4.2 Keluarga
Mereka bercakap-cakap ringan. Suasana terasa hangat. Kedua belah pihak tampaknya mudah untuk saling menerima.
Pihak calon mempelai laki-laki diajak mengobrol di ruang tengah, tempat khusus berkumpulnya keluarga. Formasi lengkap.
"Kami kaget waktu Alva datang ke sini. Setahu kami, Abel nggak punya teman cowok. Tiba-tiba ada yang melamar. Ternyata kakak Adiba." Bu Riska berucap.
"Saya juga kaget. Biasanya Al bilang-bilang kalau lagi ta'aruf. Nggak ada kabar, mendadak kirim tiket pesawat. Laporan mau menikah."
Mereka tertawa. Semula memang terasa canggung, tetapi semakin ke sini, perasaan itu terkikis. Topik utama yang dibahas seputar calon mempelai.
"Nak Alva, rencananya setelah menikah, mau tinggal di mana?"
Alvarendra berdehem, "Ada rumah peninggalan paman dari pihak bapak. Mereka sekeluarga pindah ke Semarang karena tuntutan pekerjaan paman. Rumah itu sudah berganti pemilik. Tempat tinggal Al dan Adiba sekarang. Memang nggak besar, tapi nyaman untuk dihuni."
Pak Wendra mengangguk singkat. "Jadi, kalian akan tinggal bertiga?"
"Nggak, Om. Adiba akan pindah. Ikut mengontrak dengan teman-teman seorganisasi, di rumah binaan. Masih ada kamar kosong. Lagi pula, Adiba nggak berminat tinggal bersama pengantin baru." Adiba menyahut mantap. Dia sudah konsultasi dengan sang ibu sebelumnya.
Alvarendra melirik sekilas. Baru mendengar informasi ini. Apakah adiknya itu serius?
Tawa bersahutan. "Kamu khawatir ditinggal mesra-mesraan?" Bu Riska berkomentar usil.
Adiba cengengesan. "Benar banget, Tan."
Abelyn mendengarkan dalam diam. Menyimak dengan baik. "Ada tiga kamar di rumah itu. Kenapa harus pindah?"
"Keputusan Adiba sudah tepat. Kalian butuh privasi." Bu Adelia menyahut tenang.
Alvarendra dan Abelyn saling lirik, mereka mengangguk samar. "Kami paham."
"Cie, udah kompak aja!"
"Diba, jangan nakal. Kamu nggak mau di-bully jomblo sendirian, 'kan?" Bu Adelia menanggapi.
Adiba cemberut, Abelyn menyengir, Alvarendra terkekeh. Semua tetua tergelak.
Percakapan terus berlanjut. Banyak informasi yang mereka peroleh. Terutama seputar profil kedua calon mempelai.
Alvarendra, misalnya. Pemuda itu sudah terbiasa tinggal terpisah dari orang tua sejak usia belasan. Dia menamatkan sekolahnya di Kota Provinsi. Kemudian melanjutkan pendidikan sarjana dan magister di Surabaya.
Lain halnya dengan Abelyn. Gadis itu menetap di Malang sejak lahir. Pernah pindah sekolah sewaktu SMP. Belum ada penjelasan mengenai alasan kepindahannya.
"Saya sering keluar untuk agenda dakwah. Semoga kamu nggak keberatan, Abelyn."
"Saya kadang menghabiskan waktu berjam-jam di depan laptop. Semoga Bapak juga nggak keberatan." Abelyn justru senang bila Alvarendra jarang di rumah. Dia bisa bebas berkutat dengan pekerjaannya tanpa khawatir ketahuan.
"Cara bicara kalian formal banget." Bu Riska mendengus geli.
"Biasa, Tan. Masih malu-malu. Nanti juga kalau sudah sah, bicaranya pakai sayang-sayangan."
"Sok tahu," sambar Abelyn dan Alvarendra kompak.
"Apa pun kebiasaan kalian, bukan masalah selagi nggak mengganggu hak dan kewajiban suami-istri." Pak Wendra memberi petuah.
Calon pengantin mendengarkan dengan saksama nasihat dari orang tua mereka. Selanjutnya, obrolan itu berjalan syahdu.
Kurang dari satu minggu menuju pernikahan. Sebentar lagi status mereka berubah. Kehidupan baru sudah di depan mata.
