6. Bincang
Sudah lima hari berlalu sejak mereka resmi pindah rumah. Abelyn berusaha menyesuaikan diri dengan tempat tinggal barunya. Banyak kemudahan yang tidak dia dapatkan di sini. Hidupnya mendadak terlampau susah.
Tidak ada akses wi-fi, murni mengandalkan kuota internet. Ruangannya cenderung sempit, tidak seluas kamar pribadinya. Abelyn pikir bukan masalah karena dia pernah menginap beberapa kali. Namun, ternyata rasanya berbeda total dengan tinggal selamanya.
Tidak ada AC, hanya mengandalkan penyejuk serupa kipas angin. Abelyn gerah. Tidak tersedia mesin cuci. Dia harus terbiasa memakai cara manual.
Karpet alas duduk mereka tak selembut koleksi mamanya. Abelyn khawatir akan gatal-gatal bila nekat berbaring. Jangan sampai kulitnya iritasi hanya karena hal konyol.
Alvarendra menutup laptop. Mengangkat wajah, memandang Abelyn lurus-lurus. Mereka sedang mengerjakan sesuatu di laptop masing-masing. Meja bundar berkaki rendah menjadi pemisah. Mereka duduk saling berhadapan.
"Kamu kenapa? Dari tadi mendesah mulu. Kayak orang susah."
"Gerah," sahut Abelyn datar.
"Mau es krim? Ada di kulkas."
"Kak, ayo pasang AC. Kipas angin nggak mempan buat jadi penyejuk seluruh ruangan."
"Nggak, hemat biaya listrik." Alvarendra menggeser laptop, menumpu siku kanannya di atas meja, lalu bertopang dagu.
Abelyn membalas tatapan Alvarendra. "Wi-fi kalau gitu."
"Nggak. Mahal biaya masang, ditambah tagihan bulanan. Belum lagi kalau ada trouble, repot. Lagian, kita cuma tinggal berdua. Buang-buang duit. Mending beli paketan internet. Mau aku rekomendasiin kartu perdana yang murah meriah?"
Abelyn menggeleng prihatin. Ternyata suaminya perhitungan sekali. "Gimana kalau mesin cuci? Aku capek kalau harus nyuci manual terus, Kak."
"Hemat listrik. Harganya juga lumayan mahal. Tabunganku bisa dipakai buat kepentingan lain. Ah, biar nggak capek, jangan numpuk-numpuk pakaian kotor. Dua atau tiga hari sekali kalau mau nyuci. Lagian, aku juga ngebantuin kamu." Alvarendra menyahut santai.
Abelyn menarik napas pelan. Negosiasi terakhir. Tangannya bergerak menepuk-nepuk lantai. "Gimana dengan karpet baru? Ini terlalu kasar. Rentan iritasi kalau dipakai buat tiduran. Masa Kakak tega biarin kulitku bentol-bentol?"
Alvarendra mengamati raut muka Abelyn, lalu tersenyum geli. "Aku dan Adiba sering tiduran di sini. Kulit kami baik-baik aja, tuh."
Abelyn menunduk, menjilat bibirnya. Mensugesti diri agar tetap tenang. Jangan sampai citra yang dia bangun selama ini runtuh hanya karena menghadapi suami perhitungan.
Tarik napas dalam-dalam, keluarkan lewat mulut. Abelyn mendongak, tatapannya lurus ke arah Alvarendra. "Ini namanya bukan lagi hemat, tapi pelit."
Alvarendra mengedik tak acuh. Dia menegakkan punggung sembari bersedekap. "Terserah mau mikir kayak apa, tapi aku ngelakuin ini buat kebaikan kita juga."
Abelyn memandang remeh. Gelegak di dada tak lagi mampu dibendung. Kesal. Seumur hidup, kebutuhannya selalu terpenuhi, lalu dunianya mendadak susah setelah menikah. Tidak dapat diterima. "Permintaanku barusan bukan sesuatu yang mewah. Lazim ada dalam rumah tangga. Apa tabungan Kakak nggak cukup? Aku bisa bantu kalau gitu."
Alvarendra memicing. "Maksudmu?"
Dagu Abelyn terangkat, terkesan pongah. "Di rumahku nggak ada pembantu. Kami yang ngatasin seluruhnya. Aku dilatih mandiri. Mama sengaja beli fasilitas macam-macam supaya mudah nyelesaiian kerjaan lewat bantuan mesin. Aku digaji setiap bulan. Boleh dikata, aku asisten beliau.
