Jurig 2

Siap-siap, ya! Resensiku begitu panjang. Mungkin ada beberapa kritik yang gak enak dibaca, tapi itu semua agar kalian eksplor. Percayalah, setiap pujian yang kuberikan juga benar-benar tulus. Selebihnya, di sini kita sama-sama belajar untuk membuat karya surealis, mengingat ini tema yang jarang dijelajah. Jadi, apa pun kesalahan dan komentar juri adalah kritik yang membangun, sementara kami para juri juga belajar memahami surealis dari karya kalian. Selamat membaca!

1. Baca Aku

Nilai: 75

Hal yang paling aku suka dari cerita ini, penulis mampu membuat karya surealis sesuai ekspektasi. Poin emas yang gak semua karya lain miliki adalah Baca Aku punya nuansa satire komedi (masih ngakak sama nama penulisnya—Kaka Wakaka). Seiring waktu berjalan, cerita ini berubah menjadi thriller hingga alurnya semakin memiliki 'suara'.

Apa lagi isi terakhir dari buku Temanmu dari Neraka: Kau adalah milikku sampai kau memberikanku kepada orang lain. Setelah kau tidak lagi menjadi milikku, maka setan-setan itu akan mengincarmu. Bagaikan tubuh yang tidak memiliki roh, mereka akan terus menerus merebut tubuhmu. Pesan ini kalau ditelisik lebih lanjut adalah kesimpulan dari seluruh isi cerita. Bagaimana aku harus menjelaskannya? This is masterpiece.

Hanya saja ada plot hole yang besar, dan ini lebih dari satu. Siapa identitas asli penulis? Apa sebab–akibat yang membuat buku ini tidak biasa? (Meskipun ini karya surealis, harus tetap punya analogi). Kenapa Sherly pada akhirnya bunuh diri jika dia malah memutuskan untuk memberikan buku ini ke orang lain. Padahal kalau dia sudah melakukan sesuai petunjuk buku, itu berarti tugasnya selesai, kan? Dan dia gak terbeban, kecuali kayak si MC yang notabene gak mutusin buat membagikan buku ini ke siapa pun.

Bahkan kalau pun Sherly adalah identitas asli penulis, gak masuk logika dia harus bundir, karena bukunya sudah ditamatkan. Kalau pun ada alasan lain, seperti misalnya karena buku ini menyesatkan, maka harus dijelaskan. Jangan tiba-tiba begitu. Mungkin tujuan penulis agar pembaca bisa menebak dan menyimpulkan sendiri di akhir. Ini bagus sebenarnya, tapi harus ada clue yang nyambung biar alurnya bisa lebih koheren.

Untuk kaidah kepenulisan ada beberapa yang perlu dibenahi; di kata 'terus menerus' seharusnya ditulis 'terus-menerus', penempatan tanda koma di beberapa kalimat dan interjeksi juga masih rancu, terlalu banyak dialog ping-pong, teknik tell dan show-nya gak sepadan, narasinya juga kurang mengalir. Contoh kecilnya waktu kematian Sherly. Dia pamitan ke sahabatnya, abis itu langsung bundir. Itu pun langsung dikonfirmasi kronologi bundirnya dalam waktu berdekatan. Jadi, kesan kejadiannya kayak gak alami.

Kesimpulan dari penilaianku, aku suka banget alur cerita ini, tapi yang perlu dibenahi adalah cara penceritaan dan kaidahnya. Jika saja kedua poin tersebut gak begitu banyak bermasalah, aku mungkin bisa kasih nilai lebih.

2. Soul

Nilai: 75

Inti dari cerita ini sejauh pemahamanku ada tiga orang sekawan, Joylah yang mengenalkan mereka kepada dunia di balik lemari yang penuh dengan hal-hal surealis. Pada tiap lemari punya kejutan masing-masing. Joy pikir dunia ini penuh warna-warni pelangi, tapi ternyata enggak waktu dia sadar dua temannya dikutuk menjadi boneka, dan yang membuat boneka itu adalah Ren.

Sebenarnya eksistensi Ren ini agak membingungkan. Aku punya tiga sudut pandang tentang dia:

1. Ren ada dua (satunya menemani perjalanan Joy, satunya lagi berdiam di lemari). Karena sejak awal kita disuguhkan bahwa tiap-tiap lorong mencerminkan dunia yang berbeda, makanya di situ sempat ada scene di mana Yin menjadi tiga saat melintasi lorong.

