8.1 Kejutan

Alvarendra menahan geram, memilih menepi. Lelaki itu turun dari motor, melepaskan helm. Lelah berputar-putar tak tentu arah.

"Dek, tahu cara baca Maps?"

Adiba menatap takut-takut, menggaruk kepala, lalu menyengir. "Tahu, kok. Mungkin Maps-nya eror."

Alvarendra mengusap dahi, mengembuskan napas keras. Menyodorkan kunci. "Gantian, kamu bawa motor."

"Mas yakin?"

"Hm, seyakin kita bakalan nyasar ke mana-mana kalau ngebiarin kamu yang mandu jalan," sahut Alvarendra pedas sambil menarik ponsel dari tangan adiknya.

Adiba tersenyum masam. Tanpa banyak bicara, dia segera duduk di depan, mengambil alih kemudi.

"Kamu udah tinggal berapa lama di Malang, kenapa belum hafal jalan gini?" Alvarendra masih kesal.

"Ya, aku kan sering nebeng ke orang. Buat apa ngehafalin jalan. Lagian, Dinoyo luas, kali." Adiba menyalakan mesin, menengok ke kiri dan kanan, memastikan aman untuk menyeberang.

Roda bergerak, melaju sedang, bergabung dengan pengendara lain. Hasilnya mudah ditebak, tak butuh waktu lama, motor sudah terparkir rapi di depan sebuah toko.

Adiba menyodorkan tangan, meminta ponselnya kembali. Senyumnya tampak malu-malu. "Iya, iya, aku salah baca. Maaf."

Alvarendra mendesah pasrah. Mereka melangkah masuk. Seorang pramuniaga datang menghampiri. Adiba menyerahkan secarik kertas, mereka langsung dituntun ke lokasi barang.

Toko itu cenderung sempit. tetapi punya persediaan lumayan lengkap dan murah. Selain itu, kata teman Adiba, ini tidak penting sebetulnya, ada kasir beraura kalem, dengan sorot mata menenangkan.

Adiba tertawa sewaktu mendengarkan penjelasan penuh antusias. Bukan tentang toko, melainkan salah seorang kasir. Terduga pekerja paruh waktu, tak senantiasa muncul ketika temannya berkunjung, begitu katanya.

Sekitar tiga puluh menit mereka berkeliling, seluruh keperluan sudah terhempas ke dalam keranjang kecil, waktunya membayar.

Aroma bahan-bahan kue mengambang di udara. Mereka berbelok di antara deretan rak-rak tinggi, menuju kasir.

Langkah Adiba melambat, perawakan pemuda, yang sedang menghitung uang di meja kasir, sangat tidak asing. Bola matanya melebar, jarak semakin memendek, dia mendadak berhenti.

"Kenapa?" Alvarendra mengangkat wajah, mengalihkan perhatian dari ponsel.

"Ada yang bisa kami bantu lagi, Kak?" Pramuniaga ikut memandangnya.

Adiba menggeleng. Terlambat. Pandangan mereka bertemu sesaat, tak mungkin kabur sekarang.

Alvarendra mengikuti arah pandang Adiba. Pantas saja. Senyumnya terkembang, ini akan menarik.

Adiba melirik sang kakak, terlihat biasa saja. Apa dia tidak khawatir status mereka terbongkar?

Alvarendra cukup salut mendapati ketenangan Alan, tetap profesional, sesuai standar operasional prosedur yang berlaku. Walaupun sebenarnya dia tahu, Alan menatap mereka penasaran. Berbeda sekali dengan Adiba, yang justru bersikap kikuk.

Alvarendra menyentuh lengan Adiba, berusaha menyorot penuh cinta. "Dek, biar aku yang bayar."

"Ah, iya. Makasih, Mas."

Setelah melakukan transaksi, sepasang kakak-beradik itu berlalu, menuju pintu ke luar.

Setiba di tempat parkir, Adiba langsung mengajukan protes, keki. "Mas kok santai gitu?"

"Lho, emang kenapa? Kita nggak lagi di kampus. Kebetulan aja ketemu Alan di sini."

