8. Kejutan

Alvarendra duduk bersila, menonton siaran berita nasional. Abelyn asyik tiduran di sampingnya, terpejam sambil memeluk guling.

Tayangan berganti iklan, Alvarendra agak menunduk, mengalihkan perhatian sejenak, menatap wajah Abelyn dalam diam.

Genap dua bulan usia pernikahan mereka. Berlalu tanpa terasa. Mengalir bagaikan air. Biasa saja, justru cenderung hambar.

Sesekali, muncul keluhan, memancing perdebatan, mengundang amarah. Ada canda yang terlewat, obrolan santai, juga perhatian-perhatian kecil. Selebihnya, mereka sibuk dengan urusan masing-masing.

Abelyn masih menjadi misteri. Dia seolah membangun benteng tak kasat mata, mencipta jarak. Ada pun semua yang telah terjadi, tampaknya tak terlalu berarti. Hanya dianggap sekadar menjalankan peran, sebagaimana mestinya.

Banyak tanya belum menemukan jawaban. Abelyn lebih pandai berkelit dari yang terindra. Kadang, Alvarendra memang berhasil mengulik, tetapi rasanya sebatas pada apa yang dia perbolehkan untuk diketahui orang lain.

Contoh sederhana, hingga kini Alvarendra tak paham motif Abelyn menikah, padahal mengaku belum siap. Bungkam atau mengalihkan topik, begitulah responnya saat disinggung perihal tersebut.

Alvarendra tak dapat menyalahkan Abelyn. Mereka sebenarnya sama saja. Dia pun pada faktanya mempunyai rahasia. Ada cerita yang belum pernah terkuak. Terkunci di memori terdalam.

Dering ponsel mengacaukan lamunan. Alvarendra tersentak, buru-buru meraih benda pipih tersebut. Telepon dari Adiba.

"Ada apa?" Alvarendra langsung bertanya setelah saling bertukar salam.

"Tolong luangin waktu akhir pekan ini?"

"Buat?"

Terdengar decak dari seberang sana. "Mas lupa kalau ulang tahun Abel hari Minggu?"

"Kamu tahu, kita bukan tipe orang yang ngerayain ulang tahun."

Hening beberapa saat. Alvarendra setia menunggu.

"Emang, tapi apa salahnya sedikit ngasih kejutan? Ini momen pertama setelah Abel nikah. Ya, mungkin Mas ada niat gitu."

Alvarendra terdiam sejenak, melirik Abelyn sekilas, mempertimbangkan. Dia belum pernah mengajak Abelyn wisata sejak mereka menikah. Embusan napas pelan lolos dari bibirnya. Tak ada salahnya mencoba. "Hm, kamu punya rencana?"

Adiba berdehem, "Aku pengen buatin bolu cokelat kukus, sih. Kesukaannya Abel."

"Beli aja. Emang kamu bisa?"

Adiba terkekeh tipis. "Nggak istimewa kalau gitu. Minta bantuan teman ngontrak dong. Ada anak tata boga."

Alvarendra mendengus geli. "Terserahmu."

"Sabtu anterin aku ke Dinoyo, ya? Kata teman, ada toko bahan kue murah meriah di sana."

"Nggak sekalian nyari gratisan?"

"Pengennya, tapi nggak ada."

Mereka tertawa kecil. Setelah mencapai kesepakatan, panggilan diakhiri.

Alvarendra meletakkan ponselnya ke lantai, tepat di sampingnya. Kening lelaki itu berkerut, dahinya terlipat. Kado apa yang harus dia berikan untuk Abelyn?

Saat itu, dia baru tersadar, betapa minim pengetahuannya tentang sang istri.

Akan tetapi, Alvarendra tak kehabisan akal. Tinggal tanya sumbernya langsung, masalah teratasi.

Alvarendra menusuk-nusuk pipi Abelyn, sengaja betul membuat orang terusik. "Kamu pengen aku beliin sesuatu?"

Abelyn sebetulnya tidak tidur, hanya terpejam, sedang ingin bermalas-malasan. Dia mendengar Alvarendra bercakap lewat telepon, entah dengan siapa, dia memilih abai. Tidak penting.

"Bebel," panggil Alvarendra, belum berhenti memainkan pipi istrinya.

"Enggak," sahut Abelyn tanpa repot-repot membuka mata.

"Pakaian?"

"Punya banyak."

"Sepatu?"

"Udah ada."