"Selama ini, aku nggak pakai barang-barang branded karena terlalu mencolok, rentan narik perhatian. Bukan berarti hidupku susah. Papa rutin ngasih uang jajan, gratis tanpa pamrih. Kalau digabung seluruh pemberian mereka, saldo di rekeningku lumayan banyak."
"Ternyata gitu. Aku paham. Kita sama-sama rajin nabung. Apa perlu buka rekening baru buat nyatuin uang kita?" Alvarendra tersenyum simpul.
Abelyn mengernyitkan dahi samar. "Maksudku gini, duit Kakak nggak cukup, 'kan? Hemat itu cuma alasan. Aku bersedia menuhin permintaanku barusan, pakai uang pribadi."
Bunyi meja digebrak. Alvarendra menyorot tajam, raut mukanya geram. "Apa kamu bilang?"
Abelyn tak gentar. Agak terkejut, tetapi mampu menguasai diri. "Kenapa marah? Niatku baik."
"Niat baik apaan?! Jelas-jelas kamu ngeremehin!"
"Aku cuma bicara fakta," sahut Abelyn cuek.
"Fakta kalau ekonomi keluargamu lebih mampu dari keluargaku, gitu?"
"Bapak udah meninggal, otomatis Kak Al jadi tulang punggung keluarga. Ibu dan Adiba termasuk tanggung jawabmu juga. Kita jelas beda. Orang tuaku lengkap. Dua-duanya bekerja. Itu fakta yang nggak bisa dimungkiri."
Alvarendra mengepalkan tangan kuat-kuat, rahangnya mengeras. "Jadi, cuma karena keluargamu lebih kaya, kamu ngerasa berhak memimpin dalam rumah tangga kita?"
Abelyn mendesah. "Bukan gitu. Aku berniat ngebantu, kenapa Kakak tersinggung?"
"Yang aku tangkap, kamu ngerendahin aku dan keluargaku. Percuma kaya, tapi moralnya jongkok." Alvarendra bangkit, berdiri menjulang di depan Abelyn.
"Kakak salah paham." Abelyn berkata tenang.
"Cukup. Pembahasan ini selesai. Aku yang megang keputusan. Kamu harus ngebiasain diri buat hidup seadanya mulai sekarang." Alvarendra berlalu, melenggang masuk ke dalam kamar, ditutup dengan debaman pintu yang lumayan kencang.
Abelyn termenung. Tertunduk, menatap keyboard laptop. Sorot matanya hampa. Tak tersirat apa-apa.
*
Lengang. Ini akhir pekan paling dingin yang pernah ada. Kejadian semalam masih melekat kuat dalam ingatan.
Mereka ada di meja makan yang sama, tetapi rasanya seperti terpisah benua. Alvarendra masih tersinggung, Abelyn kian bingung. Mereka tak banyak bicara. Percis seperti dua orang asing yang kebetulan tinggal serumah.
Pernikahan mereka baru genap seminggu, tetapi persoalan tak mampu terelakkan. Saling tak acuh, hanya bersuara saat benar-benar butuh.
Abelyn tak paham. Dia hanya menawarkan bantuan, lelaki itu tiba-tiba marah. Menuduhnya macam-macam.
Sungguh, tidak sekalipun Abelyn memandang seseorang dari status ekonomi. Jika memang begitu, tentulah dia akan memilih berteman dengan kawanan Milda di kampus.
Sebetulnya, Abelyn sudah terbiasa akan situasi hening. Dia memang pendiam pada dasarnya. Hanya saja, ada rasa tak nyaman mengetuk-ngetuk dada, seakan minta dilepaskan.
Bagaimanapun situasinya, mereka akan melewati hari-hari bersama, Abelyn enggan terjebak dalam kondisi semacam ini. Demi ketenangan pribadi, agar hidupnya tenteram, Abelyn akan mengurai masalah.
"Kak Al," panggil Abelyn.
"Hm."
"Kenapa Kakak tersinggung semalam?" Jangan berpikir dia akan berbasa-basi. Bukan gayanya.
"Pikir sendiri."
"Kakak udah sepakat untuk ngejawab apa pun pertanyaanku setelah kita menikah." Abelyn mengunyah nasi lamat-lamat.
"Barusan udah aku jawab."
"Emang, tapi nggak nyelesaiin persoalan. Aku nggak paham. Kenapa Kakak tersinggung? Apa salahnya nawarin bantuan buat suami sendiri?"
"Salah karena aku nggak butuh bantuanmu," sahut Alvarendra sadis.
Abelyn mendesah panjang. Kecurigaannya terbukti. Alvarendra tak sesempurna yang tampak di depan umum. Gede gengsi, pemarah, dan menyebalkan.
