Rumah Seputih Darah

Ia terlambat.

Jalanan sudah sepi, kosong tanpa kendaraan. Semua orang pasti sudah berada di meja kerja masing-masing, atau di ruang kelas masing-masing bagi para pelajar seperti dirinya, sementara ia masih berlari-lari sepanjang jalan menuju sekolahnya.

Napasnya terengah-engah. Terik matahari menyengat puncak kepalanya. Dahi dan punggungnya mulai lembab karena keringat. Namun, ia sama sekali tidak melambatkan larinya. Meskipun ia sudah sangat terlambat, bukan berarti ia boleh lebih terlambat dari ini.

Kepanikan mencengkeram jantungnya hingga ia kesulitan bernapas. Rasanya ia seperti meninggalkan sesuatu yang penting, tetapi mungkin itu perasaannya saja. Ia tidak pernah terlambat sebelumnya.

Apa yang terjadi pada anak-anak yang terlambat? Apakah ia akan mendapat nilai minus? Apakah segala citra siswa teladan yang dibangunnya selama ini akan runtuh begitu saja? Apa ia akan dikucilkan?

Halaman sekolahnya senyap. Sembari berlari menuju kelas, jantungnya berdebar begitu kencang hingga napasnya sesak. Derap langkah kakinya menginterupsi suara samar para guru yang sedang mengajar di kelas-kelas yang dilewatinya. Gema langkahnya menyebar ke sepenjuru sekolah, seakan mengumumkan: Ada yang terlambat! Ada yang terlambat!

Ia mengerem mendadak di depan pintu kelasnya, nyaris terpeleset. Sepatunya berdecit dramatis. Tangannya meraih kenop pintu dan membukanya. Puluhan wajah ketus seketika menyambut, dan ia langsung membeku.

Seharusnya aku mengetuk, pikirnya. Seharusnya aku mengetuk pintunya. Bukannya aku sudah diajari tata krama?

"Jam berapa ini?" gurunya berkata dingin. Nada kecewa dalam suara guru itu bagaikan anak panah menusuk ulu hati. "Duduk."

Ia nyaris menangis. Ia bahkan tidak berani memandang mata gurunya. "Maaf," gumamnya.

Masih sambil menunduk, ia tergesa-gesa menuju bangku kosong di paling depan di pojok kanan, berhadapan dengan meja guru; tempat duduk yang paling dihindari di kelas. Sisi wajahnya tergelitik oleh puluhan tatapan menusuk dari teman sekelasnya.

"Waktunya 15 menit lagi!" gurunya mengumumkan.

Setelah ia menata buku dan alat tulisnya di meja, barulah ia mendongak, mengamati tulisan di papan tulis. Sensasi panas dingin merambati punggungnya. Di bagian atas, tertulis dengan huruf besar-besar: ULANGAN HARIAN. Di bawahnya, kalimat-kalimat panjang itu bernomor satu sampai 30.

Seluruh tubuhnya seketika lemas terkulai. Ia merosot di kursinya. Perutnya mulas karena tegang. Ia tidak mungkin bisa mengerjakan 30 soal hanya dalam 15 menit. Namun, lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali. Buru-buru ia membaca soal pertama.

Jelaskan alasan burung perkutut terbang lebih cepat di langit yang terbuat dari gula kapas warna biru!

Mulutnya otomatis terbuka tanpa suara. Ia membacanya berulang-ulang, lagi dan lagi, tapi otaknya seakan berhenti bekerja. Dengan syok, ia lanjut membaca nomor selanjutnya.

Jelaskan siklus reproduksi kucing terbang yang memakan lasagna sebagai pakan utamanya!

Jelaskan tahapan metamorfosis ular merah jambu Antartika!

Sebutkan dan jelaskan ciri-ciri khas hewan yang lahir pada musim hujan keju!

Dengan keringat dingin yang semakin membasahi dahi, ia memindai keseluruhan soal di papan tulis. Namun, meskipun ia membaca kata demi kata, tidak ada sedikit pun pemahaman merasuk ke dalam kepalanya.

Ia mengedarkan pandang; semua teman-temannya sibuk menulis di sebuah kertas. Ada yang tampak mengantuk, bosan, ada pula yang mengerutkan kening seakan sedang berpikir keras, tetapi tidak ada yang tampak kebingungan maupun panik seperti dirinya.

Gurunya bangkit berdiri. Dengan spidol, guru itu mengetuk-ngetuk papan tulis dengan keras. "Waktu habis!"

