Pertemuan

Arloji berdentang. Roda-roda mesin bergerak detik demi detik. Waktu berlalu begitu cepat seiring waktu. Suara-suara bising anak-anak sedikit memendam suara indah dentingan jarum jam. Setidaknya, alunannya masih terngiang pada telingaku.

Desiran angin sepoi melengkapi lingkunganku. Begitu nyaman. Aku menghirup lamat-lamat udara itu dari jendela yang terbuka. Memejam mata dalam diam.

"Kudengar akan ada murid baru masuk ke sekolah ini. Kalau tidak salah dia berasal dari Amerika, kudengar."

Kubuka mataku. Iris biru kelamku menatap fokus pemuda yang kini mengajakku bicara. Pemuda beriris coklat kelam dengan rambut sedikit acak. Pemuda itu berdiri, membungkukkan badannya sedikit untuk menyetarakan wajah kami berdua dalam gaya diagonal.

"Murid baru?Tau darimana?"

"Hei aku ini ketua kelas!"

Aku hanya menanggapi terkekeh.

Sebenarnya, aku sedikit merinding ketika mendengar berita burung dari ketua kelas. Orang baru lagi?

"Namanya siapa?"

"Ehmm... kurasa, namanya itu—"

=ooo=

.

.

.

[Saya tidak mengambil keuntungan dari cerita ini. Terima kasih.]

.

.

.

=ooo=

"—entahlah. Aku tidak diberitahu. Ah aku lupa bertanya!"

Wajar saja. Memang kau siapa sekolah sampai harus lebih tahu informasi dalam orang baru? Hahh, ada-ada saja.

"Tapi pokoknya kamu harus bantu aku angkat meja dan kursi baru ke kelas ini!" lanjut ketua kelas. Secepat mugkin aku memalingkan wajahku dari pemuda itu.

"Ah, malas."

"Taufan!"

"Mana wakil ketua kelas? Kenapa tidak suruh dia menemanimu?"

"... enghh, malu lah."

"... karena dia cewek, lalu kau suka padanya? Hhh, mengerti," aku memberi nada tidak nyaman dengannya.

"Ayolah, Taufan! Kau 'kan teman baikku?"

Aku mengalah. Langsung aku berdiri dari bangku, memberi tanda mengiyakan. Sang ketua kelas tertawa renyah setelah melihat rupa wajahku yang terlihat tidak niat tersenyum.

Perkenalkan, aku adalah Taufan. Umur 17 tahun. Sebentar lagi akan mengadakan ujian sekolah untuk kelulusan, satu semester lagi. Aku yakin kalian akan bertanya mengapa ada anak baru masuk pada semester akhir? Itu sanggat aneh. Tanggung. Mending lanjut sampai lulus di Amerika—atau nama negara apa kek di wilayah yang diidaminya.

Aku punya banyak teman, hehh tentu saja. Aku lemah lembut, baik hati, penolong pula. Siapa yang tidak menyukai diriku yang nyaris sempurna ini? Hei, bahkan aku bergolongan darah AB. Rumor mengatakan gologan darahku memiliki otak logika yang besar sedari lahir.

Meski kudengar juga golongan darah AB adalah orang yang pasif, tapi tidak bagiku—mungkin semua orang—yang punya passion tinggi pada kegiatannya. Aku cinta mati dengan beatbox dan breakdance. Sementara aku punya keahlian dalam bermain skateboard.

Seperti namaku. Taufan. Yang diartikan sebagai angin ribut. Jangan fokus pada akibat kemunculannya, fokus pada kosakata 'angin'.

Aku adalah angin yang bebas. Tidak terikat. Bisa berbuat semaunya.

Ahh... aku sebenarnya benci namaku. Karena, namaku juga bisa diartikan—

"Taufan memang penolong sih, makanya aku suka banget minta bantuan kamu. Hehe."

Aku tidak dapat terikat. Dan apakah aku barusan mendengar pujian yang memiliki maksud mengikat di baliknya?

Dia berusaha membuatku terus mengikuti kemauannya.

"Oh, begitu? Bagaimana dengan bila aku mati suatu hari nanti? Aku tidak selamanya selalu bersamamu, kawan."