Adiba mengerutkan kening. Perasaannya saja, atau Alvarendra memang terlihat menahan senyum?

"Tunggu!"

Mereka kompak menoleh, senyum Alvarendra lolos, Adiba melebarkan bola mata.

Alan melangkah mendekati mereka, lalu berdehem, "Maaf sebelumnya, saya tahu ini terkesan lancang, tapi," jeda sesaat, menarik napas, "Anda dan Adiba ada hubungan tertentu?"

"Eh, kamu nggak pa-pa ninggalin meja kasir?" Adiba menyahut khawatir. Alvarendra masih menutup mulut, mengamati dalam diam.

"Ah, iya. Ini toko keluargaku. Pramuniaga barusan adikku. Dia yang gantiin."

Alvarendra pura-pura batuk, menarik perhatian. "Kalau saya bilang, kami suami-istri, kamu akan percaya?"

Dia menyaksikan langsung, begitu jelas, bagaimana raut muka Alan berubah masam, seolah menyembunyikan kecewa.

"Mas!" Adiba menarik ujung kemeja kakaknya.

Alvarendra terkekeh. "Bercanda. Kami saudara kandung. Jangan disebarkan ke kampus, oke?"

"H-huh?" Alan mengerjap, megusap tengkuk, diiringi helaan napas lega. "Baik, Pak."

"Tenang, Adiba single, tersedia bagi yang berniat komitmen."

Alan mengangguk santai, mengulum senyum, pembawaannya kembali seperti sedia kala. "Mengerti, Pak."

Adiba memilih diam. Bingung harus merespon seperti apa.

"Ya sudah, kami pamit. Ingat, rahasiakan. Kalau tersebar di kampus, kamu pelakunya!" Alvarendra menegaskan.

"Kalau boleh tahu, kenapa harus disembunyikan?"

Adiba berdehem, "Tahu sendiri gimana ganasnya teman-teman kita."

Alan manggut-manggut, lantas mengambil langkah mundur. "Silakan. Hati-hati, Pak, Adiba."

Alvarendra duduk di depan setir, Adiba menyusul di belakangnya. Tanpa banyak bicara lagi, usai mengucap salam, mereka berlalu, menjauh.

"Mas, mampir makan bakso, yuk!" Adiba berseru.

"Di mana?"

"Soekarno Hatta!"

"Tahu arahnya nggak? Awas kalau nyasar lagi!"

Adiba tertawa, Alvarendra mendengus geli. Tak ayal, motor pun melaju menembus kepadatan lalu lintas.

*

Berbeda dengan istri yang lain, Abelyn selalu bahagia saat suaminya sedang keluar. Dia bebas berbuat sesuka hati, menyalurkan hobinya di kala senggang.

Rumah terlihat rapi, wastafel dan tong sampah kosong melompong, lantai kinclong. Persiapan makan siang sudah tuntas, tinggal dipanaskan. Alvarendra bahkan menyempatkan diri mencuci pakaian sebelum pergi.

Abelyn mengembuskan napas pendek, memijat pangkal hidung, pegal. Terlalu lama menunduk, mengetik naskah.

Ide mengalir di kepala, sorot matanya kembali fokus, jemari Abelyn menari di atas papan ketik.

Setiap kata tertuang, kalimat terbentuk, paragraf terbentang, ada kilasan kehidupan pernikahannya yang terngiang di benak.

Abelyn tak sabar menanti respon pembaca kelak. Tanpa menghilangkan ciri khasnya, tema yang diangkat, gaya bercerita, penokohan, hampir semuanya melenceng dari kebiasaan. Sudah pasti. Inspirasinya bersumber dari kisah nyata.

Pertama kali Abelyn membebaskan diri dari yang namanya outline. Dia ingin tenggelam. Mengikuti alur hidupnya, menambahkan sentuhan sana-sini, lantas mendramatisir. Mungkin ini akan jadi naskah dengan waktu penyusunan terlama. Bukan berarti Abelyn vakum dari dunia literasi, saat ini dia tengah menggarap naskah di platform berbayar, serta bekerjasama dengan suatu penerbit.

