10. Motif
Abelyn mengusap air matanya. Membuang muka. Sial. Alvarendra selalu muncul di saat yang tidak tepat. Dia semakin terlihat lemah di hadapan lelaki itu. Menyebalkan.
"Kakak senang ngelihat aku cekcok sama Adiba?"
"Kemunculan Adiba di luar rencanaku," sahut Alvarendra kalem.
"Lalu sekarang apa? Kakak puas ngelihat kondisiku?"
Alvarendra mendengus tipis. Rasa empatinya langsung musnah. Abelyn memang perlu diberi pelajaran!
"Kenapa kamu bertingkah sebagai korban? Playing victim, eh?" Alvarendra tersenyum miring. "Normalnya, aku dan Adiba yang marah!"
Abelyn menatap lurus-lurus. "Katakan, apa salahku?"
"Kamu suka manfaatin orang! Memanipulasi mereka demi kepentingan pribadi!" Mata Alvarendra berapi-api. Teringat naskah yang dibacanya beberapa saat lalu. "Kamu bahkan nerima lamaranku cuma karena penasaran. Butuh riset tentang karakter baru. Abel, kenapa pikiranmu sepicik itu?"
"Apa itu penting?"
"Maksudmu?"
"Niat, motif, alasan, atau apa pun sebutannya, seberapa penting? Lihat, meski alasanku nikah karena pengen riset, aku tetap ngejalanin kewajibanku sebagai istri, 'kan?" Abelyn menantang. Bukan dia yang salah. Mereka hanya tidak memahami pola pikirnya. "Selain itu, aku nggak pernah ngerugiin orang, cuma ngambil peluang."
Alvarendra mengusap wajah. Dia sudah menemukan titik terang. Sejak awal persoalan mereka berputar pada perbedaan prinsip.
Bagi Abelyn, niat tidaklah penting. Wajar. Sebab, dia menjadikan sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan, sebagai asas berpikirnya. Kemudian melahirkan ideologi kapitalisme, yang mana manfaat adalah orientasinya. Sadar atau tidak, orang-orang semacam ini, takkan peduli bagaimana sebuah proses, halal atau haram, adakah melanggar aturan agama, selagi sanggup mencapai tujuan, memenuhi kepuasan diri, tak jadi persoalan.
Berbeda dengannya dan Adiba. Mereka menjadikan Islam sebagai asas berpikir. Lebih dari sekadar agama, Islam adalah ideologi. Tak hanya mengatur ibadah ritual, melainkan seluruh aspek kehidupan. Standarnya halal-haram. Niat dinilai penting, bahkan menjadi salah satu sebab diterimanya amalan. Selain itu, suatu aktivitas juga perlu ditunjang oleh tata cara yang benar, kesesuaian terhadap syariat.
Dengan kata lain, sekalipun hubungan mereka memenuhi seluruh hak dan kewajiban, bila tak dilandasi niat yang ikhlas, maka percumalah di hadapan Sang Maha Kuasa. Hanya sekadar aktivitas fisik belaka, namun tak bernilai pahala. Rugi, bukan?
Alvarendra memutar otak. Sedikit kesal sebetulnya. Pasalnya, konsep tersebut pernah dibahas dalam program belajar bersama selepas salat Tahajud. "Kamu ngelamun, ya, waktu aku mentoringi?" tukasnya asal.
"Tidur malah. Antara sadar dan nggak. Aku udah pernah bilang, belajar Islam itu harus datang dari hati. Nggak boleh dipaksa," sahut Abelyn lempeng.
"Ck, teori ngawur. Keenakan kalau gitu. Semua orang bebas pakai alasan belum niat."
"Ya, ya, terserah Kakak. Cuma mau ngingetin, pertanyaanku belum dijawab." Abelyn memasang tampang malas.
"Bel, aku peluk sekarang, mau?"
"Hah?!"
Alvarendra tersenyum geli. "Supaya aku gampang nyekik lehermu kalau kamu ngelawan."
Abelyn menatap keki. Pembicaraan ini semakin tidak jelas juntrungannya. Apa keinginan Alvarendra sebenarnya?
"Bercanda, Bebel. Santai."
Alvarendra tersenyum simpul. Situasinya kini lebih baik. Apa yang akan dia sampaikan sulit diterima jika masih ada ego tersisa. Abelyn memang belum tentu sepakat, tetapi tak ada salahnya menciptakan kenyamanan terlebih dahulu.
Abelyn mencibir dalam hati. Dia menatap ragu, sebelum akhirnya menuruti permintaan Alvarendra, walau katanya hanya bercanda. Tanpa aba-aba, bergerak ke depan, melingkarkan lengan di tubuh sang suami.
