh melihat Keiko cemberut akibat dia tertinggal. Padahal, kami bersamaan tiba di sini.

"Hei, kita tiba di sini bersamaan. Kenapa kamu bisa beranggapan seperti itu?" tanyaku.

"Habis, kamu lebih cepat."

"Aku sudah berusaha untuk melambat."

Keiko pun makin cemberut dan mengalihkan pandangannya dan seolah tidak ingin memandangi aku lagi.

"Baiklah, akan kuperlambat besok."

Suasana hatinya pun berubah seketika.

"Oke, janji ya? Kalau kamu lebih cepat lagi, kamu harus mentraktirku es krim."

"Hee, mana bisa begitu?" tanyaku dengan kebingungan.

Keiko terkekeh melihat ekspresiku yang cukup terkejut itu. Dia pun berbalik dan berlari.

"Haruki-san, kalau tidak cepat, nanti sensei bakal marah lho!" teriaknya sembari melirik ke belakang.

Aku pun mengejarnya. Namun, kali ini memperlambatnya.

Kami sering melakukan ini hampir setiap hari. Terkadang saat sudah waktunya pulang. Kami masih tetap berkomunikasi melalui kertas pesawat yang kami buat. Kami melakukan ini hampir setiap hari.

Musim demi musim, bulan demi bulan, tahun demi tahun kami lewati bersama dengan menyenangkan hingga kami sudah menginjak kelas satu SMA. Bahkan ada satu momen di mana saat itu merupakan natalan. Jalanan dan sekitarnya cukup suram saat malam natal tiba. Aku yang berada di kamar pun mengambil sebuah kertas. Aku menuliskan permintaanku.

"Hei, mau merayakan natal yang menyenangkan?" aku menuliskan pertanyaanku. Lalu melipatkan sehingga membentuk pesawat.

Aku membuka jendela kamar, angin yang begitu dingin menerpaku. Kelihatannya surat ini tidak bakal sampai ke sana jika pada malam ini angin yang berlawanan begitu kencang. Namun, aku tetap sabar menunggu momen yang tepat.

Ketika, angin sudah tidak begitu kencang, aku mulai membidik. Kemudian, aku mulai melempar pesawat kertas itu. Untungnya pesawat itu mendarat di balkon kamar Keiko. Kuharap Keiko mengetahuinya.

Aku menunggu cukup lama. Hingga akhirnya pintu kamar Keiko terbuka. Dia pun mengambil kertas itu dan membacanya. Kemudian, dia memandangiku. Lalu, dia masuk ke dalam kamarnya. Kelihatannya dia tengah menulis pesan balasannya.

Tak lama dia pun keluar dari kamarnya. Dia pun mulai melempar kertas pesawat menujuku. Aku menangkapnya, lalu membuka surat tersebut.

"Boleh saja, tapi bagaimana?"

Aku memutar bola mataku. Kalau tidak salah, aku memiliki lampu hias di gudang. Aku pun kembali menulis di kertas itu.

"Aku memiliki lampu di gudang, kamu bisa ke rumahku untuk menyiapkannya. Oh ya, jangan lupa beritahu orang tuamu!"

Aku melempar kertas yang berbentuk pesawat itu pada Keiko. Pesawat itu pun berhasil ditangkap oleh Keiko. Aku pun segera bergegas ke gudang untuk mengambil peralatan.

Udara di luar cukup dingin, sehingga aku harus mengenakan jaket yang cukup menghangatkan. Saat aku menyiapkan segalanya, Keiko pun datang sembari mengenakan sweeter hoodie yang berwarna merah.

"Jadi, bagaimana rencanamu?" tanya Keiko padaku yang tengah mempersiapkan segalanya.

"Kita hanya melemparkan lampu ini ke rumahmu."

"Bagaimana caranya?"

"Entah nanti kita bisa mencobanya."

Aku memasang kabel-kabel itu ke colokan listrik. Memang lampu menyala. Tetapi, bagaimana cara melempar ke balkon apartemen Keiko.

"Haruki, aku ada rencana."

"Rencana apa?" tanyaku.

Keiko pun mulai memberikan instruksi padaku. Melemparkan lampu ke sebrang. Kelihatannya memang cukup talinya. Keiko pun berlari untuk ke sebrang. Meski jaraknya cukup jauh. Namun, Keiko tidak mengeluh.

Keiko pun sudah berdiri di sebrang. Aku mulai melemparkan lampu itu ke sebrang. Untung saja lampu yang panjang itu sampai. Setelahnya, aku pun ke sana untuk membantu melempar lampu itu ke balkon kamar Keiko.