Abelyn hanya butuh hiburan lain. Menemukan Alvarendra seperti oase di tengah padang gersang. Dia ingin bermain dengan huruf-huruf, menikmati tanpa beban, lepas dari tuntutan deadline.

Begitulah. Abelyn merasa berada di puncak mood-nya kini. Bergairah. Hingga pada suatu titik, kesadarannya tersentak, gerakannya terjeda, satu pertanyaan besar muncul di kepala: bagaimana kisah ini akan berakhir?

Hah!

Tidak, tidak. Jangan sekarang. Bahaya bila pikiran buruk merasuki otaknya. Dia masih ingin berlama-lama di depan layar, membuat cerita sebaik mungkin. Mumpung sang suami belum pulang!

Tarik napas dalam-dalam, keluarkan lewat mulut. Dia pasti bisa!

*

Adiba tergelak ringan, tangannya menepuk-nepuk pundak Alvarendra, seakan menguatkan, padahal niatnya mengejek.

"Jangan cuma ketawa! Kasih solusi dong!"

"Seriusan Abel ngomong gitu?"

"Hm, aku jadi bingung. Enaknya ngasih apa, ya?" Alvarendra baru saja menceritakan kejadian semalam. Tatkala dirinya menawarkan barang tertentu, tetapi Abelyn menolak mentah-mentah, dan justru menginginkan renovasi rumah.

"Udah pernah nawarin buku?" Adiba mengusap sudut matanya.

"Belum."

"Coba beliin buku. Itu barang kesukaannya."

Alvarendra memotong-motong pentol bakso pakai garpu. "Buku apa yang sering dia baca?"

"Novel."

"Maksudku, kisah tentang apa?"

Adiba menggeleng pelan. "Mas tahu sendiri, aku malas baca novel. Jadi, pas Abel cerita, aku nggak terlalu nyimak. Tanya aja ke orangnya langsung."

Alvarendra menggeleng. "Nanti kalau dia nolak lagi, aku bakalan kesal. Ada opsi lain? Nggak mungkin aku milih acak?"

"Jangan, kalau nggak sesuai selera, sayang uangnya." Adiba menyengir. "Coba cari referensi ke perpustakaan pribadinya."

Gerakan Alvarendra terhenti. "Abel punya perpus pribadi?"

"Huh? Mas baru tahu? Ah, mungkin Abel belum sempat ngajak ke sana."

Alvarendra manggut-manggut. "Kalau kamu pernah, harusnya tahu jenis bacaan Abel. Minimal ingat dikit."

Adiba menyeruput kuah bakso. "Cuma sekali. Waktu dia bilang isinya mayoritas novel, aku nggak berniat numpang baca. Keburu malas."

"Di mana emang perpusnya?"

"Di kamarnya. Mending Mas minta dianter Tante Riska, soalnya agak rumit."

Alvarendra menatap tertarik, penasaran. Dia berkunjung ke rumah mertuanya sesekali, tidak pernah menemukan adanya perpustakaan, apalagi di kamar istrinya. "Oke. Buruan makan! Habis nganter kamu pulang, aku langsung mampir ke rumah mertua."

"Cie, mertua!"

Alvarendra menyorot jenaka, lalu mengangguk mantap. "Hm, kamu juga bakalan punya mertua suatu saat nanti. Pemilik toko bahan-bahan kue, misalnya?"

Adiba tersedak, makanannya sedikit menyembur, suara batuknya agak kencang.

Alvarendra terkekeh renyah, sigap menggeser botol mineral. Sembari menepuk-nepuk pundak adiknya, dia berkata, "Nggak usah grogi, kali."

-TBC-


Al iseng banget, yak😈

Kita santai-santai dulu, ya. Siap-siap gaes, bentar lagi mau nanjak, nih!

Ada yang pernah ngalamin kayak Adiba? Salah baca Maps, padahal sebelum2nya bisa aja 😥

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top