"Tas baru?"

"Buat apa?"

Alvarendra berdecak. Tentu. Abelyn bahkan lebih dari mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, seandainya memang menginginkan hal tersebut.

"Masa kamu nggak ada kepengen apa-apa?"

"Ada, mau tahu?" Abelyn membuka mata, menyorot datar. Alvarendra mengangguk mantap. "Renovasi rumah."

"Hah?"

"Ubah kayak rumah orang tuaku, sanggup?"

Alvarendra mencubit pipi Abelyn kuat-kuat, menahan gemas, membuat sang empunya mengeluh sakit. "Nggak sekalian minta dibangunin 1000 candi?"

Abelyn memukul-mukul punggung tangan Alvarendra, minta dilepaskan. Sudut bibirnya tertarik ke atas, menampilkan dua gigi depan. "Lagian, tumben nanya-nanya. Biasanya juga ditolak."

"Jelas, soalnya permintaanmu butuh banyak biaya."

Abelyn bangkit. "Minta itu harus totalitas."

"Totalitas dalam ngabisin duit, maksudmu?"

Abelyn mengedik tak acuh. Dia jarang menginginkan sesuatu sejenis benda-benda. Orang tuanya bersedia memenuhi tanpa diminta. "Aku lebih tertarik kalau Kakak mau terus terang setiap ngejawab pertanyaanku."

"Jadi, kamu lebih tertarik padaku dibanding ngoleksi barang-barang tertentu?" Alvarendra mendekatkan wajah, menatap tepat ke manik mata Abelyn. Salah satu sudut bibirnya terangkat miring.

Abelyn mengangguk yakin. "Aku punya tabungan, tapi nggak mampu ngebeli kejujuran Kakak."

Alvarendra menjauh, mendengus, melipat tangan di dada. "Kenapa kedengarannya aku kayak tukang bohong?"

"Benar, 'kan?"

"Apa maksudmu?" Alvarendra memicing tajam, tersinggung. Suasana di antara mereka mendadak tegang.

"Karakter Kakak itu saling kontradiktif, tahu?"

Abelyn takkan menyia-nyiakan kesempatan. Sudah dua bulan mereka menikah, tetapi dia belum sepenuhnya mengenal Alvarendra. Terbatas pada apa-apa yang diperlihatkan lelaki itu. Sialnya, semakin lama, keanehan perlahan muncul, membuat rasa penasarannya kian meluap.

"Ngomong apa, sih, Bebel," sahut Alvarendra kalem, diiringi senyum simpul.

Lihat? Cepat sekali ekspresi lelaki itu berubah. Beberapa detik yang lalu, Abelyn bersiap menerima amarah. Situasi kini berangsur kembali seperti semula.

Tengkuk Abelyn meremang, keringat dingin bermunculan, gerak tubuhnya menyiratkan waspada. Ini mengerikan. Tak wajar.

Abelyn sudah lama mengasah sisi manipulatifnya. Tahu betul cara memanfaatkan peluang. Pertama kalinya, dia merasa sangat bodoh, seakan seluruh kemampuannya tak berguna.

Abelyn mundur hati-hati, pikiran-pikiran buruk mulai bergentayangan, sekelebat kenangan berputar-putar di kepala.

Tidak, tidak. Seharusnya bukan begini. Dia yang memegang kendali.

Abelyn menarik napas panjang. Bola matanya bergerak acak. Alvarendra sanggup memberikan tekanan sedemikian besar. Lelaki itu lebih berbahaya dari orang-orang di masa lalunya.

Tersentak. Abelyn menarik diri, meloncat mundur.

Kekehan menggema. Tipis, terkesan suram. Semakin menciutkan nyali, membunuh kepiawaian.

"Hei, kenapa kamu kelihatan takut?" Alvarendra mengangkat kedua alisnya. "Aku cuma mau megang tanganmu?"

Abelyn menjilat bibir. Sial, dia benar-benar kehilangan ketenangan. "Aku agak kaget."

Alvarendra manggut-manggut. Lantas menepuk lantai di sisinya. "Sini, sini. Kita ngobrol. Nggak mau dengar aku berterus terang?"

Abelyn melangkah lambat. Menguatkan hati. Sebaiknya ambil jarak aman. Duduk agak jauh. Tarik napas dalam-dalam, keluarkan lewat mulut. Alvarendra tidak akan menyakitinya, bukan?

"Jadi, apa yang mau kamu tanyain?"

