Roe yang Kesepian
Udara berembus memasuki ujung lorong gua, bersama dengan semburat cahaya temaram yang mempertegas eksistensiku. Tidak seperti emas atau permata lainnya, aku tidak berpendar. Cahaya remang-remang ini mengulas memori lampau yang tersimpan dalam pikiranku. Pendar coklat seperti manik mata sosok yang tidak pernah kujumpai jauh puluhan tahun atau mungkin sudah ratusan tahun lalu. Meskipun lama, aku meyakini bahwa rasa hangat ini masih beresonansi dalam pikiran bahwa ia menciptakan takdir diriku sebagai benda mati sejati yang terkurung dalam peti pun sunyi. Kenangan ini kutelan bersama dengan penjara sekaligus pelindungku---peti kayu coklat tua yang terlihat basah dan suram. Berkas jingga yang menggapai stalaktit dan memantul pada tanah serta debu-debu yang berterbangan, pada telaga tenang dengan sedikit gelombang, tulang belulang serta tumpukan tengkorak yang tergeletak di pojokan, berupaya menggapaiku dan meniupkan sebuah kenangan lama. Setiap senja datang, kenangan itu akan menguat kembali dalam bentuk perasaan penyesalan. Telaga Muram di sampingku sekali lagi tertetes oleh cairan kesedihan dariku.
Salah satu kenangan manis yang menjejak adalah pandangan pertamaku setelah peti ini dibuka oleh tangan besar yang hangat, ini terasa seperti tangan manusia. Tarikan pada kedua ujung bibirnya, pelebaran pupil mata, serta iris yang berbinar secoklat madu akibat pantulan kemilau dari wujudku yang terdefinisi sebagai perasaan bahagia. Binar di matanya seolah sepadan dengan berkas pemandangan sempit dari mulut gua yang sekarang kulihat, mega jingga di langit sana.
Sebenarnya, pria itu bukanlah orang pertama yang kujumpai, tetapi manusia yang bisa menemukanku setelah puluhan tahun atau mungkin genap beberapa abad setelah diriku terlupakan. Aku tidak mengingat bagaimana diriku disusun sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisahkan. Namun yang kuingat adalah gambaran kobaran ambisi yang terkadang membuat manusia melampaui batas. Beberapa bersikap netral dan yang lain menganggapku tak begitu berharga seperti batu berkilau. Orang-orang terakhir yang kusebut tidak seburuk dugaanku---bahwa mereka tidak sebergairah itu pada dunia, toh hidup hanya satu kali---justru manusia pecinta damai inilah yang membuatku berada di sini. Sebelumnya, kobaran tersebut membara dan meluluhlantakkan seisi desa untuk memilikiku. Maksudnya, aku menyaksikan beberapa dari mereka tidak bergerak bersama dengan cairan merah yang mereka sebut dengan darah, gumpalan sebesar genggaman tangan yang disebut jantung benar-benar digenggam. Akhirnya, aku mengetahui istilah ini sebagai pertumpahan darah dan manusia yang kulihat sebelumnya itu ternyata telah mati. Terdapat seseorang yang menculikku, aku tidak mungkin melupakannya, sosok pertama dan terakhir membawaku jauh dari desa, menyeberangi arus dan ombak dari perairan, melawan arah kemudian mencari jantung pulau dimana terdapat sebuah terowongan gelap tempatku berada saat itu. Aku benar-benar diasingkan dengan peti yang ditutup. Tidak ada kesempatan bagi orang lain melihat pendaran dari emas permataku lagi----begitulah pikirku.
Namun, telingaku tidak salah tangkap sekarang.
"Aku menemukannya, Sky!" Pria itu bersorak riang dengan mata sedikit berair, peluh pada dahi yang merembes hingga rambut pirangnya menetes pada wujudku, "Harta karun itu berhasil kutemukan Sky, aku tidak membual bahwa mimpiku mewujud nyata."
Sebuah kontradiksi menyelimutiku. Kehangatan menyelubungi permukaan wujudku. Sedikit pendaran akibat pantulan obor yang dibawa oleh lelaki itu. Siapa yang tidak suka dikagumi? Di lain sisi, memori lama menahanku untuk terus memekarkan kebahagiaan yang sekarang terasa. Bagaimana caraku kabur kalau aku tidak punya alat gerak? Andai aku punya kaki seperti manusia, pasti mereka akan kutinggalkan dengan kakiku. Sungguh konyol! Bahkan sesederhana bergerak saja tidak bisa kulakukan. Andai bisa, mungkin kepala lelaki ini memar setelah terhantam oleh benda tumpul dan ia akan tergeletak tak berdaya. Toh, satu nyawa hilang tak sebanding dengan perebutan yang membawa pertumpahan darah.
Lelaki itu menyipit ketika melihat sebuah lembaran kayu pada peti mencetak satu persatu aksara dengan bahasa ibu mereka ketika disentuh.
