8.3 Kejutan
Alvarendra sungguh-sungguh membuktikan ucapannya. Pagi sekali, sepulang dari masjid, dia sudah berkutat dengan urusan rumah.
Menyapu, mengepel, menguras bak mandi, menata barang-barang yang bergeser dari posisinya.
Abelyn dibiarkan terlelap. Tak ada gangguan. Menggelung di bawah selimut, seolah menikmati hari bebas tugas.
Alvarendra bahkan tak segan mengintervensi halaman, memungut sampah-sampah kecil, berusaha menciptakan lingkungan yang bersih. Tak pelak, aktivitasnya mengundang komentar tetangga.
"Pagi, Mas Alva." Seorang wanita, mengenakan daster, baru keluar dari rumah, menyapa.
Alvarendra menengadah, menoleh ke sisi kiri. "Selamat pagi, Bu."
"Wah, jadi kangen masa muda. Suami saya dulu sering bantu-bantu pekerjaan rumah. Sekarang sudah jarang."
Alvarendra mengulum bibir, tersenyum simpul, sambil tetap memasukkan sampah ke dalam pengki.
"Beruntung sekali Mbak Abelyn punya suami seperti sampean."
"Saya yang beruntung, Bu." Alvarendra tidak membual. Urusan ini terasa lebih ringan berkat sang istri. Abelyn rutin berbenah setiap dua hari sekali.
Wanita setengah baya itu menyengir lebar. Tak sulit menyukai tetangga semacam Alvarendra. "Semoga tetap langgeng, ya."
"Terima kasih. Saya izin ke dalam dulu, Bu."
"Oh, nggeh. Monggo."
Alvarendra bergegas mengembalikan peralatan kebersihan ke tempat semula, lalu melangkah masuk, mengarah ke dapur.
Lelaki itu mencuci tangan terlebih dahulu, memastikan tak ada kotoran yang menempel. Kemudian menghampiri kulkas. Memindai persediaan, mempertimbangkan menu pagi ini. Tak lupa pula menyempatkan diri untuk menanak nasi.
Sekitar dua jam Alvarendra menghabiskan waktu berkutat dengan bahan-bahan makanan. Agaknya terlalu lama bila melihat betapa sederhana perolehan hasilnya.
Bakul nasi, semangkuk sayur sop, udang goreng tepung, serta telur dadar sudah terhidang sempurna. Alvarendra juga membuat cokelat hangat untuk mereka.
Senyum puas tersemat tatkala menatap hasil karyanya. Sudah waktunya membangunkan Abelyn. Tanpa menunda waktu, Alvarendra segera menuju ke kamar.
*
Kontrakan tempat tinggal Adiba berbasis keislaman, sering dikenal dengan istilah rumah binaan. Seluruh penghuni wajib mengikuti program sesuai kesepakatan, serta aturan-aturan yang berlaku.
Kontrakan tersebut digagas oleh para pendahulu, senior-senior yang lebih awal terlibat aktif dalam organisasi keislaman ekstra kampus.
Setiap hari, tepat pukul lima pagi sampai mentari terbit, ada kegiatan diskusi. Topik bahasan pun beragam, seringkali tentang berita nasional yang sedang booming.
Di akhir pekan, seluruh penghuni bekerjasama melakukan piket. Membersihkan rumah bertingkat dua itu. Tak ada yang protes. Mereka sudah menandatangani perjanjian sebelum memutuskan tinggal di sana.
Adiba tak sabar ingin cepat-cepat menyelesaikan bagiannya. Gadis itu berencana mengunjungi Abelyn, memberi kejutan. Segala persiapan telah usai. Agar mobilisasinya lancar, Adiba meminjam motor salah seorang teman.
"Dek, pelan-pelan! Airnya muncrat ke mana-mana."
"Eh, i-iya, Kak. Maaf." Adiba memperkecil tekanannya pada ujung selang, guna mengurangi debit air. Bersama salah seorang pengurus rumah binaan, dia mendapat bagian di kamar mandi lantai dua.
"Mikirin apa, hm? Tumben tergesa-gesa gitu."
Adiba menyengir. "Enggak, kok."
Mereka tetap melanjutkan aktivitas. Adiba berusaha untuk fokus. Tak ada lagi pembicaraan setelahnya.
Adiba bergumam pelan, "Santai, hari masih panjang."
Hidup di kontrakan semi asrama pada faktanya harus punya kesabaran ekstra. Budaya mengantre sangat ketat. Adiba lupa mengambil nomor antrean penggunaan kamar mandi paling awal. Alhasil, dia baru bisa berangkat saat sang surya semakin merangkak naik.
