03 part 2

Tujuh jam sebelum eksekusi. Aster menganggukkan kepalanya setiap kali pemuda itu menceritakan rentetan kejadian sebelum dia sampai di tempat ini. Sesekali Aster mendecakkan lidahnya tidak percaya. Namun, si pemuda begitu nyata jika harus dianggap sebagai bualan atau khayalan.

"Jadi, kau bilang kalau kau jatuh dari masa depan? Aneh!"

"Terserah padamu mau percaya atau tidak, aku hanya menceritakan sejelas ingatanku sekarang."

Pemuda itu menggulingkan tubuhnya ke kiri, lalu menguap lebar.

"Sekarang jelaskan padaku situasinya saat ini," pinta pemuda itu. "Juga, siapa Prabu Hanum itu sebenarnya?"

"Fufu, seperti yang kau lihat anak muda. Kerajaan ini sudah tak bisa lagi dikatakan sebagai tempat yang tepat untuk dihuni," sahut Swastika. Matanya menyala-nyala tiap kali menatap pemuda itu dengan sungguh.

"Maksudmu?"

"Semua terjadi setelah kematian kaisar Majapahit yang sebelumnya. Para calon mahkota saling berseteru memperebutkan posisi yang kosong, lalu muncullah pemenangnya dan segera mengamankan posisi kaisar. Tapi, bukannya semakin berkembang, pemberontakan terjadi di mana-mana tak pandang bulu. Termasuk kerajaan ini, Kawaputih," jelas Aster sembari menggores tanah di bawahnya dengan jari telunjuk.

"Kecemburuan membutakan semuanya," lanjut Swastika.

"Cemburu? Tunggu, aku belum paham maksudnya."

"Prabu Hanum adalah satu dari tiga putra raja Kerajaan Kawaputih, dan Kartayasa adalah kakaknya."

Pemuda itu tersedak keras. Pikirannya terpacu lebih cepat mencerna informasi barusan. Dia masih belum bisa percaya akan hal itu.

"Apa aku tak salah dengar?" Dia menegukkan ludahnya yang terkumpul.

"Hahaha, kau memang lucu Hanum palsu," canda Swastika. Mukanya kini telah bersentuhan dengan jeruji besi seakan ingin mencuat dari dalam.

"Syukurlah telingamu masih aman, jika tidak, mungkin sudah kulubangi sekarang."

"Tapi, kenapa? Ada apa dengan Hanum ini?"

Pikirannya masih belum bisa mencernanya. Dugaan yang selama ini dia buat salah besar. Yang dia yakini waktu lalu kalau Hanum adalah pemberontak ternyata salah, justru dia diburu oleh sang pemberontak itu sendiri.

"Saat mereka berdua kecil dan raja masih sadar. Ada seorang anak terlantar yang terluka di depan gerbang kadipaten, saat itu yang mulia raja tengah berpatroli. Melihat hal itu, raja pun memberi tumpangan pada anak tersebut dan mengangkatnya sebagai anak angkat setelah mendengar cerita yang disampaikan anak itu," jelas Aster panjang. Wanita itu berhenti sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.

"Sampai ketika umur Prabu Hanum dan Kartayasa mencapai delapan belas tahun, raja mengumumkan siapa yang akan menggantikannya nanti. Kartayasa yang sudah merasa percaya diri mengalami kekecewaan berat, begitu yang mulia menunjuk Prabu Hanum sebagai penggantinya. Namun, Prabu Hanum menolaknya, dia mengatakan bahwa yang berhak memimpin bukanlah dirinya tapi adik angkatnya, Parikesit. Raja pun mendengarkan permintaan Prabu Hanum dan mengangkat Parikesit sebagai raja."

"Karena itu lah Kartayasa memboikot ayahnya sendiri lalu meracuninya hingga tertidur koma sampai saat ini. Dengan kekuasaan itu, dia memberi titah untuk menghancurkan segala yang Prabu Hanum punya, juga adik angkatnya," lanjut Swastika.

Pemuda itu tertegun mendengar cerita dari Aster dan Swastika. Bukan karena terenyuh, melainkan kaget setelah mendengar nama Parikesit disebutkan oleh kedua orang itu.

Pikirannya semakin kacau. Dia ingin segera memuntahkan isi perutnya karena begitu lelah memikirkan apa yang harus dia lakukan sekarang. Dia hanyalah manusia biasa, tapi bagaimana caranya bisa keluar dari situasi terburuk ini. Dia tidak sanggup melakukan apapun, pasrah akan takdir.

