1. Sebab

Abelyn dan Adiba kebetulan bertemu di parkiran. Mereka memutuskan menuju kelas bersama. Dua sahabat itu menelusuri pelataran kampus. Setelah memasuki kawasan gedung jurusan Fisika, mereka berbelok di ujung koridor lantai satu, hendak mengikuti kelas pertama di tahun ajaran baru.

"Kita kedatangan dosen baru, lho, Bel. Beliau yang ngajar di kelas kita pagi ini." Adiba berujar antusias.

Abelyn bergumam tanpa minat, juga tak ingin tahu bagaimana Adiba memperoleh informasi itu. Bukan urusannya. Tumpukan tugas tidak akan berkurang hanya karena ganti dosen.

Setiba mereka di dalam ruangan, kelas mendadak hening. Semua mata tertuju ke arah pintu. Mengamati dua gadis yang melenggang masuk tanpa permisi.

"Kenapa?" tanya Adiba. Merasa bingung akan reaksi teman-temannya.

"Heh! Kalian santai banget! Itu di depan udah ada dosen!" celetuk seorang perempuan berbadan gemuk yang duduk di dekat pintu, Milda.

Adiba dan Abelyn kompak memiringkan kepala, menatap tepat ke meja dosen. Senyum Adiba sontak merekah, sedangkan Abelyn justru mengernyit samar.

Kenapa dia datang begitu cepat? Ah, mungkin karena masih baru.

Pemuda itu tersenyum simpul seraya berkata, "Silakan masuk. Mari kita lanjutkan perkenalannya."

"Aaa ..." Riuh rendah suara cekikikan para mahasiswi terdengar. Kuliah perdana semester 5, mereka disuguhi penampakan dosen muda- terlalu muda- yang sifatnya benar-benar mengagumkan.

"Silakan duduk!" tukas Alvarendra.

"Baik, Pak." Adiba buru-buru menyeret tangan Abelyn.

"Sampai mana pembahasan kita tadi?" Alvarendra bangkit dari kursinya. Berdiri di depan semua mahasiswa dengan rasa percaya diri yang tinggi.

"Kontrak perkuliahan, Pak!"

"Bagi yang baru datang, tanya temannya apa pembahasan kita sebelum ini."

"Iya, Pak!" sahut Adiba semangat.

"Coba perhatikan kontrak perkuliahan kita," kata Alvarendra sambil mengarahkan pointer ke layar proyektor.

1. Toleransi keterlambatan:
a) Mahasiswa maksimal 15 menit. Lebih dari waktu tersebut, dianggap tidak hadir.
b) Dosen terlambat 15 menit tanpa konfirmasi, kelas bubar.

2. Tugas dikumpulkan secara online melalui email: [email protected]

3. Pengumpulan tugas harus sesuai deadline. Setiap keterlambatan mendapat pengurangan poin.

"Ada yang mau diubah?" Alvarendra kembali menghadap mahasiswanya. Menunggu mereka bersuara.

"Saya, Pak!" Salah seorang pemuda mengangkat tangan.

"Ya, atas nama siapa?"

"Alan Pranata, Pak."

Alvarendra tersenyum, mempersilakan.

"Bagaimana kalau poin pertama dihilangkan saja, Pak?"

Alvarendra mengangguk-angguk. Sama seperti dugaanya. Mayoritas mahasiswa akan memprotes poin tersebut. "Alasannya?" tanyanya kalem.

Mahasiswa yang bernama Alan itu hanya mengusap tengkuknya, bingung. Tak tahu harus memberikan penjelasan seperti apa. Dia punya alasan pribadi.

"Alan malas bangun pagi, Pak! Tumben hari ini dia datang lebih awal!" timpal yang lain, disambut sorakan dari seluruh penghuni ruangan kecuali Abelyn.

Alvarendra berdehem guna menormalkan kembali suasana kelas. "Apa benar begitu, Alan?"

Alan hanya memasang tampang kalem. Biarlah teman-temannya beranggapan seperti itu. Mereka tak perlu tahu alasan sebenarnya dibalik keterlambatannya selama ini.

Alvarendra menggeleng. "Maaf Alan, usulanmu terpaksa ditolak karena alasanmu kurang kuat. Ada saran lain?"

Hening. Walaupun terkesan ramah, Alvarendra tetaplah dosen dengan segala titahnya. Mahasiswa banyak ulah, nilai terancam. Bukankah selalu begitu?

