3. Pilihan

Alvarendra memandang keki. "Apa-apaan topik kalian barusan!"

Adiba terbahak. Bola matanya berair. Dia sangat terhibur dengan ekspresi kakaknya. Kapan lagi punya kesempatan mengusik pemuda itu?

"Salah sendiri. Aku udah bilang nggak usah didengerin, tetap aja kepo!"

Alvarendra mendengus tipis. Mereka sedang nonton sambil menikmati kacang goreng. Tiba-tiba ponsel Adiba berdering nyaring, mendistraksi suara televisi.

Semula Alvarendra tak peduli, tetapi begitu Adiba menggumamkan nama Abelyn, rasa ingin tahunya tak terbendung. Alhasil, dia turut mendengarkan percakapan gadis-gadis itu.

Siapa sangka topik utamanya adalah dia. Ya, walau kata Abelyn, cuma permisalan. Tetap saja, apa tujuannya menanyakan hal aneh begitu?

"Kayaknya si Abel benaran gabut, deh."

"Kalau nggak ada kerjaan, kalian sering teleponan?"

"Kadang. Oh, iya, setelah dengar obrolan kami barusan, Mas belum yakin buat ngelamar dia?"

Alvarendra diam sejenak. Terus terang, dia agak kaget mengetahui betapa simpelnya pemikiran Abelyn tentang calon pasangan. "Dia benaran nggak punya kriteria idaman?"

"Oh, aku belum cerita, ya?"

"Tentang apa?"

Adiba mengunyah kacang pelan-pelan. "Aku udah nanya-nanya soal pernikahan ke dia. Menurutnya, nikah itu semacam hubungan persahabatan. Suami-istri saling bahu-membahu. Contoh, suami yang cari nafkah, istri jaga rumah."

Alvarendra menatap penuh perhatian. "Terus?"

"Dia siap kapan aja. Masalahnya, nggak ada yang mau nikah sama dia. Itu kata Abel."

"Kenapa dia ngomong gitu?"

Adiba menggeleng lemah. "Mungkin karena dia nggak punya banyak kenalan laki-laki?"

"Emang kamu punya banyak?"

"Nggak, lah. Jaga pergaulan."

"Nah, itu tahu. Berarti punya banyak kenalan, nggak lantas jadi sebab cepat nikah, 'kan? Bisa ta'aruf. Cari perantara, kirim CV."

"Duh, bukan itu yang pengen aku bahas, Mas. Suka-suka Abel mau ngomong kayak gimana."

Alvarendra terkekeh. "Iya, iya. Habis aneh gitu. Semacam punya kepercayaan diri rendah."

"Entah. Dia jarang berekspresi, aku nggak terlalu yakin sama setiap perasaannya. Susah ditebak."

Bunyi pecahan kulit kacang terdengar. Alvarendra gemas bercampur penasaran. Apa yang ada di batok kepala gadis itu?

"Sebenarnya dia punya kriteria idaman, mirip-mirip tokoh anime, manga, atau novel."

"Apa?"

"Abel itu suka karya fiksi. Koleksi novelnya ratusan. Paling antusias kalau udah ngebahas hal begituan."

Alvarendra nyaris tersedak. Terjawab sudah. Ternyata itu alasan Abelyn tersenyum diam-diam. Dia sering berimajinasi di segala situasi?

"Bentar. Kalau emang dia se-freak itu, harusnya standar cowok idamannya nggak manusiawi dong? Para penggemar biasanya gitu, 'kan?"

Adiba menjentikkan jari semangat. "Itulah kenapa aku suka gayanya! Dia realistis, Mas. Sadar mana dunia nyata, mana fiktif. Nggak hidup dalam bayang-bayang."

Alvarendra menggeleng. Menolak setuju. Tidak semudah itu melepaskan apa yang menjadi kesukaan.

Pemuda itu, misalnya. Dia berdakwah dan mencintai aktivitas itu, maka calon pasangan impiannya adalah seorang aktivis pula. Walau akhirnya standar harus diturunkan karena terus mengalami kegagalan, setidaknya dia sudah berusaha. Lagi pula, kriteria idamannya tidak serta-merta anjlok. Mau menikahi siapa saja. Dia hanya menurunkan standar, bukan melenyapkan.

Abelyn berbeda. Gadis itu terkesan pasrah. Apa mungkin dia pernah berusaha, tetapi berujung kegagalan?

"Dek, Abelyn pernah pacaran?"

"Nggak."

"Nggak?"

"Nggak tahu, maksudnya. Belum pernah nanya."

"Ck." Alvarendra mengacak-acak rambut adiknya kesal.

Adiba tergelak ringan. "Lagian, buat apa ngulik-ngulik masa lalu orang? Paling penting, dia yang sekarang, 'kan?"

