1.1 Sebab

Sore menjelang malam, sepulang dari kampus, Adiba dikejutkan oleh keberadaan Alvarendra di depan wastafel. Semula Adiba ingin mengambil minum, tetapi niatnya ditunda tatkala menyadari raut murung sang kakak.

Adiba berdecak pelan. Ia sudah sangat hafal dengan kebiasaan itu. Alvarendra akan menampilkan ekspresi tersebut jika proses ta'arufnya gagal.

"Assalamu'alaikum, Mas Al," sapa Adiba tanpa berniat mengagetkan, tetapi berhasil membuat pemuda itu berjengkit kaget. "Jangan muncul tiba-tiba dong, Dek!"

Adiba meringis pelan. "Mas ngelamun aja, sih. Gagal lagi, ya?"

"Hm, beitulah."

"Sekarang apa lagi alasannya?"

"Ayahnya nggak setuju kalau putrinya nikah sama orang dari luar Jawa."

Adiba mengangguk-angguk. Terlalu klise. Adiba benar-benar tak habis pikir. Apa yang salah dengan menikahi lelaki yang berbeda suku? Bukankah mereka sama-sama manusia? "Mas kebelet nikah?" tukas Adiba asal.

"Ngaco! Bukan kebelet, tapi butuh. Nikah itu ibadah, nggak baik ditunda kalau udah mampu. Biar bagaimanapun, Mas udah dewasa, siap menikah."

Adiba mengatupkan bibir rapat, berusaha menahan senyum. Kebetulan sekali. Kegagalan ini menjadi peluang untuk melancarkan niatnya. Kalaupun Alvarendra telanjur ta'aruf dengan gadis lain, Adiba akan mencari celah agar prosesnya gagal. "Mau nyoba kenalan sama temanku?"

"Hah?"

"Mahasiswi, seumuran aku, teman sekelas. Kami bersahabat sejak maba."

"Kenapa tiba-tiba nawarin temanmu?" Alvarendra mengernyit.

Tidak biasanya. Sedari dulu Adiba tidak pernah suka bila gadis seumurannya menunjukkan ketertarikan pada Alvarendra. Menurut Adiba, mereka terlalu centil dan berisik. Pakaian terbuka, sok cantik pula. Model begitu juga bukan tipe Alvarendra.

"Dia suka padamu. Kebetulan Mas lagi nyari calon istri, kenapa enggak dicoba aja?"

"Dia teman sekelasmu, bukan? Itu artinya kami baru ketemu. Bagaimana caranya bisa langsung suka? Jangan sok tahu!"

"Ih, dia sendiri yang ngomong. Cinta nggak butuh alasan!"

"Tahu apa anak kecil, huh?"

"Kita cuma beda tiga tahun, lho!"

"Tetap aja aku itu dosenmu!"

"Iya, deh, yang dari SMP kerjanya akselerasi mulu."

Terdengar tawa menggema. "Siapa emang nama temanmu?"

"Abelyn Aeesha Atmarani." Adiba menjawab mantap.

Alvarendra mengangkat salah satu alisnya. Terdengar tidak asing. "Cewek yang mukanya datar itu?" katanya memastikan begitu satu wajah terbayang di benak.

"Mas tahu?" Adiba menyahut heran.

Alvarendra mengangguk-angguk. "Dia yang ngumpulin tugas pertama kali. Jawabannya juga hampir benar semua," terangnya, "ah, satu lagi, mukanya datar banget. Aku senyumin malah dicuekin."

Adiba menutup mulut dengan punggung tangan. Tak kuasa menahan tawa. Laporan Alvarendra terdengar seperti keluhan. "Abelyn emang gitu orangnya. Mau nyoba kenalan nggak?"

Alvarendra menggeleng pelan. "Nggak."

"Kenapa? Abel orangnya baik walau kelihatan cuek."

"Ya, kalau soal itu sih aku percaya aja. Masalahnya, dia siap nikah muda? Aku nyari calon istri, bukan pacar."

Adiba menyengir lebar. "Tenang, aku yakin Mas pasti diterima."

"Tahu dari mana?"

