2.2 Selidik
Alvarendra memandang rumah di hadapannya. Sudah waktunya dia menjalankan rencana. Melakukan penyelidikan terhadap Abelyn.
Sepulang dari kampus, pemuda itu bergegas menuju kompleks ZY. Di sinilah dia sekarang. Berdiri di depan kediaman milik tetangga Abelyn.
Pintu diketuk, Alvarendra mengucap salam. Tak lama, seorang wanita setengah baya keluar.
"Selamat sore. Maaf mengganggu waktunya, Bu."
Wanita itu tersenyum. Raut mukanya terlihat bersahabat. Alvarendra merasa lega untuk sesaat. "Nggak pa-pa, Mas. Ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu dalam bahasa Jawa.
Alvarendra menyebutkan nama terlebih dahulu. Tak masalah. Walaupun lahir dan tumbuh di luar pulau, tetapi sudah tujuh tahun dia tinggal di Jawa Timur. Alvarendra lancar berbicara dengan bahasa daerah setempat.
"Anda kenal Abelyn?"
"Putrinya Pak Wendra, bukan?"
"Iya, Bu."
"Kenal. Itu rumahnya," tukas wanita itu sambil menunjuk ke arah kediaman keluarga Abelyn. Di sebelah kiri. Terpisah oleh pagar berukuran rendah. "Oh, iya, sampean ada urusan apa?"
Alvarendra menunjukkan senyum terbaik. Sebisa mungkin menciptakan kesan bahwa dia bukan orang mencurigakan. "Kami kenalan di kampus," sahutnya. Tak menjawab pertanyaan si Ibu.
"Oh, temannya, toh." Biarkan wanita itu menyimpulkan sendiri.
"Begini, Bu, saya mau mengajak Abelyn kerjasama dalam urusan tertentu, tapi masih ragu. Kalau menurut Ibu, selaku tetangganya, apa dia orang yang bisa dipercaya?" tanya Alvarendra hati-hati. Kerjasama yang dimaksud adalah pernikahan. Tidak bohong, bukan?
Wanita itu mengerutkan dahi. "Sampean kan temannya, Mas. Harusnya tahu sifat Abelyn?"
Bukan Alvarendra namanya kalau tidak mampu bersikap kalem. "Kami belum dekat. Hanya saja, ada kenalan saya yang merekomendasikan dia. Menurutnya, Abelyn punya apa yang saya butuhkan. Nah, saya masih perlu mengumpulkan informasi lain untuk meyakinkan diri, Bu."
Ibu itu manggut-manggut. Masuk akal. "Oh, makanya sampean bertanya ke sini? Sudah tahu bahwa kami tetanggaan, begitu?"
"Nggeh, Bu. Maaf bila saya mengganggu waktunya."
Ibu itu terkikik sesaat. Berubah jadi agak genit. Sikap antipatinya lenyap. "Santai, Mas. Anak sama suami saya lagi keluar. Sampean mau masuk? Kita bicara di dalam."
Bahaya. Alvarendra berdehem, "Terima kasih, Bu. Saya di sini saja."
Muka wanita itu memberenggut sesaat. Terlalu cepat. Sulit terindra bila saja lawan bicaranya bukan Alvarendra.
Pemuda itu cukup jeli. Waspada. Sepertinya dia harus segera pergi dari sana.
"Abelyn, ya? Saya kurang kenal, tapi orang tuanya cukup disegani di kompleks ini. Mereka keluarga yang baik. Sering bagi-bagi makanan ke tetangga. Kadang Abelyn yang mengantarkan ke rumah-rumah."
Alvarendra menaruh perhatian lebih. Lupakan saja niatnya untuk segera pergi.
"Dia gadis yang pendiam. Jarang kelihatan. Kata ibunya, sih, memang tipikal anak rumahan."
Alvarendra manggut-manggut.
"Tadi sampean bilang mau mengajak dia kerjasama? Monggo, Mas. Keluarga mereka berada, nggak mungkin Abelyn bawa kabur uang orang."
Alvarendra hampir saja tertawa. Wanita itu menganggap rasa ingin tahunya demi urusan bisnis. "Enggeh, Bu. Terima kasih informasinya."
Wanita itu mengangguk, Alvarendra pamit undur diri. Samar-samar, Alvarendra mendengar seruan, "Mas, jangan lupa bagi-bagi kalau bisnisnya lancar!"
Alvarendra tak kuasa menahan tawa geli. Ada-ada saja.
