Bulan
Yo prokonco dolanan neng njobo
Padang bulan padange koyo rino
Rembulane ne seng awe-awe
Ngelingake ojo turu sore
Berdirilah Asih, menengadahkan kepala ke arah langit. Terkantuk-kantuk, tapi berusaha sekeras mungkin menikmati ambara. Lagu dolanan itu berputar-putar di kepalanya. Coklat netranya menangkap bulan yang sedang melambai-lambai membangunkan siapa saja yang sedang tertidur di sore hari.
"Menurutku, bulan terlalu cepat bangun," desah Asih. Gadis kecil itu melirik sebentar ke arah sang surya yang juga masih bertengger penuh kuasa di langit.
"Bulan tidak pernah tidur," ujar Ayu. "Tangan panjangnya selalu bergerak membangunkan setiap anak yang tertidur di sore hari."
Asih menghela napas. Dia benci dibangunkan bulan. Berat kelopak matanya terbuka. Tangan bulan nan jauh di sana masih bergerak membangun-bangunkan anak-anak yang lelap.
"Aku akan berkata pada paman matahari, usir bulan dari langit," gerutu Asih.
"Asih!" bentak Ayu. "Kamu kenapa, Sih?!"
"Dia layak diusir!" Asih menjulurkan lidahnya.
"Ya sudah! Terserah kamu, toh paman matahari nggak bakal dengerin kamu!"
Ayu tidak mengacuhkan Asih yang kini melambai-lambai ke arah matahari.
"Orang gila," ledek Ayu yang melenggang pergi meninggalkan Asih.
Dinamakan Asih, putri kecil berumur 10 tahun itu, anaknya sedikit angkuh, temannya sedikit karena enggan berbasa-basi dengan Asih. Asih bukan congkak dalam artian self centered, dia lebih ke arah kepala batu, selalu kepedean dengan otaknya sendiri. Selalu terlalu mendengarkan ide-idenya sendiri, tidak pernah membuka telinga pada ujaran orang lain.
Dinamakan Asih, masih bersikeras mencari perhatian sang surya yang kini sibuk melambai pada langit, hendak tenggelam di ufuk barat. Bola api raksasa itu tidak mempedulikan Asih, dia terlalu sibuk dengan tugasnya sendiri. Asih makin sebal, wajahnya merona merah, matanya melotot.
Dinamakan Asih, walau menyebalkan tak pernah satu pun umpatan keluar dari mulutnya. Lidahnya suci, dia tidak pernah memaki. Kali ini dia berusaha keras untuk tidak mencaci baik bulan maupun matahari.
"Aku melihatmu sejak tadi, nduk," ujar sebuah suara yang tentu saja membuat Asih menoleh sempurna. Seekor kelinci berdiri tak jauh dari Asih. Kelabu bulunya tampak halus membuat Asih sejenak takjub.
Degup jantung Asih terdengar dengan jelas, berima mewarnai keheningan sore menuju petang itu. Kelinci itu diam saya menatap bulat mata coklat Asih. Asih tahu, dia menunggu Asih mengatakan sesuatu.
"Ada apa?!" cicit Asih.
"Kamu ingin memanggil matahari?" tanya kelinci itu.
"Ya," bisik Asih.
"Jangan, kamu dan bumi bisa terbakar."
Asih mengernyit, bagaimana mungkin, matahari selalu baik padanya selama ini, selalu menerangi paginya, walau kadang membuatnya berpeluh karena terlalu panas.
"Ayo ikut aku!" seru kelinci sambil melompat mendekati Asih. Asih terkejut, tapi tidak sempat menolak, dia sudah ikut melompat bersama kelinci.
Keduanya mendarat di bebatuan, atau itu hal pertama yang dipikir Asih. Seperti batu terumbu karang yang ada di pantai.
"Kita di mana?!" pekik Asih.