2. Ren hanya satu. Dia yang notabene terjebak sendirian di dalam lemari mulai terdistorsi. Di posisi sendirian ini, aku mikirnya muncul sisi lain dari Ren. Hingga dia membuat boneka dirinya sendiri dan Yin yang memiliki jiwa.

3. Tapi jika memang Ren hanya satu, dan sosok Ren dan Yin itu adalah boneka hidup, lalu di mana Yin yang asli? Ini gak dijelaskan.

Jadi, sangat banyak plot hole dalam cerita ini. Sebenarnya aku suka gaya berceritanya yang bikin berfantasi liar dengan building world menakjubkan. Dialog dan narasi seimbang, serta unsur-unsur surealis sudah ditekan kuat. Sayangnya masih begitu rancu untuk diklaim sebagai karya surealis yang benar. Soalnya, sama seperti komentarku di cerita pertama, surealis bukan berarti karya itu abstrak, tapi gimana dua komponen yang terkesan bertolak belakang bisa saling berkesinambungan.

Nah, di cerita ini kesinambungannya masih putus-putus. Bukan berarti karya ini gagal mengemas genre surealis, hanya saja kurang. Contohnya waktu Joy memberikan sebuah parfum yang membuat Yin seolah merasa berbagai bunga bermekaran, aku gak nemuin turning point dari scene ini. Bahkan tanpa detail parfum pun plotnya bisa lebih konsisten, loh, untuk mengacu ke surealis. Karena sudah dijelaskan tentang dunia di balik lemari. BTW ngingetin aku film Narnia, tapi berdasarkan referensi penulis ... beda, ya? Dan cerita ini punya pengemasan sendiri, cakep sih.

Terus masih berputar soal lorong-lorong dan eksistensi Ren. Tiap lorong berbeda yang memperlihatkan cerminan tiga orang yang sama di sana 'sudah begitu menakjubkan' untuk dijadikan hiasan semata. Inilah hal paling mengecewakannya, padahal aku sudah menanti bagian luar biasa di mana mereka berkunjung ke masing-masing lorong. Eh, malah ketemu lemari di balik lemari lagi.

Sebenarnya gak apa-apa kalau memang itu tujuan penulis, tapi plotnya jadi tumpang tindih dan gak konsisten, karena menyorot dunia yang gak nyambung lagi. Jadi, kalau semisal mau disorot keduanya, kejadian di lorong harus punya kelanjutan atau minimal arah yang jelas 'ke mana mau dibawa?' Gak stuck di situ. Karena lorong inilah yang membuat aku berpikir beberapa analogi tentang Ren, termasuk poin pertama kalau Ren ada dua. Meskipun aku ragu sih, dan lebih percaya lorong itu cuma hiasan sepintas lewat.

Lalu untuk manusia bunga, jika diinterpretasikan sebagai ruler ataupun simbolis dunia itu, seharusnya keberadaannya bisa lebih 'memegang'. Awalnya memang dia terlibat dalam rintangan petualangan Joy DKK, tapi di ending? Dia kayak hilang gitu aja, dan malah tiba-tiba fokus ke Ren yang sudah gak waras. Soal Ren ini juga, seharusnya ada sesuatu yang bisa menjelaskan keadaan dia, sebelum kemudian tertangkap basah membuat boneka.

Kalau memang tujuan penulis untuk membuat plotwist, sebenarnya sudah cukup tersampaikan. Tapi kayak ada sesuatu yang kurang, sehingga aku gak bisa benar-benar menikmati plotwist-nya. Aku gak tahu di mana, tapi mungkin karena penuturan ceritanya inkonsisten, seperti yang kubahas di atas.

Kalau kaidah penulisan sudah rapi, tapi masih ada beberapa kesalahan. Seperti contohnya di paragraf pembuka banyak kata berulang yang sebenarnya bisa diminimalisir dengan padanan kata. Aku juga menemukan kata 'pun' dan 'tak' yang salah tempat.

•'Pun' digabung jika merujuk sebagai kata hubung. Contoh: Aku ataupun kamu.

•'Pun' dipisah jika digunakan sebagai pelengkap. Contoh: Aku pun ingin ke san.