"Jadi, bagaimana aku bisa keluar dari situasi ini?" keluh pemuda itu lirih.

"Cukup berikan kami waktu, dan kau bebas."

"Apa? Waktu apa? Jangan bilang kalian membiarkanku dieksekusi?"

"Itu benar," balas Aster padat, singkat, dan jelas.

"Kau memang yang terburuk, Ter! Fufu," tambah Swastika.

"Diam kau! Dasar penjilat!"

"Ah aku tersanjung,"

"Hentikan candaan itu! Sudah tidak lucu!" Pemuda tersebut menggebrakkan jeruji besi dengan kaki kanannya.

"Berikan kami waktu, setidaknya sampai gong akan dibunyikan terakhir kali. Pancing saja emosi Kartayasa, dia mudah terpancing, apalagi olehmu yang mirip dengan Prabu."

"Mudah buatmu, susah di aku! Aarrghh, coba ada si kembar itu di sini. Sial!"

"Sebisa mungkin ulur waktu sampai kami bisa keluar dari penjara, karena para tahanan di sini adalah kekuatan militer milik Prabu Hanun," jelas wanita itu lagi. "Setelah kau terbebas dari ikatanmu nanti, berlarilah ke dalam candi kecil dekat aula keraton. Di sana ada jalan rahasia menuju ujung utara Kerajaan Kawaputih, dan kau akan bertemu dengan Prabu Hanum."

"Selamat jalan Hanum Palsu, fufufu."

Swastika sedikit memoncongkan bibirnya lalu meniupkan pelan napasnya yang pekat menerpa sel milik si pemuda. Mata pemuda itu kian terlelap semakin lama diterpa embusan napas milik Swastika yang bisa dia rasakan menyentuh kulitnya. 

Aster yang kala itu menutup hidungnya segera pergi jauh-jauh ke pojok ruangan terjauh dari posisi Hanum palsu. Hingga akhirnya pemuda itu tertidur pulas tak sadarkan diri.

***

Kartayasa melenguh kesakitan begitu menyadari ada sesuatu yang menancap mata kiri miliknya. Para penduduk pun mulai berserakan seketika, rasa takut dan cemas mengalahkan kewarasan mereka.

"Lari secepat kalian bisa!" teriak salah seorang warga.

Dengan sergap Kartayasa mencabut anak panah yang menancap pada mata kirinya. Meraung-raung, dia menebaskan gada besarnya ke sembarang arah melupakan keadaan pemuda itu yang merintih kesakitan. 

Aster mulai menggila. Matanya menggelap sepenuhnya akibat efek obat dari Swastika. Dengan sekali jejakan kaki, dia melompat ke tengah-tengah keributan di bawah sana. Merasa senang, dia pun tertawa terbahak-bahak seraya mengejar para prajurit kadipaten yang hendak menenangkan pemimpinnya.

Wanita itu berlari secepat yang dia bisa. Terkadang dia terjatuh karena saling berhantaman dengan salah satu prajurit yang menodongkan tombak ke arahnya. Tangannya yang telah terbiasa bertempur sejak kecil segera menarik belati yang tersalip di ikat pinggang prajurit itu. Dengan sekali tusukan, dia mengincar posisi ulu hati milik prajurit malang tersebut.

Hanum palsu yang sejak tadi menggeliat pergi menepi hanya bisa menelan ludah. 

Sial! Sial! Sial! Suasana chaos! 

Sekali lagi dia harus mengaktifkan kesadaran penuhnya. Dia tidak ingin jika Kartayasa ataupun salah satu dari prajurit melemparkan tombak padanya. Meski berat, dia terus menggerakkan badannya bagai ular. Posisi tangannya yang terikat ke belakang sangat mengganggunya. Naas, Kartayasa kembali mendapatkan kesadarannya lalu melempar gada besar miliknya pada kaki pemuda itu.

"Kau tidak akan bisa lolos dariku, HANUM!" 

"Persetan denganmu!" Pemuda itu membalas teriakan dari Kartayasa meski kakinya tertindih gada pria tersebut.

"Gawat, Yang Mulia! Penjara itu hancur berantakan!" lapor salah satu dari tangan kanan kepercayaan Kartayasa. 

Kartayasa melotot tajam lalu mencengkram leher anak buahnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Giginya saling bergemelatuk menahan amarah yang tak bisa terpendam. Kuku tajamnya menggores leher itu hingga berdarah, membuat pria naas itu menggelepar tak berdaya.

"KAU! Membiarkan mereka lolos! Dasar tidak becus!" 