"Bulan," bisik kelinci. Asih menepuk jidatnya. Tentu saja dia ingat di bulan purnama ada kelinci yang sedang menenun, konon katanya ia menenun untuk kembali meniti jalan agar dapat pulang ke bumi. Nyatanya ternyata sang kelinci bisa lompat dengan mudah sejauh bumi bulan.
"Asih?" sayup-sayup terdengar gema suara yang jelas-jelas tidak keluar dari mulut kelinci. Asih mundur perlahan sambil mencari sumber suara.
"Itu bulan," kekeh kelinci. Asih melotot.
"Kamu benci aku, nduk?"
"Aku benci kamu bangunin aku yang masih ngantuk!" seru Asih melengking.
"Kamu mau hidup di dunia yang nggak ada akunya?" tanya bulan.
"Ya!"
***
Ketika Asih perlahan membuka kelopak matanya, samar dia mendengar suara.
"Asih, bangun, nduk!" panggil eyang putri dengan lembut.
"Kok Asih udah di kamar, Eyang?" tanya Asih.
"Gimana, nduk?"
"Barusan aku di bulan," ujar Asih agak gugup.
"Bulan itu apa, nduk?"
"Yang di langit, Eyang. Ndak apa-apa, tadi Asih mimpi."
"Memang mimpi to nduk, kamu kalok ndak Eyang bangunin ndak bakal bangun."
Asih tertegun kemudian mengangguk ragu.
"Ini jam berapa, Eyang?"
"Jam setengah 6, nduk."
"Matur sembah suwun, Eyang, Asih mau ketemu Ayu dulu."
Asih bergegas menuju rumah Ayu yang ada di samping rumahnya. Ketika Asih menatap langit, terasa janggal tidak ada bulan yang biasanya membangun-bangunkan anak tertidur.
"Ayu!" seru Asih. "Bulan mana?"
"Bulan apaan, Sih?"
"Yang di langit malem-malem!"
"Bintang?"
"Haaah? Bulan Yu Bulan!" Asih kemudian menerabas masuk ke kamar Ayu, mencari buku pelajaran yang seingat Asih sedang mempelajari rotasi bulan. Terkejutnya Asih, bab itu sama sekali tidak ada.
"Kalau malam hanya ada bintang?" tanya Asih gugup pada Ayu yang menatapnya kesal.
"Kamu baru tidur sore ya Sih? Pantes aja aneh! Yaiyalah hanya ada bintang, masa ada matahari?"
Asih menghela napas. Kemudian dia tersenyum, sepertinya dia akan menikmati hari-hari selanjutnya tanpa bulan.
Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan tidak pernah ada di langit. Bahkan ketika Asih sadar, tidak ada hitungan satu bulan dua bulan, langsung dari minggu ke tahun. Ketika Asih sadar pula, tidak ada nama bulan seperti Januari Februari Maret, hanya ada tahun 2024 2025 mengikuti hitungan pergerakan bumi mengitari matahari.
Asih tidak siap dengan semuanya, dia bahkan sekarang mulai kesal dengan suara eyang putri yang membangunkannya. Dia teramat sangat menyesal telah membenci bulan.
Hingga suatu ketika dia nekat melempar koin ke kolam permohonan, meminta agar bulan kembali ada ....
Dan hebatnya, dunia seperti kala itu, mau-mau saja mengikuti permintaan sang gadis kecil ....
***
Ketika Asih kembali membuka mata, kali ini tangan panjang bulan yang kembali membangunkannya. Asih tersenyum sangat lebar kemudian dia segera berlari menuju rumah Ayu. Asih berkelakar tentang dunia yang mau-mau saja mendengarkan permohonan dia dan betapa bertekuk lututnya bulan langsung pergi begitu ia mengujar benci.
"Kamu habis tidur sore lagi ya? Bulan nggak pernah pergi, Asih!" bentak Ayu.
Padahal Asih tahu jelas hari demi hari sudah berlalu banyak semenjak bulan pergi.