Menjalani rumah tangga tidaklah mudah. Ada banyak cobaan. Pasangan harus mampu menyamakan frekuensi, menerima segala perbedaan, mencoba memahami pikiran masing-masing. Terlebih, bagi sepasang manusia yang memiliki prinsip hidup berlainan seperti mereka.
Bunyi salawat dari pengeras suara masjid terdengar. Pertanda waktu salat Magrib sudah dekat. Alvarendra bangkit tanpa kata-kata.
"Mau ke masjid, Alva?" Pak Wendra menyusul.
"Iya, Om."
"Kami berangkat." Pak Wendra pamit kepada para perempuan. Kedua lelaki itu berjalan bersisian.
Abelyn memandangi punggung Alvarendra. Apakah pemuda itu memang selalu salat berjamaah di masjid?
"Mari. Kita salat di musala saja." Bu Riska berdiri, disusul yang lain.
Adiba mendekati Abelyn, lantas berbisik, "Jangan heran. Mas Al emang selalu jamaah di masjid kecuali kalau lagi sakit, safar, atau ketiduran. Ibu yang ngebentuk kebiasaan itu sejak dia masih kecil."
"Bukan pencitraan?"
Adiba mendelik. "Ya, kali."
Abelyn mendesah. Baiklah. Sepertinya calon suaminya memang saleh dari lahir. Tidak sepatutnya dia berprasangka buruk.
Dahi Abelyn mengerut samar. Perasaannya saja, atau sedari awal dia suka mencari-cari cacat dalam diri Alvarendra?
*
Pak Wendra berkonspirasi dengan takmir masjid untuk menunjuk Alvarendra sebagai imam salat. Ingin mendengar bacaan Alquran pemuda itu. Dia bukan fakih agama, tetapi senantiasa mengharapkan suami saleh bagi sang putri.
Ayah mana yang tidak menginginkan pendamping terbaik bagi putrinya?
Salat telah dilaksanakan. Pak Wendra menyorot penuh haru. Ada rasa malu menggelegak dalam dada.
Abelyn tidak dibesarkan dalam keluarga yang taat agama. Biasa saja. Sebagaimana masyarakat muslim pada umumnya.
Alvarendra berbeda. Hanya dengan melihat perangai Bu Adelia, dia dapat menebak bagaimana pemuda itu dibesarkan.
Ketiadaan peran seorang ayah, tak membuat Adiba dan Alvarendra tumbuh jadi anak durhaka. Begitu santun, terpancar keteduhan dari raut muka mereka. Seolah bercahaya, bekas basuhan air wudu kemungkinan adalah penyebabnya.
Dia dibuat kagum sekali lagi. Kefasihan Alvarendra dalam melantunkan kalam Ilahi tak perlu diragukan. Ada rasa bangga membuncah.
Akan tetapi, di waktu yang bersamaan, kekhawatiran justru menyusup diam-diam. Akankah Alvarendra menerima segala kekurangan Abelyn?
Tidak dapat dimungkiri, Abelyn tipe gadis yang biasa saja. Nyaris di bawah rata-rata. Baik secara fisik, pemahaman agama, apalagi kepribadian. Meski begitu, dia dibesarkan dalam keluarga yang serba cukup. Pak Wendra senantiasa memastikan putrinya tidak kekurangan materi apa pun.
Bagaimana bila Alvarendra menemukan banyak cacat dalam diri sang putri? Mungkinkah pemuda itu menuntut perceraian?
"Om?"
Pak Wendra mendongak. Alvarendra menyentuh pundaknya. Dia segera bangkit. Mereka menuju pintu keluar.
"Alva, Om boleh minta tolong?"
Alvarendra menoleh ke sisi kiri, lantas tersenyum simpul. Pertanda menunggu penjelasan lebih lanjut.
Mereka jalan bersisian. "Abel anak tunggal. Bagi kami, kebutuhan materi yang paling penting. Nggak ingin dia kekurangan suatu apa pun. Dulu, di awal-awal pernikahan, kami mati-matian mengumpulkan uang. Siang-malam bekerja. Alhasil, Abel sering kami titipkan di rumah saudara."
Alvarendra mendengarkan dengan saksama. Belum berniat menanggapi. Cerita ini masih panjang.