Keiko memasuki rumah, dan tiba di balkon kamarnya. Aku segera melempar lampu-lampu itu. Keiko dengan tangkas menangkapnya.

"Baik, tunggu di situ Keiko!" pintaku.

Aku pun berlari kembali ke rumah untuk segera mengambil tali lampu. Aku meraihnya, lalu melemparnya ke kamarku yang berada di lantai dua. Setelahnya, aku memasuki rumah dan menuju ke kamar.

"Sudah siap?!" teriakku dengan amat keras pada Keiko.

Dia hanya mengacungkan jempol. Aku pun mencolokkan kabel ke colokan listrik. Dan hasilnya sangat luar biasa. Lampu-lampu itu menyala berwarna-warni. Orang tua kami pun keluar dari rumah untuk melihat hasil kerjaan kami yang sedikit kurang kerjaan. Tapi, setidaknya daerah tempat tinggal kami tidak suram.

Lampu itu berjajaran menerangi dua jalan yang terpisah oleh sungai. Sangat indah dan tak lama salju pun turut mengiringi keindahan ini. Aku awalnya sedikit terkejut. Namun, ini juga menjadikanku malah semakin semangat menikmati malam natal. Hari ini merupakan hari yang menyenangkan bagiku dan baginya.

Akhir tahun telah tiba. Aku kembali melemparkan kertas pesawat di pagi yang cukup cerah. Aku hanya menuliskan sebuah pesan untuk mengajaknya ke kuil. Pesawat itu terbang dan mendarat dengan lihai di tangan Keiko.

Aku hanya memandangi dari sebrang apartemennya. Kelihatannya dia sedang membuat balasan yang untuk ajakanku lagi. Kupikir aku dapat menebaknya. Namun, tebakanku memang benar. Dia menerima ajakanku. Kemudian, aku mengirim balasan kembali. Ini mungkin bisa jadi permintaanku yang sangat aneh.

"Mau coba cara berkomunikasi yang baru?"

Aku melipat kertas lagi hingga menjadi pesawat, lalu melemparkan padanya. Aku ingin tahu reaksinya jika menemukan cara baru.

Tak lama kertas pun kembali lagi padaku. Aku membuka lipatannya.

"Tidak, cukup ini saja. Kamu ingin menggunakan sandi lampu itu bukan?"

Aku pun membalas, "Tapi itu lebih efektif."

"Tidak, kalau aku bilang tidak ya tidak!"

Aku terkejut dengan balasan yang baru datang itu. Aku pun memandangi Keiko yang berada di sebrang itu dengan raut wajah cemberut. Aku hanya bisa menghelakan napas.

Jika Keiko sudah berwajah cemberut, mau tidak mau aku harus mengalah. Aku mengirim pesan terakhir padanya.

Hari menjelang malam, aku menunggu di tempat biasanya. Sebuah jembatan yang menghubungkan tempat tinggal Keiko dan tempat tinggalku. Aku menunggu sembari memandangi bintang-bintang di langit.

"Maaf, aku terlambat."

Aku memandang Keiko yang berbeda dari biasanya. Dia mengikat rambut yang sudah sangat pendek itu. Tak lupa juga kimono yang dia kenakan juga membuat dia makin cantik. Ini benar-benar berbeda dari biasanya. Jujur saja, aku tersipu malu memandangnya. Sehingga, aku lebih memilih untuk mengalihkan pandanganku.

"B-bagaimana?" tanya Keiko malu-malu.

Tak ada pilihan lain selain menjawabnya cantik. Namun, itu malah membuatku semakin tersipu malu.

"Hanya berbeda dari biasanya, mungkin bagaimana ya menjelasankannya? Mungkin cantik."

Aku hanya membelakangi dia. Aku juga tak tahu bagaimana ekspresinya. Aku kemudian melangkah bersamanya. Sesekali aku melirik penampilannya, hatiku berdebar. Namun, itu bukan masalah yang paling besar menurutku.

Sebuah kuil dekat dengan rumah kami. Festival begitu meriah. Banyak sekali pedagang yang berjualan berbagai sovenir. Topeng, makanan ringan, ada juga yang barang-barang lainnya. Aku tak mampu menyebutkan semuanya.