•'Tak' digabung jika tanpa partikel dasar yang mengikutinya. Contoh: Takingin

•'Tak' dipisah jika kata itu sudah berdiri sendiri. Contoh: Tak mengingkan.

Tapi ada beberapa kata yang dikhususkan agar 'pun' dan 'tak' tetap disambung meski tanpa aturan itu. Lebih jelas silakan cek KBBI. Selebihnya, aku merasa keunggulan cerita ini terletak di building world, begitu surealis dan memukau. Aku juga gak begitu terganggu sama kesalahan di kaidah penulisan, hanya saja alur yang inkonsisten membuat nilai suatu karya menjadi berkurang.

3. Hide

Nilai: 73

Well, setelah membaca cerita ini, aku perlu merenung dulu, sebelum kemudian meresensi ... akhirnya keinginanku untuk membaca karya dari sudut pandang orang skizo bisa terwujud, karena jarang banget yang bikin kayak gini. Biasanya aku banyak nemuin cerita yang ngebahas isu psikologi, tapi semacam menjelaskan gangguan kejiwaan dari sudut pandang orang waras.

Nah, cerita ini punya gayanya sendiri, sehingga memberikan reader experience yang berbeda buat aku. Ditambah lagi konsep surealis dengan menyentuh dasar-dasar realita kayak gini adalah yang paling jarang aku konsumsi. Mulai dari kebimbangan MC yang nular ke pembaca, sampai bagaimana cara dia bertengkar dengan trauma sendiri—lampu tidur yang bisa-bisanya dianggap kepala pria berleher panjang? Entahlah, pokoknya ini OOTB, dan aku suka. Jadi, terima kasih kepada siapa pun penulisnya.

Sayangnya, pengemasan cerita terlalu bertele-tele. Kayak ... ini alurnya singkat, tapi terasa sengaja diperpanjang untuk mencukupi jumlah kata. Padahal kalau bisa eksplor, ada poin penting yang seharusnya dibahas agar cerita lebih kompleks. Sebelumnya, coba renungkan dialog ini dulu:

Kali ini aku menoleh ke arah lain. Menatapnya serius. "Lalu, kenapa wanita tua itu selalu mengurungmu di sini?"

"Dia... Dia bilang, aku... aku, harus istirahat," jawabku sambil melototinya.

"Kamu harusnya marah. Padahal di luar sana indah sekali." Kali ini, dia yang angkat suara. Memandangku sambil tersenyum-- terlihat aneh bagiku jika kondisi mulutnya begitu.

Aku mendengus, beranjak dari kursi. Lalu menghambur dalam pelukan bantal di atas ranjang. "Menurutku... biasa saja. Hanya... hanya

gedung!" tukasku, sambil memeluk bantal guling.

"Tentu saja hanya gedung. Karena kamu belum pernah diajak ke tempat lain. Tempatnya indah dan sejuk. Tidak seperti di ruangan yang sumpek ini," ujarnya, membuatku sedikit terkejut, lalu melepas pelukan itu.

Renungkan kalimat yang kuberi bold. Seharusnya ini bisa jadi turning point, astaga. Tapi kenapa enggak dibikin klimaksnya? Padahal bagus kalau seandainya Vivi bisa dapat chara development. Jadi, pembaca gak akan melulu diperkenalkan dengan dunia Vivi dalam persembunyian yang sesak dan gelap, tapi juga bagaimana cara dia belajar untuk sembuh.

Penyampaian ceritamu sebenarnya sudah bagus, tapi karena sengaja dipanjang-panjangin ini membuatku memberi krisar demikian. Apa lagi kebetulan sudah diberikan clue tentang ini, tapi gak dieksekusi. Selebihnya, cerita ini punya alur yang bagus.

Sementara untuk kaidah penulisan bisa dibilang masih sangat rancu:

1. Seharusnya ada spasi sebelum elipsis (...).

2. Jangan pakai tanda seru dibarengi elipsis yang jumlahnya titik tiga, karena kalimat itu berarti masih harus disambung. Untuk lebih jelas, silakan cek EYD V.

3. (Silakan cek dialog). Tidak perlu berkali-kali menggunakan kata yang berulang untuk menjelaskan kegugupan. Jika memang dia karakter yang meragu, sesekali gunakan narasi untuk menjabarkan. Karena kalau terus kayak gitu, bikin pembaca bosan dan merasa sedang membaca kalimat yang sama lagi.

