8.2 Kejutan
Bu Riska memandang bingung, tanpa ada kabar, menantunya tiba-tiba berkunjung. Dia baru balik dari toko, mengontrol pegawainya.
"Abel mana?"
Alvarendra tersenyum simpul, menyalami mama mertuanya takzim. "Di rumah, Ma. Al hanya mampir sebentar. Mau ke perpustakaan pribadi Abel, boleh?"
"Ayo masuk. Kamu pernah diajak ke sana?"
Alvarendra melangkah di sisi Bu Riska. "Belum, Ma. Dapat informasi dari Adiba. Al mau mencari tahu jenis bacaan favorit Abel. Ada rencana beli buku baru untuk kado ulang tahunnya."
"Oh, astaga! Mama lupa! Besok, ya?" Bu Riska berseru, seolah baru tersadar.
Alvarendra hanya mengulum senyum, masih mengiringi Bu Riska.
"Kami jarang merayakan ulang tahun. Biasanya sekadar bertukar kado. Ah, begini saja, Minggu malam kalian menginap di sini? Ibu akan buatkan makanan enak. Ajak Adiba juga, bagaimana?"
"Al coba diskusikan dengan mereka, Ma."
Bu Riska manggut-manggut, dia menuntun Alvarendra ke kamar Abelyn. Setiba di dalam, mereka mendekati lemari pakaian. Ada tiga pintu berbeda. Bu Riska membuka bagian tengah.
Alvarendra mengamati dengan saksama. Bagaimana Bu Riska menyibak gantungan pakaian, menekan dinding lemari, memberi dorongan, lalu mendadak muncul getaran.
Bola mata Alvarendra melebar, takjub, dibuat terpana. Ternyata ada sebuah pintu rahasia, menghubungkan kamar ini dengan ruangan di sisi lain. Alvarendra tidak sanggup menahan decak kagum. Teringat serial fantasi yang pernah booming beberapa tahun silam.
"Nah, silakan menjelajah. Jangan khawatir. Pintu ini hanya terhubung ke perpustakaan Abel." Bu Riska menarik diri, agak menjauh.
Alvarendra mengerjap. "Ada ruang rahasia lain?"
Bu Riska tertawa kecil, lalu menggeleng. "Abel sendiri yang minta dibuatkan ruangan begini sewaktu kelas satu SMA."
"Al paham. Terima kasih, Ma."
"Ya sudah, Mama ke dapur. Kalau butuh sesuatu, sampaikan saja. Jangan sungkan."
Sepeninggal Bu Riska, Alvarendra langsung menerobos masuk. Ruangan tersebut tidak terlalu luas, kosong melompong. Ada sebuah tangga melingkar di salah satu pojok. Dugaannya, ini hanya tempat singgah.
Alvarendra menapak hati-hati. Tak sampai sepuluh undakan, dia menemukan pintu lagi. Tangannya memutar kenop, dengus tipis tak tertahankan begitu melihat situasi di dalam sana.
Alvarendra mengitarkan pandangan. Luas, hampir menyamai kamar asli istrinya. Tidak pantas dibandingkan dengan tempat yang mereka tinggali sekarang. Tak heran Abelyn sering menggampangkan perkara uang, ringan betul meminta barang-barang mahal.
Lampu dibiarkan tetap menyala, cerah. Sebuah kasur bulu, lengkap dengan bantal-guling dan selimut, terhampar di tengah ruangan. Rak-rak buku di tiga sisi berbeda, menempel pada dinding. Sisi lainnya berisi seperangkat alat elektronik. Komputer, televisi, LCD, bahkan ada layar proyektor, lengkap dengan penyangga.
Alvarendra mendesah panjang. Bodohnya tak mempertanyakan letak koleksi novel Abelyn. Abai terhadap informasi dari Adiba. Sayang sekali, dia terlambat mengetahui ruangan sebagus ini.
Perhatian Alvarendra berhenti di satu titik, pada rak gantung, di dekat jendela besar. Vas tinggi terbuat dari keramik menjadi penghias di sudut sana. Sebuah kursi malas menghadap ke luar.
Alvarendra mendekat. Buku-buku di rak tersebut memberi kesan penjagaan, seolah sengaja diletakkan terpisah. Mungkin itu koleksi paling favorit sang pemilik. Ada sekitar sepuluh buah.
