4.1 Keluarga

Abelyn senang karena tak perlu mengeluarkan banyak usaha untuk menciptakan suasana nyaman. Calon mertuanya sangat ramah. Tipikal ibu-ibu yang mudah bergaul dengan sesama.

Bu Adelia, namanya. Mukanya sangat mirip dengan Adiba. Tak perlu bertanya lagi bagaimana gadis itu bisa sangat manis.

Abelyn diajak masuk ke kamar Adiba tanpa ragu. Ini memang bukan pertama kali. Sebelum Alvarendra pindah ke Malang, mereka sudah sering saling mengunjungi satu sama lain.

Adiba menggelar karpet. Mereka duduk di lantai. Lesehan sambil menyantap mete goreng, oleh-oleh dari Sulawesi Tenggara. Rasanya enak. Gurih. Jika hanya berdua dengan Adiba, tentu dia sudah melahap semuanya.

"Ceritakan tentang dirimu, Nak."

Abelyn melirik ke kiri, Adiba mengangguk, seakan memberi semangat.

"Abel anak tunggal. Papa kerja sebagai GM, mama punya usaha snack." Abelyn memutuskan berbicara seperti halnya terhadap orang tua sendiri.

"Kamu bisa memasak?"

"Bisa, Bu. Abel jago banget. Masakannya mantap."

Bu Adelia melirik putrinya. "Ibu mau dengar suara Abel, bukan kamu."

Adiba menyengir, begitu pula Abelyn. "Menurut mama, perempuan harus pintar masak. Selain modal buat menikah, juga bisa jadi ladang bisnis suatu waktu. Buka kursus, misalnya."

"Dengar itu?" Bu Adelia lagi-lagi menoleh ke arah Adiba.

"Iya, Bu."

"Jangan didengar saja, tapi dilakukan!"

Mereka tertawa, Abelyn tidak. Masih tetap sama. Hanya sudut-sudut bibirnya yang tertarik lebar.

"Cerita lagi, Nak."

"Abel punya lima orang sepupu dari pihak mama, dua dari pihak papa. Hanya satu yang ada di Malang, sisanya tersebar ke mana-mana."

"Orang tuamu asli Malang?"

"Iya. Sejak kecil sudah tinggal di sini. Abel belum pernah merantau."

"Oh, tapi pernah naik pesawat?"

"Pernah. Kadang liburan bareng mama-papa. Kami biasanya ke Jogja atau Bali. Beberapa kali ke luar negeri. Memang cuma kawasan ASEAN, tapi cukup seru."

Bu Adelia tersenyum tipis. Ternyata calon menantunya anak orang kaya. Berbeda sekali latar belakang ekonomi keluarga mereka. Apa gadis ini sanggup bertahan hidup dengan putranya?

"Tante bertanya sesuatu yang agak pribadi, boleh?"

"Boleh." Abelyn tak keberatan. Terlepas dari masa lalu, hidupnya baik-baik saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Kenapa kamu mau menerima lamaran Al?"

Abelyn terdiam sejenak. Menyusun kalimat yang tepat. Tampaknya pertanyaan serupa akan sering dia dapatkan. "Nggak ada alasan untuk menolak Pak Alva, Tante."

"Kenapa berpikir seperti itu?"

"Beliau keren. Fisik, maupun kepribadian. Abel nggak perlu menyebutkan keunggulan Pak Alva, 'kan?"

Bu Adelia tertawa tipis. Belum lama mereka berkenalan, tetapi gadis ini sudah meninggalkan kesan tersendiri. Pantas saja putranya tertarik. Ternyata benar. Abelyn mudah membuat orang penasaran.

Bila ditanya, hanya menjawab satu-dua kalimat. Singkat, padat, dan berpeluang membangkitkan minat lawan bicara.

Muka Abelyn memang datar, cenderung tak peduli, sorot matanya nyaris kosong. Anehnya, dia menguasai pembicaraan. Tahu betul apa yang dia ucapkan, seakan mampu menebak isi pikiran orang lain.

"Kamu belum tahu aib masa kecilnya Al, makanya bilang dia keren. Tante bawa album foto, mau lihat?"

Bola mata Abelyn berkilat singkat. "Mau."

"Cepat banget jawabanmu, Nak." Bu Adelia tersenyum menggoda.

Adiba tergelak ringan. "Abel memang begitu, Bu. Tandanya dia sangat berminat."

"Sungguh?"

Abelyn menyengir. Agak kaget begitu menyadari betapa Adiba mampu memahaminya dalam beberapa hal. Tampaknya gadis itu sudah terbiasa menghadapi dirinya.

"Ibu bawa album foto yang mana?"

"Waktu kalian masih SD."

Adiba terkelu. Tiba-tiba bungkam.

Bu Adelia memahami perubahan mimik muka sang putri. Dia sengaja membawa album foto tersebut. Calon pasangan anak-anaknya perlu tahu luka keluarga mereka.

Adiba menggigit bibir. Hatinya berdenyut-denyut. Sebisa mungkin dia menahan desak air mata. Tidak boleh. Dia harus belajar menerima. Kejadian itu sudah belasan tahun lamanya.

Bu Adelia membuka album secara perlahan. Potret sebuah keluarga mengisi lembar pertama. "Ini waktu umur Al tiga tahun lebih. Adiba belum lama lahir."

