HIDE
Sebelumnya, kuucapkan terima kasih kepada Naila. Yang sudah memberiku inspirasi dalam pembuatan alur ceritanya, serta beberapa hal dasar saat membuat cerpen ini.
---
Mereka bisa bicara, layaknya manusia. Mereka bisa bergerak, layaknya kita. Dan mereka adalah temanku dalam kegelapan.
"Bukankah mereka berdua jahat?"
Aku tertegun, menatap ke arahnya dengan tak percaya. Tidak mungkin wanita tua itu jahat. Dia yang memberiku tempat persembunyian ini. Ia juga yang menyuruhku beristirahat di rumah. Tak apa, karena aku memang ingin bersembunyi dari "dia".
Pernah. Aku pernah keluar rumah beberapa kali. Dan aku akan selalu mengunjungi gedung-gedung besar itu. Lalu bertemu dengan seseorang yang menggunakan jas putih dan kacamata. Entah apa yang ia katakan kepada wanita tua itu.
"Benar." Kali ini aku menoleh ke arah lain. Menatapnya serius. "Lalu, kenapa wanita tua itu selalu mengurungmu di sini?"
"Dia... Dia bilang, aku... aku, harus istirahat," jawabku sambil melototinya.
"Kamu harusnya marah. Padahal di luar sana indah sekali." Kali ini, dia yang angkat suara. Memandangku sambil tersenyum-- terlihat aneh bagiku jika kondisi mulutnya begitu.
Aku mendengus, beranjak dari kursi. Lalu menghambur dalam pelukan bantal di atas ranjang. "Menurutku... biasa saja. Hanya... hanya gedung!" tukasku, sambil memeluk bantal guling.
"Tentu saja hanya gedung. Karena kamu belum pernah diajak ke tempat lain. Tempatnya indah dan sejuk. Tidak seperti di ruangan yang sumpek ini," ujarnya, membuatku sedikit terkejut, lalu melepas pelukan itu.
Kenapa tiba-tiba mereka semuanya menjadi menyebalkan seperti ini? Aku tidak peduli, di luar sana ada tempat yang indah ataupun tidak. Jika aku bisa ditemukan oleh "dia" nantinya, lebih baik aku di sini selamanya.
"Benar sekali. Rugi sekali kamu tidak pernah ke sana," kekehnya pelan, lalu disusul dengan tawa kecil dari yang lainnya.
"Diam!!" teriakku, lalu melempar bantal guling tadi ke arah mereka, agar mereka bungkam.
Hening sesaat, hanya terdengar suara deru napasku yang tak beraturan. Lalu kemudian suara tawa itu kembali muncul, dan bergema di kedua telingaku. Mereka menertawakanku. Seolah-olah, aku adalah makhluk paling menyedihkan di sini. Padahal mereka juga tidak bisa keluar dari ruangan ini, sama sepertiku.
"Diam!... " teriakku lagi sambil melempar bantal dan selimut ke arah mereka. "Kalian... Kalian bohong! Kalian semuanya bohong!!" Kututup kedua telingaku dengan telapak tanganku. Berharap suara tawa mereka berhenti masuk ke dalam telingaku.
Pintu ruangan terbuka, menampakkan seberkas cahaya dan seorang wanita tua yang sedang berdiri di ambang pintu. Ia menghampiriku, lalu memelukku dengan erat. Sangat erat, hingga rasanya sesak bagiku. Tubuhku bisa saja hancur lebur dalam pelukannya saat ini.
"Lepas!" Aku memberontak, berusaha melepaskan diriku dari dekapannya.
"Lepas! Argh!... Lepas!... " teriakku lagi, masih berusaha sekuat tenagaku. Anehnya, ia semakin memelukku dengan sangat erat.
Apa ini?
Apakah wanita tua ini akan membunuhmu dengan cara ini?! Apakah sikap baiknya selama ini hanyalah tipuan saja?
"Lihat saja, Bu!" Tiba-tiba seorang perempuan dengan rambut dikuncir masuk ke dalam kamar.
"Dia saja aneh begini! Kenapa kita tidak memasukkannya ke dalam rumah sakit jiwa!?" Suaranya menggelegar, memenuhi ruangan. Membuat dekapan dari wanita tua itu seketika melonggar. Dengan cepat, aku berhasil melepaskan diri, lalu meringkuk di sudut ruangan.
Kini mereka berdua saling beradu mulut, intonasi yang terlontar dari mereka serasa menusuk indera pendengaranku. Membuat kedua tanganku kembali terangkat dan menutup telingaku.
