{ Anomali Fiksi }
Duduk seorang diri di dalam kamar, aku menatap bintang-bintang dari balik kamar. Berkelap-kelip walau tak terlalu banyak. Kunikmati teh hangat sembari menghangatkan tubuh ini yang kedinginan diterpa oleh AC. Walau suhunya sudah kunaikkan, tetapi tetap saja terasa dingin. Hujan baru saja mengguyur kota Surabaya.
Kedua orang tuaku kini sedang pergi ke luar kota, otomatis aku tinggal sendirian di rumah. Memasuki liburan semester, aku jadi lebih betah di rumah. Tubuhku begitu kelelahan telah melalui satu semester yang berat. Tinggal skripsi yang menanti, namun aku belum mengambilnya.
Tengah asyik aku memandang bintang-bintang, saat itu pula sesuatu yang bersinar terang terpancar dari belakangku. Penasaran akan sumbernya, aku berbalik menatap laptopku, memancarkan cahaya yang begitu terang. Saking terangnya aku sampai tak bisa melihatnya.
Cahaya itu redup dalam sekejap, kemudian sosok seseorang terlempar keluar, mengenaiku hingga terjatuh di lantai yang dingin. Sekujur tubuhku nyeri kesakitan, di sisi lain rasanya berat, saat kuangkat kepalaku. Seorang gadis menindihku. Gadis itu mengangkat wajahnya. Wajah kami saling bertemu.
"Ah maaf!" Sekejap dia menjauh, memiliki rambut pendek sebahu, bola mata berwarna ungu. Kulitnya putih jernih, mengenakan pakaian seragam pelaut berwarna putih dengan biru dengan rok pendek di atas lutut berwarna biru pula serta jaket berwarna hitam.
Aku mengerutkan kening. Rasanya tidak asing dengan perawakan gadis ini. Aku menyadarinya begitu mengingatnya. "Aiko?" lantas kusebut namanya.
"Eh, d-dari mana kamu tahu namaku?"
"Benar juga, kalau cerita dalam fiksi pasti tokoh-tokohnya tidak tahu siapa yang menciptakannya." Aku menopang dagu.
"Cerita fiksi? Apa yang sebenarnya terjadi? Di mana aku?" bertubi-tubi pertanyaan Aiko mulai terlontarkan.
"Yang jelas, kamu di rumahku. Lalu laptopku yang sedang mati itu tiba-tiba memancarkan cahaya terang lalu kamu muncul begitu saja menindihku," paparku secara singkat.
"Aneh, padahal aku tadi sedang bertarung." Kening Aiko mengerut.
Bertarung? Kalau tidak salah itu bab baru yang aku tulis. "Kayaknya kalau dijelasin pun kamu enggak bakal paham." Aku berusaha bangkit, mengambil salah satu novel lamaku yang sudah kucetak. Menunjukkan novel itu pada Aiko. "Liat nih!"
Aiko menerima buku itu berjudulkan sama dengan namanya sendiri Aiko: Beyond The Current. "Kenapa wajahku jadi sampul di buku ini? Apa aku begitu terkenal?" Matanya berbinar-binar. Nah sekarang dia bahagia tak karuan.
Kembali dia memandang bukunya sendiri. "Misaka Takashi, ini siapa?" tanyanya.
"Itu nama penaku." Aku mengambil duduk di kasur.
"Pasti sudah terkenal ya aku di sini?"
Aku terdiam sejenak, menghela napas panjang. "Enggak juga, aku tidak begitu terkenal jadi penulis. Lagian hanya satu orang saja yang mau baca novelku."
Setiap kali aku membahas itu rasanya entah bagaimana ingin meluapkan amarah yang telah terpendam. Bayangkan saja saat tak ada orang yang mau datang menghampirimu, walau sudah melakukan promosi berulang kali. Kadang terus menerus mengejar ambisi malah menjerumuskan pada jurang keputusasaan lebih dalam.
"Setidaknya satu orang itu sudah lebih baik sih."
Aku hanya menyunggingkan bibir. "Ngomong-ngomong ada orang yang ingin kuperkenalkan padamu besok. Tapi sebelum itu, kamu bisa tidur di kamar sebelah."
"Baiklah."
Aku berdiri dari tempat tidur, mengambil selimut dari lemari.