'Kau tidak akan membawanya hanya dengan satu, bawalah semuanya seperti satu raga yang utuh,' kemudian di bawahnya tertulis, 'namanya Roemisun.'
"Ternyata kau memiliki nama," gumamnya pelan, "Roe, begitukah aku memanggilmu?"
Tentu aku tidak bisa menjawab, namun pria ini mengalami kesepian akut mengajak benda mati sepertiku berbicara.
"Namaku Marson Luminescent. Panggil saja Marson."
Pria itu menutup kalimatnya dengan ulasan senyum. Lantas dia membedongku di punggung dan memperlihatkan bagaimana perjuangannya membawaku hingga ke rumah. Pertama-tama, gua ini berbentuk silinder spiral dan rupanya merupakan rongga dari sebuah batang pohon yang mengeras. Terdapat tetesan air yang licin serta kerak lumut yang dapat menjerat siapapun yang lewat. Saat itu, hal yang mengejutkan adalah remang-remang sebuah kain berwarna jingga bercorak merah dipijak oleh Marson, persis seperti pakaian orang yang membuangku dulu.
Suara deru napas Marson menyadarkanku dari lamunan. Ia berjalan sempoyongan demi menghindari jeratan. Pencahayaan sangat minim. Hanya oborlah yang membawa kami menuju sebuah cahaya berwarna biru kehijauan yang bersumber dari mulut terowongan.
Pemandangan selanjutnya yang menyapa kami adalah kumpulan pepohonan yang sebagian besar hangus terbakar. Terdapat beberapa kayu berubah menjadi arang yang membara, sebagian menjadi abu dan lainnya berwarna hitam pekat. Terdapat beberapa ular yang melingkar berkamuflase bersama abu, tanaman rambat, serta akar yang menggantung di udara. Dari sini saja, aku sudah menduga bagaimana api ambisi lelaki yang membedongku. Bagaimana luka parut di sikunya yang menjadi tato kenangan sekaligus penghargaan saat ia turun dari lereng. Selanjutnya ialah penutup dalam tantangan fisik Marson. Kami menaiki kapal menyusuri ombak tenang dan buih yang menyimpan kehidupan, dingin, misteri, bersama semburat jingga yang padam menjadi sepekat kopi tuan lamaku. Aku bergumul pada kekhawatiran bahwa lelaki yang sedang membawaku sekarang ini akan menyulut sebuah pertumpahan darah lagi.
"Sky lihatlah!" Marson meletakkanku pada meja panjang, di belakangnya gadis berambut senada dengan Marson berjalan pelan dengan alis tertekuk. "Cerita buyut kita bukan bualan, harta peninggalannya benar-benar terkubur," tambah Marson sembari memperlihatkan sebuah buku dengan sampul tebal dan berwarna kecoklatan.
Itu adalah masa terbaik pada hidup ini bersama Tuanku Marson. Ia merawatku bersama adiknya bernama Sky, serta memandangiku sebelum tidur. Mereka merealisasikan harapanku ketika perlakuan yang diberikan begitu hati-hati dan teliti, seolah aku adalah barang berharga.
Semua berjalan lancar hingga sebuah ajang pameran antar marga keluarga diadakan. Tuan Marson seperti menginginkan hal ini, seperti sambutan yang disampaikan, "Luminescent disebut sebagai keluarga cahaya dan wujud dari peninggalan yang sudah terlupakan ada di tangan kami. Pendaran dari Roe akan mengembalikan kejayaan dan kemuliaan Luminescent!"
Sorakan dan sambutan baik dari kerabat pun marga keluarga lain adalah sebuah seruan bagiku. Kemudian tiga hari setelahnya, Marson tertusuk ketika ia mencegah seorang bertopeng membawaku.
*
Rupanya satu tusukan itu begitu membekas bagi Tuan Marson. Ia masih ingin mempertahankanku, serta mengupayakan keamanan keluarga Luminescent. Tuan Marson kerap membawa buku dan perkamen lama yang dibaca di ruangan yang sama denganku. Dia kemudian mendekat dan mengelus diriku, "Kau akan tetap menjadi milik keluarga Luminescent. Luminecent yang bercahaya seperti kilaumu yang tidak akan jatuh ke tangan keluarga lain."
Satu hal yang sempat kulihat dari dokumen lama itu, sebuah peringatan dengan huruf kapital pada pojok kanan bertuliskan 'Berbahaya'.
Kemudian sesuatu dimulai, sebuah kobaran api dari tumpukan kayu yang dilahap. Tuan Marson mendekat dengan pakaian serba putih memberikan sebuah cairan berwarna kekuningan. Bibir tipisnya bergerak dengan cepat mengucapkan sesuatu sehingga api yang semula merah menjadi biru keunguan. Bersamaan dengan hal itu, wujudku berkilau dan berpendar terang. Sejak saat itu, Tuan Marson memberiku kebebasan dalam bereskpresi, seperti perasaan bahagia dengan pendaran cahaya, sedih dengan kilauku yang tak nampak, serta air kesedihan yang muncul karena duka, seperti Telaga Muram yang kubentuk dari kesedihan akibat kematian yang dialami olehnya setelah malpraktik ritual.
