7.1 Main

Abelyn memutar bola mata, dahinya berkerut samar. Sudut bibirnya terangkat. Waktunya pembalasan. "Penyesalan."

Alvarendra mengerutkan kening. Menerka-nerka, apa lagi tujuan perempuan ini? "Terserahmu, Bebel."

"Kakak punya penyesalan?"

"Punya, kamu?" Alvarendra menyahut kalem.

"Nggak." Abelyn menyengir. Kena. Dengan begini, dia tidak akan rugi apa pun jenis pertanyaannya. Abelyn sengaja mengajukan kata kunci yang tidak terikat dengan dirinya. "Apa penyesalan terbesar Kakak?"

Alvarendra termenung, pandangannya menerawang. Tentu banyak hal yang disesali manusia dalam hidup mereka. Abelyn saja yang aneh, atau mungkin perempuan itu terlalu abai akan masa lalunya.

"Bapak keburu meninggal, sedangkan aku belum sempat minta maaf." Alvarendra menyahut getir, gurat kesedihan terpancar di bola mata. Pelan, lelaki itu menarik napas, lalu mengulum seutas senyum. "Jadi, Bel, mumpung orang tuamu masih hidup, jadilah anak yang patuh. Satu, itu hukumnya wajib selagi nggak nyimpang dari ajaran Islam. Dua, balas budi. Mereka rela ngelakuin segalanya buat si anak."

Abelyn melengos. Kenapa mendadak berubah jadi sesi renungan begini?

Hah!

Biarlah. Setidaknya Abelyn punya peluang bertanya tanpa khawatir hal itu berbalik padanya.

"Aku nggak punya penyesalan. Jadi, sesi kali ini mirip wawancara," tukas Abelyn santai, tetapi sarat akan kepuasan.

Alvarendra manggut-manggut. Gurat sedih di wajahnya seakan lenyap. Bola matanya kini berkilat cerdas. "Oke."

"Kenapa Kakak nyesal? Bukannya kematian hal lumrah?"

"Bapak sering marahin aku waktu kecil. Kadang dipukul. Aku nggak pernah benar di matanya. Hm, saat itu, aku emang bandel banget. Suka bikin pelanggaran. Kabur kalau disuruh ke masjid, malas belajar, suka berantem sama teman. Jadi, ya, gitulah. Pas lihat jenazah bapak, aku baru nyadar kesalahanku." Alvarendra menarik napas panjang. Sebetulnya, dia sudah mampu menerima, tetapi masih saja tersisa perih di dada.

"Kenapa Kakak bandel?"

Alvarendra mendesah pelan. Setelah usianya lebih dewasa, saat bapaknya telah meninggal, dia baru menyadari semua alasan dibalik tingkah kekanak-kanakannya dahulu. "Kamu tahu, perlakuan Bapak ke aku dan Adiba beda. Beliau keras padaku, tapi lemah lembut pada adikku. Kesalahanku sangat jarang ditoleransi. Selain itu, aku dipaksa diam saat berada di rumah, nggak ada kesempatan buat ngebantah. Berbuat onar di luar pada akhirnya jadi pelampiasan emosi."

"Oh, kupikir Kakak udah saleh dari kecil," komentar Abelyn.

Ternyata benar, memang ada luka yang tertinggal setelah kepergian bapak. Pantas Adiba terlihat sedih kala itu. Sepertinya mereka punya penyesalan masing-masing.

Alvarendra mengangkat salah satu alisnya. "Kenapa mikir gitu?"

"Aku belum pernah dengar komentar buruk mengenai Kakak. Selain itu, kata Adiba, Kak Al udah rutin salat jamaah di masjid dari kecil?"

Alvarendra mendesah berat. "Setelah bapak meninggal, hidupku berubah. Aku berusaha jadi anak saleh. Nggak tega ngerepotin ibu. Bukan berarti aku sebaik anggapan orang. Allah yang nutup aib-aibku."

Abelyn mendengarkan secara saksama, mencatat baik-baik dalam ingatan. Tidak ada manusia yang sempurna. Alvarendra mengakui sendiri kekurangannya. Hal tersebut justru membuatnya penasaran mengenai alpa lelaki itu. "Apa emang aib Kakak?"

Dahi Alvarendra terlipat, keningnya mengernyit, menyorot aneh. "Rahasia, lah. Kenapa kamu jadi pengen tahu aib orang? Kurang kerjaan banget. Ck, gini, nih, proyeksi muda-mudi zaman sekarang. Punya aib bukannya disembunyiin, malah diumbar-umbar. Maksiat dianggap implementasi jadi diri sendiri, giliran orang alim dibilang sok suci. Miris. Itu pentinganya belajar agama, biar nggak salah arah."

"Kenapa tiba-tiba ceramah?"

"Aku belum punya kesempatan nanya balik ke kamu, mending aku ceramahin." Alvarendra tertawa kecil.

Abelyn memasang tampang datar. "Dasar licik."

"Cerdik, bukan licik. Tahu bedanya, 'kan?" Alvarendra mengangkat salah satu sudut bibirnya, meninggalkan kesan pongah.

"Terserah Kakak," sahut Abelyn malas.

Alvarendra mengacak-acak puncak kepala istrinya sambil tersenyum kecil. "Udahan wawancaranya? Waktunya ke kamar?"

Abelyn menahan pergelangan suaminya, telapak tangan lelaki itu tetap di puncak kepalanya. Pandangan Abelyn lurus. "Aku masih punya pertanyaan."

"Cukup buat malam ini. Aku udah ngejawab rasa ingin tahumu. Nah, sekarang giliran kamu yang ngabulin permintaanku." Alvarendra mengedipkan mata.