*
Abelyn menatap hidangan di atas meja. Sedikit takjub. Baru tahu kalau suaminya pintar memasak.
Tanpa banyak bicara, perempuan itu bergegas mengambil segala jenis makanan, menempatkannya dalam satu wadah. Lalu melahap secara perlahan, menilai rasanya.
"Enak?"
"Lumayan."
Alvarendra mendengus geli. Dia pun menyusul Abelyn. Mereka makan dalam hening.
Tak cukup tiga puluh menit mereka sudah menyelesaikan sesi sarapan. Abelyn langsung beralih pada segelas cokelat, menenggak isinya hingga tandas. Seluruh gerak-gerik Abelyn tak luput dari pengamatan Alvarendra.
"Kenyang?"
Abelyn mengangguk singkat, sambil terus menjilat bibirnya, menghapus sisa-sisa cokelat. Tak peduli meski Alvarendra mengamatinya sedemikian rupa. Masa bodoh akan apa yang dipikirkan lelaki itu.
"Ada kegiatan setelah ini?"
Abelyn menggeleng. Dia sedang dalam mode malas. Siklus bulanan membuatnya enggan terlalu banyak bergerak, apalagi Alvarendra mengambil alih seluruh pekerjaan. Tak ada alasan untuk menjauhi kasur. Jarang-jarang dia bisa tidur seharian.
"Gimana tugas kuliahmu?"
"Ada Adiba yang bantuin."
Alvarendra mengerutkan kening. "Adiba sering nyelesaiin tugasmu?"
"Mungkin."
Alvarendra mengembuskan napas pendek. "Kalau gitu, aku minta tolong, boleh?"
"Apa?"
"Beliin cokelat sama es krim. Di kulkas habis, tuh."
Abelyn menatap agak lama, lalu mendesah malas. Tanpa bicara apa-apa, dia segera bangkit. Memutar badan, menjauh.
"Dompetku ada di dalam tas!"
Abelyn melambaikan tangan, tanpa menoleh, di berkata, "Nggak butuh. Aku punya duit."
Alvarendra mendengus tipis. Salah satu bibirnya tertarik ke atas, sebelum raut mukanya berganti datar. Dia lantas membereskan peralatan makan, mengelap meja, serta mencuci piring kotor.
Sepeninggal sang istri, Alvarendra mulai menjalankan rencananya. Menyiapkan sebuah kejutan besar untuk Abelyn.
Lelaki itu mendekati pojok ruangan, mengangkat kardus berisi buku. Sebelum benar-benar berlalu, tak lupa membawa serta alat pemantik api bersamanya.
Alvarendra menghempaskan kardus ke tanah. Mengambil salah satu buku. Setelah itu, dia menumpahkan sampah dari pengki yang sengaja tidak dibuang. Lalu memantik korek, hendak membakar kardus tersebut. Seusai memastikan api menyala sempurna, dia berbalik, memasuki rumah.
*
Abelyn bergegas meninggalkan minimarket. Langkah-langkah kakinya bergerak cepat. Mentari pagi ini menyilaukan pandangan.
Sekitar lima menit, Abelyn sudah tiba di halaman rumah. Keningnya mengerut samar menemukan sisa-sisa pembakaran. Tak ingin berlama-lama di luar, dia memilih tetap lanjut.
Abelyn berbelok ke ruang tengah, tempat yang biasa dipakai bersantai. Benar saja, Alvarendra ada di sana. Terlihat asyik membaca sebuah buku.
Abelyn menaruh belanjaannya di atas meja bundar, menimbulkan suara, membuat Alvarendra menengadah. Mereka saling bertatapan. Lalu lengang selama sekian detik.
"Jangan bakar sampah sembarangan."
"Sengaja. Anggap aja kejutan. Hari ini ulang tahunmu, 'kan?" Alvarendra mengulum bibir, menahan senyum.
Abelyn menyorot malas. Bergeming.
Alvarendra mengangkat tangan kanan. "Ah, kamu kenal buku ini?"
Detik itu juga, tanpa aba-aba, muka Abelyn mendadak kaku. Itu buku miliknya. The Hitler Effect. "Kakak ke perpustakaan?"
"Hm, aku baru tahu kalau kamu ngoleksi ginian. Bacaan berbau psikologi." Alvarendra menunduk. Memandangi sampul buku. Seringai tipis terbit di bibirnya. "Belajar teknik memengaruhi orang, eh?"
Abelyn menelan ludah. "Seberapa buku yang udah Kakak baca?" tanyanya lamat-lamat.
Alvarendra mengusap dagu. "Entah, yang pasti aku nemuin hal-hal menarik. Karya penulis Triple A, misalnya?"
Abelyn melengos. Mengatupkan mulut rapat-rapat.
