6.1 Bincang

"Perhatian-perhatian!" Milda memukul-mukul meja dosen.

Hari kesekian sejak perang dingin antara laki-laki dan perempuan pecah, desas-desus tentang pernikahan Alvarendra merebak di kalangan mahasiswa, khususnya para penggemar dosen muda itu.

Seluruh pasang mata tertuju ke depan. Seperti biasa, bila dosen terlambat, atau jam kosong, seringkali ada yang tergerak membuat kericuhan. Begitulah kelas A Pendidikan Fisika 2016.

"Misteri tentang Pak Alva akhirnya terpecahkan! Beliau ternyata belum nikah!"

"Serius?!"

Milda mengangguk takzim. "Eza udah mastiin hal itu!"

"Hah? Yang benar! Gimana ceritanya? Dia berani nanya ke Pak Alva langsung?"

Milda menggerak-gerakkan tangan, seakan memberi isyarat agar audience tenang. "Panjang ceritanya. Lagian, Pak Alva udah nggak pakai cincin lagi, 'kan? Berarti benar, emang cuma hiasan."

Kelas langsung heboh, suara saling kejar-mengejar. Tak ada yang mau mengalah. Para pemuda hanya pasrah melihat teman-teman mereka.

"Psst, tenang, tenang. Gini, berhubung misteri tentang Pak Alva udah tuntas, harapannya kelas kita kompak lagi kayak dulu, rek!" Milda berlagak seperti pimpinan tertinggi.

"Setuju!" Sorak-sorai terdengar. Pemandangan yang tak lazim di tengah-tengah manusia berumur dua puluhan.

"Heh, yang cowok, setuju kalau kita akur lagi?"

"Terserah, ya ampun! Nggak penting, oi! Bubar, bubar." Entah siapa yang menyahut, tetapi seruan itu malah menambah kehebohan, hingga kemunculan dosen menghentikan mereka.

Abelyn dan Adiba saling lirik, lantas mengedikkan bahu. Kasus ditutup. Kondisi kelas kembali seperti semula.

Abelyn menunduk, meletakkan kepala di antara lipatan siku.

Andai mereka tahu istri Alvarendra ada di dalam kelas ini, entah situasi seperti apa yang akan terjadi. Abelyn malas menerka.

*

Sore hari, setelah sibuk beraktivitas di kampus, Abelyn pulang ke rumah. Tubuhnya lelah, tenaganya terkuras.

Perempuan itu membuka pintu, sepi. Tampaknya Alvarendra belum pulang. Abelyn melangkah masuk. Begitu melewati ruang keluarga, dia merasa terpanggil untuk tiduran di atas karpet baru. Tanpa berganti pakaian, dia langsung menjatuhkan diri.

Abelyn menatap dua ekor cicak yang merayap pada plafon. Pikirannya melanglang buana. Ada beberapa hal yang berubah sejak statusnya berganti.

Dia kehilangan privasi, susah menemukan waktu sendiri. Alvarendra selalu ada dalam jangkauan mata. Mereka berbagi tempat tidur, kamar mandi, lemari, dan lain sebagainya.

Alvarendra memang sering keluar rumah dengan alasan macam-macam. Tipikal pengembara. Agenda dakwah, mengisi kelompok kajian, ataupun urusan pekerjaan.

Berbeda dengan Abelyn, dia lebih sering menjalani hari di rumah. Punya banyak waktu luang. Suka mengurung diri di kamar bersama laptop, segelas cokelat hangat, ditemani segudang ide liar yang bermain-main di kepala. Sesekali, keluar untuk jalan-jalan ke tempat wisata, atau sekadar mengitari taman kompleks agar saraf-saraf otaknya mendapat asupan oksigen segar. Sayang, itu dulu, sebelum dia menikah.

Belakangan ini Abelyn seakan tak punya waktu luang. Rumah bukan lagi tempat tiduran, berubah jadi gudangnya pekerjaan. Kembali ke rumah, artinya siap menghabiskan cadangan energi.

Pakaian kotor di keranjang, tumpukan piring bekas makan, debu-debu yang menempel di lantai, jemuran yang minta diangkat, antrian setrikaan, isi panci yang menuntut dihangatkan, dan serangkaian tetek-bengek rumah tangga lainnya. Lengkap.

Dahulu, sebelum berkeluarga, dia memang terbiasa menyelesaikan pekerjaan rumah. Hanya saja, rasanya tidak seberat ini. Abelyn enjoy menjadi asisten mamanya.

Kini, ketika seluruh beban seolah tuntas, tatkala malam menjelang, Alvarendra sudah pulang. Belum lagi kalau lelaki itu minta diperhatikan, hilang sudah kesempatannya untuk menikmati waktu sendirian.

Jangankan bermesraan dengan laptop, dia bahkan mulai kewalahan mengerjakan tugas kuliah, apalagi akhir-akhir ini Adiba juga semakin disibukkan dengan kegiatan organisasi. Boro-boro lahir naskah baru, yang ada pikirannya sering morat-marit.