"Haha, aku tahu. Nanti aku minta bantuan kawanku kalau kau tidak ada. Takut amat disuruh. Atau kau tidak usah deh bantuin aku angkat meja. Aku sendiri juga bisa."

Sakit, sih. Sial, aku terlalu gamblang bicara tentang keluhan hatiku.

"Bercanda, kawan."

"Haha, aku tahu itu. Kau selalu suka menyindir—bukan, bercanda!"

"Hahaha..."

Tapi aku lebih benci diriku yang selalu ingin menyenangkan oranglain. Selalu.

Aku butuh ketenangan. Aku memainkan arah mataku pada objek lain, sekira-kira aku harus mencari hal enak untuk memperbaiki mood. Ada anak-anak berjalan berbarengan, ya kebetulan ini memang masih jam istirahat pertama jadi anak-anak juga bebas berkeliaran.

Apa aku baru pertama kali berjalan di koridor menuju ruang guru? Sepertinya melihat pemandangan dari sini enak sekali. Aku bisa melihat bebas anak-anak olahraga yang baru beristirahat. Yang sehabis dari kantin. Juga—

"Auuhh!"

Sesuatu membuyarkan lamunanku dengan cara ekstrim. Ah sudah biasa aku dibuat seperti ini. Tapi yang jelas, aku perlu mengekspresikan perasaanku dengan merintih kecil.

"M—maaf!"

Setidaknya orang itu mau meminta maaf, 'Tidak apa, kawan." Aku mendongakkan wajahku. Sambilan itu menyiapkan ekspresi sebaik mungkin yang tidak dapat menyinggungnya kalau aku tengah marah. "Justru aku khawatir padamu! A—"

Iris emas itu menatap mataku dalam-dalam. Bercahaya, bersinar secara alami, memantulkan kebeningan mata tersebut. Posturnya yang lebih sigap. Bibir tipisnya yang terbuka malu-malu sekedar mengatakan satu kosakata, menjadi perwakilan dari ribuan kata yang sebenarnya juga ingin keluar.

Semua itu tidak membuatku kaget untuk terus menatapnya lama.

"... kau siapa?"

Tanpa sadar kutahan lenganya. Wajahku masih tertatap lurus dengan wajahnya.

Kami 'mirip'.

.
.
.

"Perkenalkan! Aku Boboiboy Angin! Aku mewakili elemen angin! Salam kenal, Boboiboy Tanah!"

"Kita sama-sama Boboiboy, hehe. Kenapa harus saling memperkenalkan diri?"

"Entah, aku merasa kalau kita seperti orang asing yang baru dipertemukan sekarang? Bagaimana pendapatmu, Boboiboy Petir?"

"Yang jelas kita ada disini, dan kita semua Boboiboy. Ada apa denganmu, Boboiboy Angin?"

"Ah kenapa kalian berdua tidak seru sekali!"

.
.

.

Kepalaku kurasa berdenyut sedikit. Gambaran apa yang barusan kuingat? Ada tiga orang sepertiku? Bahkan aku berusaha menahan denyutan ini dengan menundukkan kepalaku saat sadar.

"Taufan?"

"Eh—a—aku permisi! Aku harus cepat menemui kelasku!"

Tangan yang kugenggam menarik paksa menjauh dariku. Mau tidak mau aku membuka jemariku.

"Taufan, kita harus cepat. Anak itu sudah datang kesini. Yang tadi itu anak pindahan!"

"A—apa? Ke kelas kita?"

=oOo=

Pemuda yang tadi berpapasan denganku benar-benar memasuki kelasku.

"Namaku Gempa. Anak pindahan dari Amerika. Aku kesini karena aku telah menuntaskan pertukaran pelajar dan baru bisa ke Malaysia pada semester ini."

"Orangtua asuhmu tahu ini bukan? Mereka tidak mau membayar biaya sekolahmu lagi?"

"Kontrak tetaplah kontrak, bu."

"Oh begitu," ibu guru yang sebenarnya adalah wali kelas kami yang kebetulan mengajar kelas kami, menoleh pada kami ramah. "Jadi, ada yang mau bertanya soal Gempa?"

