3.1 Pilihan
Bibir Adiba terkulum, menahan senyum. Langkahnya sengaja diperlambat saat mendapati Abelyn berdiri di depan pintu kelas. Tahu betul apa yang gadis itu inginkan.
"Pagi, Abel."
Abelyn mendongak. "Kenapa nggak pernah ngomong kalau Pak Alva kakakmu?"
"Buat apa?"
Abelyn mendesah. Tanpa banyak kata, dia segera menarik tangan Adiba, menuntunnya ke sudut ruangan. Di dekat jendela. Parkiran fakultas terlihat jelas jika mereka melongok ke luar.
Kelas masih sepi. Beberapa orang sudah duduk manis, tetapi sibuk dengan aktivitas masing-masing. Tak ada yang peduli akan kehadiran mereka.
"Aku kaget," tukas Abelyn datar.
Adiba tersenyum geli. "Mukamu nggak kayak orang kaget pada umumnya."
Abelyn mengangguk sekilas. "Ini aneh. Beberapa hari yang lalu kamu nanya soal Pak Alva, tiba-tiba semalam kalian datang ke rumah. Dari sekian banyak mahasiswi di kampus kita, kenapa aku yang beliau pilih?"
Tentu Abelyn senang akan lamaran itu, tetapi rasa penasarannya tak dapat diabaikan. Terlalu mendadak. Ada sesuatu yang terlewat dari pengamatannya.
"Tanya Mas Al. Bukan aku yang ngelamar kamu?" sahut Adiba kalem.
"Kelamaan kalau nunggu kami selesai akad nikah. Aku keburu mati penasaran. Kamu adiknya, pasti tahu sesuatu. Iya, 'kan?"
"Hm, tahu nggak, ya?" Adiba mengelus dagu. Pura-pura bodoh.
"Adiba Shakila." Abelyn menatap lurus-lurus.
Adiba terkekeh. "Kamu pengen tahu banget?"
"Iya."
"Ck, tunjukkin ekspresi dikit dong, Abel."
"Jadi, kenapa aku yang beliau pilih?" putus Abelyn. Tak minat berbasa-basi. Bukan waktunya meladeni keisengan Adiba.
"Aku senang berteman denganmu. Kamu suka Mas Al. Kebetulan dia juga lagi nyari calon istri. Jadi, ya, aku sengaja ngerekomendasiin kamu."
Dahi Abelyn mengerut samar. "Bentar, kamu bilang ... aku suka Pak Alva? Kesimpulan dari mana itu?"
Adiba menyorot jenaka, jari telunjuknya menusuk-nusuk pipi kiri Abelyn. "Udah, nggak usah ngeyel. Kamu sering nanya soal Mas Al, ingat?"
Abelyn mengerjap lambat.
Satu.
Dua.
Tiga.
Silih berganti kilasan masa lalu bermunculan dalam benak. Saat-saat dia begitu antusias mencari tahu tentang Alvarendra, dosen baru di kampusnya.
Ekspresi Abelyn berubah. Senyuman khasnya terbit. Bibir menipis, dua gigi depan muncul.
Adiba salah paham. Memang benar dia tertarik kepada dosen muda itu, tetapi bukan dalam arti romantis. Rasa ingin tahunya didorong oleh tuntutan profesi. Alvarendra adalah visualisasi nyata dari tokoh-tokoh dalam imajinasinya selama ini.
"Makasih, Dib. Kamu benar-benar teman favorit."
"Iya dong," sahut Adiba bangga.
"Aku bakalan traktir kamu. Apa pun. Sebutin aja."
Adiba tergelak ringan. "Kamu sesenang itu?"
Abelyn mengangguk cepat. "Banget."
Benar. Berkat Adiba, dia tak perlu repot-repot menyelidiki Alvarendra. Pemuda itu masuk secara sukarela dalam hidupnya. Abelyn hanya perlu memainkan peran sebaik mungkin.
"Nggak usah. Ngedukung kalian itu pilihanku. Titip kakakku, ya?"
