Behind The Story

Siapa yang nunggu ekstra chapter? Sabar, ya. Aku belum ada niat nulis itu. Muhehe~

Sambil nunggu, kalian bisa baca-baca ceritaku yang lain ^^

Omong-omong, sekarang aku pengen ngebahas BTS. Kali aja ada yang kepo :p

Langsung aja, yuk ⤵

1. Gimana bisa kepikiran bikin cerita kayak gini?

Aku udah lupa kejadian pastinya, soalnya udah agak lama, tapi waktu itu sempat ngobrol sama seseorang. Topiknya macam-macam. Kebanyakan aku yang curhat, sih. Haha.

Terus, si orang ini ngerespon, yang intinya, "Bukan cuma aku yang ngalami hal semacam itu. Kita emang terkungkung di bawah kapitalisme dg asas sekulernya. Jangan heran, banyak yang orientasinya sebatas manfaat duniawi. Bahkan, orang yang katanya udah ngaji Islam, tetap riskan untuk terpapar."

Pembahasannya berlanjut sampai kita (aku dan si Mbak) ngebandingin ideologi Islam vs kapitalisme.

Dari situ aku langsung punya ide buat bikin cerita yang mempertemukan orang-orang dg prinsip hidup yang berbeda dalam satu naungan.

Awalnya, pengen pakai setting mahasiswa organisatoris. Semacam anak-anak pergerakan gitu. Tapi itu terlalu luas. Gak mungkin cuma fokus ke satu/dua orang aja. Aku perlu ngegambarin organisasinya juga. Ah, ribet banget. Susah ngebangun feel-nya. Batal deh.

Daripada pusing, aku bikin cerita romantis aja. Yang mudah (menurutku) dan banyak peminatnya. Haha.

Begitulah. Aku mengumpulkan dua tokoh dg prinsip hidup berlawanan dalam pernikahan. Interaksinya bisa intens, lebih enjoy untuk mengupas karakter mrk masing-masing.

2. Lalu dari mana sumber inspirasi karakter-karakternya?

Sebelum itu, apa kalian pernah kepikiran kenapa aku gak pernah nentuin visualisasi tokohku? Udah gitu, jarang ngegambarin detail fisik mereka.

Sebetulnya aku punya beberapa alasan:

a. Aku lemah dalam berimajinasi scr visual. Nilai tugas menggambarku dari SD sampai SMA paling tinggi rentang 60 atau 70-an. Keahlianku adalah ngegambar orang-orangan lidi. Tau nggak? Itu, lho, yang kepalanya bulat dan badannya satu garis. T_T

Kalau disuruh ngedeskripsiin fisik orang lain, bisanya cuma yang umum dan sering kali suka gaje. Semisal, dia ganteng, kulitnya putih, warna irisnya hitam. Selesai. Gak detail blass.

Nah, kelemahan ini berimbas ke tokoh-tokoh dalam ceritaku.

Coba cek, apa aku ada nunjukkin detail 'seberapa cakep si Al' sampai sanggup bikin cewek-cewek 'gila'. Nggak, kan? Soalnya aku juga gak punya gambaran 😭

Lain cerita, kalau masalah kepribadian. Aku bisa ngejelasin dg cukup detail, bahkan dalam satu kali pertemuan (dg catatan terlibat percakapan intens, bukan cuma basa-basi). Semisal, dia orang yang percaya diri, labil, kalau ngomong suka gini-gitu, pemikirannya gimana, dst.

Em, mungkin itu yang bikin karakter tokoh-tokohku kuat kali, ya. Dalam artian, mrk selalu punya alasan kenapa bersikap gini-gitu. Bahkan, untuk perempuan selemah dan secengeng Lativa (Dalam Senandung Iman), ada landasan tertentunya.

Eh, kok aku kesannya PD banget, yak 😂

b. Rasanya gak sreg kalau pakai visual public figur. Soalnya, tokohku kan, rata-rata religius, apa mrk (yang aku pinjam visualnya), sesuai sama imaje yang aku bangun?

Terus yang paling susah tuh kalau nyari visual cewek.

Tahu kenapa?

Tokohku (lagi-lagi) pakaiannya jilbab dan khimar. Idola mana yang konsisiten pakai jilbab dan khimar?😅

Aneh, ya? Tapi jujur aja, aku tuh agak kedistrak dg image para idola di dunia nyata.

Rasanya seperti, aku gak mengenal para idol secara pribadi, sedangkan tokohku adalah anak-anakku. Mana mungkin aku menggunakan visual orang asing untuk anak-anakku?

c. Ini yang paling utama. Aku takut kalian malah nge-stalk dan nge-halu-in visual yang aku pakai. Serem, oey.

Udah, sih. Gitu aja.

