02 part 2
Pagi itu nampak cerah, langit membiru tanpa ada sedikit awan menyertai perjalanan Panji dan kawan-kawannya. Setelah menjelaskan alasan dia terlambat, Rudi dan Meidi hanya mendesah dalam. Panji segera memperkenalkan dua anggota baru yang akan mendaki hari itu. Si musisi Hiroshi Jiro dan juga Kinanti, gadis yang mengajari banyak hal pada Hiroshi semasa perjalanannya mencari estetik musik yang belum dia ketahui.
Masalah perlengkapan yang harus dibawa, semua sudah diurus oleh Ian dan Penggala. Kedua orang ini memang kaya, jadi meskipun Panji datang hanya membawa badan, tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut. Karena berkat Panji juga lah bisnis yang Ian dan Penggala jalani berjalan lancar tanpa hambatan.
Sedangkan Renata dan Andewi yang datang paling awal hanya memandangi Panji dengan senyuman manis penuh arti, sebuah senyuman kebencian.
"Ku kira kamu gak akan datang," ujar Andewi sembari menepuk bahu Panji yang kaku.
"Hanya sedikit terlam--"
"Hsstt!"
Telunjuk kanan Andewi menyentuh bibir Panji yang memucat.
"Dengar, Panji Anom! Kamu gak ada hak buat menolak kegiatan ini, oke?!! Si kembar sudah menyiapkan ini semua hanya demi kebersamaan kita."
"Jadi, kamu harus mengerti tempatmu berada saat ini."
Renata juga ikut mengintimidasi Panji dengan menarik kerah jaket yang pemuda itu pakai. Matanya yang tajam seakan membunuh tiap ekspektasi milik Panji padanya.
"Sudah, sudah, mobil kita sudah sampai. Jadi, ayo kita segera berangkat!"
"Ya, benar! Ayo kita segera berangkat daripada kalian bertengkar."
Si kembar segera memisahkan Panji yang terdesak. Dengan sedikit iringan tawa, Meidi membisikkan sesuatu di telinga kiri Panji.
Nikmati saja, men!
Berbekal dua mobil jeep sewaan, mereka segera berangkat menuju Gunung Semeru. Banyak sekali hal yang biasa mereka lewati kini nampak menunjukkan eksistensinya. Hal-hal yang bagi mereka sepele, yang selalu terabaikan dan terlewatkan.
Hari itu entah kenapa semuanya berjalan sangat lambat. Panji terus
termenung di bagian belakang jeep yang ditumpangi oleh Hiroshi, Kinanti, dan Ian. Betapa detilnya semua yang dia lihat saat itu. Retakan di jalanan, cat marka jalan yang memudar, genangan air sehabis hujan malam lalu, tertangkap bulat-bulat pada jarak pandang Panji.
Bisikan angin yang menerpa menambah keheningan dalam mobil itu. Tidak ada suara sedikit pun keluar dari mulut mereka berempat. Hanya ada kebisingan mobil jeep berpadu dengan seruan kendaraan-kendaraan lain terdengar di telinga mereka.
Suasana itu jelas berbeda dengan kelompok mobil yang lain. Hiroshi begitu cermat memandangi jalanan yang mereka lewati. Terkadang terdengar dia berbisik ‘OH!’ atau ‘Ah!’ atau juga ‘sugoii’, matanya berbinar terang begitu memasuki kawasan
pegunungan yang terlihat di depan sana.
Kinanti hanya terdiam kikuk memandangi wajah Panji yang duduk di sampingnya. Mulutnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, namun segera dia urungkan niat tersebut begitu Panji menoleh yang tanpa sengaja mata mereka bertemu. Dengan cepat wajahnya beralih ke arah yang lain, menyembunyikan rasa kikuknya yang jelas-jelas Panji sadar akan hal aneh ini.
“Ah! Gak tahan lagi gua!” teriak Ian. “Ngantuk nih!”
“Ya mau gimana lagi,” balas Panji ringan.
“Gimana lagi, kakekmu! Ini serius kalo pada diem gini, ngantuk nih gua! Tau gak? Semaleman gua diteror ama itu orang berdua.”
“Lalu?”
Tawa Panji sedikit tertahan mengetahui kalau temannya diganggu oleh keberadaan kakak-adik yang menjengkelkan tersebut.
“Ini gara-gara lo, Nji! Mereka bilang, ‘Anom gak bisa dihubungin, nomornya gak aktif, jadi yaudah kita gangguin kamu aja, Ian!’ gua cuma berpikir, kampret banget ini anak jadiin gua korban. Dan sekarang lo malah semobil ama gua.”
Tawa yang sedari tadi Panji coba tahan, kini meledak. Panji tak henti-hentinya tertawa melihat Ian yang mempraktekkan gaya bicara Andewi sembari mengemudi.