Abelyn tak menyahut. Kehilangan kata-kata. Betapa beruntung dia bertemu dengan gadis sebaik Adiba.
"Eh, Bel, boleh nanya?"
Abelyn berkedip sambil menggumam tak jelas.
"Kenapa kamu ngajuin permintaan kayak semalam?"
"Kamu sendiri, kenapa nyembunyiin status sebagai saudara Pak Alva?"
"Repot kalau ketahuan. Malas ngeladenin cewek-cewek penggemar Mas Al. Aku sering dimanfaatin buat ngedekatin kakakku. Bikin pusing."
Abelyn manggut-manggut. "Nah, kalau kamu aja sebagai saudaranya ngalamin hal kayak gitu, gimana aku yang jadi istrinya?"
"Kamu bakalan mendadak terkenal."
Kepala Abelyn belum berhenti mengangguk-angguk, membenarkan. Itu pula yang dia pertimbangkan semalam. Terlalu mencolok menunjukkan status pernikahan, apalagi kalau dadakan. Abelyn hanya terlalu malas meladeni keingintahuan orang asing. Tidak penting.
"Permintaan kedua bisa aku pahami, tapi gimana dengan yang pertama?"
Gerakan Abelyn terhenti. Sorot matanya menerawang. Berusaha menyusun kalimat yang tepat dalam benak. "Kami cuma orang asing yang disatuin dalam pernikahan. Tentu aku perlu belajar gimana ngehadapin suamiku. Kepribadiannya, kebiasaannya, apa pun. Nah, biar nggak ada penolakan pas aku nanya-nanya, mending buat janji sedari awal."
Senyum Adiba terbit. "Ide bagus. Perlu dicontoh, tuh."
Abelyn mengedikkan bahu. Tak perlu menjelaskan lebih jauh, bukan? Apa yang baru saja dia sampaikan bukanlah kebohongan.
Sedari awal bertemu, Alvarendra sudah mengusik hati. Banyak tanda tanya yang tertuju kepada pemuda itu. Menikah adalah jalan tercepat untuk menyelidiki tanpa khawatir mengundang curiga. Abelyn tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Bola mata Adiba bergulir ke arah pintu. Seorang lelaki paruh baya melenggang masuk. "Kita keasyikan cerita. Dosennya udah datang. Kamu boleh nanya-nanya ke aku kalau mau tahu sesuatu tentang Mas Al."
Abelyn menyengir. Dengan begini, dia punya akses tak terbatas untuk menelusuri segala hal tentang sang calon suami. Ini bagus. Niscaya novel barunya dapat digarap lebih mudah.
*
Alvarendra baru selesai melaksanakan salat duha di musala khusus dosen. Dia tampak merenung. Memikirkan kembali keputusannya untuk menikahi Abelyn. Sebersit keraguan muncul tepat ketika kakinya meninggalkan kediaman Pak Wendra semalam.
Sudah tepatkah pilihannya? Apakah Abelyn orang yang cocok untuknya? Mampukah gadis itu memahami segala aktivitasnya?
Dia seorang aktivis. Dakwah adalah dunianya. Menikah pun, dia niatkan untuk ibadah.
Alvarendra berharap memiliki pasangan yang sama-sama melazimi aktivitas dakwah. Begitulah kriteria idamannya. Tak muluk-muluk. Sayang, proses pencariannya tak membuahkan hasil.
Sejauh ini, dia belum menemukan cacat dalam diri Abelyn, sama halnya dengan ketiadaan sesuatu yang istimewa.
Adiknyalah yang membuatnya mantap melamar gadis itu.
Alvarendra mendebas. Bangkit sambil menepuk-nepuk celananya yang agak kusut. Pemuda itu berpindah posisi. Duduk di depan pintu demi memakai sepatu.
Langkahnya panjang. Bergerak menjauhi musala. Ruang kerja adalah tujuannya.
Tidak ada jadwal mengajar pagi ini. Sebaiknya dia menyibukkan diri dengan melakukan aktivitas lain. Banyak tugas mahasiswa yang belum tuntas dikoreksi.