Aku tidak peduli pada mereka, yang sedang berdebat tentang hal apa. Karena sekarang, "mereka" kembali berbisik. Membuat bibirku tertekuk ke bawah.
"Lihat gadis itu. Dia membencimu!" kekehnya dengan suara pelan, tapi pasti.
Mendengar hal itu, tanganku langsung mencengkeram lehernya dan melemparnya ke dinding. Tepat di antara mereka yang sedang berdebat itu.
"DIAM!"
Kedua perempuan berbeda umur itu langsung terdiam. Mereka menatapku bersamaan. Aku mendengus, menatap vas bunga yang pecah di antara kaki-kaki mereka.
"Lihat, Bu! Dia itu gila!" sarkas gadis itu sambil menunjuk ke arahku.
"Cukup, Nai!" bentakan dari wanita tua itu membungkam mulut gadis berkuncir tersebut.
Siapa nama gadis itu? Aku tidak tahu. Aku tidak peduli. Aku tidak mengenalinya sama sekali.
"Mau bagaimanapun, dia tetaplah kakakmu."
Lalu, hanya keheningan yang menguasai ruangan ini. Tak ada yang bersuara, termasuk "mereka" yang selalu berisik sejak tadi.
—*—
"Kalian menjengkelkan! Aku tidak mau bicara dengan kalian lagi!" dengusku sambil menatap kucing yang sedang bertengkar dengan sesamanya lewat jendela kamar. Jendela itu dipasang besi tambahan, membuatku kesulitan melihat pemandangan di luar rumah. Aku tidak tahu kenapa jendela kamar ini berbeda daripada jendela di ruangan lainya. Padahal seingatku, jendela lainnya tidak "spesial" seperti ini.
"Ey... Kami hanya berkata apa adanya."
"Benar! Lihat, bukan? Dia adikmu, tapi dia menyebutmu gila," ucapnya dengan nada suara yang santai, lalu disusul tawa kecilnya.
Aku mengernyit, "Aku tidak ingat punya adik."
Suara sahutan kucing di luar sana masih terdengar olehku. Namun, suara "mereka" tiba-tiba saja terbungkam setelah kalimat terakhirku.
Tapi, itu memang benar. Aku tidak ingat siapa perempuan berkuncir tadi. Siapa wanita tua itu. Lalu, kenapa aku bisa tinggal di sini bersama mereka. Entahlah. Yang terpenting aku dapat bersembunyi di sini dari "dia".
Kriettt...
Pintu ruangan kembali terbuka. Aku berbalik, dan menatap perempuan berkuncir yang mengatakan aku gila tadi. Di kedua tangannya sudah ada sepiring nasi dengan lauk pauknya, dan juga segelas air.
Ia mulai berjalan mendekatiku, lalu meletakkan piring dan gelas itu ke atas meja di sebelahku.
"Makanlah. Ibu tidak mau kalau kau tambah sakit. Setidaknya kalau sudah jadi beban, jangan tambah merepotkan kami dengan sikapmu itu."
Aku tidak mengerti dia bilang apa. Tapi, jika dipikirkan lagi. Mungkin saja gadis ini bersekongkol dengan Nayya, bukan? Dia... Asti ingin membunuhku, 'kan? Seperti Nayya yang membunuh Andra.
Benar. Dia pasti ingin membunuhku!
Kugeser piring dan gelas yang ada di atas meja hingga terjatuh ke lantai. Semuanya berserakan, juga dengan pecahan kacanya yang bertebaran.
Pergelangan tanganku seketika dicengkeraman dengan erat. "Kau ini kenapa, sih?!"
"Kau itu seharusnya diam dan memakannya dengan tenang. Kenapa--" Ia berhenti bicara dengan tiba-tiba. Lalu menghela napasnya dengan kasar. "Kak, kenapa Kakak jadi begini?"
Apa maksudnya? Memangnya kenapa denganku? Aku tidak kenapa-kenapa. Dia saja yang membenciku tanpa alasan. Atau mungkin dia sudah termakan hasutan dari Nayya.
"Tentu saja dia marah. Karena sikapmu menjadi aneh setelah tunanganmu dibunuh oleh sahabatmu sendiri," ucapnya, kali ini dengan nada serius.
Aku menoleh ke arahnya, memperhatikan kepalanya yang bersinar terang smbil meliuk-liuk sesuka hatinya. Langsung kucengkeram lehernya yang panjang, lalu mengangkatnya ke udara. Ia memberontak, tapi masih berusaha untuk menghinaku.
