1.2 Sebab

Abelyn datang lebih awal. Sengaja memilih tempat paling strategis untuk mengamati gerak-gerik dosen. Selain untuk memahami materi, tentu dia juga tidak akan melupakan misinya- menjadikan Alvarendra sebagai model dalam novel barunya. Di sampingnya, Adiba tampak tengah asik membaca.

"Kenapa dosennya belum datang?" gumaman mahasiswa lain mulai terdengar bersahutan.

"Apa jangan-jangan nggak masuk?"

Adiba yang mendengar itu sontak merogoh ponselnya yang ada di dalam ransel. Mengecek notifikasi WhatsApp. Mungkin saja Alvarendra mengirimkan konfirmasi keterlambatan padanya.

"Eh, bukannya Pak Alva belum minta nomor PJ matkul, ya? Gimana cara beliau konfirmasi kalau gitu?" Alan menatap teman-temannya bingung. "Selain itu, siapa PJ-nya?"

"Kamu!" Semua orang sontak mendaulat Alan.

"Kok aku lagi? Semua mata kuliah aku yang bertugas?!"

"Nggak usah pakai PJ matkul! Kamu aja yang jadi ketua kelas abadi!" timpal Milda, perempuan berbadan gemuk yang duduk tepat di depan Alan.

"Setuju!" Seluruh penghuni kelas bersorak.

Alan sudah menjabat sebagai ketua kelas sejak semester awal. Pemuda itu yang pertama kali mengajukan diri, seisi kelas tidak keberatan. Lagi pula, Alan termasuk orang yang sangat tahan banting. Tak jarang dia menerima omelan dari teman-temannya karena ulah beberapa dosen yang sering memberikan tugas dadakan.

Alan memang sering terlambat karena alasan tertentu, tetapi dia cerdas. Mukanya sangat kalem, suaranya menenangkan bagaikan gemericik air sungai di pedesaan. Memberi kenyamanan terhadap orang-orang yang dipimpinnya.

Abelyn refleks menyengir melihat ekspresi Alan. Daripada jadi ketua, Alan lebih cocok disebut babu kelas.

"Kenapa senyum-senyum sendiri?" Adiba mengangkat alisnya heran. Belakangan ini Abelyn lebih ekspresif.

Abelyn menyahut, "Si Alan kayaknya cocok jadi visualisasi karakter yang tertindas dalam novel-novel remaja."

"Ah, seharusnya udah bisa kuduga! Kurang-kurangi baca novel, Bel."

Abelyn mengedikkan bahu. Adiba hanya tahu dia pembaca sejati, pemilik ratusan koleksi novel. Tidak akan ada yang menyangka kalau dirinya seorang penulis ternama. Abelyn sengaja menyamarkan identitas karena alasan tertentu. Gadis itu memulai karirnya sejak SMA di sebuah platform menulis online. Beberapa bukunya bahkan sudah naik cetak dan menduduki rak bestseller.

"Assalamu'alaikum!" Suara dari arah pintu menarik perhatian semua orang. Alvarendra melangkah masuk diiringi senyum canggung. "Maaf, saya terlambat. Tadi ada keperluan mendadak di Jurusan."

"Nggak pa-pa, Pak! Kami sabar, kok!" sahut beberapa mahasiswi.

Alvarendra hanya tersenyum simpul. "Baiklah. Dari hasil jawaban kalian kemarin, ternyata masih banyak yang belum bisa membedakan apa itu tes, asesmen, pengukuran, dan evaluasi. Karena itu, hari ini saya akan memberikan sedikit pengantar. Di akhir nanti akan ada tugas yang dikerjakan berkelompok. Silakan dibentuk sesuai urutan presensi."

"Baik, Pak!"

*

Di taman fakultas, ditemani lampu sorot yang sedikit menyilaukan, tiga mahasiswa duduk berhadapan guna mengerjakan tugas. Abelyn duduk di samping Adiba, sedangkan Alan duduk di seberang meja.

"Jadi, apa materi yang akan kita pakai?" Abelyn menopang dagu. Mereka diminta membuat makalah tentang miskonsepsi dalam fisika.

"Suhu dan kalor! Kalian tahu? Jurnal miskonsepsi suhu dan kalor itu udah banyak. Kita gampang nyari referensinya." Adiba bersuara.

"Gimana kalau getaran dan gelombang? Masih sedikit penelitian yang membahas miskonsepsi topik itu. Pasti seru." Alan menyahuti.

"Nggak! Justru karena minim referensi, makanya aku menolak."

Abelyn menguap, bosan. Risiko sekelompok dengan orang-orang pintar. Mereka sibuk berdebat sedari tadi.

"Ya udah, kalau gitu, kita minta pendapat Abel aja. Kamu pilih topik mana, Bel?" tukas Adiba licik. Yakin betul kalau Abelyn akan mendukungnya. Sahabatnya ini tidak suka berurusan dengan hal-hal merepotkan.

Abelyn menatap Adiba sebentar, lantas mendesah bosan. "Kamu pasti udah tahu pilihanku."

Adiba bersorak, "Sip! Kita pakai materi suhu dan kalor!"

Alan berdecak sembari memutar bola mata. "Karena ini materi pilihanmu, maka yang bertugas nyari jurnal sekaligus menganalisis kamu. Aku kebagian bikin ppt, dan Abelyn yang bikin makalah."