"Tidak ada? Saya anggap setuju semua. Sekarang keluarkan secarik kertas. Tulis nama lengkap dan NIM. Jawab pertanyaan yang ada di layar." Alvarendra mengganti slide-nya. "Tenang saja, nilainya tidak dihitung. Ini hanya sebagai bekal pengetahuan awal. Kalian boleh keluar jika sudah selesai."

Setelah memberikan tugas, Alvarendra kembali ke tempat duduknya. Pandangannya bertemu dengan salah seorang mahasiswi. Sedari tadi gadis itu terus tersenyum ke arahnya.

Alvarendra mendengus geli sambil memalingkan muka. Tatapannya menerawang. Mengingat lagi perjalanan yang dilalui hingga sampai ke titik ini. Siapa sangka ia akan meraih impiannya secepat itu.

Menjadi dosen di usia yang terbilang sangat muda? Siapa yang tidak bangga? Terlebih, dia berasal dari luar pulau Jawa. Pemuda itu lahir dan besar di salah satu pelosok Nusantara.

"Pak, Bapak!"

Alvarendra tersentak, lantas menoleh cepat. "Ah, maaf, ada apa?"

"Mau mengumpulkan tugas."

"Oh, iya, silakan. Kamu boleh keluar. Jangan lupa isi presensinya dulu." Alvarendra berkata sembari mengulas senyum ramah- yang sayangnya tak menerima balasan.

Gadis itu buru-buru menandatangani presensi, lalu bergegas keluar.

Alvarendra membaca sekilas identitas yang tertera di kertas, Abelyn Aeesha Atmarini. Keningnya berkerut dalam. Merasa aneh saat teringat wajah tanpa ekspresi milik gadis itu.

Di sisi lain, sesampainya di luar ruangan, Abelyn langsung bersandar pada tembok di dekat pintu. Dia mengelus dada seraya bergumam, "Itu benaran dosen?"

Abelyn menemukan seseorang yang selalu diimpikan. Dosen muda, wajah tampan, dan kepribadian menyenangkan. Mirip seperti gambaran tokoh utama dalam novel-novel koleksinya. Ia tak menyangka rasanya akan begitu mendebarkan. Ingin sekali dia berteriak, tetapi sekuat mungkin ditahannya.

"Kenapa wajahmu girang banget?" Adiba menepuk kencang pundak Abelyn.

Abelyn mendongak, lantas memekik, "Diba!"

Adiba menyipitkan mata. Memasang sikap waspada. Biasanya tingkah Abelyn berubah jadi centil ketika membahas novel, manga, atau anime. "Enggak! Jangan sekarang! Kita ada kelas lagi di gedung sebelah. Ayo pergi!" Adiba menarik paksa tangan sahabatnya.

"Dib, beliau dosen baru yang kamu ceritakan, bukan?"

"He'em. Muda banget, 'kan? Umurnya baru 23, lho. Ramah, senyumnya manis, mukanya ganteng pula." Adiba menjelaskan penuh kebanggaan. Sampai-sampai terkesan bagai SPG yang mempromosikan dagangan.

"Keren." Abelyn berkomentar singkat.

"Apa?" Adiba menoleh cepat, memastikan kalau pendengarannya masih berfungsi dengan baik.

"Aku suka! Jadi pengen, deh." Abelyn berteriak kecil sambil memeluk Adiba singkat.

Kelakuan Abelyn berhasil membuat sahabatnya terkaget-kaget. Abelyn sedang tidak membahas cerita fiktif, tetapi bisa seantusias ini? Patut dicurigai! "Suka apa, heh? Pengen apa? Ngomong yang jelas!"

Abelyn hanya menyengir. Ide baru berhamburan di benaknya. Akhir-akhir ini Abelyn merasa agak jenuh, kerativitasnya tersendat. Kemunculan Alvarendra membawa ilham tersendiri buatnya.

"Senyummu mencurigakan!" Adiba meneriaki Abelyn yang berlalu tanpa peduli.

Adiba mengerutkan dahi. Dia hanya bercerita tentang Alvarendra, tetapi sanggup  membuat sahabatnya antusias.

Tunggu, Abelyn mengaku menyukai dosen itu, bukan?

Adiba menatap punggung Abelyn. Senyum misterius terbit di wajahnya. "Aku mendukungmu," gumamnya pelan, "Abel, tunggu aku!"

-TBC-

Bagi pembaca baru, selamat bergabung~

Bagi pembaca lama, kalian bisa melihat perbedaannya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top