2.1 Selidik
"Pak Alva!"
Langkah pemuda itu terhenti. Dia menoleh ke belakang. Seorang gadis berjalan tergesa ke arahnya.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Gadis itu menyelipkan anak-anak rambutnya ke telinga. "Maaf, Pak, saya kurang paham materi yang Anda jelaskan tadi."
"Kenapa tidak ditanyakan saat di kelas?"
"Eh, itu ... teman-teman protes kalau ada yang bertanya. Terlebih, sekarang sudah siang, Pak."
"Oh, kamu merasa sungkan dengan teman-temanmu?"
"Iya, Pak!"
Alvarendra manggut-manggut. Salah satu sudut bibirnya terangkat, senyum andalan pemuda itu. "Hm, tapi kamu merasa biasa saja bertanya pada saya di luar jam pelajaran?"
"Huh? Ah, ma-maaf, Pak!" Eza menyahut cepat. Dia mendekap erat buku di dadanya. Bola matanya bergerak gelisah.
Alvarendra menyorot jenaka. "Santai saja. Saya tidak keberatan. Namamu Eza, 'kan?"
Sorot gelisah di mata Eza berubah seketika, penuh binar. "Bapak ingat nama saya?"
Alvarendra tersenyum geli. Gadis ini mudah dibaca. Begitu ekspresif. Perasaannya tergambar jelas di raut mukanya. "Tentu. Kamu mahasiswa saya. Nah, Eza, kalau kamu benar-benar belum paham, silakan datang ke ruangan saya. Oh, kalau bisa, jangan datang sendirian, ya? Ajak temanmu."
"Baik, Pak! Terima kasih!" Eza berseru cepat. "Saya permisi."
"Tunggu sebentar!"
Eza berhenti sejenak, memandang pemuda itu. "Ya?"
Alvarendra berdehem, "Kamu kenal Abelyn?"
Kening Eza mengerut samar, tetapi tak urung menyahut, "Abelyn dari kelas A? Teman jalan Adiba?"
"Benar."
"Sekadar tahu. Kami jarang berinteraksi. Dia kelihatannya susah didekati. Orangnya pendiam. Bapak ada urusan sama anak kelas A?"
"Saya ada urusan sama Abelyn. Ya sudah, kalau kamu tidak kenal."
Eza mengerjap. Tanpa menaruh curiga, dia menjawab, "Jika memang penting, saya punya kontak Adiba, Pak. Anda bisa bertanya padanya. Mereka teman dekat."
Alvarendra mendengus geli dalam hati. Dirinya bahkan tinggal dengan Adiba. "Terima kasih informasinya, Eza."
"Sama-sama. Mari, Pak," pamit Eza sembari berlalu dari sana.
*
Suasana kelas A Pendidikan Fisika 2016 begitu ramai. Suara saling mengejar seolah tak ada yang ingin mengalah. Sahut-menyahut, menghasilkan kericuhan.
"Diba, mau ikut nggak?"
Adiba memiringkan kepala. Seseorang memanggilnya. Mengalihkan perhatiannya dari Abelyn. "Ke mana?"
"Kantin. Mumpung jam kosong. Ke sana, yuk. Aku yang traktir."
"Dalam rangka apa?"
"Masa kamu lupa ulang tahunku?"
"Eh? Ya Allah, maaf!" Adiba buru-buru bangkit. Menghampiri lawan bicaranya. "Kamu tambah tua dong, Milda?"
Gadis yang dipanggil Milda itu berdecak. "Kita seumuran, lho."
Adiba terkekeh. "Aku mau ikut, sih, tapi," tukasnya sambil melirik bangku Abelyn, "bareng Abel, 'kan?
"Duh, nggak enak kalau ngajak dia. Suasana berubah canggung. Ayolah, Diba. Kali ini aja kamu ikut bareng kita-kita."
"Iya, nih. Adiba jarang gabung bareng kita. Ke mana-mana gandengan terus sama si Abelyn."
Adiba menyengir lebar. "Justru karena itu! Abel diajak sekalian biar nggak ada jarak di kelas kita. Boleh, 'kan?"
Milda dan gengnya saling berpandangan. Mendesah pelan, mengangguk pasrah. Berbalik kepada Adiba seraya berkata, "Baiklah. Eh, tapi ajarin tugas yang dikasih Pak Revan, ya? Mumpung beliau nggak masuk, ada kesempatan buat benerin jawaban."