"Aku masih tidak paham kenapa ini bisa terjadi?" tanya Aiko penasaran.
"Entahlah aku sendiri pun juga tidak tahu. Yang jelas saat ini kamu berada di dunia paralel. Dunia paralel itu harusnya tidak jauh berbeda dengan kehidupan di sini. Akan tetapi, kamu kelihatannya adalah hasil dari fenomena anomali paralel. Itu artinya ada yang tidak beres."
"Ternyata kamu tahu banyak soal dunia paralel."
Jelas saja aku tahu banyak karena aku yang menciptakan dunia paralel di dunia Aiko, Masper Universe. Sebuah semesta fiksi fantasi. Kalau ada anomali seperti ini, berarti ada yang membuat ulah. Itu artinya di luar kendali novel yang aku tulis.
***
Tunjungan Plaza dipadati masyarakat menjelang tahun baru. Aku melangkah sembari mengirim pesan untuk mengatur pertemuan dengan temanku. Aiko di belakang mengikuti sembari memandang toko-toko yang dilintasi oleh kami.
"Ternyata memang benar-benar tidak ada bedanya."
Itu karena memang aku mendeskripsikan Tunjungan Plaza sesuai dengan ini. Bisa saja dunia paralel di sana ada yang sama dengan mal ini.
"Jadi siapa yang akan kita temui?" Aiko bertanya sembari menyusul di sampingku.
"Baaka Neko, teman penulisku, lebih tepatnya dia menganggapku saingannya. Nanti kamu tahu sendiri orangnya. Walau nama penanya sedikit aneh saat diterjemahkan."
Tibalah kami di bagian foodcourt. Selalu saja ramai menjelang makan siang. Sudah biasa sih sebenarnya. Aku pun melintasi beberapa meja, mencari Neko. Seharusnya tidak sulit sih menemukannya. Dan dugaanku tepat sekali. Sosok gadis yang tengah duduk mengenakan pakaian serba merah muda duduk di dekat pagar. Aku menghampirinya, di belakang Aiko menyusul.
"Sedang menunggu seseorang?" aku melemparkan pertanyaan pada Neko.
"Hmm, kelihatannya begitu. Kau yang menghubungiku kan?"
"Semalam, aku melakukan transaksi. Harusnya sudah sesuai kesepakatan."
"Ternyata aktingmu jelek juga ya." Neko tertawa terbahak-bahak.
Aku menarik kursi duduk di dekat pagar pembatas. Aiko duduk di sampingku. "Jadi ada apa?" tanya Neko menopang dagu.
"Harusnya kamu menyadari dengan cepat sih." Aku menoleh pada Aiko.
Neko memiringkan kepala, sekejap dia melompat berdiri. "Enggak mungkin! Kenapa bisa jadi nyata?"
Aku mengangkat bahu. "Mana aku tahu, tahu-tahu dia terlempar keluar dari laptopku."
"Keluar dari laptop? Jelaskan detailnya!" Neko kembali duduk kini tatapan antusiasnya mulai terpancar.
"Iya dia keluar dari laptopku yang baru saja kumatikan. Cahaya terang muncul, lalu tahu-tahu Aiko terlempar dan menindihiku," jelasku.
Kini Neko menopang dagu. "Andai saja Bachira bisa keluar dari laptopku."
Oi, oi di saat seperti ini masih saja memikirkan itu. Memang kebanyakan orang berharap waifu atau husbando-nya keluar dari laptop. Impian yang mustahil. Namun, sebenarnya enggak juga sih kalau tokoh di novelku keluar tiba-tiba.
"By the way, ilustratormu sudah tahu?" Neko balik bertanya.
Aku menggeleng. "Palingan dia nanti minta biaya komersil."
"Apa hubungannya coba?" Neko merogoh tasnya, mengeluarkan ponsel. Meletakkan di atas meja. Mempertemukan kedua tangannya. "Aku harap Bachira jadi nyata!"
"Mana bisa seperti itu?" Aku memotong. "Sekarang aku bingung bagaimana cara mengembalikannya dalam ke dunianya." Aku melipat tangan sembari bersandar.
"Masalah itu, biasanya beberapa novel fantasi tokoh-tokoh yang kesasar ke dunia lain akan kembali dengan sendirinya," jelas Neko.