Abelyn berdecak tipis. Sudah dia duga. "Cuma satu pertanyaan lagi. Kalau Kakak nolak, ya udah. Aku benaran tidur. Nggak mau diganggu."

"Oke."

"Apa Kakak pernah nyesal karena jadi orang baik-baik?"

"Hah?"

Abelyn menelan ludah. "Maksudku, Kak Al dibesarin dalam keluarga yang fakih agama. Udah dicekoki nilai-nilai Islam sejak kecil. Apa Kakak tulus ngejalanin semua itu? Bukan cuma sekadar kebiasaan atau terpaksa? Nggak ngerasa terkekang? Nggak pernah kepikiran mau ngelanggar?"

Alvarendra menurunkan pergelangan tangan, memegang pundak Abelyn, menghadapkan perempuan itu ke arahnya. Dia mengikis jarak di antara mereka, lalu beralih menangkup kedua pipi sang istri. Pandangannya lurus, mengunci manik mata Abelyn. "Apa tujuanmu nanya gitu?"

Abelyn menarik napas pendek. Sebisa mungkin terlihat biasa. Kesempatan bagus ada di depan mata. "Terus terang, aku nggak percaya dengan profil sebagus Kakak di era modern gini. Setiap orang punya sisi gelap. Banyak yang terlihat saleh di luar, tapi aslinya bobrok. Modal ganteng dikit, udah hobi mainin perempuan. Kalau yang masih ingat dosa, pakai cara poligami. Tujuannya sama, buat nyalurin hasrat seksual.

"Lihat diri Kakak, modalnya bukan cuma tampang. Perfect. Masa nggak pernah ngelakuin hal-hal terlarang? Kalau pun enggak, setelah nikah, ada niatan buat poligami? Apalagi, istri Kakak cuma perempuan biasa banget macam aku."

Lega, seolah bebannya terangkat. Pertanyaan yang menancap kuat dalam benak telah terucap. Abelyn butuh mengamankan posisi. Seandainya Alvarendra sungguh berniat poligami, dia akan menuntut cerai. Enggan berbagi. Enak sekali jadi si suami. Suntuk sama istri pertama, pindah ke istri yang lain.

Hah!

Alvarendra menusuk-nusuk pipi Abelyn pakai telunjuk kanan, kenyal-kenyal. Dia suka. "Hm, kamu benaran kepo sama aibku. Baiklah, aku kasih tahu satu hal, mau?" Alvarendra mendekatkan mulutnya ke telinga sang istri. "Sebelum nikah, aku emang udah pernah lihat tubuh polos perempuan."

"Di mimpi," sahut Abelyn datar.

Alvarendra mendengus geli. "Itu nggak kehitung."

Abelyn mencibir dalam hati. "Adiba waktu masih kecil."

"Perempuan dewasa, Bebel. Hm, tapi ibuku emang ketat masalah ginian. Setelah Adiba masuk SD, aku nggak pernah lagi ngelihat auratnya ngelewatin batas. Cuma kepala sampai leher, betis ke bawah, dan lengan. Tempat tidur kami bahkan dipisah.

"Setelah pemahamanku lebih matang, aku baru tahu kalau perlakuan tersebut semacam bentuk penjagaan. Islam sebetulnya punya aturan rinci seputar pergaulan kalau aja kamu mau belajar." Alvarendra menerangkan sambil memperbaiki posisi.

"Ekstrem."

Alvarendra tersenyum kecut, tangannya terkepal, sorot matanya tampak getir. "Nggak jarang tindak asusila bermula dari rumah. Coba cek data statistik pelaku pelecehan seksual, betapa banyak yang dilakuin oleh anggota keluarga."

Abelyn menyadari perubahan mimik muka suaminya, tetapi memilih abai. "Kalau gitu, lewat blue film?"

"Aku belum pernah nonton film gituan. Nggak guna, dosa pula."

Abelyn menggeleng prihatin. Kebohongan Alvarendra sudah keterlaluan. "Pencitraan boleh, tapi jangan ngaco. Kalau belum pernah, kenapa nyambung pas aku pakai istilah blue film?"

"Teman-teman kuliahku kadang bercanda pakai istilah itu. Mereka cengengesan kayak orang bodoh. Bikin aku penasaran dengan artinya. Tinggal googling, nggak harus nonton, 'kan?"

"Kakak nggak normal."

"Hei, kamu berani ngeraguin kenormalanku?"

"Bukan gitu. Maksudku," jeda sesaat. Abelyn merasa kehilangan kata-kata, "mana ada laki-laki yang nggak nonton film gituan?"

"Banyak. Mereka yang hidup sebelum kamera ditemuin, tentu nggak pernah nonton." Alvarendra tertawa kecil. "Lagian, apa pentingnya? Ck, aku cukup salut sama kinerja tim marketing industri pornografi. Mereka berhasil ngebentuk opini umum seolah blue film adalah tontonan wajib, khususnya bagi laki-laki. Hebat. Andai kita, para pemuda muslim, segetol itu dalam belajar agama dan berdakwah, mungkin Peradaban Islam udah tegak dari dulu."

Abelyn melengos. Lihat? Bahkan dari pembahasan industri pronografi sekalipun, dia punya ide untuk menyinggung perihal agama. Suaminya memang super sekali.

Abelyn mengembuskan napas singkat. Jika benar adanya pengakuan tersebut, pantas saja Alvarendra sering hilang kendali saat mereka berduaan. Dia sudah menahan diri dalam waktu yang cukup lama. Entah harus salut, atau malah kasihan. Abelyn jadi bingung.

-TBC-

Kepo? Mau aku doble up? Spam komen di sini! 😈

Yang menantikan Abelyn berkomentar "imut". Maaf, belum waktunya. Karena ... ada sesuatu dibalik kata itu. (Spoiler) Muehehe~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top