Seorang anak mengacungkan tangan, "Bu, kenapa wajahnya mirip dengan Taufan?"

"Taufan?"

Semua menatap serempak padaku. Ah sial, aku duduk di bagian barisan tengah dan kini aku risih mendapat tatapan dari arah garis berbeda. Serasa dikepung oleh anak buah jenderal di Inggris.

"Bukannya Taufan anak tunggal?" anak lain ikut bersuara.

"Tapi beneran, wajah mereka mirip banget! Apalagi kalau mereka ga punya mata," timpal anak lain.

"Hei," aku bersuara sambil tersenyum sinis. "Kalian tahu apa tentangku? Satu, aku memang anak tunggal. Dua, aku tidak kenal anak baru itu sama sekali!"

"Haa, Taufan. Kau badmood hari ini atau apa? Kau 'kan biasanya bercanda dengan kami!" bantah anak yang dekat dengan tempat dudukku. "Pakai emosi segala, gak bener nih."

"Hahaha! Taufan PMS kali ya?"

Hina sajalah aku.

"Menurutku itu wajar, dia bukannya sedang menyatakan hal sebenarnya?"

Kutoleh wajahku. Anak baru itu sudah mengeluarkan suara, padahal belum lagi disuruh duduk dan berbaur dengan kami. Luar biasa.

"Tenang!" perintah wali kelas. "Gempa, silakan duduk."

"Terima kasih, bu guru."

"Panggil saya bu Kamza."

Gempa tersenyum tipis lalu mengangguk mengiyakan. Setelah itu ia berjalan santai menuju bangkunya yang diletakkan aku dan ketua kelas ke belakang. Kelihatannnya dia anak baik dan penurut.

Buakh!

Aku kaget. Suara itu menggema seiring aku tidak lagi menemukan sosok bermata emas itu. Suara riuh tawa terdengar. Anak-anak menyoraki semangat.Padahal disana ada wali kelasku.

Gempa terjatuh, seperti habis tersandung. Tas ranselnya menimpa kepalanya walau tali masih mengalung pada kedua ketiaknya. Melihat posisinya yang nyaris mencium lantai, bahkan aku saja nyaris tertawa.

"Uhh kalian ini! Anak baru kenapa ditertawakan!"

—aku tidak tahu, antara karena aku berdekatan dengan posisinya jatuh atau prihatin. Tapi aku mencoba membantunya berdiri lalu menggiringnya menuju bangku.

.
.
.

"Uhh, maafkan aku Tanah—maafkan aku—"

"Kau sudah ingat kita satu? Wah saran Gopal memukul kepala kita ternyata benar-benar berpengaruh, ya?"

"Kukira kau hanya mau mengambil kedudukanku... hiks, aku mau kembali menjadi Boboiboy..."

"Angin, sudahlah.Ayo kita bantu Tok Aba dan lainnya dari Halilintar! Oke?"

.
.
.

Kembali kurasa kepalaku begitu berat. Tanpa sadar, hidungku mendekat pada bahunya. Kuhirup lamat-lamat tubuhnya.

Aroma yang kurindukan. Padat dan sedikit menyesakkan rongga lubang indra penciumanku. Aroma yang menurutku sedikit mirip dengan apa yang aku... selalu rindu?

"Maaf, aku bisa berdiri sendiri," suaranya. Aku menuurnkan sedikit lenganku yang memegangi pundaknya.

"Beneran mirip, ini kebetulan atau apa sih?" lagi-lagi ada yang membuka topik tentang kami. "Bu, gimana nih? Nanti kalau mereka balik badan susah lagi taunya!"

"Iya nih, nanti malah salah panggil pula."

... seseorang, kumohon tekan bel istirahat selanjutnya. Aku sedang maas meladeni bocah-bocah yang repot dengan urusan oranglain.

=oOo=

Istirahat bukan pilihan baik kalau aku ingin beristirahat dari argumen mereka. Justru ini waktu emas mereka. Anak-anak berkumpul dan beberapa kali menanyakan hal menyangkut privasi kepada kami.