Cukup sudah. Ia akan menangis saat ini juga. Ia bahkan belum mengerjakan satu soal pun.

"Kita koreksi bersama. Tukarkan lembar jawab dengan teman sebelah."

Dengan pasrah, ia menyerahkan kertas kosong ke teman sebelahnya, yang menerimanya dengan wajah datar, menuliskan angka satu sampai 30 dengan telaten, lalu mencoret setiap angka itu.

"Satu persatu bergantian jawab. Yang bisa jawab benar, kasih nilai dua poin. Yang salah, kasih minus lima."

Kalau tadi ia ingin menangis, kini ia ingin menjerit histeris. Namun, seolah tak memiliki belas kasihan, guru itu mengedarkan pandang, menatapnya tepat di mata, lalu spidolnya teracung padanya. "Mulai dari kamu."

Ia menelan ludah, yang rasanya seperti menelan kerikil. "Saya tidak tahu."

Gurunya berdecak. Kekecewaan dalam tatapannya seolah menghunus langsung ke dalam jiwa, menembus daging dan sendi. "Begini saja tidak tahu? Balik ke TK saja sana."

Seisi kelas terbahak-bahak, sementara ia menunduk dalam-dalam. Pandangannya terpaku pada tangannya yang mengepal di pangkuan. Segala kelelahan dan tekanan yang sudah berakumulasi sejak berangkat terlambat tadi mulai menyesaki dadanya. Ia ingin pulang. Ia ingin mengubur dirinya sendiri.

Tanpa bisa menahan diri, ia mulai sesenggukan.

"Yang lain?" Guru itu berpaling. "Ada yang bisa jawab nomor satu?"

"Saya!" Seseorang di bangku belakang mengangkat tangannya dengan percaya diri. "Karena bulu burung perkutut menyerap rasa manis dari gula kapas biru. Semakin manis, semakin cepat pula putaran sayapnya!"

Ia mencengkeram kepalanya. Kebingungannya memuncak, berputar-putar bagaikan tornado dalam otaknya. Ia tidak mau berada di sini. Tidak ada tempat untuknya di sini.

Isakannya semakin keras, tetapi kegiatan belajar-mengajar di kelas itu tidak berhenti. Jauh di balik suara tangisannya, seakan-akan mereka berada di tempat yang jauh, atau ia berubah menjadi makhluk tak kasatmata, antara ada dan tiada, samar-samar ia masih mendengar seseorang membacakan pertanyaan tak masuk akal itu, memberikan jawaban yang sama tak masuk akalnya, lalu disusul pujian dan tepuk tangan dari seisi kelas.

Beberapa menit kemudian, tangisnya reda, tetapi kini kepalanya terasa berat. Kantuk menggelayuti kelopak matanya. Aktivitas di kelas masih berlanjut; suaranya semakin samar dan monoton, seperti dengung lebah.

Seakan dininabobokan, perlahan gelapnya kantuk menenggelamkannya.

***

Ketika ia membuka mata, kelas sudah kosong. Semua kursi sudah diangkat dan diletakkan terbalik di atas meja. Jendela kelas yang terbuka menampakkan langit kelabu yang mendung.

Ia langsung bangkit berdiri dan membereskan barang-barangnya dengan panik.

Jam berapa sekarang? Sudah berapa lama waktu berlalu?

Jantungnya berdebar kuat ketika berlari keluar kelas. Suasana sunyi senyap; tidak ada satu pun siswa, guru, ataupun petugas. Jalanan juga masih sama kosongnya seperti tadi pagi. Hawa hangat menyapu tengkuknya, tetapi bulu kuduknya justru berdiri.

Ke mana semua orang?

Ia mencapai gerbang sekolah yang terbuka lebar, lalu berbelok ke—

Ia seketika membeku. Ia termenung.

Di mana rumahku?

Ia tidak ingat di mana rumahnya. Jalan di hadapannya terbagi menjadi tiga, dan semua tampak sama: lurus membentang seperti benang hitam, semakin jauh semakin kecil, dan tak terlihat ujungnya. Jantungnya berdebar semakin kencang. Ia celingukan. Ke mana ia harus berbelok? Kanan? Kiri? Lurus?

Ketenangan setelah tangisan histerisnya tadi hanya bertahan sesaat saja. Kini ia sudah ingin menangis lagi.

