Tunanetra
Sabtu, 3 Juni 2023
Teruntuk sahabatku,
Gianna
Hai, Gia. Bagaimana kondisimu sekarang? Kuberikan surat ini kepada Tante Ralin, agar beliau bisa membacakannya untukmu.
Maaf, Algi gagal memperlihatkan Gia karya seni di museum. Setelah tragedi itu, akan sulit memang untuk kembali menjalin hubungan seperti biasa. Sebagai permintaan maaf, kutuliskan puisi ini untuk Gia:
(Bukan) Malaikat Surgawi
Kau bilang dirimu tak sempurna
Tapi bagiku kau memikat apa adanya
Bukan kau tak pantas untukku
Tapi batinku yang salah telah mendamba malaikat sepertimu
Dirimu elok bak nirmala di surgawi
Tak sepertiku yang kehilangan sayap hingga jatuh ke neraka
Semesta efemeral telah terdistorsi
Hingga alam tak membiarkan kita bersua
Tertanda
(Algi Hafitra)
***
Menjadi seorang tunanetra membuat Gianna tidak bisa melihat keindahan dunia, serta wajah orang-orang terkasih. Kini, ia hanya dapat merasakan memori non-visual melalui gelombang suara, rasa, aroma, dan sentuhan.
Kecelakaan telah merenggut indra penglihat Gianna, ketika Algi mengajaknya melakukan perjalanan kereta api ke sebuah museum seni rupa. Algi berpikir, pajangan-pajangan pada setiap sudut galeri akan memudahkan keduanya untuk mengerjakan tugas kelompok seni budaya.
"Estetika suatu karya seni lebih baik dilihat secara langsung, daripada melalui foto atau majalah." Kata-kata Algi seolah menyihir Gianna untuk menurut, meski lelaki itu hanya mengikuti penyampaian dari Guru SBK.
Sayang, keindahan yang dijanjikan justru membawa pada kenyataan bahwa ia tidak bisa melihat melalui netranya lagi. Hingga pada suatu ketika, ia bermimpi ... sebuah mimpi dalam kesadaran yang membuat dunia di sekitar seolah kembali berwarna.
"Akan kuberikan sebuah 'hadiah', jika kau berhasil lari dari kegelapan." Suara berat sesosok misterius terbesit dalam bilik mimpi Gianna. Bukan sekali dua kali, ia sering mendengarnya. Akhir-akhir ini, ucapannya justru seolah menjadi perintah yang harus terlaksana.
Dalam ambang kegelapan, Gianna pun mencoba berlari taktentu arah dari takdir yang mengikat. Tanpa diduga, secercah cahaya kian tampak pada penghujung lorong. Lantas ia berjalan lebih dekat, hingga titik cahaya itu mulai menyebar ke penjuru arah.
Akan tetapi, sekali lagi hanya sekadar cahaya putih. Tidak lebih. Anak perempuan itu pun memekik di antara kehampaan, "Aku sudah berhasil keluar dari kegelapan. Nah sekarang, di mana hadiahnya?!"
Suara sosok misterius kembali terbesit, "Yakinlah bahwa kau sangat menginginkannya, maka 'hadiah' itu akan diberikan kepadamu."
Gianna mendadak skeptis akan pernyataan ganjil tersebut. Pasalnya, ia kehilangan kepercayaan pada orang lain dan diri sendiri ketika jatuh pada titik terendah hidup. Padahal jauh ketika memiliki penglihatan normal, ia adalah gadis optimis.
Dalam keterdiaman, sosok itu mencoba menyakinkan, "Tidak ada salahnya untuk mencoba. Kegagalan dalam mimpimu, takkan menjadi masalah pada kenyataan di hari esok."
Diam-diam Gianna menyetujui argumen itu, dan secara takterduga suara misterius perlahan berubah menjadi nada yang akrab. "Cepat sembuh, Gia," katanya lirih, meski ia tahu rasanya mustahil. "Hari-hari di sekolah tanpa kamu membosankan. Teman-teman lebih suka fotokopi daripada bertukar tulis seperti yang biasa biasa kita lakukan, dan gak ada lagi orang yang bisa kuajak membahas seni ...."
Algi seketika tercenung lantaran ucapannya justru mengeluhkan keadaan, alih-alih meminta maaf dengan benar. Segalanya memang perlu kesiapan mental. Karena itulah setelah suratnya dikirim, ia baru punya pondasi kuat untuk datang membesuk, serta mencoba membangun hubungan kembali ke titik awal.