"Jadi artinya Aiko dikirim ke sini, berarti dunia kita dalam bahaya?"
Neko mengangguk dengan yakin. "Mungkin saja sih, bukannya kamu sering baca-baca soal refrensi perpindahan manusia di dunia paralel?"
Dipikir-pikir, pernah terjadi hal serupa sih. Seperti Ultraman Mebius contohnya yang berpindah ke dunia nyata. Lalu ketika misinya selesai, dia kembali dengan sendirinya. Memangnya ada bahaya apa di dunia ini?
"Teman-teman," panggil Aiko yang membuat lamunanku buyar seketika. "Apa mereka teman kalian?" Aiko menunjuk ke arah manusia mengenakan pakaian pelindung layaknya robot dan membawa tombak.
"Hari ini ada event cosplay ya?" Neko menimpali pertanyaan.
Sekejap aku teringat sesuatu. Mereka adalah manusia robot dari novelku yang berjudul Kirana: Side of the Universe. Kenapa semua tokoh-tokoh novelku muncul di sini?
Kemudian manusia robot yang berjumlah kurang lebih sepuluh itu menatap ke arah kami. Pengunjung yang menyadari kebingungan dengan kehadiran manusia tersebut.
"Kelihatannya kita dalam bahaya," kata Neko sembari bangkit.
"Memang harusnya tidak begitu sih." Manusia robot itu mulai mengangkat tombak, mengarahkan pada kami dari jarak jauh. "Atau mungkin sebaliknya?"
Cahaya mulai terpancar dari tombak tersebut, memelesat ke arah kami. Kami bertiga menghindar. Pengunjung setempat ketakutan berlarian, teriakan mereka menggelegar dalam ruangan.
"Misa, kamu bawa Neko dari sini!" pinta Aiko, sekejap dia berlari maju sendirian. Petir-petir mulai dilepaskan, menyambar ke arah manusia robot itu.
Aku pun menuruti permintaan Aiko, membantu Neko untuk kabur dari sini. "Kamu enggak apa-apa kan?" tanyaku pada Neko yang tersungkur.
"Lain kali kalau mau beraksi seperti film laga bilang-bilang dulu dong!" Neko berusaha berdiri.
Pertarungan sengit di hadapanku terjadi. Petir-petir berwarna ungu menyambar ke sana kemari, mengenai manusia robot itu satu per satu. "Baiklah untuk saat ini nontonnya kita hentikan dulu!"
"Tunggu dulu, lagi pula ini bisa digunakan buat refrensi cerita."
Kenapa masih kepikiran kaya gitu coba? Aku tak habis pikir dengan pola anak ini. Baiklah kalau begitu, kita harus melihatnya sedikit jauh.
Aiko mulai terpental hingga menghantam meja. Namun, dia segera bangkit, berlari seorang diri dalam kekacauan itu, melompat, melepaskan petirnya. Akan tetapi, kali ini mereka mengenakan pelindung yang mampu menghalangi petir itu menyambar.
"Kalau sudah begini sulit rasanya untuk menang." Deru napas Aiko terengah-engah.
Setiap kali petir yang dikeluarkan, cukup menghabiskan tenaga. Ya untuk kepentingan cerita saja sih. Kalau tidak begitu, bisa-bisa dalam novelku tokoh Aiko semakin over power.
Dari atas, terbentuk sebuah lingkaran portal, lingkaran itu semakin terbuka lebar. Lalu dari dalamnya seketika muncul seorang gadis mengenakan seragam SMA, berambut perak serta membawa busur dan anak panah. Dalam posisi membidik, bidikannya tertuju pada salah satu manusia robot itu. Anak panah memelesat, mengenai salah satunya. Gadis itu bernama Kirana, lagi-lagi salah satu tokoh novelku dalam Kirana: Side of the Universe. Kirana mendarat, sembari mengambil busur, menembakkan kembali anak panah. Lagi-lagi tembakannya terkena bidikan.
Kirana berlari menghampiri Aiko. "Tidak kusangka ternyata kamu nyasar ke sini."
"Entahlah kelihatannya anomalinya semakin menjadi-jadi."
"Kalau begitu kita urus mereka dulu," ucap Kirana sembari mengambil anak panah lagi.