"Lho?"
"Biar Kakak nggak balas dendam kalau aku gigit."
Alvarendra menunduk, Abelyn menengadah. Saling bertatapan dalam diam. Tak lama, tawa dan senyum khas menyatu. Lalu senyap selama beberapa saat.
"Bebel," panggil Alvarendra.
"Hm?"
"Mending kamu balik ke tempat semula, deh."
"Kenapa?"
"Aku jadi nggak fokus kalau kamu nempel kayak gini."
Abelyn spontan meninju bahu Alvarendra agak kencang, lalu buru-buru menarik diri, menjaga jarak.
Alvarendra tertawa kecil, lantas berdehem, "Kamu nanya, seberapa penting sebuah niat atau motif, bakal kujawab sesederhana mungkin. Ambillah contoh, salat. Bacaan Alquran fasih, tata cara benar, tapi ria. Bernilai pahala atau nggak?"
"Nggak, lah!"
"Benar. Sepakat, ya? Dalilnya banyak, boleh dicari sendiri."
Abelyn mengangguk singkat. Sudah diajarkan di sekolah sejak kecil.
"Nah, konsep barusan, berkaitan dengan niat, juga berlaku untuk seluruh aktivitas kita. Harus ikhlas karena Allah. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Dari urusan individu sampai negara. Tanpa terkecuali."
"Beda. Salat itu ibadah. Lah, kalau aktivitas lain? Gimana caranya coba? Masa harus ngucap niat setiap mau ngerjain sesuatu? Contoh, aku niat nugas karena Allah, gitu?"
Alvarendra meringis. Antara merasa lucu dan miris. "Bukan, Bebel. Masih ada yang keliru dengan caramu memaknai ibadah dan niat. Perihal ibadah, kamu langsung mikir tentang hal-hal praktis, seperti salat, puasa, zakat, dan sejenisnya."
"Benar, 'kan?"
"Iya, tapi nggak cuma sebatas itu. Ibadah maknanya luas. Ngejalanin seluruh perintah Allah dan ngejauhin larangan-Nya. Emang syariat Allah sekadar apa yang termuat dalam rukun Islam?" tanya Alvarendra retoris.
Abelyn menyepakati dalam hati. Selama ini, tatkala membahas tentang Islam, memang pandangannya pasti terpaku pada rutinitas ibadah ritual. Padahal, hampir setiap muslim rasanya mengetahui kesempurnaan Islam, betapa lengkap hukum-hukum agama tersebut. Namun kenapa, pada faktanya, mayoritas justru mencukupkan pada sesuatu yang bersifat amalan praktis?
Jarang sekali menemukan seorang muslim memiliki pandangan luas, visi yang tinggi. Menegakkan kembali Peradaban Islam, misalnya?
Abelyn mengerjap. Linglung.
Hah!
Konsep apa yang baru saja melintas di benaknya?
Tidak, tidak. Astaga. Terlalu banyak bermain dengan Adiba, ditambah menikahi Alvarendra, ternyata sanggup memengaruhi pemahamannya!
"Oi, jangan ngelamun!"
"H-huh? Uh, ya. Kakak ngomong apa?"
Alvarendra berdecak. Mengacak-acak rambut Abelyn. "Esensi niat adalah kesadaran akan hubungan dengan Pencipta. Sederhananya, apa pun jenisnya, di segala situasi, kita perlu ngingat Allah. Sadar kalau hal tersebut akan dihisab kelak. Baik atau buruknya. Allah Maha Tahu. Ya, kayak salat tadi. Bukan cuma asal gerak, tapi juga dihayati. Sebelum ibadah dimulai, dalam proses, bahkan hingga selesai. Niat senantiasa dijaga. Jangan sampai rusak di tengah jalan."
Abelyn manggut-manggut. Masuk akal. Dapat diterima. "Lalu apa hubungannya dengan kemarahan kalian?"
"Jangan ngangguk kalau belum ngerti!" sergah Alvarendra.
Abelyn menatap lurus-lurus. "Aku nggak punya apa-apa. Manfaatin orang hebat seperti kalian, nggak masalah, 'kan?"
"Kurang tepat, Bebel. Islam nganjurin tolong-menolong. Berlomba-lomba dalam kebaikan. Sebaik-baiknya manusia emang yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Bukan berarti kamu boleh manfaatin saudaramu. Itu licik namanya. Justru sebaliknya, berusahalah untuk jadi si penolong. Pahalanya lebih banyak, ingat?" Alvarendra menyentil dahi istrinya.