Sore itu, dia menghabiskan waktunya untuk melakukan penyelidikan. Bertanya kepada mereka yang tinggal di sekitar rumah Abelyn. Satu-dua menaruh curiga saat dia muncul tanpa diundang. Namun, begitu dia berimprovisasi, mereka menunjukkan penerimaan.
Hasilnya tak jauh berbeda. Informasi berputar pada fakta itu-itu saja. Dia gadis pendiam. Cuek. Tipikal anak rumahan, tetapi tak keberatan bila harus mengantarkan makanan ke tetangga.
Keluarga mereka harmonis. Jarang terdengar keributan. Abelyn anak tunggal.
Ayahnya seorang general manager di Doubel Defense Company atau sering disingkat DDC, perusahaan keamanan swasta terkemuka. Ibunya mengelola usaha makanan ringan.
Alvarendra menarik napas. Bersiap di atas motor sembari mengenakan helm. Sudah cukup untuk hari ini.
Tak ada komentar tetangga yang mengindikasikan cacat dalam kepribadian Abelyn. Sama halnya dengan ketiadaan pujian. Boleh dikata, dia gadis rata-rata, yang beruntung terlahir dari orang tua kaya.
Tak tersedia dorongan kuat untuk menikahi Abelyn. Begitu pula belum ada keinginan untuk mundur.
Aneh, kenapa dia justru semakin penasaran?
Abelyn bagaikan labirin. Sederhana di luar, tetapi aslinya penuh misteri. Ada sesuatu yang tersembunyi. Tak diketahui siapa pun. Tidak Adiba, tidak pula tetangga gadis itu.
Cara Abelyn tersenyum, raut mukanya saat berbicara, apa yang dia bayangkan ketika melamun.
Sorot matanya saat mereka bersitatap siang itu. Bagaimana tugas-tugasnya memperoleh nilai tinggi, padahal dia tak menonjol di kelas, Alvarendra ingin tahu.
Belum lagi, Adiba begitu kukuh menginginkan pernikahan mereka. Lengkap sudah.
Jadi, haruskah dia melamar anak gadis orang demi memenuhi rasa penasarannya?
*
Abelyn meluruskan badan. Bunyi sendi-sendi bergesekan terdengar. Sudah dua jam dia berkutat di depan laptop tanpa henti.
Orang tuanya mungkin masih mengobrol di ruang keluarga. Dia bergegas undur diri begitu mereka usai makan malam. Abelyn bertekad untuk menyelesaikan kerangka novel terbarunya malam ini.
Keributan di kepalanya harus segera diredam. Ide terus berlarian secara acak. Abelyn kesulitan menentukan cerita yang pas.
Gadis itu mendesah panjang. Kesal. Apa yang harus dia lakukan?
Pikirannya buntu, kinerja saraf otaknya melambat. Tidak selaras dengan niat di hati.
Kepribadian Alvarendra mengusiknya. Khayalan tentang pemuda itu terus bergerilya. Kepalanya berdenyut-denyut, seakan minta diledakkan.
Sungguh! Abelyn tidak terima kalau Alvarendra sesempurna itu. Setiap manusia pasti punya cela. Tokoh utama dalam novel sekalipun harus dipoles sedemikian rupa agar tetap manusiawi. Namun, apa?
Abelyn mengenal orang-orang keren di sekitarnya. Tak ada seorang pun yang anti cacat.
Adiba, misalnya. Wajahnya manis, kulitnya putih bersih, matanya bulat, irisnya hitam pekat, bentuk tubuhnya sangat ideal untuk ukuran gadis Indonesia. Good looking. Bukan hanya itu, dia juga pintar secara akademik, perhatian, rajin ibadah, dll.. Banyak hal positif dalam diri gadis itu. Sayang, dia agak naif, beranggapan kalau setiap orang punya kesempatan untuk jadi baik, seolah dunia isinya hanya hitam-putih, begitu mudah dimanfaatkan, dan masakannya tidak enak.
Dua tahun lebih mereka dekat, tak terhitung berapa kali Abelyn menyaksikan Adiba dimanfaatkan oleh orang lain. Kejadian siang itu, misalnya.
Omong kosong Milda tulus mentraktir mereka. Faktanya, si gadis gemuk berencana menyontek tugas Adiba.
Abelyn kesal. Kenapa orang sepintar itu mau-mau saja dimanfaatkan?
Ada rasa tak terima ketika teman dekatnya diperlakukan begitu. Hanya Abelyn yang boleh. Dia tidak punya apa-apa. Orang bisa maklum. Bersama dengan Adiba, dia merasa lengkap, seluruh kekurangannya tertutupi. Abelyn tak butuh teman yang lain. Itulah alasan kenapa dia berusaha mengakuisisi Adiba seorang diri. Tak ingin sahabatnya terluka semakin dalam.