Mendongak, tangannya terulur, memindai cepat, semua berasal dari satu nama, Triple A.
Alvarendra mengambil salah satu buku, mengamati deskripsi di belakang sampul. Alisnya terangkat, menyeringai tipis.
Lelaki itu berpindah ke kursi malas, hendak membaca sekilas. Lembar demi lembar terlewati tanpa terasa. Semula biasa saja, lama-lama lipatan di dahinya bermunculan, bibirnya mengatup rapat, memegang sampul buku erat-erat.
Alvarendra bangkit, buru-buru mengangkut seluruh buku dari rak gantung, melakukan pemindaian, membaca secara saksama.
Lama-lama, mukanya memucat, desir tak nyaman menyusup di hati, menguak kembali bayangan buruk di masa lalu. Ada desakan kuat dari dalam perut, seolah bergejolak, Alvarendra spontan mengatupkan mulut.
Lelaki itu berlari tergesa, menuruni tangga, menahan sesuatu di mulutnya. Keluar dari sana, dia langsung menerobos kamar mandi. Memuntahkan cairan lendir.
Alvarendra berkumur, membasuh wajah. Dia mendongak, memandang cermin, irisnya seakan menggelap. "Aku pasti bakalan bikin kejutan luar biasa buat kamu, Bebel."
Setelah merasa agak baikan, Alvarendra menuju ke dapur, hendak menemui mama mertuanya.
Bu Riska yang sedang membersihkan meja, tersenyum begitu melihat kehadiran Alvarendra.
"Ma, Al izin bawa beberapa buku. Mungkin Abel butuh, kasihan nggak ada hiburan di sana."
"Silakan. Itu buku-buku istrimu. Ada yang bisa Mama bantu?"
"Tolong jangan kabari Abel. Ini akan jadi kejutan." Alvarendra tersenyum manis, matanya menyipit, lesung di pipinya muncul samar-samar.
"Baiklah. Ah, Mama hampir lupa. Perhatikan jam. Ruangan itu kedap suara, azan nggak terdengar."
Alvarendra masih mempertahankan senyumnya. "Mama punya kardus bekas untuk tempat buku?"
Siang itu, Alvarendra menghabiskan waktu demi menyusuri perpustakaan. Jeda sesaat hanya untuk salat dan makan, dia berhasil menemukan beragam bacaan, hingga membuatnya merasa selangkah lebih dekat dengan istrinya.
*
Abelyn melirik penunjuk waktu. Sudah pukul satu siang. Saatnya mengisi perut.
Perempuan itu bangkit, keluar dari kamar, menuju ke dapur. Gerak-geriknya cekatan, dia membuka tudung saji, menghidupkan kompor gas, hendak menghangatkan makanan secara manual.
Setelah menunggu beberapa menit, berkutat dengan peralatan makan, segalanya telah siap. Abelyn menarik kursi, duduk manis, menggulung lengan baju terlebih dahulu, lantas mengecap hasil karyanya.
Benar-benar pemandangan ironi, mengingat sekarang hari libar, dengan kondisi sudah menikah, seharusnya minimal ada keberadaan seorang suami di sana. Namun, Abelyn pada dasarnya memang masa bodoh. Dia bahkan enggan memastikan ke mana tujuan Alvarendra saat lelaki itu pamit. Tidak penting. Bukan urusannya.
Tak lama, piring Abelyn bersih, tak ada satu butir pun yang tersisa. Bangkit lagi. Segalanya berlangsung cepat. Minum, merapikan bekas makan, lalu kembali ke kamar, berkutat dengan laptop kesayangan.
Agendanya berubah. Dia butuh jeda. Tampaknya pilihan bagus untuk menonton anime.
*
Adiba tersenyum lebar, mukanya cerah. Jari-jarinya bergerak di atas kertas, menulis sesuatu.
Sepeninggal Alvarendra, dia langsung merapikan barang belanjaan. Tak sabar belajar membuat kue. Sayang, temannya sedang keluar, ada urusan mendadak. Baru bisa balik sore.
Tak kehabisan akal, Adiba memutuskan menambah hadiah untuk sahabatnya. Mulailah aktivitas mengutak-atik laptop, memeriksa folder gambar satu per satu, mencari potret mereka sedari mahasiswa baru.