Alvarendra mundur, membebaskan kakinya dari kungkungan meja. Bergeser, memiringkan tubuh. Lantas menepuk-nepuk karpet di depannya. "Bel, sini, deh. Ada yang mau aku bicarain."
"Ogah." Belajar dari pengalaman. Alvarendra biasanya akan mengatakan sesuatu yang tak mengenakkan setelah memintanya mendekat seperti itu.
"Sini, Abel."
"Nggak, aku mau lanjut tidur."
"Silakan pergi kalau kamu pengen lihat buku ini terbakar."
Abelyn berhenti, mengembuskan napas kuat, menahan kesal. Tak punya pilihan kecuali menurut.
"Kakak mau apa?"
Alvarendra tertawa kecil. "Cuma ngobrol. Kenapa kamu kelihatan tegang?"
"Langsung aja. Nggak usah basa-basi." Abelyn menjawab dingin.
Alvarendra mengangguk singkat. "Apa tujuanmu ngoleksi novel menjijikkan semacam karya Triple A?"
Abelyn mendongak, menantang balik. Hatinya panas mendengar penghinaan tersebut. "Kenapa? Kakak nggak suka?"
"Banget, makanya semua karyanya aku bakar."
"Apa?"
"Kamu lihat bekas pembakaran di halaman? Kejutan. Itu novel-novel yang aku ambil dari perpustakaan."
"Kakak nggak mungkin berani!" Abelyn menggeleng, menolak percaya.
"Kenapa enggak? Kamu pikir aku bakal diam ngelihat novel nista gitu? Kontennya vulgar, adegan sex explisit, beberapa bahkan bernuansa incest. Kamu gila, hah?!" Alvarendra berteriak di depan muka Abelyn. Amarahnya meledak. Kepalanya terasa berdenyut. Dari kemarin dia berusaha menahan diri.
Abelyn mengerjap lambat. Tatapannya kosong. Terlihat linglung.
Berani sekali Alvarendra menghancurkan miliknya. Atas dasar apa? Bagaimana mungkin ada manusia selancang ini?
"Kakak mau tahu apa yang lebih gila?" Abelyn menyengir, terkesan aneh, seolah menyimpan aura negatif. "Aku adalah Triple A. Novel yang kata Kakak menjijikkan, itu karyaku, istrimu."
Alvarendra memicing, sorot matanya teramat tajam.
"Sekarang apa? Aku juga akan dibakar, huh?" tantang Abelyn. Kesal luar biasa. Dadanya bergemuruh. Semua karyanya, usahanya sejak merintis karir sebagai novelis, dihinakan begitu saja. Tidak dapat diterima.
"Mana ponsel dan laptopmu?"
"Hah?"
"Aku sita ponsel dan laptopmu."
"Kakak nggak bisa seenaknya!"
"Aku bisa, kamu harus nurut."
"Mimpi!" Abelyn sontak berdiri, namun pergelangan tangannya dicekal.
"Pilih mana? Kamu kasih baik-baik, aku cuma hapus hal-hal berbau vulgar. Atau, pakai paksaan, lalu kurusak secara fisik." Alvarendra mendesis.
"Lepas!" Abelyn menggerak-gerakkan tangannya, tetapi sayang, hal itu justru semakin menyakiti diri sendiri.
Emosi, tak kehabisan akal, Abelyn memanfaatkan tangannya yang bebas. Gerakannya amat gesit, memelesat, menyasar wajah manusia di depannya.
Alvarendra berkelit, tak kalah cepat, refleksnya bagus, tahu-tahu kedua tangan Abelyn telah terperangkap. Senyum miring andalannya terukir. "Ah, aku hampir lupa. Kata papamu, kamu jago karate?"
Abelyn memberontak, membuat urat-urat di dahi Alvarendra bermunculan. Sebal, lelaki itu menarik sang istri hingga menabrak dadanya. Tanpa membuang waktu, dia langsung melingkarkan lengan mengelilingi tubuh Abelyn, mendekap sangat erat.
"Jangan ngelawan, Abel. Aku emang nggak belajar teknik bela diri, tapi lumayan ahli berantem pakai cara-cara brutal."
Abelyn bernapas susah payah. Aneka perasaan bergumul, membesar, seolah ingin meledak. Sadar kesulitannya, Abelyn memutuskan berhenti sejenak, pasrah. Dahinya bertumpu pada bahu kiri Alvarendra.
-TBC-
Cie, digantung. Sampai ketemu besok, yak. Insya Allah. Nggak usah ditagih, nggak akan double up. 😈
Jangan protes kependekan, ini udah 1,46k, lho.
Ramaikan, guys :3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top