“Lebih baik begini, kan? Daripada terormu berlanjut kalau semobil sama mereka berdua.”
“Ya tapi jangan diem-dieman begini lah, bajigur! Ajak ngobrol kek, cerita-cerita kek, atau gimana gitu.”
“Ini kita ngobrol.”
“Ya bukan itu juga maksudnya! Ah, rese ngobrol ama lo, Nji. Ngomong-ngomong, Hiroshi? Kenapa bisa sampai nyasar di tempat ini?”
“Aku hanya numpang lewat saja, liburan.” Hiroshi segera membalas pertanyaan Ian.
“Tapi tempat ini kan tidak begitu terkenal. Apalagi untuk orang Jepang sepertimu, kebanyakan dari mereka kan hanya tau Pulau Bali.”
“Itu karena nak Kinanti. Dia yang mengajariku banyak hal dari negeri ini, benar kan nak Anti?”
“B-benar.”
Gadis itu menjawab dengan terbata-bata. Ian segera melirikkan matanya ke arah spion tengah melihat reaksi dari Kinanti.
“Beda sekali sama yang ada di sana.”
“Tumben kau benar, Ian? Apakah sudah tercerahkan?” goda Panji.
“Berisik lo! Jadi Hiroshi-san akan tinggal disini untuk sementara waktu?”
“Mungkin ini akan jadi pemberhentian terakhirku. Lagu yang ku tulis akan ku selesaikan disini sebelum pulang. Sudah dua tahun aku berkeliling negara ini.”
“Cukup lama juga ya liburanmu. Aku nantikan lagu yang Hiroshi buat, aku akan mendengarnya dan membeli CD-nya.”
Kinanti kembali ingin menyuarakan keinginannya tapi segera dia urungkan kembali. Rasanya begitu malu bagi Kinanti untuk menanyakan hal itu. Apalagi Kinanti sekarang ada di kampung masa kecilnya.
Seakan tau apa yang menjadi kegelisahan Kinanti, Hiroshi segera menoleh ke bagian belakang menghadap padanya.
“Aku akan kembali sendiri, terima kasih Anti, aku tidak akan melupakan perjalanan ini,” jelas Hiroshi. “Rumah kami di Shizuoka selalu terbuka untukmu.”
“U-um, terima kasih kembali, Hiroshi-san.”
Kinanti, sekilas dia terlihat seperti perempuan pada umumnya. Jika kalian membandingkannya dengan Renata atau Andewi yang berada di kelompok satunya, maka sudah bisa dipastikan kalau dia akan kalah dalam hal pesona. Karena sifat kikuknya itulah yang membuat Kinanti susah untuk ditemukan seandainya dia hilang entah di mana pun itu.
Setidaknya Panji berpikir demikian. Dalam diam ketika mata mereka tidak sengaja bertemu, entah sudah berapa kali terjadi, tetap saja perasaannya mengatakan ada yang tidak beres dengan perempuan tersebut. Sama seperti saat di villa tempo hari ketika Panji membersihkan kamar Nina, anak dari Bu Sekar.
Mata yang sayu namun tajam. Rambutnya yang lurus panjang tergerai. Ada sedikit luka bakar di sekitar bawah telinga kirinya. Postur tubuhnya yang ramping dan berisi menambah sisi menarik dari Kinanti. Tapi tetap saja, Panji tidak bisa menyangkal jika ada sesuatu yang salah dari perempuan itu. Bukan maksud Panji untuk memperhatikan Kinanti diam-diam. Hanya saja dalam kacamata miliknya, ada sedikit kesegaran sesekali ketika dia melihat senyum simpul Kinanti.
Deja vu. Rasanya aku pernah melihat senyum itu. Tapi, di mana? Aku tak bisa mengingat apa pun selain kejadian semasa SMA. Tunggu, kenapa aku hanya ingat waktu SMA saja? Kenapa hanya waktu bersama si kembar dan Nina saja yang teringat?
Panji segera menepis segala pikiran itu, Panji harus segera terfokus begitu mobil berhenti di kantor pemeriksaan sebelum kembali naik ke base camp penanjakan Gunung Semeru.
Jika diingat-ingat, mungkin tiga tahun mereka tidak mendaki gunung bersama-sama seperti ini. Selain kesibukan perkuliahan masing-masing, tugas dari dosen untuk Panji dan si kembar semakin menjadi-jadi. Lima, enam, tidak, sekitar tujuh kasus harus segera mereka selesaikan sebelum wisuda. Salah satu syarat agar skripsi mereka diterima tanpa harus melalui sidang yang berat. Kondisi khusus bagi mereka bertiga, andai ada mahasiswa yang mendengar hal ini, dapat dipastikan mereka akan mendendam sampai mati.