"Abel kan, sahabatku. Mamanya sering curhat ke aku gara-gara Abelyn nggak pernah ngajak laki-laki main ke rumahnya."

"Kok bisa? Bukannya orang tua harusnya senang kalau anaknya ngejaga pergaulan?"

"Nah, justru karena itu. Masalahnya, Abelyn nggak punya banyak teman. Berdasarkan pengakuan Tante Riska, aku satu-satunya yang pernah diajak main ke rumahnya. Orang tuanya khawatir dia bakalan jomblo seumur hidup."

"Anti sosial?"

"Enggak, lah. Abel cuma terlalu selektif dalam memilih teman. Sikap cueknya juga bikin orang-orang enggan dekat sama dia."

"Sampai segitunya?"

"Yap, gimana menurutmu?"

Alvarendra menatap Adiba penuh perhitungan. "Kalau dia secuek itu, berarti bukan aktivis dakwah?"

"Harus, ya?" tukas Adiba.

Alvarendra mendengus kecil.

"Sejauh ini Mas selalu gagal. Kenapa nggak nyoba sama gadis biasa aja? Lagian, Abel udah berhijab syar'i. Selain bagian aktivis dakwah, dia memenuhi kriteriamu. Pendiam, nggak centil, nggak sok cantik. Hm, mukanya emang biasa aja, tapi bikin penasaran kalau dilihatin lama-lama. Tambahan, ta'aruf kali ini dijamin berhasil." Adiba menjelaskan penuh semangat.

Alvarendra memandang adiknya jenaka. "Pengen banget aku nikah sama temanmu, kenapa?"

"Mas ingat ceritaku dua tahun yang lalu? Waktu aku masih maba?"

"Cerita yang mana?"

Adiba memutar bola matanya ke atas. "Itu, lho, yang aku bilang ada cewek rela ngasih papan namanya ke aku waktu ospek. Dia juga satu-satunya teman sekelas yang nggak ketawa pas dengar dialekku. Intinya, dia beda banget sama yang lain."

"Oh, yang ngasih papan namanya ke kamu, terus dia malah disuruh istrahat sama senior karena mengaku sakit itu?"

"Nah, dia itu Abelyn."

Alvarendra terdiam sejenak. Mempertimbangkan perkataan Adiba. "Ya udah, deh. Satu kali pertemuan lagi dan Mas bakalan buat keputusan mau ngelamar dia atau enggak."

"Eh? Kok lamaran? Secepat itu? Nggak pakai ta'aruf dulu?"

"Buat apa lama-lama? Toh, ada kamu sebagai jaminan. Apa mungkin kamu mau ngerekomendasiin seseorang yang nggak pantas buat saudaramu?" Alvarendra menyeringai.

"Oh, ya Allah, Anda benar-benar cerdas, Pak!" seru Adiba, yang disambut gelak tawa oleh Alvarendra.

Sedari dulu Adiba selalu sewot bila ada cewek-cewek centil yang mendekati sang kakak. Begitu pula sikap Alvarendra terhadap laki-laki asing bila ada yang iseng mempermainkan adiknya. Mereka saling menjaga.

Ketika kini Adiba menyarankan seorang gadis untuknya, Alvarendra tentu akan mempertimbangkan sebaik mungkin. Terkesan naif memang, tetapi bukankah sudah semestinya saudara saling percaya?

Masalahnya, sudah tepatkah penilaian Adiba tentang sahabatnya selama ini? Bagaimana bila ternyata ada yang luput dari pandangan? Bukankah setiap orang punya rahasia tertentu yang berusaha mereka sembunyikan rapat-rapat?

"Ah, iya, kamu jangan senyum-senyum sendiri sambil ngelihatin aku pas lagi di kelas. Itu bisa bikin orang lain salah paham, tahu? Kita udah sepakat nyembunyiin status dari mahasiswa lain, 'kan?"

"Maaf, aku cuma senang ngelihat cita-cita Mas tercapai. Bapak pasti ikutan bangga." Adiba tersenyum, tetapi sorot matanya sendu. Mendadak suasana jadi terasa ganjil.

Alvarendra mengusap kepala Adiba. "Mari sama-sama lakukan yang terbaik."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top