Alvarendra mendesah pelan. Bukan maksud menelusuri kisah cinta masa lalu Abelyn. Dia tak peduli perihal itu.

Kepribadian lebih utama untuk diselidiki. Apa yang membentuk Abelyn seperti sekarang?

Datar, pendiam, suka hal-hal berbau fiksi, cuek, dan masih banyak lagi.

Apa iya dia sudah begitu sejak lahir? Rasa-rasanya mustahil.

Alvarendra penganut kaidah kausalitas, sebab-akibat. Diri kita saat ini, adalah produk dari masa lalu.

"Dek, pinjam HP-mu. Punyaku ketinggalan di kamar."

"Buat apa?"

"Nyari tahu Abelyn lewat sosmed."

"Percuma. Dia nggak main sosmed."

"Aneh!"

Adiba tersentak. "Mas sampai segitunya kepo tentang Abel?"

Alvarendra mengusap wajah. "Dia suka anime, manga, dan novel. Mana mungkin nggak main sosmed? Apa dia punya akses ke pengarang langsung? Para penggemar biasanya nge-stalk author favorit mereka, Dek."

Adiba menggaruk rambutnya. Susah juga punya saudara yang hobi menganalisis. Buat apa hal-hal remeh semacam itu dipikirkan?

"Ada websitenya, Mas. Bisa langsung akses ke sana. Aku kadang lihat dia baca novel dari platform daring. Begitu pula anime dan manga."

"Kamu yakin dia nggak punya sosmed? Instagram? Facebook? Twitter?"

"Aku pernah nanya, dia cuma menggeleng. Aku nyari sendiri nggak ketemu."

"Mungkin nama samaran?"

"Menurut Mas, orang kayak dia bakalan repot-repot mikirin nama samaran cuma buat sosmed?"

Alvarendra terpejam sejenak. Sungguh misterius. Semakin ditelusuri, Abelyn semakin bikin penasaran. Terlalu banyak keanehan.

Pendiam, datar, cuek, tetapi imajinatif. Semua itu masih normal.

Bukan pengguna sosial media aktif, tak punya kriteria tertentu soal calon pasangan, tetapi penggemar karya fiksi. Ini terlalu bias. Kurang logis. Alvarendra menolak percaya.

Abelyn, apa yang kamu sembunyikan?

Gelak Adiba menggema, Alvarendra membuka mata. "Kenapa nggak dinikahin aja? Mikir sampai dahi berkerut. Serius banget. Hati-hati, lho. Zina pikiran."

Alvarendra menggeleng dramatis. Menarik napas dalam-dalam. Mengucap istighfar.

Benar-benar si Abelyn. Dia mampu mengacaukan pikiran pemuda itu meski raganya tak ada di sana.

"Mas tahu kenapa aku ngerekomendasiin Abel?"

Alvarendra memandang lurus-lurus. "Nggak."

"Sejak awal ketemu, aku tahu dia unik. Ngasih atribut PKKMB miliknya buat aku saat mahasiswa lain sibuk ngurus diri sendiri. Diam aja ketika yang lain ketawa dengar dialekku. Nggak ngejek penampilanku ketika gadis lain dikit-dikit nyindir, bahkan meski dia sendiri belum mau pakai hijab syar'i waktu itu.

"Teman pertama semasa kuliah. Dia yang ngenalin aku dengan lingkungan di Malang, ngajarin bahasa Jawa, ngajak jalan-jalan. Emang aku yang aktif dalam pertemanan kami, tapi dia nggak pernah keberatan sewaktu ditanya-tanya. Abel emang belum mau terlibat aktivitas dakwah, tapi dia siap siaga setiap aku minta dianterin ke lokasi acara."

Alvarendra menggeleng. Tak menyangka. Tambah gemas. Jika benar apa yang Adiba katakan, lantas kenapa Abelyn terkenal cuek?

Hei, tak ada orang cuek sebaik itu, bukan? Tidak selaras antara tindakan dengan citra yang terbangun.

"Aku senang banget waktu Mas lulus tes CPNS dan keterima ngajar di kampusku."

"Kenapa?"

"Aku benar-benar sayang sama Abel. Pengen dia jadi lebih dari sahabatku. Bukan cuma saudara seiman, tapi hubungan keluarga. Nah, caranya dengan Mas nikahin dia."

"Pantesan kamu getol banget ngirim informasi lowongan kerja di kampusmu. Ternyata ini niat terselubungmu?"

Adiba menyengir. "Nggak sepenuhnya salah."

"Eh, jangan-jangan kamu juga yang ngedoain aku biar gagal ta'aruf mulu?"

Adiba tergelak halus. "Ya, kali."