"Taufan! Kalau punya saudara kembar, bilang dong ah!" seorang kawanku merangkul gemas. "Keren banget satu kelas lagi!"

"Eh, Gempa. Kamu makan apa sih? Jangan-jangan satu selera lagi sama Taufan!"

"Duduknya kebetulan dekat lagi!"

"Kyaaa bisa masuk berita majalah dinding sekolah!"

"Aduh kok kalian unik banget sih bisa satu kelas?"

"Aku bisa dapatin Taufan lain kalau Taufan gak mau sama aku!"

"Berhenti!"

"Hei kamu masuk di Amerika ya? Ceritain dong gimana disana?"

"Hari ini traktiran dong! Anak kaya pasti 'kan?"

"Kalian norak, berhenti kubilang!"

"Ihh Taufan mah modus doang nyuruh kami diam, kau pasti juga mau ngomong sama Gempa, ya 'kan?"

Ukh.

"Taufan memang raja mencari kesempatan dalam kesempitan."

"Hahaha!"

"Kalian, bisa jangan berisik disini?"

Beneran, itu bukan suaraku.

"Aku akan jawab semua pertanyaan kalian, tapi yang tertib. Bisa?" ucapnya sopan. Entah kenapa justru aku dibuat terpesona dengannya.

Dia yang anak baru saja bisa bicara tegas kalau menolak.

"Uh galaknya. Sudah yuk mending kita ke perpus aja, penjaganya hari ini si yang kemarin itu kita godain loh!"

"Kita kantin aja yuk! Sia-sia kita disini."

Masing-masing dari mereka mulai meninggalkan tempat. Hingga kini hanya ada aku, Gempa, dan beberapa anak-anak yang belum tahu ingin memanfaatkan waktu istirahat dengan apa.

"Repot, ya? Punya teman yang keponya gak kira-kira," desisku. Gempa sedikit tertawa mendengarnya.

"Namamu, Taufan bukan? Kalau ingat-ingat?"

"Iya, kok bisa tahu?"

"Temanmu sering menyebut namamu."

Aku terkekeh kecil. Tenyata anak ini lumayan asyik diajak ngobrol, walau bicaranya rada tegas.

"Wajah kita mirip sih, jadi sedikit unik di mata kawanku."

"Ya iyalah kita mirip, kau tidak ingat aku?"

Aku meliriknya bingung, "... tidak. Kecuali saat kita tabrakan, barangkali."

"... Hoo, yah, tak apa. Kau sudah bicara benar."

Aku diam. Dia seakan-akan menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi, apa?

"Tapi aku seperti mengenalmu. Rasanya bagaimana ya, ukhh—aku, aku seperti mengenalmu."

Lawan bicaraku tertegun. Kedua irisnya membelak kecil.

"Kau... Apa.. Uhh, tidak, kau memang oranglain."

Kuhela napas pelan. Dia yang menegang kembali merilekskan tubuhnya. Ia bangkit dari kursi untuk mendekati bangkuku.

Tangannya senonoh memainkan helaian rambutku. Dari sekian kawanku yang lumayan seenaknya itu, sepertinya anak pindahan ini paling senonoh.

Kutepis penilaianku akan Gempa yang kelihatan seperti orang baik.

"Sebenarnya aku kembali ke Malaysia karena aku benar-benar rindu denganmu."

"Ehm, haha. Kau bergurau ya? Kita saja baru bertemu, hahaha!"

"Ya, mungkin kau akan ingat kalau aku begini."

Sensasi aneh terasa. Leherku sakit oleh sesuatu yang mencubit paksa, menggunakan benda keras. Bukan, ini gigitan.

Aku panik berat. Ia melakukan itu begitu cepat namun membekas dalam. Leherku masih terasa berdenyut.

"Tidak akan ketahuan kalau kau mau membalas."

Ia membisiki kalimat itu pada telingaku. Suaranya mendesah bisik.

"Namun saat kau bertindak, aku tidak akan membiarkan kau bertindak sesukamu padaku, monyet. Aku akan kembali menangkan ronde di kesempatan kedua ini. Dan itu saat kau ingat pertarungan kita yang pertama."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top