"Huh? Kenapa aku yang paling berat tugasnya? Bikin makalah nggak mudah, lho."

"Mudah aja. Adiba yang nyari jurnal. Kamu tinggal ngetik. Kalau udah, kirim ke aku lewat WhatsApp. Paham, 'kan? Aku duluan." Alan tak menghiraukan protes Abelyn. Pemuda itu berlalu begitu saja.

"Dasar anak itu! Kelihatannya aja penurut, kalem, aslinya nyebelin." Adiba menggerutu mengiringi kepergian Alan.

"Kalian saling suka, bukan?"

"Hah?!"

"Alan itu baik. Kalau ada silang pendapat, selagi untuk kepentingan bersama, sebisa mungkin dia ngalah. Kalem, jarang nyolot. Mirip kamu. Adiba yang kukenal jarang protes. Anehnya, barusan kalian nunjukkin sifat yang bertolak belakang. Berdebat, ngotot, seolah sengaja bikin tugas kita makin lama. Ya, wajar. Nggak mungkin kalian ngobrol untuk hal-hal remeh. Apa istilahnya? Jaga interaksi?"

Abelyn repot-repot menerangkan untuk mengamati reaksi Adiba. Lagi-lagi demi kepentingan riset. Dia sering menjadikan orang-orang di sekitarnya sebagai inspirasi. Begitulah Abelyn. Peduli ketika ada niat terselubung.

Wajah Adiba memerah. Malu sekaligus terharu. Begitulah Abelyn yang dikenalnya. Muka boleh datar, sikap selalu cuek, tetapi dia seorang pengamat sejati. Peduli pada orang-orang terdekatnya. "Ngomong apa kamu, Bel?"

Abelyn mengedik. "Gimana kelanjutannya? Mau diselesaiin sekarang atau nanti?"

Adiba menarik napas. Khas Abelyn sekali. Suka mengubah topik seenaknya. "Nanti. Ini udah malam juga. Eh, gimana kalau aku nginep di rumahmu? Biar enak ngerjainnya." Adiba menatap wajah sahabatnya.

"Nggak masalah, sih. Udah lama kamu nggak main ke rumah. Ditanyain mulu sama orang tuaku."

"Asyik! Siapin makanan enak! Aku balik ke rumah dulu sekalian mau siap-siap buat besok." Adiba bergegas merapikan peralatan kuliahnya.

"Eh, Dib, bukannya minggu lalu kamu bilang kakakmu baru pindah ke Malang? Nggak apa-apa ditinggal?" Abelyn teringat akan cerita Adiba.

Adiba mengibaskan tangannya. "Santai aja. Dia udah biasa sendirian," ucap Adiba seraya terkekeh pelan mengingat nasib percintaan Alvarendra.

"Oke. Kabarin kalau udah dekat rumah, ya. Kamu ke sini naik apa? Mau kuantar pulang?" tawar Abelyn. Akhir-akhir ini perempuan itu selalu menolak dengan alasan sudah ada yang menggantikan posisi Abelyn.

"Nggak usah. Kakakku bakalan jemput. Udah, sana pergi! Nanti kemalaman. Hati-hati, Bel."

"Ngomong-ngomong, kakakmu yang mana, sih? Kami belum pernah ketemu."

"Tumben banget kamu kepo?" Adiba mengerutkan kening.

Abelyn menyengir, menampilkan dua gigi depannya. "Biasa, lah!" jawabnya santai. Abelyn melambaikan tangan sembari berlalu. Menjauh dari sana sebelum pertanyaan Adiba semakin melebar.

Bagi Abelyn, pertanyaan barusan hanya sebagai salah satu upaya mencari referensi untuk menciptakan karakter baru. Adiba senantiasa tampak bangga ketika menceritakan sosok kakaknya. Abelyn pikir, mungkin kakak Adiba bisa jadi saingan Alvarendra dalam novel.

Abelyn tidak tahu kalau Alvarendra adalah kakak sahabatnya. Adiba pun mungkin sudah lupa kalau belum ada mahasiswa yang mengetahui ikatan persaudaraan mereka. Terlalu banyak rahasia.

Hubungan Adiba dan Alvarendra sengaja disembunyikan untuk menghindari kericuhan di kehidupan kuliah. Alvarendra sukses menarik perhatian. Jika orang-orang tahu mereka saudara, ketenangan Adiba tentu akan terusik. Begitu pengalaman yang mereka lalui sejak dahulu. Bahkan, untuk menjaga kerahasiaan itu, mereka selalu bertemu di parkiran fakultas lain. Lokasi yang sekiranya jarang dilalui anak MIPA, khususnya fisika.

Adiba tampaknya sudah tidak peduli. Baginya, baik kekepoan Abelyn terhadap dosen baru maupun kakaknya, semua tertuju kepada satu nama, Alvarendra Pratama. Dengan begitu, semakin kuat pula tekad Adiba menjodohkan mereka.

-TBC-

Yap, di versi baru, karakter Abelyn lebih ditonjolkan sejak awal. Nggak kayak sebelumnya, tiba-tiba meledak di akhir. Dengan begitu, kalian bisa ikut mengamati perkembangan mereka. Hoho.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top