Kakinya mengambil langkah ke kanan—tapi lalu menariknya kembali. Ia mengambil langkah ke kiri, tapi kemudian nyalinya ciut. Bagaimana kalau ia salah jalan? Bagaimana kalau ia justru menjauhi rumahnya?

Langit di atasnya berubah gelap, warna kelabu menjadi segelap cokelat. Udara panas seperti berasal dari oven raksasa menyapu wajahnya. Aroma manis dan harum membebani udara, tapi ia justru semakin gelisah.

Di seberang jalan, seorang wanita berpakaian ungu mencolok berlari pontang-panting sambil memegang payung. Belum sempat ia bertanya, wanita itu sudah menjerit, "Pulanglah, Nak!" Napasnya tersengal-sengal. "Sebentar lagi hujan cokelat panas!"

Ia tidak tahu seperti apa hujan cokelat panas, tetapi ia jelas tidak mau kehujanan cokelat panas, sehingga ia langsung ikut berlari—mengikuti wanita itu.

Ke mana ia berbelok, ke arah mana ia berlari, ia sudah tidak peduli lagi. Wanita itu berlari begitu cepat hingga ia nyaris tertinggal. Udara seakan berubah menjadi sirop lengket yang melekat erat ke tubuhnya, menghalanginya bergerak gesit.

Dengan napas megap-megap, entah karena segenap tenaga yang dikerahkan untuk melawan udara lengket itu, atau karena berlari sambil menangis, atau kombinasi keduanya, ia terus mengejar wanita itu, dan mencapai sebuah rumah dengan warna ungu yang sama persis seperti bajunya.

Sebelum wanita itu sempat menghilang di balik pintu, ia berteriak, "Tunggu! Tolong! Saya tidak ingat di mana rumah saya! Bolehkah saya menumpang di rumah Anda?"

"Maaf, Nak, tidak bisa," kata wanita itu. "Warna baju kita tidak sama."

Ia seketika menunduk, mengamati bajunya sendiri yang semerah kirmizi.

"Kalau begitu," katanya, "apa mungkin Anda bisa membantu menghubungi—"

"Maaf, Nak." Mata wanita itu terpaku pada bajunya. "Merah. Kotor. Kamu sudah dibuang." Kemudian, pintu itu menutup.

Ia? Dibuang? Dibuang kenapa? Karena ia bagaikan garam yang tidak lagi asin? Karena ia seperti buluh yang terkulai? Karena ia serupa sumbu yang telah pudar?

Hawa panas menyengat seluruh tubuhnya, tetapi tidak sepanas air mata yang mengaliri pipinya. Ia harus mencari perlindungan. Sebentar lagi hujan cokelat panas, dan ia tidak punya tempat berlindung.

"Tolong!" Jeritannya serak dan putus asa. Ia berlari tanpa arah, mengikuti sepanjang jalan itu. "Tolong!"

Tidak ada yang membukakan pintu. Tidak ada pula rumah berwarna merah. Ada rumah biru, kuning, hijau, dan kelabu, tetapi tidak ada merah. Tidak ada rumah untuknya.

"Tolong!" Teriakannya semakin lemah. Tangan dan kakinya lemas seperti boneka kain lapuk. "Tolong aku ...."

"Domba tak bergembala!"

Ia menoleh pada suara itu dengan kalut.

Pria itu berpakaian putih. Tangannya memegang selang yang menyemburkan air ke tanaman bunga di tepi jalan. Bunga-bunga yang cantik, hidup, dan bercahaya, sama bercahayanya dengan rumah putih di belakang pria itu; kontras dengan kegelapan di sekeliling mereka.

"Serigala mengincarmu, Nak?" pria itu bertanya iba.

"Anda kenapa di luar?" Ia justru balik bertanya, masih sesenggukan, tetapi rasanya ia mulai tenang. Ada suatu kedamaian yang menguar dari pria itu. "Sebentar lagi hujan cokelat panas."

"Oh, ya?" Pria itu mendongak. "Kata siapa? Serigala?"

"Kata wanita berbaju ungu."

Pria itu menggeleng-gelengkan kepala. "Virus," katanya. "Rasa takut bertindak seperti virus."

Ia mengelap air matanya. Sejenak, ia merasa konyol. Memang tidak seharusnya ia memercayai orang yang bertindak atas dasar ketakutan, tetapi ia sendiri memang sedang kalut. Ia tidak bisa berpikir jernih. "Boleh saya menumpang di rumah Anda?"

