(Bukan) Masa Kecil Bahagia

Desa Pola, 2005.

Bu Adelia menunduk dalam, kedua tangannya tergantung lemah di sisi-sisi tubuh. Sepasang bocah bersembunyi di belakang kakinya, tak berani bersuara.

Pintu dapur terbuka lebar, suasana terasa begitu lengang, terik matahari membakar kulit, membuat orang-orang malas keluar rumah.

Satu-satunya sumber keributan berasal dari seorang wanita tua, yang berdiri sambil berkacak pinggang, tepat di hadapan mereka.

"Tolong ajari baik-baik anak kau! Jangan mentang-mentang juara kelas, bebas dia mau hajar saya punya anak!" Dialek khas penduduk setempat, mendesiskan kekesalan.

Bu Adelia memilih bungkam agar persoalan ini cepat berlalu.

"Kalau kau tak sanggup didik anak, cari laki baru, sana! Supaya anak kau tak bikin repot!"

Bu Adelia mengatupkan mulut rapat-rapat. Berusaha menahan diri, tidak baik merespon kemarahan orang lain.

"Suami kau pendatang, sudah mati pula. Jangan berlagak di sini! Tidak ada orang kampung yang mau bersimpati sama anak-anak kau yang nakal itu!"

Bu Adelia mengepalkan tangan. Wajahnya terangkat, menatap sang lawan bicara. "Bu, tolong jangan bawa-bawa suami saya. Beliau sudah meninggal. Saya minta maaf atas kesalahan Al. Mohon dimaklumi, dia masih kecil."

"Anak kecil macam apa yang bikin muka teman sekelasnya babak belur?! Coba kau bawa ke RSJ anak itu, mungkin dia gila!"

Bu Adelia menatap lurus, bola mata berkaca, jari-jari tangannya bergetar kecil. "Tolong maafkan Al."

"Hah! Percuma bicara sama janda. Sudah tahu tidak sanggup urus anak, masih saja tidak mau cari laki baru."

Makian yang terlampau menyakiti hati. Wanita tua itu pergi tanpa permisi. Meninggalkan luka menganga di benak keluarga kecil mereka.

Bu Adelia berbalik, buru-buru menutup pintu. Pandangannya tertuju ke arah anak-anaknya. Tangisnya tumpah, sesak di dada membuncah. Dia berjongkok, memegang erat pundak Alvarendra kecil.

"Ibu pikir kamu sudah berubah setelah bapak meninggal. Kamu  salat di masjid, rajin belajar, menjaga adikmu. Kenapa sekarang bertengkar lagi dengan temanmu? Ibu capek didatangi tetangga, melapor gara-gara kelakuanmu. Kamu senang mendengar caci-maki untuk keluarga kita?"

Alvarendra diam, enggan menyahut. Raut mukanya keras, sorot matanya menyiratkan amarah.

"Kenapa Ibu menangis?" Adiba mengerjap polos.

Bu Adelia menghapus air matanya kasar. Menarik napas panjang, lantas berkata, "Ibu kecewa padamu."

Alvarendra memalingkan muka. "Bukan Al yang salah," gumamnya.

"Temanmu terluka, kamu yang menghajarnya. Kapan kamu berhenti berbuat onar, Al?" Bu Adelia menggeleng pelan. Dia bangkit sembari meraih tangan Adiba.

"Bukan Al yang salah!" jerit Alvarendra serak, bola matanya memerah. "Mereka yang mulai!"

Bu Adelia berhenti melangkah, menunggu penjelasan lebih rinci.

Alvarendra mendongak, menatap wajah sang ibu. "Mereka mengganggu Adiba, mengolok-olok kami. Bilang kalau kami nggak punya bapak, makanya pakai seragam lungsuran. Nasi kuning Ibu nggak enak, makanya jarang laku." Bahu Alvarendra bergetar. "Saat mereka terang-terangan menghina keluarga kita, apa Al diam saja? Jadi anak saleh seperti yang Ibu ajarkan?"

Bu Adelia tercenung. Didikan sang suami membuahkan hasil.
Alvarendra sanggup berpikir melampaui usianya. Tatkala teman sebayanya masih asyik bermain-main, dia telah mengerti arti martabat keluarga.