Abelyn mendesah kuat-kuat. Kemelut hatinya kusut. Perempuan itu menutup mata.

Konyol sekali karena dia pernah beranggapan bahwa pernikahan hanya seputar romantisme. Hubungan antara lawan jenis senantiasa bernuansa penuh cinta, aktivitas intim, dan hal-hal manis lainnya. Abelyn mengutuk orang-orang yang mendewakan kebahagiaan lewat cerita roman picisan, termasuk dirinya sendiri.

Entah mau sesempurna apa pun pasangan, ada saja masalah rumah tangga. Menambah beban hidup. Abelyn tak ingin lagi menulis kisah bernuansa happily ever after. Tidak realistis.

Perempuan itu menangis. Benar-benar terisak. Dadanya sesak, dia menggigit bibirnya kuat-kuat. Tujuh tahun lebih dia bersikap manipulatif, mengunci perasaannya di sudut terdalam, dan menutup mata atas penderitaan orang lain. Sore itu, di tengah kesendirian, ditemani suara cicak, Abelyn menumpahkan segala resah.

Abelyn bangkit. Memeluk tubuhnya sendiri. Menyembunyikan muka di antara lipatan lutut.

Menikah nyatanya tak seindah impian. Beban seorang wanita tak semudah yang dibayangkan. Pertahanan Abelyn runtuh. Sekali ini saja, dia ingin melepaskan topengnya. Biarlah rasa kesalnya luntur bersama air mata.

*

Alvarendra meletakkan sepatu pada rak di dekat pintu, di bagian luar. Lelaki itu berjalan santai. Dia baru selesai mengikuti rapat. Jurusan sedang sibuk-sibuknya menyiapkan program penilaian akreditasi dari BAN-PT. Seluruh tenaga pendidik dituntut terlibat aktif demi kesuksesan bersama.

Gerakannya terhenti sesaat. Kening Alvarendra berkerut. Siapa yang tersedu-sedu di rumah ini?

Alvarendra melangkah panjang-panjang. Agak khawatir. Tempat ini hanya dihuni berdua, mungkinkah tangis itu milik istrinya?

Dugaannya tepat sasaran. Alvarendra buru-buru mendekat. Menghampiri Abelyn yang berpose menyedihkan, seperti orang kesepian. Apa yang membuat perempuan ini tampak depresi?

Alvarendra berjongkok. Menjadikan lutut sebagai tumpuan. Lelaki itu menyentuh bahu Abelyn hati-hati. "Kamu kenapa?"

Abelyn mendongak perlahan. Lenyap sudah ekspresi datarnya selama ini. Mukanya tampak kacau. Matanya merah, hidungnya berair. Abelyn melengos. Malu juga kedapatan menangis begini. Dia pikir Alvarendra akan pulang malam.

Tarik napas dalam-dalam, keluarkan lewat mulut. Udara seolah tertahan di tenggorokannya. Abelyn berusaha meredakan isak selama beberapa saat.

"Aku baru pulang, terus lihat kamu sesenggukan gini. Bikin kaget. Ada apa, hm?" Alvarendra menepuk-nepuk kepala istrinya.

"Nggak pa-pa. Lagi kesal aja." Abelyn menyahut patah-patah.

"Nggak pa-pa gimana? Kamu kelihatan kayak putus asa gitu."

"Kalau aku ngomong, Kak Al mau dengerin keluhanku? Ngikutin apa mauku?" Abelyn menoleh, menyorot datar. Meski sisa-sisa air matanya belum kering, perempuan itu sudah cukup puas menangis. Dia kembali seperti sedia kala.

Alvarendra merapikan posisi, duduk bersila di hadapan Abelyn. "Hm, silakan cerita. Aku usahain kalau masuk akal."

"Capek. Hampir semua kerjaan rumah aku yang nyelesaiin. Dari subuh udah ngurusin dapur, terus kuliah, sore lanjut lagi. Kak Al enak, sering pergi pagi, pulang malam. Udah gitu, nggak pernah lihat-lihat kondisiku. Kalau lagi pengen dilayanin, aku harus nurut. Ini nggak adil." Abelyn menatap lurus, penuh tuntutan.

"Oke, aku paham. Kamu maunya gimana?"

"Sewa pembantu." Abelyn menjawab cepat.

"Nggak boleh. Satu, aku ada rencana lanjut pendidikan doktor, tabunganku mulai menipis, harus pintar-pintar ngatur uang. Dua, aku nggak suka area pribadiku diacak-acak orang asing. Permintaan ditolak. Nggak ada negosiasi. Sebagai gantinya, aku bakalan bantuin kamu." Alvarendra berkata tegas, tanpa hati, tak menunjukkan raut muka yang berarti.