Padahal jauh sebelum kejadian, keduanya masih bisa berkelakar di kursi penumpang. Algi tentu tak patut untuk dihakimi hanya karena ia selamat. Gianna pun menyambut baik surat darinya. "Diksi puisimu makin berkembang, ya," ucap Gianna mencairkan suasana, kendati bingung perihal hadiah yang ditawarkan dalam mimpi justru membangunkannya pada kenyataan.
Kini, keduanya tengah duduk pada gazebo di halaman belakang. Ada sebuah kebun kecil dengan berbagai macam tanaman di sana. Sejak menjadi tunanetra, Gianna memang gemar berdiam diri untuk bermeditasi dengan alam, dibanding berkontakan secara verbal dengan keluarga.
"Makasih, Gianna." Mampu bertahan dengan kekurangan adalah malaikat sesungguhnya bagi Algi. Sedangkan ia yang memiliki fisik sempurna justru sempat melakukan percobaan bunuh diri, hanya karena tidak tahan mendapat rundungan publik yang menuduh kecelakaan itu salahnya. "Oh, ya. Algi ingin menunjukkan sesuatu."
"Apa itu?" tanya Gianna penasaran. Meski sudah tidak dapat melihat lagi, ia seolah dapat membaca raut berseri-seri berangsur kembali pada wajah Algi sekarang.
"Ini sebenarnya tugas SBK kita yang sempat tertunda." Ia tersenyum simpul sembari menatap Gianna dengan pandangan teduh. "D-dan sebagai ganti, karena Algi gagal membawamu ke museum."
Senyum Gianna semakin mengembang. "Kayaknya menarik, kasih tahu aku lebih banyak." Ia tampak antusias sekaligus penasaran dengan kejutan tersebut.
Algi beralih mengeluarkan sesuatu dari dalam tas, lantas memberikan kepada Gianna. Ia pun mulai meraba sudut-sudut pigura berbentuk persegi empat bermotif garis spiral pada tepiannya. Ketika beralih meraba bagian lukisan, jemarinya seolah menyatu dengan cat minyak, kemudian berangsur hingga ke seluruh bagian tubuh.
Serta-merta Algi ikut tersedot ke dalam lukisan. Tubuh mereka merosot jatuh di antara undakan kabel meliuk-liuk bagai tangga, membuat Gianna memekik histeris kala terhempas jatuh. "M-Maaf, Algi lupa memberitahu Gia, kalau ada dunia dalam lukisan ini."
Detak jantung Gianna berpacu kencang. "B-bukan masalah." Ia mencoba meyakinkan, meski penampilannya tampak kacau dengan rambut berantakan. "Terus, sekarang apa lagi?"
Algi pun menunduk untuk menatap ke bawah, menunjuk pada sebuah komputer besar yang terhubung dengan tangga kabel. "Sebagai pengunjung di sini, kita harus mendaftarkan nama di komputer itu."
Gianna beralih memiting tangan Algi. "Baiklah, ayo—eh, tunggu! Aku bisa melihat?" tanyanya pada diri sendiri. Kejadian itu dipicu karena tengah berada di alam gaib. Alhasil, Gianna bisa melihat hal-hal tak kasat mata melalui mata batin.
Tanpa ba-bi-bu, keduanya segera berjalan menapaki tangga, untuk menuju ke arah komputer yang masih jauh dari radar. Namun, saat di pertengahan perjalanan, tangga-tangga di langit kian runtuh hingga tubuh mereka sekali lagi terhempas di udara.
Algi lantas menahan sebuah garis spiral jingga menggunakan sisa-sisa kekuatan. Bentuknya menyerupai tali, berfungsi sebagai penghubung antar dunia satu dan lainnya. "Gianna, ke sini!" Ia mengulurkan tangan ke arah sang gadis.
Sementara itu, tubuh Gianna tengah menyangkut di awan mendung. Ia pun segera menjatuhkan diri, kemudian menyambut uluran tangan. Bersama itu pula, garis spiral dari sudut vertikal membawa mereka jatuh dengan meliuk-liuk, menghantarkan pada sebuah komputer di bawah sisi jembatan.
Gianna memekik, "Al! Papan tik digitalnya gak bisa digunakan!" Ia merasa linglung kala selalu gagal saat mencoba mengetikkan nama keduanya di komputer.
"Memang gak ada program papan tik digital di situ." Algi mencoba memaparkan dengan tenang, "Kita harus mencari huruf-huruf dengan nama kita, pada setiap tombol tik yang tersebar terpisah di penjuru dunia tak terbatas ini."