***
Matahari mulai bersandar kelelahan. Refleksi cahayanya kini memerah. Dari sela-sela dedaunan, cahaya itu terus menyinari para manusia yang tengah sibuk mempersiapkan mental dalam pendakiannya. Karena Panji tidak begitu banyak membawa perlengkapan dibandingkan dengan temannya yang lain. Panji segera mengangkat carier bag milik Renata yang tampak cukup berat. Renata hanya mendengus pelan tanpa memperhatikan Panji dan segera membawa tas milik Panji yang lebih ringan.
"Terima kasih, walau aku gak butuh bantuanmu."
Panji hanya tertegun sembari menepuk dahinya sendiri melihat tingkah konyol Renata. Gadis itu segera memalingkan mukanya yang sedikit memerah, malu.
"Diam! Atau aku akan membunuhmu, jika aku melihatmu tertawa."
"Siapa yang menertawakanmu?"
"Hssstt!!! Diam!"
Gadis itu melotot tajam dari balik kacamatanya yang mengembun. Tangan kanannya mengepal lalu dia arahkan ke kepala Panji. Sebelum pukulan itu mendarat, Penggala segera menahan Renata.
"Jangan kelahi, please! Cepat hitung bawaan yang kita bawa, daripada kalian bermain-main seperti ini," ujar Penggala tegas sebagai pemimpin kelompok pendakian ini.
Mereka segera menghitung logistik yang dibawa. Setidaknya dengan cara ini mereka tidak akan kelupaan dengan sampah nanti. Berangkat bersih, pulang juga harus bersih. Salah satu peraturan wajib bagi para pendaki. Ah, tidak hanya dalam hal pendakian, melainkan dalam kehidupan sehari-hari pula. Jangan biarkan bumi yang sudah tua ini semakin kotor dengan sampah mati. Meski masih banyak sampah yang hidup berjalan dengan seenaknya, di atas panggung polemik bernama sosial-politik di negeri ini.
“Hei.”
Panji menepuk bahu Renata dengan isyarat untuk berjalan di belakang bersamanya ketika mereka beranjak mendaki. Renata paham maksud dari Panji dan segera memposisikan diri di depan Panji sebagai sweeper yang berada paling belakang.
Mereka berangkat mendaki dengan Penggala yang lebih paham area pegunungan sebagai pemimpin di depan diikuti oleh Rudi, Meidi, Andewi, Kinanti, Hiroshi, Ian, Renata, dan Panji secara berurutan.
“Nom,” gadis itu tiba-tiba memanggil Panji tanpa membalikkan badannya menghadap pemuda itu.
“Kenapa kemarin kamu tidak bisa dihubungi?” tanya Renata dengan tutur kata yang lembut, seraya terus mengikuti jejak yang dilalui Ian di depannya.
“Sengaja,” balas Panji singkat.
“Apa aku begitu menjengkelkan?”
“Kakakmu, itu saja.”
“Hei, Nom.”
“Tenang saja, aku di sini di belakangmu, sampai kau—“
“Tch! kau lagi kau lagi.”
Renata segera memutus pembicaraan tersebut secara sepihak.
“Dengarkan aku dulu, hei.”
Apa yang Panji ingin katakan benar-benar ditolak oleh Renata. Gadis itu segera mempercepat langkahnya meninggalkan Panji.
“Tch!!”
Seperti itulah akhir dari dialog mereka, selalu berakhir secara sepihak. Ingin sekali rasanya Panji untuk mencuci otak Renata agar setidaknya merubah tabiat buruk itu. Namun, Renata tetaplah Renata. Seberapa putus asa Panji menghadapinya, dalam hati terdalam dia lega karena itu adalah Renata. Andaikan orang lain melakukan hal yang sama seperti gadis itu, mungkin, keesokan harinya orang itu akan menghilang dari pandangan setiap orang. Tanpa ada yang mengingat orang tersebut, tentu saja.
Sesekali Rudi berhenti sejenak dan melihat kondisi kawannya satu per satu. Setelah memastikan keadaan aman terkendali, dia kembali beranjak ke posisi semula.
Penggala memberi isyarat apa mereka ingin istirahat atau tidak, kawannya serempak mengatakan tidak. Hingga perjalanan panjang mereka sebentar lagi akan berakhir di kawasan Ranu Kumbolo, tanpa ada keluhan dari mereka semua. Penggala ikut
bersemangat ketika melihat beberapa lampu tenda yang terlihat di kejauhan. Meski langit mulai sedikit gelap, langkah mereka takkan goyah. Sedikit demi sedikit paruh awal pendakian mereka akan terbayarkan.
"Mahameru, kami akan segera menaklukanmu kali ini. Tentu saja, dengan komet itu sebagai hidangan pendampingnya," gumam Penggala dengan semangatnya yang berapi-api menantikan penaklukannya esok hari.
********** Paradox Spiral **********
°to be continue...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top