Kami berdua berjalan berdampingan dan berbicara layaknya remaja pada umumnya. Selalu saja membicarakan hal-hal yang tidak penting. Meski kami satu sekolah, kami justru jarang sekali berbicara di sekolah. Sebagian lainnya pun jika kami memiliki hubungan romantis. Walaupun itu sebenarnya adalah hal yang mustahil. Keiko hanya menganggapku sahabat, begitu juga dengan aku.

"Haruki-san, kamu mau coba beli kertas keberntungan di kuil?"

"Aku sudah lama tidak mencobanya, mungkin boleh."

"Kuharap aku mendapatkan keberuntungan romantis."

"Aku harap juga begitu."

Aku dan Keiko pun melangkah menaiki tangga. Kuil cukup ramai juga rupanya. Kami melangkah dengan pelan sembari mengantri. Setibanya di depan kuil, aku dan Keiko pun melemparkan melemparkan koin dan mulai menepuk kedua tangan. Aku mulai berdoa dengan amat khusyuk. Harapanku adalah ...

Seusai berdoa, kami mengantri untuk memberi kertas keberuntungan sesuai keinginan Keiko.

Aku mendapatkan ramalam yang bisa dibilang cukup beruntung semua pada tahun depan. Hanya saja, masalah asmara, aku tidak mempercayainya. Ramalan itu tertulis:

Masalah asmara cukup beruntung. Dia adalah orang yang di sampingmu, tapi tidak berlangsung lama.

Aku tidak mengerti, jadi selama ini aku menyukai Keiko? Apa dia yang dimaksud oleh ramalan ini? Jika itu benar, kuharap aku mendapatkan balasan yang sama. Aku hanya tersenyum. Tapi, setidaknya ini cukup beruntung, bukan?

Malam itu juga bertepatan pukul 00.00 kembang api mulai ditembakkan ke langit. Aku dan Keiko memandangi bersamaan. Keiko begitu bahagia melihat kembang api yang bertaburan di langit.

Aku masih teringat tentang asmara yang dikatakan oleh kertas ramalan tadi. Hatiku mulai berdebar ketika memandangi dia yang tersenyum begitu manis. Seandainya saja, aku bisa mengucapkannya, aku pasti mengucapkannya saat ini. Namun, aku tidak memiliki keberanian itu.

Aku masih menyimpan itu di dalam hatiku. Keiko, aku mencintaimu.

Beberapa hari setelahnya, semua kembali seperti semula. Aku kembali bersekolah di musim yang cukup dingin ini. Melangkah sendirian di jalanan yang begitu sepi. Tidak seperti biasanya Keiko memanggilku sepagi ini. Namun, dia benar-benar menepati apa yang dia katakan. Keiko sudah menunggu di sana seorang diri sembari bersandar di jembatan.

"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan padaku, Keiko?" tanyaku.

Angin berderu mengibas rambut kami.

"Haruki-kun, aku boleh memanggilmu begitu, kan?"

Aku mengangguk.

"Setelah ini, kita tidak bisa melakukan hal seperti melemparkan pesawat atau bermain sandi dengan lampu lagi."

"Kenapa? Kita bisa melakukan terus, bukan?"

"Bukan itu masalahnya, setelah ini aku akan pindah."

Mendengar hal itu membuat hatiku tertusuk lebih dalam. Memang cukup mengejutkan. Aku tidak tahu dia akan pindah ke mana. Lebih baik aku tidak menanyakannya.

"Haruki-kun, aku menginginkan sesuatu sebelum aku pindah ke tempat yang jauh."

"Apa?" tanyaku dengan pelan.

"Sesuatu yang begitu menyenangkan, aku akan pindah bulan depan pada tanggal 14 Februari. Aku ingin menghabiskan waktu yang banyak denganmu."

Permintaan yang egois, aku mengepalkan tanganku dengan erat, lalu berbalik. Sudah waktunya sekolah. Aku meninggalkannya sendirian.

Bahkan di sekolah pun aku juga tak banyak bicara dengannya. Memikirkan dia pindah kelihatannya hal itu juga tidak bisa dicegah. Aku terus memikirkan hingga hari menjelang sore.

Aku membuka jendela kamarku udara begitu sejuk menerpa diriku. Aku kemudian berbaring di kasur. Memandangi langit-langit yang entah tidak apa-apa. Namun, tak lama pesawat kertas masuk melalui jendela kamarku. Aku memandanginya, kemudian meraih kertas pesawat itu. Aku tahu dari mana kertas itu berasal. Aku membukanya.

"Hei, kamu tidak apa-apa?"

Kemudian pesawat kertas kedua memasuki kamarku melalui jendela. Aku mengambilnya dan mulai membaca.

