The Tree of Life


Warning!

Mengandung adegan menyakiti diri sendiri dan gangguan mental

yang tidak nyaman bagi sebagian pembaca.


Setiap pohon yang hidup pasti memiliki akar. Masalahhnya adalah... seberapa kuat akar itu menahan setiap gerakannya? Butuh seberapa kencang angin menerpa hingga mampu meruntuhkannya? Pohon kehidupan. Aku pernah mendengar sebuah dongeng tentang pohon yang pada daunnya tercatat nama manusia yang masih hidup, lantas daun yang menyimpan nama manusia tersebut akan luruh seiring dengan habisnya usianya di dunia. Dongeng-dongeng masa kecil semacam itu masih berbekas dengan jelas dalam ingatanku, seolah mereka memang ditakdirkan untuk menemani hariku yang sepi di sebuah ruangan putih ini.

Akhir-akhir ini aku merasa seperti ada yang sudah merasuki tubuhku. Terkadang aku merasa sangat bahagia sampai rasanya aku tak akan malu meski menari dalam keadaan telanjang. Namun, kadang kala aku merasakan kepedihan yang teramat dalam sampai aku tak ingin bangkit setelah menenggelamkan tubuhku dalam bak mandi. Meski begitu, aku ini baik-baik saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dari keadaanku sekarang ini. Kedua fase tersebut tak terjadi setiap waktu. Fase-fase itu hanya akan terjadi selama beberapa bulan dan aku kembali menjalani hari yang normal. Sampai bulan kemarin semua juga baik-baik saja. Namun, entah bagaimana sejak ibu menangis tersedu di depanku diiringi dengan suara klakson kendaraan di sekitar kami, ibu kembali membawaku ke tempat ini. Sendirian.

Tak terhitung sudah berapa banyak aku mengatakan pada ibuku bahwa aku bak-baik saja dan hanya perlu beristirahat sejenak untuk memulihkan badan. Ibuku tetap bersikeras membawaku ke tempat ini lagi. Jika waktu itu ibu yang menangis seperti itu, bukankah itu artinya ibu yang tidak baik-baik saja? Tapi kenapa justru aku yang dibawa ke tempat ini? Saat sesi konsultasiku dengan dokter berlangsung, dokter pun selalu menanyakan hal yang sama, "Apa yang terjadi di hari itu?" lalu pertanyaan selanjutnya adalah, "Apakah anda ingat kejadian hari itu?" Tentu saja aku ingat. Bagaimana mungkin aku lupa kejadian ibu menangis seolah hampir kehlangan sesuatu yang berharga. Kejadian yang menjadi alasanku kembali ke tempat ini. Aku pun menjawabnya dengan jawaban yang sama. Namun, kali ini dokter menyebutkan suatu nama yang tak asing bagiku.

"Apakah anda mengenal Stevan?"

Tentu saja aku mengenalnya. Stevan adalah kekasihku, jadi mana mungkin aku lupa. Tapi bagaimana bisa dokter mengetehui nama kekasihku itu disaat aku tak pernah merasa bercerita tentangnya.

"Ya, dia adalah kekasih saya," jawabku mantap. Dokter itu mengembuskan napas panjang sebelum mulai membuka lagi suaranya.

"Apa anda ingat apa yang sudah terjadi padanya terakhir kali?"

"Pergi berlibur dengan saya—" lidahku tercekat. Ingatan yang entah dari mana muncul begitu saja di kepalaku seperti kaset film yang diputar. Ingatan saat kami mengalami kecelakaan, lalu dia... d-dia kehilangan detak jantungnya. Bahkan tubuhku mulai ikut mengingat bagaimana kulitnya yang perlahan menurun dalam dekapku saat kami menunggu bantuan datang. Seolah kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Bagaimana aku yang akhirnya memutuskan untuk meminum beberapa pil obat tidur dengan harapan untuk bertemu dengannya dalam mimpi. Aku yang berusaha menabrakkan diri ke tengah jalan raya. Bagaimana aku bisa melupakan semua kejadian penting itu?