Kembali lagi kepada persoalan Alvarendra. Abelyn harus menemukan cara untuk menggali kepribadian pemuda itu. Harus!
Cukup lama dia merenung. Tiba-tiba cengirannya terbit. Bola matanya berkilat cepat.
Bukankah gadis-gadis alim seperti Adiba tahu akan pola pikir sebangsanya?
Jika diasumsikan Alvarendra sejenis dengan Adiba, sama-sama alim, tentu dia tahu ke mana harus bertanya!
Abelyn meraih ponselnya. Belum terlalu larut. Seharusnya Adiba tidak tidur jam begini. Tak lama, panggilan terhubung.
"Bel, kenapa nelpon malam-malam?"
"Mau nanya, boleh?"
"Uh, silakan."
"Aku cuma penasaran, jangan dianggap serius, oke?"
"Iya."
"Menurutmu, laki-laki alim punya sisi bejat nggak?"
"Hah?!"
Abelyn berdehem, "Kurang jelas? Apa perlu aku pakai permisalan dengan orang yang sama-sama kita kenal?"
"Bentar, bentar. Kenapa tiba-tiba pertanyaanmu aneh gini?"
"Aku lagi gabut, Dib."
Adiba terkekeh di ujung sana. "Oke, oke. Lanjutin, Bel."
"Misal, Pak Alva."
"Lho, kenapa bawa-bawa Pak Alva?"
"Cuma misalnya, Adiba."
"Haha. Iya, iya. Ada apa dengan Pak Alva?"
"Beliau kan dianggap alim sama anak-anak. Sering nyempatin buat ngasih nasihat spiritual pas lagi ngajar. Nah, menurutmu, orang kayak beliau punya sisi bejat?"
Adiba masih saja tertawa. Abelyn sedikit heran. Apa yang lucu dari pertanyaannya?
"Ngomong-ngomong, definisi bejat yang kamu maksud gimana, nih? Nyuri? Ngebunuh orang?"
"Kalau kayak gitu, udah jadi napi, Diba."
"Perjelas dong. Lagian, pemilihan diksimu ekstrem banget. Bejat. Bisa gitu, ya!"
Mau tidak mau, Abelyn menyengir juga. "Maksudku, mainin perempuan? Semacam rumor tentang Pak Revan?"
"Player?"
"He'em."
Tawa Adiba semakin kencang. Benar-benar. Ini gadis kerasukan apa? "Nggak mungkin, lah! Orang kayak Pak Alva pasti maunya langsung nikah. Beliau nggak pernah pacaran, tahu?"
"Kenapa kamu yakin banget?"
"Insting."
Abelyn tak menyahut. Wajahnya berubah datar lagi. Enggan percaya.
"Halo, Bel?"
"Hm?"
"Nah, giliran aku yang nanya, boleh?"
"Apa?"
"Seandainya Pak Alva ngajak kamu nikah, mau nggak?"
"Mau."
"Cepat banget jawabanmu, oi!" Adiba terdengar gemas.
Abelyn mendesah pelan. Masa bodoh. "Nggak ada alasan untuk nolak."
"Maksudmu?"
"Aku udah pernah bilang, jangankan sekelas Pak Alva, yang di bawah standar aja pasti aku terima asal menuhin syarat wajib. Sayangnya, pertanyaanmu cuma angan-angan, 'kan? Jadi, nggak usah diperpanjang, buang-buang waktu."
Adiba bersiul. "Aku suka gayamu, Bel!"
"Aku juga suka kamu, Adiba. Banget. Sial, kenapa kamu harus jadi perempuan?"
Adiba terbahak, Abelyn tersenyum cukup lebar. Jarang-jarang mereka berekspresi selepas itu.
"Tutup, ya? Kakakku udah ngamuk gara-gara aku terlalu ribut."
Panggilan berakhir. Abelyn menarik napas dalam-dalam. Waktunya memikirkan skenario baru.
-TBC-
Kamus:
Sampean = kamu.
Monggo = silakan
Nggeh = Iya.
(Kalau ada orang Jawa, lalu menemukan kesalahan cara penulisan/arti, tolong dikonfirmasi, ya. Ehe.)
-
Asyik, ya, pertemanan mereka? Yang kesal gegara ngerasa Abelyn terlalu jahat sama Adiba, ada?
Waktu Abelyn ngomong, "sayang" ke Adiba. Itu benaran. Cuma ya, motif mereka dalam berteman beda.
Paham? Atau malah tambah bingung? 😆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top