Adiba mengernyit samar. "Bukannya kamu sepupu Alan, Mil? Kenapa nggak minta dia yang ngajarin?"
"Huh, dia ragu sama jawabannya. Jadi, kami bisa lebih yakin setelah lihat punyamu."
Adiba manggut-manggut. "Ya udah, berangkat sekarang?"
"Kuy!"
Adiba berbalik, menghampiri Abelyn. Gadis itu menepuk pundak sahabatnya. Abelyn mendongak. "Kantin, yuk? Bareng yang lain."
Abelyn memandang sekumpulan gadis di belakang Adiba, mereka membalas tatapannya. Tampak jelas ketidaksukaan dari sorot mata mereka.
Gadis itu berpikir cepat. Apa keuntungan yang bisa dia dapatkan saat bergabung dengan Milda, dkk.?
Makan gratis? Tidak menarik. Dia punya uang sendiri. Hasil jerih payahnya, ditambah pemberian orang tua.
Mereka tidak suka padanya. Begitu pula dirinya tak peduli akan kehadiran mereka. Boleh dikata, Abelyn tak butuh banyak teman sebab dia sudah memiliki Adiba di sisinya.
Sungguh, Adiba adalah gambaran teman ideal. Cerdas, manis, agak naif, mudah dimanfaatkan.
Cukup lama Abelyn menimbang untung-rugi, cengirannya mengembang.
"Kuy!" Adiba berseru. Satu cengiran Abelyn melambangkan persetujuan.
Adiba tak tahu kalau Abelyn tersenyum karena punya segudang ide kreatif, kalau tidak bisa dibilang licik, di kepalanya.
Gadis itu bangkit. Dia terabaikan. Hanya Adiba yang berusaha mengajaknya bicara. Milda, dkk. tak mau repot-repot.
Tak apa. Memang beginilah rencananya. Mengamati dalam diam, mempelajari kepribadian mereka satu per satu, dan mengeluarkan kemampuannya di waktu yang tepat.
Keuntungan jalan dengan tim Milda, dia dapat memperoleh informasi gratis. Mereka suka bergosip, bukan?
Sorot mata Abelyn berkilat sesaat. Terlalu cepat. Sulit diartikan.
Mereka menuruni tangga menuju ke lantai dua. Kantin fakultas ada di dekat gedung program studi Pendidikan IPA.
"Eh, eh, apaan tuh?" Milda berhenti mendadak, disusul oleh kawanannya.
"Aduh, Milda! Hati-hati dong. Kalau kita jatuh berjamaah di tangga, nggak lucu, tahu?"
"Stt, bukannya itu Pak Alva, ya?" Milda meletakkan telunjuk di bibirnya. "Lagi bareng cewek."
Mereka sontak berebut memastikan ucapan Milda. "Mana?!"
Di bawah tangga, sekitar dua meter dari undakan pertama, Alvarendra tengah bercakap-cakap dengan seorang gadis. Memang hanya punggungnya yang terlihat, tetapi mereka hafal perawakan sang dosen idola.
"Itu si Eza anak kelas B, 'kan?"
"Dih, lihat deh, senyumnya malu-malu gitu." Milda mencibir.
"Mereka ngomongin apa, ya?"
"Masa Eza berani nembak Pak Alva?"
Adiba mengerutkan dahi. Melangkah ke depan. "Ngaco, ah. Mungkin lagi nanya tugas. Nggak usah mikir aneh-aneh. Kalian ini kebanyakan nonton drama," tukasnya sambil tersenyum geli.
Mereka rusuh sendiri. Abelyn memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin. Tanpa disadari siapa pun, gadis itu bergerak menjauh. Dia sengaja mengambil posisi strategis agar leluasa menyaksikan objek yang menjadi sumber kehebohan teman sekelasnya.
Abelyn menatap lamat-lamat. Imajinasi liar bermain-main di kepala.
Alvarendra Pratama memang visualisasi ideal untuk jadi tokoh utama dalam novel. Namun, cerita apa yang cocok dengannya?
Terusan terang, Abelyn masih stuck. Belum punya ide yang pas. Dia masih tahap mengumpulkan informasi. Semoga risetnya tidak berakhir sia-sia.