Pertempuran sengit kembali terjadi. Dua lawan delapan, mungkin kalan jumlah, tetapi mereka harusnya bisa. Aiko dengan petirnya, Kirana dengan senjata suci-nya.
Pancaran cahaya memelesat dari salah satu manusia robot, mengarah pada Kirana. Aiko pun berlari, menghalanginya dengan petirnya, menyerang balik. Petir itu merambat mengenai manusia robot, hingga tumbang.
Kirana dengan anak panahnya mulai, menembakkan. Panah itu memelesat, menancap pada salah satu manusia robot hingga meledak.
"Kelihatannya kita harus menggabungkan kekuatan. Kalau begini terus bakalan susah selesainya," ucap Kirana.
"Benar juga." Petir mulai merambat di tangan Aiko, dia melemparkannya pada anak panah Kirana. Segera Kirana yang sedari tadi menarik busur dan anak panah, cahayanya mulai menyala terang benderang. Dia melepaskan anak panah, memelesat menuju ke beberapa manusia robot yang tersisa.
Ledakan besar terjadi, begitu dahsyat. Suaranya menggelegar begitu kuat. Jadi seperti ini efeknya kalau di dunia nyata. Semua telah berakhir dengan kekacauan.
Segera aku dan Neko menghampiri mereka. "Pertarungan yang epik." Aiko dan Kirana menoleh pada kami.
"Pasti dirimu yang membuat ini bukan?" tebak Aiko.
"Mungkin."
Kutatap wajah Kirana menaikkan alis. "Siapa mereka?" tanyanya pada Aiko.
"Hanya penulis sih, nanti saja kuceritakan."
"Baiklah, sekarang waktunya untuk kembali ke dunia kita." Kirana mulai menekan alat yang ada dipergelangan tangannya.
"Alat itu merupakan perpindahan antar dunia paralel kan? Alias portal menuju dunia paralel," tanyaku.
"Bagaimana kamu bisa tahu?" Kirana bertanya balik.
"Hanya menebak," balasku.
Neko menyikutku. "Sebenarnya enggak juga sih, kalian hidup di dunia novel yang ditulis oleh Misaka. Jadinya, wajar saja bila dia tahu siapa yang akan datang, termasuk alat yang digunakan oleh...."
"Kirana," timpalku.
"Jadi ini dunia terjauh ya," pikir Kirana, " intinya kita hanya sekadar tokoh fiksi di dunia ini?"
"Benar sekali." Aiko menunjukkan novelnya sendiri pada Kirana. "Lihat bukan, wajahku ada di sampul ini." Dia tersenyum lebar.
"Baiklah sudah waktunya untuk kembali," ucap Kirana. "Kalau memang benar kami hidup di dunia novel, buatlah karakterku lebih kuat lagi."
Mana bisa yang seperti itu, bisa-bisa pembaca akan kabur dan bosan melajutkan halamannya.
Sebuah portal kembali terbentuk. Kirana pun melangkah memasuki portal terlebih dahulu. Sebelum Aiko menapakkan kaki menuju portal itu, dia sempat menghentikan langkahnya. Berbalik, berlari ke arahku, memeluk dengan erat. "Terima kasih ya. Kalau bisa jangan berhenti. Satu orang itu akan kecewa kalau kamu berhenti."
"Baiklah."
Aiko melepaskan pelukannya dan kini berlari ke arah portal itu. "Sampai bertemu lagi. Aku menantikan petualangan selanjutnya." Senyuman itu terpancar kini mulai sirna dari balik portal.
Portal itu sekejap menutup dengan sendirinya.
"Ya, kelihatannya kita juga harus pergi sih."
Kami melangkah keluar dari area kekacauan itu, kini sudah mereda. Pasti juga akan masuk berita.
"Ngomong-ngomong setelah ini apa yang akan mereka lakukan?" tanya Neko.
"Mungkin mereka akan menyelidiki anomali itu. Akan kubuat novelnya," balasku.
"Memang bisa ya seperti itu?"
"Aku kan penulisnya." Kumasukkan kedua tanganku dalam saku celana. "Setidaknya ini juga bisa dijadikan refrensi.
"Aku masih berharap Bachira jadi nyata."
Astaga masih saja mengharapkan itu.
Selesai
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top