"Kalau kamu sedih terus, kamu yang menyesal. Ayo kita melakukan hal yang menyenangkan selama aku masih di sini!"

Aku pun menoleh pada balkon Keiko. Dirinya menyembunyikan wajahnya di balik boneka. Mungkin apa yang dia katakan memang benar. Selama masih ada waktu, aku harus menghabiskan waktu-waktu itu. Baiklah, inilah satu-satunya cara. Aku mengambil senter kemudian menjawab pesannya. Kuharap kali ini dia bisa membaca jawaban melalui bahasa sandi.

Sesuai janjiku, aku pun menghabiskan waktu bersama dengannya. Bermain bersama. Kadang aku mampir ke rumahnya untuk membantu membereskan barang-barang keluarganya. Kadang juga membuat kue bersama yang tidak jelas untuk siapa. Meski begitu hasilnya pun sangat mengenakan.

Keiko begitu bahagia bahkan termasuk aku. Tentu saja, ini merupakan hal yang paling menyenangkan. Aku juga berharap waktu seperti ini bisa bertahan lebih lama. Senda gurau dengannya di malam hari pun juga membuatku makin mencintai dirinya. Aku juga berharap dia memiliki perasaan yang sama denganku.

Hingga hari itu tiba. Matahari terbit kian meninggi. Keiko menyuruhku menungguku di jembatan biasanya. Aku menepati janjiku.

"Haruku-kun, ada yang ingin kamu katakan?" tanya Keiko sembari menunduk dan malu-malu.

Dia juga membawa sebuah kado.

"Ada satu hal, mungkin perbincangan ini bahkan lebih serius."

Keiko yang semula menunduk mulai memandangiku.

"Aku ... aku harap kamu bisa menemukan sesuatu yang kamu inginkan," lanjutku.

Keiko pun menyodorkan kadonya itu padaku. "Terima kasih, Haruki-kun."

Keiko berpaling dariku dan berlari menuju mobil. Dia memberiku sebuah senyuman yang sangat manis. Kemudian, mobil Keiko pun melewati diriku. Aku pun berbalik.

"Keiko, aku mencintaimu!" teriakanku menggelegar di tempat itu. Aku berharap dia masih mendengar ungkapkan perasaanku. Air mataku membasahi pipi. Pagi itu aku juga memulai hari baru tanpanya. Tak henti-hentinya kumenangis atas kepergian sahabat kecilku itu. Namun, di sisi lain aku harap dia juga memakan coklat yang kubuat sendiri. Setidaknya aku sedikit lega.

***

Kisah yang seiring kuingat malah meninggalkan luka di benakku. Kuharap dia bahagia di sana. Aku pun mulai mematikan lampu dan berbaring di kasur. Perlahan mataku kupejamkan.

***

POV Author

Keiko bersandar di balkon apartemen barunya. Tidak banyak berbicara dengan orang tuanya. Dia masih memikirkan Haruki dan juga bersiap memulai hidup baru tanpanya.

Sosok ibunya melangkah mendekati Keiko sembari membawa sebuah kotak.

"Sayang, kamu baik-baik saja?"

Keiko hanya mengangguk pelan sembari melihat pemandangan matahari terbenam.

"Maafkan, mama ya karena harus pindah."

"Tidak apa-apa, aku hanya merindukan masa-masa Haruki-kun."

"Menurutmu, bagaimana Haruki-kun itu?"

"Entahlah, aku tidak bisa menggambarkannya."

"Kau sangat menyukai sosoknya, bukan?"

Keiko menoleh memandangi sang ibu yang berdiri di sampingnya. Ibunya memberikan sebuah kotak kado. Kotak itu terlihat begitu sederhana yang diikat dengan pita.

"Ibu rasa, Haruki-kun juga menyukaimu."

Sang ibu memasuki ruangan kembali untuk membantu menata barang-barang bawaannya.

Keiko memandangi kotak itu dan mulai membukanya. Sebuah coklat berbentuk pesawat kertas. Keiko tidak percaya memandangi bentuk itu. Dia juga memandangi tulisan di balik tutup kardus itu.

"Aku mencintaimu, Keiko. -Haruki"

Mata Keiko mulai berkaca-kaca sembari tersenyum. Isak tangisnya begitu keras sembari memeluk hadiah itu.

"Aku juga, aku juga mencintaimu, Haruki-kun."

-END-

Kisah ini didasarkan pada MV karya Eve dan Suis from Yorushika. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top