Kesulitan Abelyn disebabkan oleh kepribadian pemuda itu. Bingung bagaimana mengolahnya dengan tepat.
Membayangkan Alvarendra akan jadi tokoh bejat yang digandrungi banyak wanita, dia tak kuasa. Laki-laki itu terlihat alim. Tipe-tipe good boy.
Masalahnya, itu akan mengubah ciri khas Abelyn sebagai novelis. Dia punya citra tersendiri yang membuatnya menutup identitas asli rapat-rapat. Lagi pula, Abelyn tak tahu apa yang ada di pikiran pemuda itu. Benarkah Alvarendra sesempurna yang terlihat?
Susah menebaknya bila kesempatan mereka bertemu secara intens hanya sebatas perkuliahan. Menyadap informasi dari orang lain pun kurang akurat.
Alvarendra punya image yang agak-agak tidak masuk akal. Wajah tampan, ramah, bentuk badan proporsional, plus cerdas.
Belum lagi, berdasarkan kabar selentingan, pemuda itu selalu menyempatkan salat duha, puasa Senin-Kamis, dan menjeda kelas bila bertepatan dengan waktu salat wajib.
Abelyn mengerutkan dahi samar. Tidak bisa dipercaya. Mana mungkin ada manusia modern dengan profil sebagus itu?
Tarik napas dalam-dalam, keluarkan lewat mulut. Jika ada kesempatan mengenal Alvarendra lebih jauh, Abelyn tidak akan menyia-nyiakannya. Informasi tentu lebih akurat bila datang dari sumbernya langsung.
Haruskah dia nekat mendekati Alvarendra? Bertingkah sebagaimana gadis-gadis lain? Menyerahkan diri secara sukarela?
"Abel, oi, Abelyn!"
Tersentak. Gadis itu memandang Adiba horor. Pikirannya belum jernih.
Gila. Jangan sampai dia meruntuhkan citra yang dibangunnya hanya karena rasa penasaran!
"Ya?"
"Ayo jalan. Kenapa ngelamun?"
"Tinggalin aja, Dib!" seru Milda dari bawah tangga.
Abelyn mengangguk kaku. Meluruskan pandangan. Matanya melebar sesaat, terkejut, tetapi dengan cepat datar kembali.
Apa yang sudah dia lewatkan?
Alvarendra ada di bawah tangga. Bercakap-cakap dengan geng Milda.
Abelyn turun hati-hati. Ekspresi masa bodoh, aslinya dia kepo maksimal.
"Hati-hati, Abelyn. Tidak baik melamun sambil jalan."
Astaga. Abelyn mendongak. Tatapan mereka bertemu.
Alvarendra ingat namanya?!
Pemuda itu baru saja tersenyum dan menegurnya!
Senyum khas Abelyn muncul lagi. Selangkah lebih dekat dengan target. Ini perkembangan baru.
Milda, dkk. mendengus tipis. Tak apa. Bukan urusannya.
"Nggeh, Bapak."
Alvarendra mengangguk sekilas. Pemuda itu berlalu. Percakapan singkat barusan menjadi suntikan semangat tersendiri bagi Abelyn.
"Gila, senyumnya manis banget!" Milda berucap. Direspon tawa riuh. "Mungkin ibu beliau ngidam gula waktu hamil?"
Adiba mengernyit tak suka. Dia tahu Alvarendra populer, tetapi mendengar komentar centil secara langsung selalu membuatnya risi.
Kurang ajar. Bagaimana mungkin mereka mengatakan hal-hal semacam itu kepada dosen?
Adiba memiringkan kepala, memandang Abelyn. Memang cuma gadis seperti sahabatnya yang pantas mendampingi sang kakak. "Bel, aku suka kamu."
"Sama," sahut Abelyn singkat.
Raut Adiba terlihat puas. Mereka memang saling menyayangi, meski dengan motif berbeda, tentu saja. Adiba tulus, Abelyn siapa yang tahu.
Belum lagi, dibandingkan Milda dkk., imajinasi liar Abelyn lebih parah.
Ah, andai saja Adiba tahu, dia tidak akan menjodohkan sang kakak dengan gadis itu.
-TBC-
Parahh si Abel. Makin ke sini, makin culas aja. Ngahaha.
Ada tokoh baru. Eza pernah muncul di This Is Our Way, teman kelasnya Arisha.
Ramaikan, rek!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top