5.2 Transisi
Mereka tetap beraktivitas seperti biasa. Pergi ke kampus, menjalankan peran sesuai porsinya. Abelyn dan Adiba berangkat bersama, terpisah dari Alvarendra.
Setiba di parkiran fakultas, Abelyn melepaskan helm. Berpijak di tanah pelan-pelan. Keningnya mengerut samar.
Pemandangan itu tak lepas dari pengamatan Adiba. Dia menyaksikan semuanya dari kaca spion. "Kamu aneh pagi ini. Duduk menyamping, terus nyuruh aku yang bawa motor."
Abelyn merapikan ransel. Pura-pura tak mendengar. Memasang tampang kaku. "Ayo jalan."
Adiba mendesah pelan. Sepertinya mood Abelyn sedang buruk. Aneh, bukankah biasanya pengantin baru berbunga-bunga?
Mereka melangkah dalam hening. Adiba merasa tak nyaman sendiri, sedangkan Abelyn cuek saja.
"Selamat pagi, Adiba, Abelyn."
"Pagi, Pak." Senyum Adiba mengembang begitu melihat kehadiran Alvarendra. Berbeda dengan sahabatnya, Abelyn justru membuang muka.
"Cuaca pagi ini sangat bagus, bukan?" Alvarendra berjalan agak jauh. Mereka mempunyai tujuan yang sama. Ruangan di pojok lantai satu.
Adiba menggaruk kepala. Aura dua orang ini berbeda sekali. Alvarendra cerah, senyumnya merekah. Abelyn sebaliknya, suram, ekspresinya sekaku karang.
Mentari pagi itu menerobos masuk ke dalam ruangan, menciptakan suasana hangat. Kemunculan Alvarendra disambut baik seperti yang sudah-sudah. Para gadis tetap bersemangat, sedangkan para pemuda mendengarkan dengan tenang.
Sungguh, Abelyn satu-satunya yang enggan memandang ke depan. Berbanding terbalik dengan sikapnya selama ini.
"Ini sudah pekan ke berapa?"
"Pekan kelima, Pak."
Alvarendra manggut-manggut. "UTS sudah dekat. Bagaimana kuliah kalian sejauh ini?"
"Parah. Makin banyak tugas, Pak!" Hampir semua orang menyahut serempak.
Alvarendra terbiasa membuka kelas dengan berbasa-basi. Menanyakannya kabar mahasiswa. "Kalau begitu, saya kasih penawaran. Kalian mau UTS tertulis atau menyelesaikan proyek tertentu?"
"Jelaskan dulu, Pak! Kalau mudah, kami ambil proyek!"
Seutas senyum geli terbit di bibirnya. "Ternyata kalian pintar-pintar. Saya pikir akan langsung setuju."
"Oh, jelas, Pak! Ini demi kelangsungan hidup kami!" celetuk salah seorang mahasiswa.
Pelajaran berlangsung seru. Usai diskusi rutin, Alvarendra menjelaskan jenis proyek yang akan mereka kerjakan. Sederhana saja. Mereka diminta mengembangkan penilaian formatif berbasis komputer. Materinya bebas. Tugas individu, dikumpulkan tepat pada pekan kedelapan.
Hasilnya tertebak, daripada berlama-lama duduk di ruangan demi mengerjakan soal tertulis, mereka lebih memilih membuat proyek.
Kuliah diakhiri dengan kesepakatan antara kedua belah pihak. Alvarendra melenggang keluar. Belum cukup lima menit meninggalkan kelas, para gadis langsung heboh.
"Cuma perasaanku atau emang barusan Pak Alva pakai cincin?" Milda yang memulai keributan itu.
"Pakai cinci betulan, heh! Di jari manis pula!"
"Astaga, jangan-jangan beliau izin keluar kota Senin lalu buat nikah?"
"No!"
Satu-dua menimpali, sebagian berseru-seru, sisanya berdecak tak percaya. Para laki-laki menggeleng prihatin.
"Alan, Pak Alva ngasih tahu tentang detail keperluannya nggak?" Milda bertanya agak kencang.
Alan menoleh, memandang aneh sepupunya itu. "Enggak, buat apa?"
Tak penting siapa yang berbicara, mereka hanya perlu saling sahut-menyahut.
"Jangan mikir sembarangan. Mungkin cuma hiasan?"
"Aneh, beliau nggak pernah pakai cincin sebelumnya."
Abelyn melipat siku, menunduk, dahinya bersandar di tepi meja. Memasang sikap tak acuh andalannya.
"Ah, siapa yang jadi istrinya, ya? Beruntung banget!"
"Aku yakin istrinya pasti luar biasa. Sepadan sama beliau, lah. Cantik, cerdas, alim. Ya, meski patah hati, tapi aku rela karena mereka bakalan jadi perfect couple."
"Gimana kalau perempuannya biasa aja? Astaga, nggak sanggup kubayangin! Nggak rela dunia dan akhirat!"
Para lelaki geleng-geleng kepala. Pengaruh Alvarendra sedemikian hebat. Hanya dengan cincin di jari manis, dia mampu menciptakan kericuhan.
"Oi, sadar diri! Stop berkhayal!" celetuk salah seorang pemuda.
"Apaan, sih. Pasti iri gara-gara nggak laku."
"Hahaha."
Tawa menggema, diiringi suara-suara sumbang. Abelyn menutup telinga rapat-rapat. Adiba tak ada di sana. Gadis itu keluar lebih dulu beberapa menit yang lalu.