"Benar-benar egois," desis Abelyn. Tatapannya tajam, mata menyipit. Dia bebas berekspresi sesuka hati di hadapan lelaki itu. Lupakan saja semua citra yang dia bangun bertahun-tahun lamanya.

"Jangan asal nuduh. Belum juga sebulan kita nikah, ngeluh sampai segitunya. Bukannya udah terbiasa?"

"Aku waktu itu digaji, bukan dijadiin budak. Kerjaanku nggak sebanyak sekarang." Abelyn menyahut pedas.

"Jadi, kamu nggak ikhlas?" Alvarendra mendengus tipis.

"Masa bodoh soal hati! Itu urusanku sama Tuhan. Aku tertekan, Kak. Paham nggak?"

Alvarendra mengangkat tangannya ke depan wajah Abelyn, seolah menyuruh berhenti. "Lihat Mama, beliau mampu ngebesarin kamu sambil kerja. Lihat juga Ibu, tanpa suami, beliau sanggup ngerawat aku dan Adiba. Bandingin denganmu, belum punya anak, cuma kuliah, tapi ngeluhnya bukan main. Terlalu banyak tuntutan."

Abelyn menyorot tak percaya, mulutnya sedikit terbuka, tak tahu lagi harus merespon seperti apa. Alvarendra benar-benar menyebalkan.

"Masih ada yang mau dibicarain? Kalau nggak, aku mandi duluan, gerah."

"Kakak nggak bisa ngebandingin aku kayak gitu. Jelas beda. Mereka nikah pas udah siap, sedangkan aku terlalu muda buat masalah ginian!"

Senyum khas Alvarendra tercetak, tatapannya berkilat. "Nah, itu yang pengen aku tanyain dari awal. Makasih udah diingatin. Kalau emang kamu belum siap, kenapa nerima lamaranku?"

Telak. Abelyn menutup mulut rapat-rapat. Sial, dia terjebak.

"Ayo jawab, kenapa?" Alvarendra mendekat, mengikis jarak. "Ah, atau kamu mau dengar ceritaku dulu?"

Abelyn mundur, menjaga jarak aman. "Maksud Kakak?"

"Aku udah berencana nikah muda sejak maba, tapi selalu gagal. Nggak nemu yang cocok. Sekalinya dapat, ayah si perempuan nolak. Ekonomi dan suku paling sering jadi alasan. Emang bukan jodoh. Sampai aku pindah ke Malang, adikku ngerekomendasiin sahabatnya. Adiba ngebangga-banggain kamu. Selain itu, katanya, kamu suka padaku.

"Anehnya, aku nggak ngerasa kamu tertarik padaku. Mungkin Adiba salah. Sewaktu nyelidikin kamu, nggak aku temuin sesuatu yang istimewa, tapi pada akhirnya aku tetap ngelamar. Banyak hal yang bikin aku penasaran. Kamu seperti labirin, kelihatan sederhana, aslinya misterius."

"Langsung aja, Kakak mau ngomong apa? Jangan mutar-mutar." Abelyn memasang sikap waspada.

"Sore ini, kecurigaanku terbukti. Ada sesuatu yang kamu sembunyiin. Nangis kayak orang depresi, tiba-tiba nuntut macam-macam, berekspresi di luar kebiasaan. Ngakunya belum siap nikah, tapi nerima lamaran. Jadi, Bel, coba ceritain tentang dirimu, hal-hal yang nggak diketahui oleh orang lain."

Abelyn berdiri, menghindar secepat mungkin. Pembicaraan ini tidak boleh dilanjutkan. Alvarendra sudah terlampau jauh menerobos pertahanannya. "Kakak sendiri, kenapa ngebet banget pengen nikah muda?"

"Selain karena ibadah, juga nyari aman. Supaya gadis-gadis berhenti tebar pesona di depanku." Alvarendra ikut berdiri.

"Terserah Kakak. Ingat, karena nggak ada pembantu, kita bagi dua kerjaan rumah. Aku bagian masak, belanja bulanan, sama beres-beres. Kakak ngurus pakaian kotor. Aku yang nyuci peralatan bekas makan siang, malamnya Kakak." Abelyn mengibaskan tangan, tak acuh. Segera berbalik, memungut barang-barangnya.

Alvarendra memandangi punggung sang istri. Desahan lolos dari bibirnya. Selalu saja begini. Perdebatan mereka seringkali melibatkan persoalan ekonomi.

Sekelebat memori mampir dalam benak, lelaki itu terpejam sejenak. Jari-jarinya menyatu, mengepal kuat.

-TBC-

Clue buat next chapter: Apa yang bikin Al sensitif kalau bahas persoalan ekonomi?

Tanya: Mulai bersimpati sama Abel? Hoho, siapa yang sadis sebetulnya? Abel atau Alva? 😋

Ramaikan, guys!
Yang kepo tentang "Parak" bisa mampir ke ig-ku  (at)umulamalia_
Aku nge-post fakta-fakta Parak di sana. #tetappromosi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top