"Sialan, kenapa kamu gak memberitahu dari tadi?!" Gianna mengumpat sembari menatap Algi dengan kesal. Namun, bencana lain datang menyambut. Kini, keretakan sudah mencapai ujung jembatan ....
Beruntung Algi mengetahui seluk-beluk dunia ini. Ia segera membentuk garis spiral menyerupai pola sepeda roda satu, taksempat baginya menambah satu roda lagi atau sekadar kursi penumpang. Ia begitu terburu-buru, untunglah bisa dikendalikan saat dalam keadaan terdesak macam ini.
Ketika tengah mengayuh, Algi melihat sebuah keretakan yang tampak membentuk huruf G pada ruas jalan. "Apa itu salah satu tombol tik yang kita cari?" selisik Gianna dengan pandangan memicing akibat debu-debu di atmosfer.
Algi mengangguk sekilas seraya menghentikan laju sepeda. Kemudian, segera kembali menghampiri bongkahan. Ia pun menghentakkan kaki sebanyak dua kali, sesuai dengan jumlah huruf G pada nama keduanya.
Akan tetapi, hentakan kakinya semakin membuat ruas jalan menjadi retak. "Algi, cepat! Reruntuhannya sebentar lagi sampai sini!" Gianna memekik untuk memperingati lelaki itu sembari berusaha sabar menunggu, sebab tidak ada tumpangan lagi. Sepeda itu telah kembali terurai ke bentuk semula.
Ketika Algi sudah berada di samping Gianna. Keduanya saling bergandengan tangan untuk berlari dengan tergesa-gesa. Napas mereka tersengal tatkala menyadari posisinya hanya selisih beberapa langkah sebelum jembatan ini benar-benar runtuh.
Algi dan Gianna terus melangkah melewati jembatan yang terhubung ke sebuah bangunan berkubah. Di sana, garis spiral jingga te tampak menembus tembok bangunan. Karena terdesak di antara dua keretakan, keduanya memutuskan masuk dalam keretakan pada garis spiral.
Ketika berhasil masuk, bentangan padang hijau menyambut. Melihat pemandangan alam nan asri dengan semilir angin segar, membuat Algi lantas mengembuskan napas lega. "Tadi itu hampir saja, loh."
"Ini dunia fantastis dan sangat surealis!" Dibandingkan mengeluh, Gianna justru terpukau dengan petualangan ini. Algi sendiri menjadi ikut senang, sebab sisi optimis gadis itu sudah kembali lagi. Demikian pula dengan hubungan mereka.
Keduanya tertawa kecil ketika menyadari hal-hal aneh, serta bagaimana ekspresi satu sama lain saat dihadapi dengan adegan menguji adrenalin.
"Nah, siap mencari tombol tik lain dengan huruf nama kita?" tanya Algi sembari beralih memandang gadis itu sekilas, sementara tubuh keduanya semakin terlihat kacau.
"Jangan ditanya lagi," sahut Gianna antusias, seraya berjalan menyusuri hutan. Gua-gua yang tampak dari jarak pandang, membuatnya dapat menyimpulkan bahwa suatu ras telah membangun peradaban di sini.
Akan tetapi, Gianna tidak menduga bahwa tempat ini ditinggali oleh para goblin—makhluk dengan perawakan hijau kerdil bertelinga runcing, semakin memberi kesan menyeramkan dengan riwayat ganasnya.
Ketika ia berjalan lebih dekat, anak-anak goblin tengah bermain petak umpet dengan cara begitu khas. Salah satunya menjaga peti harta karun, sementara yang lain bersembunyi. Goblin penjaga harus bisa menemukan mereka dari persembunyian, sedangkan teman-temannya akan dinyatakan menang apabila berhasil mencuri harta karun tanpa ketahuan.
Sebagai pencipta lukisan, Algi tentu tahu bahwa harta karun itu berisi sekumpulan huruf yang mereka cari. Namun, tak akan menarik jika semua berjalan lancar. Ia pun terpikirkan sebuah ide jenaka. "Gimana kalau kita ikut mencuri harta karun?"
"Kamu yang membuat lukisan ini, tapi kamu kesulitan dengan ulah mereka?" Gianna lantas terkekeh, ia tampak tidak peka dengan siasat Algi. "Tapi baiklah, gak ada salahnya mencoba."