Foto itu terlihat usang. Memandangnya membangkitkan memori, serupa nostalgia. Sarat akan kerinduan.

Latar belakang foto berwarna biru tua. Orang tua mereka duduk di atas bangku tinggi. Adiba bayi dalam gendongan sang ibu. Alvarendra kecil duduk di pangkuan sang ayah.

Abelyn mengerjap. "Ada uang kertas di tangan Pak Alva?"

Bu Adelia terkekeh. "Kamu lihat? Nah, Al nggak mau berfoto kalau belum dikasih uang. Dia mata duitan waktu masih kecil."

Abelyn tersenyum tipis. Sesungguhnya seluruh perhatiannya nyaris disedot oleh foto lelaki dewasa. Dia ingin bertanya, ke mana ayah mereka, sekaligus suami Bu Adelia? Kenapa dia tak ikut ke Malang?

Hanya saja, belum ada yang menyinggung masalah kepala keluarga sedari awal. Abelyn rasa ada sesuatu yang disembunyikan. Dia hanya perlu menunggu.

Dugaannya, suasana akan canggung jika dia berani bertanya. Berbahaya untuk kenyamanan mereka. Lagi pula, dia akan terkesan begitu ingin tahu tentang kehidupan orang lain. Tidak. Itu citra yang buruk.

"Ini bapak mereka, suami Tante."

Abelyn menatap lurus-lurus ke arah foto, Adiba memejamkan mata.

"Beliau meninggal waktu umur Adiba baru lima tahun. Kecelakaan. Jadi, cuma Tante yang bisa ikut menyaksikan pernikahan kalian. Kamu pasti bertanya-tanya sejak awal, 'kan?"

Abelyn mengangguk, ekor matanya melirik Adiba. Diam saja. Tak seramai tadi. Sekilas, dia sempat mendapati gadis itu mengusap mata.

Sudah cukup. Memang ada sesuatu yang disembunyikan. Abelyn penasaran, tetapi berusaha ditahan sekuat mungkin. Bukan saatnya bersedih. Dia dapat menanyakan perihal ini lagi kepada Alvarendra. Masih banyak waktu.

"Mau lihat foto yang lain lagi, Tante. Di foto ini Pak Alva kelihatan imut."

"Psst, jangan coba-coba berkomentar begitu di depan Al langsung."

"Kenapa?"

Adiba mencebik. "Aku pernah dicuekin seharian gara-gara muji dia imut."

Gigi depan Abelyn muncul, mulutnya terbuka lebih lebar. "Serius?"

"Bukan cuma Adiba, tapi Tante juga pernah mengalami hal serupa. Nggak ada yang tahu apa penyebabnya. Al seperti sangat membenci kata itu, apalagi kalau disandingkan dengan dia."

Menarik. Dia justru ingin mencobanya suatu saat nanti. Abelyn membuat list baru di dalam kepalanya.

Lembar demi lembar terbuka. Selain foto pertama, semuanya menyisakan kebahagiaan. Sarat akan kenangan.

Abelyn menyaksikan potret perubahan Alvarendra dari tahun ke tahun. Debar-debar aneh merambat di dada. Sayang, dia terlalu malas mengartikan usikan itu. Tidak penting.

"Kami susah payah menabung biar bisa beli kamera untuk mengabadikan perkembangan anak-anak." Bu Adelia berucap. Kental akan kesediahan. Ada rindu yang tersirat.

"Keren. Abel juga punya album foto di rumah. Kapan-kapan, mari kita lihat bersama."

"Benaran, Bel? Aku baru tahu? Kamu nggak pernah ngasih lihat?"

"Khusus orang-orang penting."

"Jadi, maksudmu, aku nggak penting?"

Abelyn mengedik tak acuh, Adiba memandang keki, Bu Adelia terkekeh. Tiba-tiba pintu kamar terbuka.

"Ibu, Dek, kenapa Al nggak dibangunkan?"

Hening sesaat. Abelyn menoleh patah-patah. Memindai penampilan Alvarendra dari atas ke bawah.

Rambutnya agak basah, aroma parfumnya tercium jelas. Pemuda itu mengenakan atasan kaos putih polos, dipadukan dengan bawahan denim short.

Gadis itu membuang muka. Pipinya terasa panas, getaran aneh kembali menyapa. Sekilas, Abelyn dapat melihat bentuk badan Alvarendra di balik baju yang dia kenakan.

"Loh, kamu di sini? Ibu pikir sudah berangkat ke rumah Abel?"

"Maaf mengganggu, Al permisi. Terima kasih sudah diingatkan!"

Bu Adelia dan Adiba tertawa melihat kepanikan Alvarendra. Jarang ada pemandangan serupa.

"Mas, jangan lupa oleh-oleh buat orang tua Abel ada di dapur." Adiba berseru, entah pemuda itu mendengar atau tidak.

Abelyn berdehem, "Tante nggak sekalian ikut main ke rumah?"

Bu Adelia mendongak, memandang Abelyn sesaat, lalu berpaling kepada Adiba.

"Boleh. Aku bareng Abel, Ibu dibonceng Mas Al."

"Ya sudah, kita siap-siap. Kasih tahu kakakmu, jangan berangkat sendirian."

"Baik, Bu."

-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top