Awal mula yang kulihat, tubuhnya terjerembab ke tanah, keringat menetes dari dahi dan rambutnya, serta bagian punggungnya pun basah. Kemudian darah menetes pelan dari hidung, kemudian telinga, mata, dan pori-pori di tubuhnya. Tuanku pun bergerak tak beraturan sembari melolongkan teriakan yang membuat Sky dan yang lain melihat Tuanku. Segerombol orang berupaya memadamkan api biru keunguan itu, namun semuanya terlambat. Tuanku sudah tak bergerak dan aku menjadi harta karun yang tak bisa dimiliki oleh siapapun. Sempat kudengar bahwa kerabat mereka mengetahui apa yang dilakukan Tuan Marson, ritual percobaan dari nenek moyang yang terlarang dan belum diuji coba karena pemiliknya mati ketika melakukan ritual tersebut. Disebutkan bahwa sesuatu yang diritualkan tidak akan jatuh ke tangan orang yang ingin memilikinya, kecuali orang tersebut ingin celaka.
Kuburan Tuan Marson belum kering dengan taburan bunga serta siraman air. Belum genap semusim, mereka lagi-lagi membawaku pada kesendirian pada gua yang tertelan oleh rimbunnya pepohonan dan terasing pada ketinggian di gunung.
Pergantian musim terjadi begitu saja, satu, dua, dan seterusnya bersama dengan rasa sepi yang kian mengakar dalam jiwaku dan dengan perlaham menggerogoti pikiranku, sesosok emas permata yang dapat bereskpresi kemudian menangis sejadi-jadinya membentuk Telaga Muram. Kadang kutemui beberapa orang kadang mampir berteduh: orang tersasar atau sekelompok para petualang yang mampir berteduh akan melihatku sebagai harta karun yang ingin dimiliki berakhir menjadi onggokan tulang dan tengkorak yang mongering di pojok gua.
Kian lama, atas pengorbanan serta kutukan yang diberikan Tuan Marson padaku memberikan sebuah berkah yang nyata. Aku dapat berbicara, kata pertama yang kusebutkan adalah "Selamat pagi" pada mayat-mayat itu. Air kesedihan hasil dari akumulasi rasa sedih, kesal, kesepian menjadi sebuah telaga kecil yang pekat. Siapapun dapat kemari untuk meminum air kesedihan yang masam itu. Hingga suatu ketika aku melihat sosok yang hampir serupa, maksudku perasaan saat dia mendekat terasa seperti Tuan Marson. Dia adalah perempuan berambut coklat dengan mata hijau berdiri mendekat.
"Selamat datang," ucapku menyapanya, dengan harapan bahwa dia akan memahamiku dan tidak melakukan pantangan di awal kita bertemu atau memilih bernasib seperti onggokan di pojok sana, yang menjadikan pertemuan awal dan akhir terjadi bersama.
"Aku merasakan kesedihan sejak aku mendaki gunung, seperti tulisan dalam perkamen usang itu akhirnya aku menemukanmu, percobaan itu akan kuupayakan lenyap, Roe, setelah upayaku berkali-kali," ucapnya sambil tersenyum berseri. Dia berjalan mendekat dan memelukku dengan erat. Kehangatan tersalurkan seperti sebelumnya. Setelah ratusan tahun namun tidak mencapai satu milenial, akhirnya ada sosok yang memahamiku.
Kilauan dari wujudku menyala terang hingga membuat tangan gadis itu menangkup matanya. Kini dia tercengang, akupun ikut tercengang melihat pantulanku pada telaga kesedihan, bahwa diriku sudah berubah wujud menjadi sosok lelaki dengan baju kecoklatan seperti kayu tua lapuk, rambutku berwarna pirang dan manik mataku seperti madu. Hal yang tidak kusangka bahwa diriku menjadi manusia dan dapat memulai kehidupan, serta kehangatan yang terjalin pada hubunganku dengan sosok yang berhasil menahan keinginan memilikiku. Aku mengusap puncak kepalanya sembari menatap matanya dalam. Tanganku beralih memegang jemari kecilnya. Dia tersenyum padaku.
"Terima kasih," ucapku dengan senyum simpul. Kemudian kami berjalan meninggalkan gua gelap di pegunungan kecil itu, bersama-sama menuruni medan dengan mega merah yang membakar di ufuk barat. Temaram cahaya membuat langkah kami kesulitan, namun kebahagiaan membuat sebagian dari diriku bercahaya. Awal dari hidup baru mungkin akan dimulai dan melupakan sosok Roe, si harta karun lapuk yang malang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top