"Dia gadis kecil yang pendiam, penurut, tapi memiliki senyum dan tawa yang cantik. Kami senang mengamati tingkah polanya. Lelah bekerja bukan masalah saat melihat wajahnya.
"Saat itu, umurnya dua belas tahun, kelas satu SMP, dia nggak banyak berubah. Sampai suatu hari, dia dibawa pulang oleh wali kelasnya dalam keadaan menyedihkan. Seragamnya kotor, pipinya lebam, kulitnya lecet, ditemukan oleh sepupu-sepupunya terkapar di gudang sekolah."
Alvarendra menoleh. Tak sanggup menyembunyikan keterkejutan. "Korban perundungan?"
Pak Wendra menyahut getir, "Kami berniat menuntut pihak sekolah, tapi Abel menolak memberikan keterangan. Dia cuma memohon dipindahkan. Kami nggak bisa berbuat lebih jauh. Sejak saat itu, kepribadiannya berubah."
Alvarendra tak sanggup berkata-kata. Ini terlalu memilukan. Kasus Abelyn hanya satu di antara perundungan yang dialami oleh para pelajar. Bahkan, sampai detik ini, fenomena serupa belumlah usai.
Sungguh sebuah ironi. Di tengah gencarnya kampanye tentang hak asasi, masih saja terdapat tindak penganiayaan antara sesama manusia.
"Om memutuskan untuk mengikutkan Abel kursus bela diri. Dia jago karate. Kami berharap kemampuan itu dapat melindunginya. Sayang, semua sudah terjadi. Dia tetap pendiam, penurut, tapi keceriaannya lenyap. Tatapannya kosong, ekspresinya datar. Lima tahun berlalu, kami nggak pernah lagi menemukan senyuman secantik dulu. Abel berubah jadi apatis, cuek, nggak mau tahu urusan orang."
"Kemungkinan sifatnya yang seperti itu sebagai bentuk perlindungan terhadap diri sendiri, Om."
"Kamu benar. Ada dugaan trauma. Kami ingin membawanya ke psikolog, tapi Abel menolak. Menurutnya, dia baik-baik saja."
Alvarendra mendesah pelan. Rasanya dia dapat memahami perasaan gadis itu.
"Cerita ini belum selesai. Kami pikir Abel akan begitu selamanya, tapi keajaiban muncul dua tahun yang lalu."
Alvarendra menoleh. "Keajaiban?"
"Meski senyumnya nggak secantik dulu, tapi keceriaan Abel perlahan kembali. Kami penasaran, apa kiranya yang membuat dia berubah. Suatu hari, dia datang bersama Adiba ke rumah. Mengenal Adiba, adalah anugerah bagi keluarga kecil kami."
Plot twist. Benarkah adiknya seberharga itu bagi keluarga orang lain? Alvarendra turut senang mendengarnya.
"Adiba memberi pengaruh yang baik. Oleh karena itu, saat tahu kamu adalah kakak Adiba, Om nggak punya banyak pertanyaan. Kalian dibesarkan dengan didikan yang luar biasa. Jadi, kamu mau menjaga Abelyn selamanya?"
"Sudah jadi tanggung jawab Al sebagai suaminya kelak, Om."
"Kamu tahu, putri Om hanyalah gadis rata-rata. Fisik, pemahaman agama, apalagi kepribadian. Maksud Om, walau kamu menemukan banyak cela, berjanjilah untuk tetap bersamanya. Jangan pernah ada kata cerai, kamu sanggup?"
Alvarendra termenung. Permintaan yang berat. Bukan berarti dia menginginkan kegagalan rumah tangga, tetapi bagaimana bila ternyata Abelyn melakukan suatu perbuatan keji yang sulit dimaafkan?
"Beginilah bukti keegoisan seorang ayah. Kamu akan mengerti bila sudah punya anak kelak."
Alvarendra menggeleng singkat. Mengenyahkan pikiran buruk dari benak. Menjelang pernikahan seperti ini, rentan sekali terpengaruh bisikan setan. "Insya Allah. Meski belum mampu memberikan kemewahan yang sama, tapi Al akan berusaha memenuhi seluruh kebutuhan Abelyn. Mengenai perceraian, kurang pantas rasanya untuk dibahas, padahal akad nikah belum tertunai. Pastinya, Al hanya ingin punya satu istri seumur hidup."
Pak Wendra menepuk pundak Alvarendra. "Om percaya padamu."
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top