Pandangan Alvarendra teduh, senyumnya tersimpul, begitu manis. "Aku nyerah. Jadi, kapan aku bisa ke rumah temanmu?"

*

2 hari kemudian.

Muka Abelyn kaku, tetapi hatinya menjerit-jerit. Benar-benar malam penuh kejutan. Ini gila. Bagaimana mungkin semua ini terjadi kepadanya?

Tiga puluh menit yang lalu, mamanya tiba-tiba menghambur ke kamar. Mengacaukan waktu santai milik Abelyn. Panik. Menyuruhnya berdandan, menggunakan pakaian terbaik.

Sekarang, di sinilah dia. Duduk manis mendengarkan percakapan orang lain.

Abelyn melirik gadis di seberang meja. Sebuah senyuman menyapa. Dia memicing, seolah mengirimkan tuntutan.

Adiba mengedip lucu. Cengirannya terlalu lebar sampai-sampai Abelyn khawatir mulutnya akan sobek. "Selamat." Kira-kira begitulah gerak bibir gadis itu.

Bola mata Abelyn bergulir ke kanan. Seorang pemuda duduk tegap di depan ayahnya. Mendadak jantung Abelyn berdebar-debar. Percampuran kaget sekaligus antusias.

Astaga. Siapa yang tidak senang ketika dilamar laki-laki yang berhasil mencuri perhatian hampir semua orang?

Alvarendra Pratama. Dosen baru di kampusnya, kakak laki-laki Adiba. Kalimat pinangan untuknya baru saja terucap!

Tarik napas dalam-dalam, keluarkan lewat mulut. Abelyn tidak akan membiarkan citranya runtuh saking tak mampu membendung rasa kejut. Itu sangat konyol.

Pasang ekspresi masa bodoh, sorot datar, lurus ke arah target. Dia telah siap untuk meluncurkan serangan.

"Mumpung anaknya ada di sini, biar putri kami yang menjawab langsung."

Seluruh pasang mata tertuju kepada Abelyn. Gadis itu membalas tatapan mereka silih berganti hingga berhenti di satu titik. "Sebelum menjawab, saya boleh mengajukan beberapa syarat?"

"Jangan aneh-aneh, Bel. Kamu nggak takut dia berubah pikiran?" Bu Riska berbisik di dekat telinga putrinya. Begitu pelan.

Abelyn abai. Sorot matanya masih sama. Tak gentar.

"Silakan."

"Anggaplah saya setuju. Syarat pertama, setelah menikah, Bapak akan menjawab apa pun pertanyaan saya. Kedua, pernikahan ini harus disembunyikan sampai saya lulus. Artinya, tidak ada resepsi sebelum waktunya. Hanya perlu mengundang beberapa tetangga agar tidak timbul fitnah bila kita tinggal serumah."

Senyum Alvarendra menantang. Khas sekali. Hanya sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Gadis ini kian mengusiknya.

Syarat kedua masih dapat dipahami. Dia pun sempat memikirkan hal itu. Terlalu mencolok mengumbar pernikahan di kampus. Cukup atasannya yang tahu sebab ASN berkewajiban melaporkan pernikahan sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.

Apabila status persaudaraan saja disembunyikan, apatah lagi pernikahan? Mungkin aman untuk dirinya, tetapi belum tentu untuk sang istri.

Akan tetapi, bagaimana dengan syarat pertama? Apa tujuannya?

"Bukan masalah, tapi saya juga punya permintaan."

Orang di sekitar mereka menanti dengan tegang. Harap-harap cemas. Ini lamaran paling absurd yang pernah ada.

"Apa?"

"Kita menikah dalam waktu dekat. Kurang dari satu bulan. Seharusnya tidak jadi masalah karena hanya perlu akad, bukan?"

"Setuju."

"Jadi, kapan kamu siap menikah?" Senyum puas Alvarendra tak dapat disembunyikan.

"Insya Allah, pekan depan, Pak. Hari Minggu pas lagi libur kuliah."

"Oke. Kita menikah pekan depan. Hal-hal terkait akan dikoordinasikan lebih lanjut."

Semua pendengar melongo, sedangkan calon mempelai sudah sibuk menyusun rencana di benak masing-masing.

Betapa lucu takdir mempertemukan mereka. Semula berawal dari kesalahpahaman, berlanjut pada rasa penasaran, ditutup oleh kesepakatan.

Ke mana takdir hendak membawa mereka bermuara? Akankah ikatan ini abadi bila suatu ketika rahasia mereka terkuak tanpa terkendali?

-TBC-

Akhirnya lamaran, yeay! 😆

Yang nunggu momen ini, cung!

Jangan lupa vote dan komen.

Sankyu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top