Tak lupa Adiba menuangkan perasaannya dalam kata-kata. Dia memang tak ragu mengungkap cinta kepada orang-orang terkasih, sahabat dan keluarga.
Adiba memutar otak, berusaha menyusun kalimat istimewa, murni dari hati, bukan asal comot di internet. Cukup sulit.
Tetap bersemangat. Adiba penasaran bagaimana ekspresi sahabatnya saat menerima pemberiannya. Semoga Abelyn menunjukkan sedikit emosi positif.
Adiba menarik napas dalam-dalam, menguatkan hati. Abelyn pantas menerima hadiah.
*
Abelyn baru selesai mandi. Badannya terasa segar. Lelah seharian duduk di depan laptop.
Hari sudah sore, Alvarendra belum menampakkan mukanya. Sepanjang waktu ini mereka tak saling bertukar kabar.
Bosan di rumah, Abelyn memutuskan untuk keluar. Mencari jajanan pinggiran, sekaligus jalan-jalan santai.
Abelyn mendongak. Sinar jingga merekah di angkasa, memudarkan birunya langit, sungguh indah.
Langkah-langkah kaki Abelyn mengantarkannya pada penjual cilok. Sekelompok bocah mengantre bersamanya, berbisik, saling berebut.
Abelyn mengerutkan kening samar, agak terganggu. Sebuah ide muncul di benaknya.
"Hei, kalian mau tukaran antrean?" tukas Abelyn sambil menepuk pundak salah seorang di antara mereka. Anak-anak itu kompak menoleh, memandang bingung. "Aku bakal bayar cilok kalian, tapi gantian aku yang dapat duluan, gimana?"
Hasilnya tertebak, para bocah bersorak, Abelyn menyengir. Bukan masalah kehilangan beberapa ribu rupiah. Anggap sebagai harga kenyamanan. Tak perlu mendengarkan suara berisik mereka.
"Makasih, lho! Sampean baik sekali! Sering-sering, ya, Mbak!" seru mereka ramai-ramai mengiringi kepergian perempuan itu.
Abelyn tak merespon, buru-buru menjauh, ingin segera menikmati jajanannya.
Tak cukup lima menit, Abelyn sudah berdiri di depan rumah. Diletakkannya sandal jepit pada rak, bergegas masuk, lantas menuju ke dapur.
"Sejak kapan?" tukas Abelyn, sedikit kaget menemukan keberadaan suaminya.
Alvarendra bangkit dari kursi, menaruh gelas ke wastafel. "Baru aja. Kamu dari mana?"
"Beli cilok. Kakak mau?" Abelyn mengangkat kantong kresek putih, membuktikan kalimatnya.
"Boleh."
Kening Abelyn mengernyit samar saat mendapati sebuah kardus di pojok ruangan. "Itu kardus apa?"
Alvarendra tersenyum simpul. "Buku-buku bekas."
Abelyn mengangguk singkat, tak merespon lagi. Dia sibuk memindahkan cilok ke piring, lalu menyerahkan garpu kepada Alvarendra. Mereka mengunyah dengan tenang.
"Sering makan jajanan gini?"
"Lumayan."
"Kamu biasanya ngapain kalau aku pergi?"
"Beres-beres rumah, nonton, tidur, suka-suka aku."
"Kamu nggak pengen nanya aku dari mana?"
Abelyn menengadah, menatap lurus. "Penting?"
Alvarendra mendengus geli. "Seandainya kamu jadi istri laki-laki lain, sifat cuekmu itu, rentan ngundang perselingkuhan, tahu?"
Abelyn mengedikkan bahu. Mengunyah lamat-lamat, memasang tampang masa bodoh.
Alvarendra menopang dagu pakai tangan kiri, menunduk, menusuk cilok kuat-kuat. "Besok kamu bisa santai. Aku yang bakalan ngerjain seluruh tugas rumah."
"Tumben."
Alvarendra mengulum bibir, tersenyum manis. Matanya menyipit, lesung tipis di pipi terbit. "Anggap sebagai dispensasi karena kamu udah berusaha keras selama ini. Makasih, Bebel."
Abelyn bergumam malas. Tak berniat merespon lagi, buang-buang tenaga. Sudah cukup merasa diuntungkan dalam hal ini. Lebih baik dia menyusun rencana untuk esok hari.
-TBC-
Apa ya kejutannya? 😈
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top