Berikut detail inspirasi tokoh dalam Parak.

Alvarendra Pratama.

Aku pernah bilang, kan, cerita-ceritaku sering terinspirasi dari dunia nyata. Lingkungan sekitarku.

Nah, gitu pula dg tokohnya.

Untuk membentuk seorang Alva, aku ngegabungin banyak karakter orang di dunia nyata.

Cerdas dan tipe pemikir, ini kakting yang udah kusebut sebelumnya (yang argumennya jadi sebab kemunculan ide Parak). Sankyu, Mbak!

Diskusi sama beliau, aku sering speechless. Mirip interaksi Alvabel *eh 😂

Imut semasa kecil dan punya eye smile, ini sumbernya adikku. Aku punya dua adik cowok. Satu punya eye smile, satunya gummy smile (gak tau deh, ini istilahnya benar apa enggak). Itu lho, kalau senyum, matanya ikutan senyum plus punya lesung pipit kecil. Terus, ada juga yang pas senyum, gusi atasnya kelihatan.

Kalau kata temanku, "Cowok-cowok di keluargaku kok, manis-manis" 😂

Saleh, aktivis dakwah, ini mah general. Belum kutemukan, tapi selalu jadi idaman. Ppfft ...

Iseng dan santai, tapi di waktu tertentu bisa jadi emosinya meledak-ledak, campuran dari karakter adik-adikku.

Dosen, 23 tahun, belum nikah, dari luar pulau Jawa, ini gegara pas tahun 2018 (sesuai timeline) di Parak, ada dosen dg profil semacam itu ngajar kelasku. Anggaplah, aku ini teman sekelasnya Abelyn 😂

Cara pandang Al tentang perempuan yang menarik dijadikan istri, "Perempuan lebih berharga saat bersikap misterius. Bukan malah menyerahkan diri secara sukarela."

Masih ingat qoutes tsb?

Itulah nasihat yang diucapkan bapakku dari aku remaja. Masa-masa paling rentan dlm pergaulan. Saat aku dan kakak mulai kepo tentang alasan bapak menikahi mamak, dikasih jawaban mirip-mirip gitu. Dulu responku biasa aja, sekarang kok (kalau kuingat-ingat) malah jadi senyum-senyum sendiri? 😂

Bentar, bentar, tarik napas dulu.

Oke.

Ada pun masa lalunya, itu modal googling. Gak tau kenapa deh, beranda chrome-ku dipenuhi kasus kriminal. Aku kan jadi terinspirasi  (lah) 😅

Abelyn Aeesha Atmarini.

Aku gak mau banyak komen tentang si Bebel. Intinya, kalau kenalanku di dunia nyata, habis baca Parak, terus ngenal Abel, rata-rata nyeletuk gini,

"Kok aku auto kebayang kamu, ya, Mul, pas mikirin Abelyn?"

Datar dan cuek. Aku gak ngerasa cuek sih, tapi kata orang-orang aku cuek. Haha.

Dan aku cuma bisa nyengir.

Di ig, aku pernah bilang, Abel itu gambaran 'aku' sebelum ngaji Islam. Tinggal dipoles sedemikian rupa, dibuat sangat-sangat parah. Selesai. Lahirlah Abel.

Termasuk sifat manipulatifnya, Kak?

Muehehe 😋

Yang beda adalah masa lalunya, pekerjaan sampingannya, dan skill memasaknya.

Ah, satu lagi, yang paling jelas, adalah statusnya. Dia udah nikah, aku masih jomblo. Duh. Ngahaha 😂

Sampai-sampai waktu itu, pas lagi chattingan, aku kirim emot nangis ke kakting.

Dibalas (intinya kayak) gini masa, "Jangan nangis. Si Abel ada Alva yang nenangin, lah kamu? Udah di kos, sendirian pula".

ERH -_-

Itu aja kali, ya.

Tokoh-tokoh yang lain, entaran aja. Di lapak mrk sendiri. Insya Allah.

3. Kenapa ending-nya seperti itu? 'Kebahagiaan' Alvabel, nggak digambarkan secara detail? Bahkan cuma sampai Abel bertekad untuk tobat? Udah gitu, Abel baru berubah di chapter akhir. Terus, datar dan cueknya langgeng banget!

Hm, hm.

Gini, mukanya Abel emang datar scr alami, tapi masih bisa senyum sebelum kejadian pas SMP-nya. Setelah itu, dia benar-benar menutup diri.

Terus, gak mudah untuk mengubah karakter seseorang. 20 tahun penganut sekularisme akut, hanya disembuhkan oleh 1 tahun pembinaan Islam? Susah.

Entahlah. Apa di luar sana ada yang sanggup berubah drastis dalam waktu singkat, tapi aku pribadi gak merasakan itu.