Namun, pria itu menggeleng. "Tidak bisa, Nak. Baju kita berbeda."

Semua orang sama saja. Ia sudah hendak menangis lagi, tetapi pria itu melanjutkan, "Tapi, aku bisa mengantarmu ke Rumah Putih."

"Rumah Putih?" Ia menunjuk rumah pria itu. "Rumah putih?"

"Bukan rumah putih. Rumah Putih." Pria itu meletakkan selang dan mematikan keran. "Yuk."

Pria itu berjalan cepat menyusuri jalan.

Ia mengikutinya dengan tergopoh-gopoh dan bertanya, "Itu bukan rumah Anda?"

"Bukan, itu pinjaman. Dulu aku berbaju merah sepertimu, Nak. Nah, ini dia Rumah Putih."

Pria itu menunjukkan sebuah rumah putih besar, jauh lebih besar dari semua rumah yang pernah ia lihat. Namun, ia ragu-ragu. Bagaimana kalau ia ditolak lagi?

"Ketoklah," kata pria itu, "maka pintu akan dibukakan."

Maka, ia mendekati pintu rumah itu dan mengetoknya.

Pintu itu terbuka.

"Masuk," kata sebuah suara bergemuruh bak air terjun. "Tinggalkan sepatu dan tasmu di luar."

"Tasku?" Ia membeo. "Ditinggal?"

"Tinggalkan tasmu."

Namun, semua barangnya ada di sini. Bekal makanan, minuman, buku pelajarannya ....

"Tinggalkan."

Maka, ia meletakkan tas ranselnya dan menanggalkan sepatunya, lalu masuk.

Rumah itu terang, bahkan menyilaukan, sampai-sampai ia tidak bisa membuka mata. Ia menunduk dan menutupi matanya dengan kedua tangan, tetapi dari sela-sela jarinya, ia melihat jubah putih seseorang menyapu lantai. Orang itu berjalan mendekatinya; sepasang kakinya, yang berkilau seakan terbuat dari tembaga, memiliki lubang di masing-masing punggung kakinya.

"Lepaskan bajumu," katanya. "Cucilah dengan darah itu."

"Apa?" Ia sedikit mengangkat pandangan, mengikuti arah yang ditunjuk orang itu. "Darah?"

Sebuah kolam besar berisi darah berada di tengah ruangan. Ia mendekati kolam, melepas baju, lalu mencelupkannya ke dalam darah itu. Ketika ia mengangkat bajunya, warna merah kental menetes dari ujung-ujungnya, perlahan meluntur, dan akhirnya menampakkan warna putih bersih.

"Putih!" ia memekik terkejut. "Putih seperti salju!"

Tanpa bisa menahan diri, ia kembali menangis, tetapi dengan alasan yang sepenuhnya berbeda. Bajunya kini berwarna putih. Ketika ia mengenakannya, sukacita tak tertahankan melimpah dalam hatinya hingga ia melonjak-lonjak kegirangan. Ia tidak lagi terbuang. Ia tidak lagi tersesat. Kini ia punya tempat.

"Terima kasih, Tuan!" Ia berseru. "Dengan apa 'kan kubalas kebaikanmu?"

Baru pada saat itulah, ia bisa menatap wajah orang itu. Kepala dan wajahnya putih, seakan memang orang itulah cahaya itu sendiri. Orang itu mengulurkan tangan; di telapaknya terdapat pula lubang yang sama seperti di kakinya.

Ia tercenung, tersadar sesuatu. Darah itu berasal dari tangan dan kaki itu.

"Aku telah menyediakan banyak rumah," orang itu berkata. "Tapi, siapa yang akan mengabarkan kabar baik itu? Siapa yang akan mewartakannya?"

Ia seketika jatuh bersujud. Dengan darah ia telah dibersihkan. Orang ini merelakan tubuh dan darahnya hanya demi seseorang seperti dirinya. Orang ini tidak mematahkan buluh yang terkulai. Orang ini tidak memadamkan sumbu yang telah pudar. Hidupnya tidak pernah terasa lebih berharga daripada sekarang.

Kepada orang seperti itu, dengan cara apa lagi ia membalas selain hidup untuk menyenangkannya? Sama seperti pria berbaju putih yang mengantarnya ke sini, ia juga ingin mengantar orang-orang tersesat dan terbuang ke rumah mereka, ke Rumah Putih.

"Ini aku," ia berkata. "Utuslah aku."

Fin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top