Tanpa sadar air mataku mengalir deras. Dokter menyodorkan beberapa tisu sembari menenangkanku. Lalu... semuanya kembali gelap.

***

Secercah cahaya menembus kelopak mataku yang terpejam. Aku membuka mata hanya untuk menyasikan driku yang kini berada di ruang hampa. Sosok anak kecil menghampiriku. Anak kecil? Apakah dia bisa disebut anak kecil? Rambutnya lebih mirip kelopak bunga matahari dibandingkan helai rambut. Warnanya yang keemasan menambah kesan bunga matahari dalam dirinya. Anak itu tersenyum ramah seraya mengulurkan tangan hijaunya padaku. Sepersekon kemudian, sekelilingku berubah menjadi hamparan bunga matahari dengan anak-anak kecil sepertinya yang berlarian ke sana kemari sembari tertawa. Di ujung, aku melihat cahaya keemasan berpendar dengan indah. Dia menarikku ke arah cahaya keemasan tersebut. Sebuah pohon menjulang tinggi. Pohon dengan bunga matahari sebagai daunnya. Semua terasa nyata dan tidak disaat bersamaan. Pohon tu begitu besar dan rimbun. Satu daunnya yang berbentuk bunga matahari jatuh. Aku merunduk untuk mengambilnya. Namun, aku justru menemukan sebuah nama terukir di batang pohon tersebut. S.T.E.V.A.N. Tiba-tiba suara tawa riang membuatku menoleh pada anak yang tadi membawaku ke tempat ini.

Dia menampilkan senyum terindahnya sebelum berlarian ke sana kemari. Taman bunga matahari itu dipenuhi gelak tawa riang dari anak-anak yang tengah bermain. Lalu aku memutuskan untuk bersandar pada pohon dan memejamkan mata.

Daun yang jatuh di wajahku membuatku terbangun kembali. Suasana berubah. Taman bunga matahari telah tergantikan oleh taman bunga edelweis. Pohon matahari itu pun telah berubah menjadi pohon edelweis. Kali ini sosok berbaju rapi terlihat menghampiriku dari kejauhan. Sosok itu memakai setelan pengantin dengan membawa buket bunga edelweis ke hadapanku. Langit-langit di sana berwarna merah jambu. Jalan yang dipijak oleh lelaki itu pula adalah sebuah pelangi. Bunga-bunga edelweis pun tumbuh di atas awan. Setelah mendekat, aku baru menyadari bahwa dirinya merupakan Stevan. Kami berencana untuk menikah bulan ini, tapi semua gagal karena kepergiannya. Tapi kali ini Stevan datang dengan baju pengantin dan buket bunga edelweis.

"Aku pernah berkata bahwa aku akan menunggumu di kehidupan selanjutnya. Kamu masih mengingatnya, kan?" tanyanya ketika tiba di hadapanku.

"Kehidupan selanjutnya adalah perwujudan harapan yang belum terpenuhi. Harapanmu adalah kebebasan, maka bunga edelweis inilah yang akan mengantarmu pada kebebasan. Ini masih awal kita membuka gerbang baru. Setelahnya... mari berbahagia di sini. Mari kita berbahagia tanpa akhir di tempat yang indah ini." Stevan menggenggam jemariku. Setelah mengatakan itu kelopak bunga edelweis mengelilingiku dan menciptakan keharuman. Gaun yang kukenakan berubah menjadi warna putih. Pada pohon bunga edelweis mulai terukir perlahan namaku.

Aku menoleh pada Stevan yang juga tengah memerhatikan bagaimana pohon bunga edelweis mengukir namaku. Kemudian ia tersenyum ketika tatapan kami bersingggungan.

"Selamat datang, Sherly," ucap Stevan.

Aku hanya tersenyum membalas ucapan Stevan. Lalu kembali memerhatikan pohon edelweis yang menjulang. "Terimakasih Ibu, dan... sampai jumpa," gumamku lirih.

[END]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top