Abelyn mendongak, menatap lurus-lurus. Terlalu banyak hingga membuatnya bingung harus memulai dari mana. Lama dia berpikir, tetapi tak menemukan kata-kata yang tepat. Buntu, pikirannya kacau, suaranya terkunci.

"Nggak ada?" Alvarendra memandang jenaka. "Kalau gitu, aku yang nanya, boleh?"

Abelyn terdiam. Jika menolak, Alvarendra mungkin akan segera berlalu, pergi tidur. Kesempatannya lantas hilang.

Sial, kenapa di saat-saat begini, tatkala Alvarendra membuka peluang, tak satu pun kalimat tanya terbit dalam benak? Ke mana lenyapnya segala curiga?

"Bebel?"

Abelyn mengangguk. Air mukanya keruh. Bibirnya menipis.

"Kenapa kamu suka berprasangka buruk, mikir berlebihan, sulit percaya pada orang lain?"

"Aku nggak gitu, biasa aja." Abelyn menyahut datar, raut wajahnya berubah selurus papan.

Alvarendra menggeleng, menolak setuju. "Itu fakta. Suka mikir buruk tentangku, ngebatasin kesempatanku buat ngenal kamu. Kita emang terikat, tapi masih ada sekat. Kamu perempuan paling misterius yang pernah aku temui."

"Jangan berlagak sok tahu dengan kalimat sekeren itu."

Alvarendra tertawa kecil. "Butuh bukti?"

Ada gelenyar tak nyaman di dada, namun Abelyn menanti, menatap tak gentar.

"Sejak awal, kamu udah ragu tentang profilku, nuduh aku pernah mainin cewek, lantas berniat poligami. Terkekang oleh aturan Islam, seolah kebaikanku cuma pencitraan. Barusan, kamu bersikap negatif lagi. Gelisah, takut, jaga jarak. Ketika aku bersedia ditanya-tanya, kamu malah bungkam, tampak linglung. Kalau bukan senang berprasangka buruk, lalu apa?"

Abelyn terhenyak, menunduk, mematung. Itukah alasannya tak kunjung menemukan kata yang sesuai, to the point? Segala keanehan tentang Alvarendra hanya sebatas praduga?

Tangannya terangkat memegang dahi, bingung. Kepalanya berdenyut. Ada yang salah, terlewat, tak kasat mata, namun apa?

"Hei, kamu nggak pa-pa?" Alvarendra mendekat, menyentuh bahu perempuan itu.

Abelyn mendongak, menyorot hampa, mencengkeram lengan Alvarendra. "Siapa Kakak sebenarnya?"

"Hamba Allah, anak orang tuaku, kakak Adiba, dosen fisika, dan suamimu."

Abelyn mendesah panjang. Berusaha bangkit saat bahunya ditekan. "Apa?"

Alvarendra berkedip, tersenyum manis. "Kamu lucu. Kepo tentangku. Giliran ditanya balik, langsung kabur. Enak banget."

Abelyn meringis pelan, tekanan di bahunya menguat. "Kakak mau apa?"

Alvarendra mengikis jarak, memiringkan kepala, mendekat ke telinga Abelyn. "Kalau kamu nggak mau terbuka, jangan mikir aku bakalan ngelakuin hal serupa," desisnya.

Abelyn memegang telinga, menahan napas, mukanya mendadak tegang.

Alvarendra mendengus geli. "Santai. Kita nggak lagi berbuat dosa, 'kan?"

Abelyn melengos. Suara hatinya menjerit. Kesal karena merasa dipermainkan. "Aku lagi datang bulan."

"Aku sempat lihat kamu bersiap salat Magrib?"

"Setelah itu," terang Abelyn ogah-ogahan.

Alvarendra mundur, menjauh. Bangkit tanpa kata-kata, berlalu, masuk ke kamar.

Abelyn menyengir, terlihat puas. Bergegas menarik bantal, bersiap untuk melanjutkan tidur. Tak ingin tahu apa yang dilakukan Alvarendra di dalam sana.

-TBC-


Ayo berandai-andai lagi: Saat Al tahu motif Abel nikah, menurut kalian gimana responnya?

Btw, kalau kalian jeli, interaksi mrk itu punya pola, loh. Ada yang tahu? (Kalau kalian bisa nebak ini, kemungkinan kalian tahu jalan cerita mrk kayak apa nantinya. Muehehe)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top