4. Penempatan tanda koma masih salah. Fungsi tanda koma itu untuk memisahkan kata sebelum penghubung, atau memisahkan anak kalimat dari induknya. Semisal kalimatnya masih menyatu, gak perlu tanda koma.

Contoh:

•Suaranya menggelegar, memenuhi noruangan. Membuat dekapan dari wanita tua itu seketika melonggar. (X)

•Suaranya menggelegar memenuhi ruangan, membuat dekapan dari wanita tua itu seketika melonggar. (✓)

5. Tanda pisah (---) digabung dengan kata yang mengikutinya. Jangan dipisah, sekalipun namanya tanda pisah🙏😭

6. Menurut EYD V, penggunan huruf kapital gak bisa digunakan untuk sekadar kalimat yang bernada keras atau memerintah. Tanda seru saja sudah cukup mewakili, jadi gak perlu caps lock.

7. Onomatope atau efek suara gak perlu pakai bold, cukup italic. Karena penggunaan bold dalam narasi itu untuk mengkhususkan kalimat yang 'sudah' dikhususkan. Sementara italic untuk mengkhususkan kalimat saja. Kalau mau contohnya, lihat dialog dalam ceritamu yang sudah aku kutip.

4. Bulan

Nilai: 80

Seperti judulnya, cerita ini mengisahkan tentang bulan. Si Asih merasa bulan terlalu cepat bangun untuk menyambut matahari, maka dia berharap bulan menghilang. Tapi ternyata hari-hari tanpa bulan membosankan, ya? Tidak ada sistem penanggalan, dan setiap saat Asih harus bangun dari mimpi berulang-ulang tentang keberadaan bulan yang ternyata sudah tiada.

Kalau diinterpretasikan, cerita ini punya berbagai makna. Salah satunya, tentang seseorang yang merasa harinya begitu menyebalkan, kemudian dia meninggalkan kehidupan lama untuk mencari suatu hal baru. Tapi malah gak sesuai ekspektasi, dan dia jadi pengin kembali ke masa lalu. Kesimpulannya, kita harus bersyukur, karena kehidupan ini adalah fitrah Tuhan.

Sejauh membaca, menurutku ini adalah cerita yang sangat matang sebagai surealis. Gaya penulisannya mengalir. Meskipun cerita ini masuk dalam kadar realita, konsepnya tetap bisa membuat kita berfantasi liar. Seperti contohnya saat kelinci menenun untuk membuat jalan menuju bulan. Pdahal dengan sekadar melompat, dia bisa sampai ke sana.

Menurutku makna kelinci ini mengarah tentang perputaran waktu. Setiap manusia hidup dengan mengejar waktu untuk meraih kesuksesan. Sementara waktu tidak menunggu kita, dia terus berjalan menjauh. Padahal jika kita bisa menerima setiap jejak perjalanan, kita bisa berjalan beriringan dengan waktu sambil menikmati setiap momen selama hidup dan berjuang di dalamnya. Sebelum momen itu menghilang ....

Aaaa keren, aku suka cerita ini. Karena meskipun terlihat gak jelas, ternyata punya pesan mendalam yang bebas kalian maknai sesuai pemahaman masing-masing. Inilah cerita yang kuharap dari tema paradox. Sungkem dulu. Selain itu, aku juga suka nilai-nilai lokalitas di dalamnya.

Gak banyak kritik soal gaya penulisannya, sih, karena sudah rapi. Tapi jujur saja di akhir-akhir aku sempat merasa bosan karena alur penuh pengulangan. Aku sering nonton anime kayak gini, dan sebenarnya kesan terulang-ulang ini memang membuat suasana cerita semakin menegangkan. Tapi kalau mau bikin scene begini, usahakan pengulangan waktunya memiliki elemen-elemen lain dan klimaks yang berbeda, walaupun mengarah ke satu tujuan. Biar kesannya gak membaca tulisan yang sama melulu.

Lain kali jika ada bahasa asing seperti lagu dalam cerita ini tolong diartikan, ya, atau bisa dijelaskan mengalir dengan narasi (aku lebih suka yang kayak begini, biar gak mengganggu proses membaca). Soalnya kalau gak diartikan, pembaca bingung. Aku juga gak tahu kenapa nduk gak pakai kapital? Bukannya dia juga termasuk panggilan kepada orang yang notabene harus dikapitalkan? BTW aku gak tahu artinya nduk itu apa, makanya argumenku masih berdasarkan tanda (?). Lalu Eyang Putri juga seharusnya dikapitalkan saat merujuk ke panggilan langsung. Kecuali gak merujuk ke orangnya, baru non-kapital. Contoh: eyangku.