Algi dan Gianna pun mencuri kesempatan. Ketika goblin penjaga mulai lengah saat mencari tempat persembunyian temannya, mereka hendak mengambil harta karun. Namun, sebuah suara terdengar, "Krik-krik!"
"Krik-krik, ajheno ndksi irhen!" Suara itu semakin mendekat, membuat mereka berhenti beraksi.
Gianna mengernyit heran. "Suara apa itu?"
Algi tak serta-merta menjawab. Ia menyeret tubuh Gianna untuk bersembunyi di antara semak belukar terlebih dahulu. "Itu suara goblin. Mereka sudah mengetahui ada penyusup," desisnya.
Gianna melongo takpercaya. "Kamu tahu maksud dari perkataan mereka?"
"Tentu saja, karena Algi yang membuat dunia dalam lukisan ini," ungkapnya dengan percaya diri.
Gianna mengangguk takzim. "Ya. Kamu hebat, Al. Aku tahu itu. Tapi biar kuubah pertanyaan, apa itu berarti ... ini bahasa asal-asalan?"
Algi mengangkat bahu. "Setidaknya, belum terdaftar dalam bahasa resmi. Aku sedang mengusahakannya."
Dalam perbincangan, tanpa disadari enam bambu runcing sudah mengarah ke leher mereka. Algi lantas mengangkat tangan tatkala makhluk-makhluk kerdil menyudutkannya. "Gabda erta shanna an jabkak ... bidean!"
Mendengar pernyataan itu, para goblin saling bertukar pandang untuk berbicara secara naluri, sehingga mereka dapat melihat keraguan satu sama lain. Sepersekian detik kemudian salah satu goblin tertua maju, lalu berlutut diikuti prajurit lainnya.
Gianna tidak begitu mengerti dengan perbincangan ini, tetapi ia dapat menarik suatu kesimpulan bahwa para goblin sudah menyadari siapa penciptanya. Algi sendiri berbicara dengan bahasa asal-asalan, tetapi antara ia dan goblin seolah memiliki suatu ikatan yang membuatnya saling mengerti.
Untuk merayakan kedatangan Sang Dewa kemari, para goblin melakukan tarian sambil mengitari Algi dan Gianna, seraya memberikan peti harta karun. Kali ini mereka cukup beruntung, karena peti tersebut berisi dua huruf pada papan tik. Yaitu, A dan N.
Mereka pun melanjutkan perjalanan. Dari hutan rimbun, menuju hutan para dryad atau dikenal pula dengan roh pohon. Gianna lantas memetik salah satu daun pada sebuah pohon besar nan rimbun. Sebab tulang daunnya membentuk kerangka dengan huruf L.
Sebagai sosok yang bertugas untuk merawat alam, dryad tentu tidak suka daun mudanya dipetik begitu saja. Untuk menjadi pengganti, ia memerintahkan Algi agar melukiskan sebuah pohon besar dengan 1.000 macam daun berbeda-beda jenis.
Akan tetapi, hanya satu hal yang tidak mungkin terjadi dalam dunia surealis. Yaitu melukis sesuatu, ketika mereka berada dalam lukisan itu sendiri. Karena taksanggup, Algi dan Gianna melakukan pelarian. Alhasil, mereka dikejar oleh para dryad dengan akar panjang dan dahan-dahan kokohnya.
Beruntung di tengah pelarian, ada seekor gorila tengah menguap. Keduanya mengambil kesempatan, dengan masuk ke dalam mulut gorila sebelum benar-benar terkatup.
"Kamu hampir mengajakku mati untuk kedua kali, Al," ucap Gianna sembari terkekeh dengan lelucon gelapnya.
Algi tidak habis pikir dengan Gianna, ia masih bisa tertawa di saat-saat seperti ini. Beruntung ia berhasil menekan gigi gorila yang berbentuk I, sebagai akhir dari kelengkapan huruf pada nama mereka.
Sekarang, Algi mendadak kebingungan. "Gianna, kita sedang berada di dalam mulut gorila," ungkapnya dengan gelagapan. Karena meski huruf yang dikumpulkan sudah lengkap, mereka telah terperangkap di sini, dan tidak bisa kembali lagi!
A/N
Fun fact: Ini pertama kali aku nulis roman, walaupun bukan murni roman. Lucunya, nama Algi dan Gianna kudapat dari kebiasaan sering typo. Mau ngetik 'lagi' malah jadi 'algi'. Mau ngetik 'gimana' malah jadi 'gianna'. Setelah kupikir-kupikir, Algi dan Gianna boleh juga untuk dipersatukan dalam sebuah cerita♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top