"Maaf, tiba-tiba saja pintu dari penjara khusus meledak dan dalam sekejap wanita itu memimpin para tahanan untuk---" 

Tak ingin mendengar apapun, Kartayasa lantas membanting pria itu dengan keras. Posisi Hanum palsu yang tak jauh darinya sedikit terlonjak kaget. Seluruh tubuhnya bergetar hebat ketika Kartayasa semakin dekat lalu meraih kepalanya, mencengkram rambut ikalnya. 

Pikirannya berhenti sejenak. Dia tidak mampu berpikir apapun lagi. Semua telah berakhir baginya. 

Tidak.

Pemuda itu membulatkan tekadnya. Dia tidak akan gentar hanya karena Kartayasa lebih kuat darinya dalam segala hal. Hanya satu yang bisa membuatnya terkencing-kencing, yaitu saat Andewi secara tiba-tiba mencium pipi kirinya yang kala itu terluka akibat jatuh dari pohon jambu. 

"Apa kau puas?" 

Kartayasa hanya menggeram tanpa membalas kalimat dari pemuda itu. Sebuah pukulan melayang telak pada mata pemuda itu.

"Haha! Apa kau puas?" 

Sekali lagi pukulan yang lebih keras mendarat telak. Kartayasa benar-benar tak berniat untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Pemuda itu terkekeh pelan. Sudut matanya hampir sama dengan milik Kartayasa yang berdarah akibat tusukan panah. Pandangannya kian menggelap sejurus dengan pukulan demi pukulan yang ditandaskan Kartayasa. 

"Kau tidak akan pernah bisa menjadi seorang raja."

"Apa yang kau tau tentang raja, hah?!" 

Akhirnya Kartayasa tersulut untuk menjawab pernyataan tersebut.

"Orang sepertimu hanya akan merusak tatanan hipokrit kerajaan yang telah ada, uhuk!" 

Kartayasa kini memilih untuk membidik pangkal rusuk pemuda itu. 

"Kau akan tenggelam dalam buaian belaka, idiot!"

"Jangan naif!"

Pukulan terakhir mendarat dengan keras hingga membuat pemuda itu sedikit melayang begitu cengkraman pada kepalanya terlepas. Termakan emosi, tanpa basa-basi lagi dia menikam jantung pemuda itu tanpa keraguan sedikitpun. 

Darah segar mengalir dari dada sebelah kiri pemuda tersebut. Kartayasa tertawa lepas, puas. Akhirnya salah satu penghambatnya sirna. Namun dia tidak tahu jika Aster telah membidikkan anak panahnya pada area punggungnya yang sedikit terbuka. 

Teriakan Aster tak akan meraih kesadaran pemuda yang dia janjikan kebebasan tadinya. Kartayasa membalikkan tubuhnya, menatap Aster penuh kekejaman meski mata kirinya tak sanggup terbuka. Jemari tangan kanan Kartayasa bergerak menyamping di depan leher tebal miliknya mengisyaratkan, kau yang akan mati berikutnya.

Wanita itu tak sempat untuk melarikan diri. Sejumlah pasukan telah mengepungnya dengan mata tombak yang tepat di sekitar lehernya. Tak perlu waktu lama, dengan sekali seruan dari Kartayasa, tombak-tombak tersebut beristirahat dengan tenang pada leher Aster. 

"HAHAHAHAHA!"

Tawa Kartayasa menggelegar bak petir menyambar di tengah-tengah gemuruh hujan. Mengangkat tangannya tinggi-tinggi lalu menyuarakan kemenangannya. Disambut oleh para warga yang berangsur-angsur menuju alun-alun. Juga para prajurit lain yang berhasil menangkap kembali para tahanan yang berhasil kabur. Bahkan ada pula yang tak segan-segan memenggal kepala mereka di hadapan para tahanan yang lain. 

"Besok, persiapkan pasukan elit kita! Kita akan berangkat menuju utara! Bumi hanguskan kerajaan tua Wilojati, lalu hancurkan benteng luar Majapahit, maka kemenangan sepenuhnya akan menjadi milik kita!" seru Kartayasa lantang. 

"Hidup Adipati Kartayasa yang agung!" 

"Hidup raja kita yang baru!" 

Seru-seruan itu menggema hingga ke langit. Burung-burung tak lagi menghiasi langit. Kawanan hewan mulai bermigrasi. Kota itu akan segera mati seiring berjalannya rencana milik Kartayasa yang tidak akan menolerir sedikitpun para pengikut Dewa juga siapa saja yang bernaung di bawah perlindungan Majapahit. 

********** Paradox Spiral **********

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top