5. Perjalanan Kaki

Nilai: 83

Siapa yang buat cerita ini woi, wkwk. Ngakak banget. Berkisah tentang gadis bernama Madi yang merawat tanaman kaki sepenuh hati, sampai banyak yang menginginkan tanaman tersebut. Berkat saran Profesor Buhan, dia mengembangbiakkan kaki, tapi tampaknya gak berjalan normal.

Kalau aku gak salah tebak, tujuan penulis adalah membuat sarkas komedi. Bahkan, kesimpulan dari yang kutulis di atas bisa dimaknai dengan kerakusan manusia dalam menginginkan sesuatu. Ada orang udah punya tumbuhan bahu yang bisa menampung beban pun tetap mau ditukar sama kaki, padahal itu udah lebih dari cukup, woi!😭 Aku mah mau punya bahu yang bisa jadi tempat bersandar, dan menampung masalahku wkwk.

Ini lagi si Madi, dikasih penawaran yang gede-gede malah ditolak. Pas dikembangbiakkan ternyata rugi juga. Ini bisa diinterpretasikan sebagai sifat tamak manusia, selalu menginginkan lebih dari apa yang sudah dia punya. Sementara Profesor Buhan diibaratkan ego manusia, menyesatkan. Begitulah aku memaknai cerita ini. Meskipun dikemas lucu, pesan di dalamnya malah sangat serius.

Ujung-ujungnya, Madi melakukan ajakan yang sama kepada pemilik tanaman jari. Padahal kalau Madi memberi penawaran, kemungkinan tanaman jari menunjuknya dan dia bisa beruntung. Tanaman kaki pun kembali normal. Tapi aku paham penulis sengaja gak ngasih happy ending buat cerita ini, malahan ditutup dengan open ending biar pembaca bisa kembali merenungkan keputusan-keputusan Madi. Jelas banget cerita ini mengacu tentang kritik sosial, dan penulisnya sungguh luar biasa.

Overall kaidah kepenulisan juga sudah oke. Hanya penggunaan kata 'tak' yang masih salah.

•'Tak' digabung jika tanpa partikel dasar yang mengikutinya. Contoh: Takingin

•'Tak' dipisah jika kata itu sudah berdiri sendiri. Contoh: Tak mengingkannya.

Selebihnya gak ada kritikan lagi, karena sejauh ini Perjalanan Kaki adalah karya yang paling minim kesalahan. Alurnya pun mendekati sempurna.

6. Rumah Seputih Darah

Nilai: 87

Awalnya, aku mengernyit dengan judul cerita ini, darah kok putih? Di sisi lain aku menduga ada penguraian makna di baliknya, dan benar saja. Secara penulisan, mungkin ini bukan tipe tulisan favoritku. Tapi secara alur, aku mau bilang kalau ini favoritku! Benar-benar tipe bacaanku banget.

Gaya narasinya mendayu-dayu, dan membuatku cukup ngantuk. Tapi konsep yang diangkat menarik, bisa aja kepikiran buat tema tentang pelajaran anomali. Ini bagus sih, soalnya konsep sekolah tuh seringnya tentang cinta-cintaan atau sekolah sihir. Paling umum lagi tentang rundungan.

Akhirnya pelajaran yang di luar nalar itu tuntas saat time skip. Mulai dari sini, aku menikmati jalan cerita. Bagaimana kebingungan si MC yang gak pernah disebutkan namanya dalam menghadapi beban keterlambatan; terlambat datang, dan terlambat pulang sekolah. Sampai dia gak tahu 'di mana rumahnya?'

Maknanya dapet sih, konsekuensi dari apa yang kita tuai memang seperti itu. Lalu tentang wanita berbaju ungu yang gak mau nerima si MC karena warna bajunya beda, seperti cara pandang seseorang tentang manusia yang lain. Menilai sampul hanya karena warna merah dianggap buangan. Ini seperti saat kita menilai narapidana. Orang-orang hanya tahu apa kejahatan yang dilakukan, tanpa tahu kenapa dia bisa tersesat hingga melakukan hal keji itu?