Tangan kanan Bu Adelia terulur, mengusap pipi Alvarendra. "Ibu paham, tapi kamu nggak boleh begini terus."

Alvarendra menggeleng, menepis tangan ibunya pelan. "Al nggak akan berhenti selama mereka masih menghina keluarga kita."

Bu Adelia memandang lamat-lamat. "Apa kamu sering bertengkar karena masalah itu?"

Alvarendra mengangguk kecil.

"Kalau begitu, kamu akan diam setelah mereka berhenti?"

"Iya."

"Baiklah. Masih ingat Om dan Tante yang tinggal di Kendari?"

"Saudara Ibu?"

Buat Adelia tersenyum tipis. "Ibu akan coba menghubungi mereka, semoga bersedia menampungmu selama sekolah di sana."

Alvarendra mengerutkan dahi. "Maksud Ibu?"

"Bersabarlah. Setelah lulus, kamu akan bersekolah di Kendari."

"Nggak mau. Di sini ada SMP."

"Ibu mohon. Mereka akan terus berulah selama kamu menetap di sini."

"Bagaimana dengan Adiba?"

"Lihat, Adiba sangat akur dengan anak seusianya. Teman-temanmu yang berulah. Dugaan Ibu, mereka iri padamu. Adiba hanya jadi pelampiasan."

"Al nggak punya apa-apa, kenapa mereka harus iri?" Alvarendra mendengus tipis.

"Tentu saja karena putra Ibu tampan dan cerdas, jadi kebanggaan guru-guru, apa lagi?"

Alvarendra manggut-manggut. "Kalau soal itu, seluruh orang kampung juga tahu."

Bu Adelia tersenyum kecil, lantas bergerak merangkul anak-anaknya, berusaha menyembunyikan air mata. "Tumbuhlah jadi anak saleh. Buktikan kepada penduduk, meski bapak telah tiada, kalian mampu menjadi kebanggaan. Miskin bukan dosa, semoga kalian terbiasa hidup sederhana dan mandiri."

Alvarendra mengatupkan bibir, mencengkeram lengan daster ibunya, tatapannya nyalang, menyiratkan amarah bercampur ketidakberdayaan.

Sejak sang kepala keluarga meninggal, hidup terasa susah. Ibu bekerja mencari nafkah, menjual nasi kuning di sekolahan. Alvarendra turut membantu, mengikuti para nelayan sesekali, atau menanam bibit pohon jati milik Kepala Desa bila diminta.

Hal itu mengundang hinaan dari teman sekelasnya, dia menjadi bulan-bulanan. Alvarendra memilih bungkam, terikat janji untuk berubah. Mereka bosan sendiri pada akhirnya.

Ketika Adiba masuk sekolah, siapa sangka sasaran berpindah haluan. Alvarendra tak sudi adiknya diusik. Sisi gelapnya bangkit. Tak segan menghajar para pengganggu.

Beruntung, pihak sekolah lebih percaya Alvarendra, anak sepintar dan serajin dirinya tak mungkin berbuat ulah tanpa sebab. Meski pernah menyandang predikat bandel, dia terang-terangan menunjukkan perubahan baik.

Di sisi lain, bocah-bocah pengecut itu melapor kepada orang tua mereka. Mengarang cerita, melebih-lebihkan, pandai betul mengundang kekesalan orang dewasa. Tak mungkin berbuat aniaya terhadap dirinya, giliran sang ibu jadi incaran.

Lihatlah! Betapa mengerikannya mereka. Hanya karena miskin, lalu dilengkapi kematian bapaknya, yang juga seorang pendatang di kampung ini, mereka bebas merisak keluarganya.

Tangan Alvarendra terkepal kuat, dadanya sesak. Usianya baru sepuluh tahun, namun telah merasakan getirnya hidup.

Alvarendra bertekad, membisikkan sebait kalimat dalam hati, dia akan menjadi sebaik-baiknya pemuda di masa depan, demi membungkam mulut tajam mereka! Itu janjinya!

Bu Adelia mengurai dekap. "Nah, mari habiskan makan siang kalian."

Alvarendra tersentak, jemari kecil menyusup di antara sela-sela tangannya. "Hm?"

"Makan, Mas," tukas Adiba sambil tersenyum polos.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top