Abelyn menggeleng. Tidak sepakat. "Aku belum paham. Di mana letak kesalahanku? Penjelasan Kakak terlalu ribet."
"Hm, otaknya kalau nggak dipakai, mending dijual," komentar Alvarendra pedas.
"Jadi, apa jawabanmu?" Abelyn tak ambil pusing. Masa bodoh.
Alvarendra memelotot gemas. Ingin mengetok kepala Abelyn. Susah sekali memahamkan perempuan ini. "Dengerin baik-baik, wahai istriku. Motif orang-orang ngejalin hubungan boleh jadi macam-macam. Tergantung isi kepalanya. Para kapitalis, misalnya. Alasan mereka tentu nyari duit, keuntungan. Gitu juga dalam berteman. Apa yang jadi landasan kalian? Kesamaan hobi? Jumlah kekayaan orang tua? Sekadar kerja kelompok? Apa, hm?
"Berlaku pula dalam pernikahan. Kalau alasanmu bersedia kunikahi sebatas riset, lalu gimana setelahnya? Kamu akan bosan? Mundur? Minta cerai? Sesuatu yang berdasar pada kesenangan dunia, sangatlah rapuh, mudah patah, nggak abadi, Abel."
"Terus yang benar gimana? Emang nggak boleh berkoalisi atas dasar manfaat?" Abelyn menatap gusar. Kalimat terakhir Alvarendra menyentilnya. Teringat akan pengkhianatan yang dia terima beberapa tahun silam.
"Sangat boleh. Sah. Tapi, cobalah untuk berpikir lebih jauh. Miliki visi yang tinggi. Nggak terbatas ruang dan waktu. Abadi. Termasuk pernikahan kita. Okelah, motif awalmu karena penasaran, pengen jadiin aku inspirasi tokoh di novelmu. Setelah tujuanmu tercapai, lalu apa?"
Abelyn bungkam. Tak berpikiran sejauh itu. Apabila tujuannya tercapai, ya sudah. Dia akan menjalani hidup bagaikan air yang mengalir.
"Kurasa, Adiba berpikiran sama sepertiku. Aku nggak tahu detail pembicaraan kalian tadi, tapi berhubung dia pulang tanpa pamit padaku, tampaknya gagal?" Alvarendra berkata hati-hati.
Abelyn melengos. "Dia ragu tentang perasaanku. Padahal, aku benaran sayang. Bikin emosi. Serendah itu aku di mata kalian?"
Alvarendra mendesah berat. Teringat akan undangan mertuanya. Sepertinya dia harus mencari alasan untuk menolak. "Gini, analogimu tentang suatu hubungan, bagai simbiosis mutualisme, sulit kami terima. Terkesan nggak tulus. Jika suatu waktu nggak ada lagi manfaat yang bisa diambil, apa kamu bakal pergi?
"Balik lagi ke penjelasanku sebelumnya. Kami butuh sesuatu yang abadi, nggak ternilai. Apa itu? Rida Allah. Maka, saat berteman, dalam kasus Adiba, dia berharap ikatan kalian nggak putus, sampai ke surga. Akan ada syafaat bagi dua orang yang saling berkumpul dan berpisah karena Allah.
"Dalam praktiknya, jangan heran kalau Adiba cerewet soal agama. Entah ngajak kamu ke kajian, ngingetin saat salah, atau perhatian serupa. Selama kalian berteman, kamu pernah ngerasain hal-hal semacam itu, 'kan?"
"Jadi, bukan karena dia emang suka ceramah?"
Alvarendra mencubit pipi Abelyn kuat-kuat, membuat sang empunya menjerit. "Itu tandanya dia sayang!"
Abelyn mengusap-usap pipinya. "Berarti Kakak juga sayang padaku?"
"Hm?"
"Iya, buktinya sering ngatur-ngatur. Nyuruh ini-itu. Harus sesuai aturan Islam, lah."
"Tentu."
Abelyn mengernyitkan dahi samar. "Kakak jatuh cinta padaku?"
Alvarendra menyorot jenaka. "Emang kita butuh cinta?"
Senyap sekian detik. Lalu mereka sama-sama meringis. Awkward.
-TBC-
Masalah selesai? 😈
Halo, aku udah nulis draft cerita ini sampai SELESAI, yeay!
Tapi, tapi, bakalan tamat lebih awal, dan aku kok nggak rela, ya 😔
Nah, karena itu, jadwal update-nya aku ubah lagi (aku senang, pembaca nggak). Wakaka.
Dua hari sekali biar bisa tamat akhir APRIL. Sembari aku nyiapin cerita baru. Catat, yak. 📌
So, sampai ketemu hari Jumat! Insya Allah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top