Well, semua orang memang memiliki nurani, tapi gak semua bisa menyelamatkan orang lain. Aku suka banget konsep Rumah Putih ini yang bertujuan untuk pembebasan, dan arti sebuah pengorbanan dari tuan rumah kepada pengunjungnya. Meskipun itu berarti tubuhnya harus penuh luka dan berlubang. Kamu kayaknya emang pantas bikin cerita surealis deh, wkwk.

Tapi secara penulisan yang mau aku komen pertama adalah kenapa kata batin si MC harus di-italic? Itu bukan kalimat yang harus dikhususkan, sementara fungsi italic untuk hal tersebut. Cukup pakai tanda petik dua aja, sesuai fungsinya untuk mengapit dialog. Karena cerita ini juga pakai PoV 3, jadi pembaca gak akan bingung meskipun itu kata batin selama ada penjelasannya. Kecuali kamu lagi nulis PoV 1 ini masih mending, sih. Karena dia konsepnya pakai sudut pandang 'aku'. Jadi, untuk membedakan narasi dan kata batinnya bisa dipakai italic.

Lalu, untuk jumlah kata dalam paragraf sendiri memang diringankan. Meskipun ada jurnal yang mengatakan minimal lima kata dalam satu paragraf, dan di dalam ceritamu bahkan ada tiga kata yang dibuat menjadi paragraf baru. Oke, itu gak apa-apa sebenarnya karena aturannya gak ditekankan. Tapi kesalahanmu adalah 'tidak mengenali fungsi paragraf'. Akhirnya meskipun gak ngeliat berdasarkan aturan itu, paragrafnya tetap salah penempatan.

Fungsi paragraf sendiri adalah untuk menjadi penanda dimulainya topik baru, dan memisahkan gagasan-gagasan utama yang berbeda. Sementara di dalam ceritamu ada banyak kalimat yang terpotong-potong, dan isi paragrafnya hanya tiga biji. Padahal, antara paragraf satu, dua, dan tiga itu masih mencakup gagasan yang sama. Jadi seharusnya cukup dijadikan satu paragraf utuh saja.

Aku juga mendapat beberapa tanda pisah (---) salah penempatan (gak semuanya, tapi lumayan banyak). Padahal seharusnya di beberapa kalimat tertentu, tanda pisah dalam ceritamu itu diganti dengan elipsis (...).

7-8. Tunanetra & Ampersand

Kedua cerita ini lahir prematur, cukup banyak typo dan alur yang tiba-tiba. Itu karena penulisnya gak kepikiran akan berpartisipasi dalam event, karena dia bertugas sebagai juri. Alhasil, saat hari di mana deadline pengumpulan, barulah dia menyesal gak ikut nulis genre yang disukai. Mau gak mau, dia pun terjun untuk menulis sekitar empat jam sebelum deadline diumumkan.

Benar-benar sebuah tantangan, dan gak sempat untuk menyempurnakan petualangan Algi dan Gianna di dalam dunia lukisan; entah dari segi alur, ataupun typo. Lucu, ya? Padahal dia sendiri sebagai juri harus mengoreksi karya orang lain. Tapi makasih kepada pawang yang sudah memberi kesempatan untuk ikut berpartisipasi meramaikan event, terkhusus pembaca—baik juri ataupun member lain yang sempat singgah untuk ikut bertualang bersama Algi dan Gianna.

9. The Tree of Life

Nilai: 80

Khusus untuk cerita kali ini kayaknya aku gak bakal ngetik panjang, wkwk. Gak begitu banyak resensi yang aku berikan, intinya cerita ini dikemas apik. Secara alur, gak ada yang perlu dibenahi juga seperti komen-komenku di cerita lain. Soalnya ini sudah mengalir, dan racikannya pas.

Alurnya begitu deep dan soft dalam waktu bersamaan, sangat bagus untuk orang yang menyukai tipe cerpen semacam ini. Hanya saja tergantung selera, ya ... aku pribadi lebih suka karya rumit, out of the box, dan buat aku merenungkan akhir dari cerita itu. Jadi, overall gak ada yang perlu dibenahi dalam alur cerita ini, tinggal balik lagi ke kesukaan masing-masing aja. Tapi karena aku ingin berlaku objektif, aku memberi nilai karya ini sesuai pengemasan cerita dibanding seleraku pribadi.