"Hahaha terasa seperti mimpi panjang memang," kelakar Asih lebih kepada dirinya sendiri. Asih kemudian mengajak Ayu menuju tempat di mana ia bertemu kelinci bulan. Asih berteriak-teriak memanggil sang kelinci penenun.
Dunia kembali seakan bersikap lembut pada Asih, kelinci itu muncul di hadapan Asih dan Ayu.
"Sampaikan pada bulan, aku sayang menyayanginya, aku tidak pernah membencinya, bangunkan saja aku setiap aku ketiduran sore!" seru Asih riang. Bola bulu abu itu mengangguk sambil menyeringai.
"Tidakkah kamu tahu, Asih, kalau sekarang juga kamu sedang berada di dalam mimpi?" tanya kelinci sambil tertawa. Asih terkejut.
"Bangunlah!" seru kelinci itu dengan nada sangat tinggi.
***
Ketika Asih membuka matanya, eyang putri kembalilah yang pertama dia liat.
"Mana bulan, Eyang?" tanya Asih gugup.
"Bulan itu apa, nduk?"
Seperti deja vu, Asih memijat pelan dahinya. Dia kemudian langsung meraih koin di laci dekat tempat tidur dan berlari ke kolam permohonan. Dia terisak sepanjang perjalanan, menyadari tidak ada bulan di langit. Dia kemudian kembali mengucap harap sambil melemparkan koin ke kolam.
***
Ketika Asih kembali membuka matanya, dilihatnya tangan bulan melambai-lambai padanya, membangunkannya, sejenak dia bernapas lega. Namun, dia tersentak ketika hal pertama yang dia temukan saat membuka pintu adalah kelinci abu membawa jarum jahit, sedang memintal. Asih menatapnya penuh ketakutan.
"Aku sudah bangun, kan?" tanya Asih gugup.
"Sayangnya belum," ujar kelinci itu sambil melemparkan benangnya ke Asih. "Kamu seperti benang ruwet."
"Bangunkan aku kalau begitu," desak Asih.
"Hanya kamu yang bisa membangunkan dirimu, nduk."
***
Ketika Asih kembali membuka matanya sekarang debar jantungnya semakin meningkat, pupilnya membesar, keringatnya dingin. Eyang putri duduk di sampingnya. Asih menahan dirinya untuk tidak menanyakan tentang bulan.
"Asih ngigau, nduk."
"Ngigau apa, eyang?"
"Bulan ... bulan ... bulan itu siapa, nduk?"
Sore itu pun jeritan Asih terdengar di seluruh penjuru kampung.
***
Ketika itu Asih bangun dengan sangat terkejut. Dia bangun sambil menyadari dirinya menjerit. Bulan ada di dekatnya kali ini, bukan di langit.
"Kamu menyuruh matahari mengusirku, Asih?" tanya bulan.
Asih menangis. Dia kembali menjerit.
***
Ketika Asih kembali membuka matanya, kali ini matahari yang ada di dekatnya. Asih merasakan panas yang luar biasa. Asih terus menjerit meminta tolong.
***
Ketika Asih membuka matanya dengan bajunya sudah teramat sangat basah, Asih merasa ini tidak akan pernah selesai. Sayup-sayup, Asih mendengar suara Ayu dan eyang putri.
"Kata ibuk, kalau tidur sore bisa bikin gila, eyang, memang Asih harus dipaksa bangun!"
Asih menoleh ke arah Ayu yang menatapnya sinis.
"Ayu? Eyang?" Asih gemeteran. Eyang putri memeluknya.
"Ada apa, nduk? Kamu ngigau bulan terus dari tadi."
Asih sudah siap hendak teriak lagi.
"Bulannya belum muncul, masih sore," kekeh Ayu.
Eyang putri kemudian mengelus pucuk kepala Asih perlahan sambil dengan lembut bernyanyi.
Yo prokonco dolanan neng njobo
Padang bulan padange koyo rino
Rembulane ne seng awe-awe
Ngelingake ojo turu sore
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top