Apa kata ibu mertuanya dulu? Menurut saja selagi tidak melanggar perintah Allah?
Big no! Ini namanya penindasan. Yang benar saja!
"Ya udah, aku emang nggak berguna di matamu. Pasti Kakak kecewa gara-gara berjodoh denganku. Ekspektasi orang-orang benar, harusnya pasanganmu perfect, bukan gadis rata-rata kayak aku."
Alvarendra mendongak. Terheran-heran. "Kenapa topiknya jadi ke mana-mana? Apa pula kaitannya dengan ekspektasi orang lain?"
Abelyn menunduk, mengeluarkan aura seputus asa mungkin. Alvarendra berbeda, dia harus memakai cara-cara yang lebih licik untuk menaklukkan lelaki itu. "Ya, aku emang useless. Kakak aja nggak butuh bantuanku."
"Aku nggak butuh bantuanmu soal materi. Sebagai kepala keluarga, itu udah jadi tugasku."
Abelyn mendongak, menyorot kosong, seakan kehilangan harapan hidup. "Kalau gitu, kenapa permintaanku ditolak? Padahal, aku cuma pengen pasang wi-fi, beli mesin cuci, ganti karpet, dan pasang AC."
"Oi, cuma, kamu bilang? Emangnya duit jatuh dari langit?!" Alvarendra menatap sengit.
"Di situlah peranku. Aku ingin bantu ngeringanin tanggungan Kak Al. Kebetulan aku punya tabungan. Niatku baik, bukan mau ngeremehin. Ayo sama-sama mikir, di mana letak kesalahanku?" Abelyn berkata meyakinkan, penuh penekanan.
Alvarendra tercenung, seolah tersadar.
Abelyn terus menyerang, tak memberikan kesempatan bagi Alvarendra untuk berpikir lebih jauh. Sebelum terlambat, mumpung laki-laki itu masih bimbang, dia harus mendapatkan keinginannya. "Kakak tetap kepala keluarga, aku istrimu. Namanya beban, apa pun jenisnya, jadi tanggungan bersama. Itu yang aku pahami, entah gimana pandangan Kakak selaku laki-laki dan ilmunya lebih banyak."
"Bel, aku ingat betul, cara ngomongmu semalam bukan kayak gitu."
"Itu salah paham. Aku ngehargai posisi Kakak. Lihat, meski mampu beli sendiri, aku tetap minta izin, 'kan?"
Telak. Alvarendra terbungkam. Kalimat Abelyn menyentak kesadarannya. "Oke, aku yang salah. Maaf."
Mereka bertatapan. Alvarendra tersenyum simpul, Abelyn bersorak dalam hati.
Dia berhasil meraih simpati lelaki itu. Apabila rasa percaya sudah terbentuk di antara mereka, Alvarendra akan menurunkan kewaspadaan tanpa sadar. Dengan demikian, Abelyn bebas berbuat sesuka hati. Alvarendra tidak akan menaruh curiga. Misinya satu langkah lebih maju. Ini bagus.
"Baiklah, kita penuhi permintaanmu. Patungan. Masing-masing nanggung lima puluh persen. Mengenai tagihan bulanan, bakalan masuk pengeluaran rutin kas rumah tangga."
"Setuju."
-TBC-
BACA AUTHOR NOTE.
Tanya: Itu yang selalu komen "next/lanjut" kenapa, sih? Coba jawab! Bingung atau gimana?
(Sampai jari kalian keriting komen gitu, juga nggak bakalan kuturitin).
Hei, lihat, aku udah daily update! Masa kalian nggak bisa ngehargai dengan ngasih vote + NGGAK komen "lanjut/next" DOANG. Hiks, padahal gak perlu mutar otak kayak aku. T_T
Bukan, bukan. Aku nggak marah. Malah berterima kasih. Husnudzon, kalian mungkin terlalu antusias. But, ayolah. Kalau kalian jadi penulis, aku pembaca yang kerjanya komen gitu, apa gak kesel?
Masalahnya adalah, aku ini disiplin dengan jadwal update! Tanpa ditagih-tagih juga bakalan nongol, tahu?!
Lain cerita kalau aku emang gak DISIPLIN. Tolong, jangan cuma komen "next/lanjut/" lagi, hm?
Mari sama-sama berikan apresiasi sesuai peran kita masing-masing.
Sankyu.
Ramaikan, guys!
Yang kepo tentang "Parak" bisa mampir ke ig-ku (at)umulamalia_
Aku nge-post fakta-fakta Parak di sana. #masihpromosi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top