"Selamat pagi, Pak."
Alvarendra berhenti sejenak. Mengangguk sembari tersenyum. Eza, mahasiswi Pendidikan Fisika 2016, baru saja menyapanya.
Dia melanjutkan langkah. Tak berlama-lama. Banyak yang harus dilakukan.
Setiba di ruangannya, Alvarendra memilih istirahat barang sebentar. Ponsel di atas meja bergetar. Dia buru-buru menerima panggilan.
"Kamu lagi sibuk? Ibu telepon dari tadi nggak diangkat."
"Maaf, baru selesai salat. Ibu sudah baca pesan Al?"
"Sudah. Jadi, akhirnya sukses juga, ya?"
Alvarendra terkekeh. "Alhamdulillah, doakan lancar sampai hari H."
"Doa seorang ibu selalu tertuju untuk anak-anaknya. Ngomong-ngomong, kenapa mendadak? Ibu agak kaget."
"Niat baik perlu disegerakan," jawab Alvarendra diplomatis.
"Ya sudah, Ibu cuma berharap yang terbaik untuk kalian. Oh, dia gadis yang seperti apa?"
"Bukan aktivis, tapi nggak keberatan dengan kegiatan dakwah. Sering menemani Adiba dalam acara-acara tertentu."
"Nggak harus aktivis dakwah. Asalkan agamanya baik, itu sudah cukup. Bapakmu juga bukan aktivis di awal-awal kami menikah. Alhamdulillah, melalui proses interaksi intensif, beliau pada akhirnya bersedia turut memperjuangkan penegakkan Peradaban Islam. Pahamkan pelan-pelan. Bila Allah berkehendak, semoga pejuang Islam bertambah lewat pernikahan kalian."
Senyum tersimpul, raut muka Alvarendra tampak lega. Kalimat sang ibu menjadi pengingat baginya. "Al mengerti."
"Dia cantik?"
Alvarendra terkekeh. Dia tahu ibunya berniat menggoda. "Biasa saja."
"Benarkah? Apa ketertarikanmu nggak dicampuri sesuatu yang bersifat fisik?"
"Mungkin. Dia bukan gadis yang cantik, tapi nggak jelek juga. Biasa saja. Anehnya, semakin lama dilihat, semakin bikin penasaran. Ekspresi mukanya cenderung datar."
"Sepertinya calon istrimu menarik. Ibu nggak sabar ingin bertemu. Namanya Abelyn, ya?"
"Iya, tiket pesawat sudah Al kirim. Hati-hati di jalan, Bu."
"Ya sudah, Ibu tutup. Jaga diri baik-baik. Salam untuk adik dan calon istrimu. Sampai ketemu tiga hari lagi, Nak."
Alvarendra menyahut seadanya. Panggilan berakhir. Hening kembali menyergap. Sudah waktunya melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.
-TBC-
BACA AUTHOR NOTE.
Dear, baca pelan-pelan, ya. Tolong jangan di-skip kalau ketemu narasi/deskripsi yang panjang. Itu penting. Isinya macam-macam, bisa perasaan tokoh, monolog mereka, informas-informasi pribadi.
Catat, cerita ini berbau romance-spiritual-psikologi. Aku berusaha menuliskan sedetail mungkin agar kalian paham pola pikir para tokoh, terutama Al dan Abel.
Ke depannya, setelah menikah, lebih banyak lagi permainan psikologi yang dilakoni pasangan kita ini.
Aku berharap, kalian mampu memahami isi pikiran dan perasaan mereka.
Pertanyaan yang sering muncul.
1. Apa motif Abelyn nikah?
(Buat nyelidikin Alvarendra. Nggak mungkin nanya hal-hal pribadi kalau hubungan mereka sebatas dosen-mahasiswa, 'kan?)
2. Apa motif Alva nikahin Abel?
(Ini ada penjelasan lebih detail di chapter-chapter selanjutnya).
Sankyu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top