"A-apa yang ingin kau lakukan?" tanya perempuan berkuncir itu, lalu mundur secara perlahan saat ku lirik di ujung mataku.
Menapa lampu bodoh ini kembali membahas tentang perempuan yang sudah menghancurkan hidupku itu?! Ba-bagaimana jika ia datang dan membunuhku juga!?
Prang!!
"Ibu!... Kakak melempar lampu meja belajar!" teriak perempuan tadi dengan histeris, sambil berlari tungang-langgang keluar dari ruangan ini.
Aku menatap ke bawah, memperhatikan kepalanya yang retak dan matanya yang pecah berkeping-keping. Kali ini ia akan bungkam selamanya dan tidak akan membahas tentang perempuan sialan itu lagi.
"Ti-tidak!" Aku langsung menarik pintu lemari yang berada di dekatmu. Lalu menarik keluar semua kain yang ada di dalamnya. Kemudian aku menghambur masuk ke dalam tempat yang sempit itu.
"Di-dia... Dia pasti akan membunuhku juga! Dia akan membunuhku! Karena ada yang menyebut namanya. Dia pasti mendengarnya," gumamku dengan naas yang menderu. Mataku menerawang ke arah pintu yang terbuka.
Dia bisa datang kapan saja. Aku harus bersembunyi darinya. Aku tidak ingin mati sepertinya. Aku tidak mau mati!!
Kututup pintu lemari dan mulai berteman dengan kegelapan. Ini lebih baik, daripada harus ditemukan olehnya.
Suara tawa mulai terdengar olehku. "Kau mau bersembunyi di mana? Dia pasti akan menemukanmu."
—*—
"Ibu! Kakak jadi gila lagi!" teriak Naila yang tengah berlari menghampiri wanita paruh baya di ruang tamu.
"Kenapa lagi, Nai? Ibu sudah bilang, tidak baik menyebut kakakmu seperti itu."
"Tapi, ini benar. Dia melempar lampu meja belajar tadi. Aku takut, Bu!" seru Naila, berusaha bersembunyi di belakang ibunya sendiri.
Indah menghel napasnya lelah. Dengan masih menggenggam sehelai kertas di tangan kanannya, ia mulai berjalan menuju kamar putri pertamanya.
"DIAM!!"
Tiba-tiba suara teriakan terdengar, tepat di saat ibu dan anak tersebut sudah berdiri di ambang pintu. Mata Indah menerawang, mencari sosok yang ia khawatirkan saat ini. Tapi, keadaan kamar itu membuatnya menjadi terkejut.
Pecahan kaca berserakan di lantai, dengan lampu meja belajar yang sudah rusak. Semua helai pakaian milik putri pertamanya juga berhamburan di mana-mana. Tapi eksistensi si pemilik kamar tidak terlihat sama sekali.
Pintu lemari terbuka, memperlihatkan seorang perempuan berambut pendek berantakan keluar dari dalam sana. Bulir-bulir bening menghiasi wajahnya, tapi kedua matanya melotot seakan takut dengan sesuatu.
Ia berlari ke arah Indah dan Naila. Membuat kedua kakinya menginjak pecahan beling yang berserakan. Tapi anehnya, ia masih terus berlari seolah-olah tidak merasakan apa pun.
"Vivi, kamu kenapa, Sayang?" tanya Indah dengan lemah lembut. Berusaha menenangkan putri pertamanya.
"Diam!!.... Kubilang diam!!" teriaknya lagi, masih enggan untuk berhenti berlari, lalu menerjang Naila yang berada tepat di hadapannya.
Brukk!
Naila terjatuh begitu saja. Ia meringis kesakitan. "Ternyata tenaga orang gila itu seperti ini, ya?"
Indah tidak mengindahkan kata-kata dari putri bungsunya itu. Pandangannya fokus ke arah Vivi yang masih berlari dan mulai meringkuk di bawah meja ruang tamu. Mulutnya masih mengeluarkan kata yang sama dengan suara yang keras. Sedangkan tangisannya belum berhenti.
Kini pandangan wanita paruh baya itu turun ke bawah. Melihat lantai rumahnya diwarnai oleh putrinya dengan warna merah darah yang berasal dari kakinya. Air matanya mulai berlinang, memikirkan nasib putrinya ke depannya.
"Kenapa kamu bisa jadi begini, Vivi?"
Kertas yang semulanya berada dalam genggaman tangannya terjatuh. Sebaris tulisan berwarna hitam dengan font berukuran besar terlihat dengan jelas di sana.
Penyakit Skizofrenia.
—*—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top