Ini mengusiknya. Apa hak mereka menilai kelayakan pasangan Alvarendra?
"Ya, kita cuma mampu berharap, istrinya selevel dengan beliau. Serius, aku bakalan sakit hati banget kalau enggak gitu!"
"Setuju!"
"Ya ampun, aku nggak kuat ngebayangin seberapa keren anak mereka kelak!"
Abelyn menggebrek meja. Berbalik dengan cepat, tatapannya lurus ke arah perkumpulan tukang gosip. "Jangan berisik. Kalian nggak berniat ikut kelas selanjutnya?"
Lengang. Baru sekarang mereka melihat Abelyn bereaksi. Biasanya dia ahli bersikap masa bodoh. Hal ini tentu justru semakin menambah keributan.
"Dih, bukan urusanmu, kali! Lagian, tumben kamu ngerespon. Udah, diam aja kayak biasanya! Kenapa, hah? Ikutan patah hati? Sini, gabung sama club kita-kita!"
"Hahahah."
Abelyn meraih ranselnya. Tak sehat untuk mentalnya berlama-lama di sini. Dia berjalan menuju pintu keluar. Sebelum benar-benar berlalu, Abelyn menoleh, menyorot remeh. "Kenapa aku harus patah hati? Kayak cewek kurang belaian."
"Apa kamu bilang?!"
"Mantap. Hidup Abel!" Giliran para pemuda yang bersorak.
Abelyn melenggang santai, semakin jauh. Menapaki anak tangga secara perlahan. Tarikan napasnya terdengar berat, Abelyn mendongak, menatap puncak undakan tertinggi. "Risiko kuliah di gedung yang nggak punya lift."
*
Pintu ruangannya diketuk, Alvarendra melirik sekilas. "Masuk."
Adiba melangkah cepat. Inilah alasannya keluar lebih dulu, hendak menemui Alvarendra secara khusus. "Permisi, Pak. Maaf, mau membahas hal pribadi."
Alvarendra meraih botol kemasan air mineral. "Duduk, Dek," perintahnya.
Adiba bernapas lega. Mereka pernah sepakat untuk menjaga jarak demi menghindari rumor yang tidak diinginkan. "Abel sakit."
"Sakit apa?" Alvarendra membuka tutup botol, menegak isinya.
"Kurang tahu. Dia agak aneh. Tumben minta dibonceng, duduknya menyamping pula. Jalannya pelan, kayak nahan perih?" Adiba berujar tak yakin.
Alvarendra tersedak. Suara batuknya keras. Adiba panik bukan main. Dia menepuk-nepuk punggung kakaknya.
Tangan Alvarendra terangkat, mengisyaratkan agar Adiba tetap tenang, lantas berdehem, "Abel nggak cerita apa-apa?"
"Tutup mulut. Mood-nya lagi buruk. Aku sampai canggung mau nanya-nanya."
"Oh, oke. Makasih infonya, Dek. Biar aku yang ajak ngomong. Kamu tenang aja."
Adiba mengacungkan jempol. "Ya udah, aku pergi. Masih ada kelas."
Pintu terututup. Alvarendra menopang dagu, berpikir sejenak, lantas mendengus geli.
*
Adiba merinding. Udara terasa dingin, padahal posisi matahari semakin tinggi. Kenapa ruangan ini terasa horor?
Hati-hati, dia mendekati Abelyn. Ada satu kursi kosong di sisi kanannya. Dosen belum masuk, tetapi suasana sangat lengang. Ganjil.
Bola mata Adiba bergulir, kepalanya celingak-celinguk, memindai seluruh ruangan. Tidak laki-laki, tidak perempuan. Semuanya bungkam. Namun, raut kesal tersirat hampir di wajah setiap orang.
Secarik kertas diletakkan dengan sengaja di atas mejanya. Adiba mendongak, Alan pelakunya. Pemuda itu meneruskan langkah hingga menghilang di balik pintu. Mungkin ke kamar mandi.
Adiba buru-buru membaca. Terkejut menerima informasi semacam ini. Alan menjelaskan situasi secara singkat.
Kamu dari mana aja? Tadi ada kejadian seru.
Cewek-cewek pada heboh karena ngelihat cincin di jari manis Pak Alva. Mereka berisik, akhirnya dibantai Abelyn. Tumben anak itu ngasih respon.
Cowok-cowok ngedukung Abelyn, bikin mereka sakit hati. Terjadi saling sindir, pakai nyolot segala. Pecahlah perang dingin. Tamat.
Adiba melirik ke sisi kiri. Ekspresi Abelyn masih sekaku karang. Sebaiknya dia beradaptasi dengan kondisi kelas. Tutup mulut rapat-rapat.
Ini akan menjadi hari yang panjang.
-TBC-
Clue buat next chapter: Apa yang bakalan dilakukan Abel ke Alva gara-gara masalah cincin?
Warning: Mulai chapter depan dan seterusnya, tolong bacalah dg pikiran terbuka, pasang filter baik-baik. Kisah mereka lebih dark dari versi lama. Seperti yang ada di deskripsi, sisi-sisi gelap mrk perlahan terkuak.
Ramaikan, guys!
Yang kepo tentang "Parak" bisa mampir ke ig-ku (at)umulamalia_
Aku nge-post fakta-fakta Parak di sana. #promosi 😆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top