Sedih, marah, frustrasi, kecewa, hilang harapan. Perasaan-perasaan semacam ini kerap kali menghampiri.

Bayangin aja, kamu udah dibina, paham kesalahanmu, berusaha berubah, tapi masih aja ada alpa terselip? Di sisi lain, orang-orang terus mengkritik, menuntut ini-itu, tanpa tahu betapa berisiknya otak dan hati kita di dalam sana.

Apa gak frustrasi, tuh? Gak kecewa? Gak marah? Gak kesal?

Itulah yang dirasakan Abel.

Al emang memaklumi, tapi ingat, dia masih suka ngatur dan nuntut. Pengen Abel berjalan sesuai prinsipnya. Emang sbg bentuk kepedulian, tapi yang dirasakan Abel justru tertekan.

Wajar.

Al dasarnya emang  gak sabaran. Pemarah, iseng, dan suka ngatur. Ini jadi masalah tersendiri untuknya. Tapi seenggaknya, dia komitmen dg janji.

Yang mereka butuhkan adalah penerimaan telak, kesabaran yang tinggi, dan saling memahami.

4. Pesan apa yang ingin disampaikan lewat cerita ini?

1. Lewat Alva, aku ingin kita sama-sama belajar menyikapi masalah.

Banyak hal di dunia ini yang terjadi di luar kuasa manusia, tetapi kita selalu diberi pilihan untuk menentukan sikap.

2. Lewat Abel, aku ingin kita sama-sama belajar memahami orang lain.

Seburuk-buruknya orang, pasti tersisa kebaikan di dalamnya. Jangan mudah menghakimi.

Sikap baik Abel yang jarang disadari, dia itu bertanggung jawab, cerdas, pengamat sejati, mandiri, kreatif, low profile. Tipikal perempuan tangguh.

Sayangnya, tertutup dg manipulatif, keras kepala, cuek dari luar, kasar, dll.

3. Lewat Adiba, aku ingin kita belajar menjadi pribadi yang positif. Mungkin memang terkesan naif bagi sebagian orang, tapi apa salahnya?

Sadar telah dimanfaatkan, bukannya marah, dia malah mengatur niat, agar kebaikannya bernilai pahala.

Mudah memaafkan. Punya hati yang lapang.

Keren, 'kan?

4. Lewat orang tua mereka, aku ingin kita belajar mengayomi. Bukan berlepas tangan atau justru salah ambil tindakan karena reaktif. Penting untuk mendidik anak dengan nilai-nilai spiritual sedari kecil.

Ortu Abel, mrk keliru karena menganggap kebahagiaan sebatas materi.

Ibu Alva, keliru karena langsung menyuruh Al sekolah di luar kota. Itu tindakan reaktif. Tapi, wajar. Mengingat dia ortu tunggal. Pasti berat membesarkan anak-anak sendirian.

Bapak Alva, keliru karena lebih perhatian ke Adiba waktu mrk kecil. Kesalahan Al minim toleransi. Tapi, wajar. Mengingat Al anak pertama dan laki-laki, mungkin dia berpendapat Al harus dididik dg tegas karena punya tanggung jawab yang lebih besar. Dan itu berhasil.

5. Lewat masa lalu Alvabel, aku ingin kita belajar peka terhadap sekitar.

Banyak kasus perundungan dan pelecehan. Tak jarang dilakukan oleh pihak keluarga. Ini bukan masalah individu saja, tetapi melibatkan masyarakat, bahkan negara.

Keluarga emang berperan besar dalam membentuk kepribadian seseorang, tapi mau sampai kapan?

Anak-anak akan tumbuh besar, berpisah dg orang tuanya, lalu setelah itu apa?

Tidak banyak orang-orang dg keteguhan seperti Al.

Ketaqwaan individu, kontroling masyarakat, dan negara selaku pemegang kebijakan. Itulah tiga pilar pembentuk kehidupan ideal.

Maksiat memang akan terus ada hingga akhir zaman, tetapi dengan Islam, setidaknya hukum-hukum Ilahi yang akan berjalan. Kriminalitas bisa diminimalisir.

Sebaliknya, meski secara iptek kini kita berjaya, tapi moral dan spiritual mengalami degradasi. Kering kerontang. Bahkan, dalam kondisi tertentu, kita seolah 'dipaksa' bermaksiat.

Kenapa? Karena lagi-lagi, ideologi yang kita gunakan, menjunjung nilai materi di atas segalanya. Manfaat duniawi jadi tujuan. Tak apa curang sedikit, yang penting untung. Benar?

Tarik napas lagi.

Cukup. Silakan temukan sendiri pelajaran lainnya.

Ew, ternyata banyak banget, ya 😅

Sekian.

Btw, gimana rasanya puasa di tengah pandemi, sedih, ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top