Pembukaan The Tree of Life cukup menarik. Aku pikir, akan ada tentang makhluk-makhluk immortal seperti karya fantasi pada umumnya, tapi ternyata kompas cerita lebih mengarah ke romansa dan psikologi. Tapi tetap oke, kok. Kalau dari yang kutangkap, ini seperti membahas tentang konsep reinkarnasi. Akhirnya Sherly kembali bertemu dengan Stevan di dunia penuh bunga. Tunggu! Ini ada kemiripan sama cerita Soul? Jangan-jangan satu penulis:v

Untuk penulisannya aku mau komen 'tentang paragraf lagi' wkwk. Ini kebalikan dari komentarku di cerita Rumah Seputih Darah, sih. Kalau kalimatnya sudah masuk gagasan baru, lebih baik paragrafnya dipisah. Tanda elipsis (...) juga harus diberi spasi dari kalimat yang mengapitnya, dan kata 'Anda' harus ditulis kapital di mana pun kondisinya.

Lalu untuk gaya penulisan narasinya, aku lihat menggunakan bahasa formal. Tapi di beberapa narasi, kamu pakai kata 'tapi'. Saranku lebih baik pakai 'tetapi' kalau narasinya memang sejak awal baku. Terus aku juga nemuin kata 'tapi' yang kamu letakkan di awal kalimat, seharusnya pakai 'namun' atau 'akan tetapi'. Fungsi 'tetapi' itu di pertengahan kalimat seperti 'dan'.

*BTW resensi pendek versi aku, kayaknya panjang bagi juri lain ... aku mau lanjut ke karya terakhir lagi.

10. Roe yang Kesepian

Nilai: 80

Bagaimana aku harus ngasih nilai buat cerita ini, ya? Jujur, aku bingung. Soalnya menurutku cerita ini bukan surealis, hanya saja menggunakan PoV benda mati. Karena surealis itu terletak di pola yang anomali—entah dari segi pikiran tokoh atau building world, tapi tetap memiliki makna mendalam di ceritanya.

Montaks pernah ngadain event cerpen tema seperti ceritamu, judulnya The Tale of Benda Mati. Jadi, kalau melihat dari segi ketidaksesuaian tema aku kasih nilai 75. Tapi kalau gak terpaku ke tema, aku kasih nilai 90. Iya, penilaian paling gede di antara karya yang lain, karena memang ceritanya sangat ciamik. Entah dari segi diksi, pesan moral, dan alurnya yang dieksekusi dengan baik. Makanya sayang banget temanya melenceng. Tapi gak apa, setidaknya sudah berusaha, dan maaf kalau penilaianku jadi inkonsisten ....

Jujur aja, Roe yang Kesepian ngingetin aku sama anime Fumetsu no Anata e. Tentang sebuah benda yang awalnya berbentuk bola, kemudian setiap mendapat stimulasi dia akan berubah wujud; dari batu, hewan, sampai ke manusia. Kemudian dia belajar bicara, seperti Roe.

Sending virtual big hug untuk Roe yang kesepian. Menjadi harta karun memang begitu bernilai untuk manusia, tapi sekaligus berat untuk Roe sebab terkutuk. Segala hal tentang cerita ini begitu indah sekaligus menyayat. Bagaimana dia yang kesepian di samudra lepas, lalu ketemu Marson dan dibawa pulang. Tapi kemudian tuannya meninggal, dan dia kembali terasing.

Aku senang Roe bisa belajar bicara dan mengucapkan 'selamat pagi'. Sekaligus sedih karena dia harus mengucapkan kepada mayat-mayat pengasingan yang sama sepertinya. Lalu, saat ada seorang gadis memeluknya sambil mengucapkan 'selamat datang', aku benar-benar lega inilah akhir yang terbaik untuk Roe! Sumpah, ini keren banget!

Untuk penulisan udah di komen di dalam ceritanya sama juri yang lain tentang pengguna kata 'namun', dan soal paragrafnya yang bisa dipecah menjadi beberapa bagian. Jadi, komenku untuk ceritamu cuma satu, kalau ada sebuah nama yang diikuti kalimat, tetap diletakkan tanda koma, ya.

Contoh:

•Sky lihatlah! (X)

•Sky, lihatlah! (✓)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top