Baca Aku
Trigger warning: Bunuh diri, kekerasan, pembunuhan, trauma, perkataan kasar.
Kau penulis tapi tidak suka membaca? Jangan ngaku penulis deh, kalau enggak suka baca!
"Bukan enggak suka, Bangsat! Aku baca yang aku suka saja, kalau aku sukanya puisi, ya puisi yang aku baca. Goblok kalau aku suka komedi tapi bacanya thriller bahkan horor, kecuali lagi jadi juri ya beda lagi!" Lagi-lagi aku bicara sendiri di jalan sambil melihat komentar di ponsel.
Tiba-tiba, temanku, Sherly, datang menghampiriku. Saat itu jam makan siang kantor, dia datang sambil membawa camilan.
"Nad, kenapa kamu misuh-misuh begitu? Si Bos ngasih segudang kerjaan lagi?" tanya Sherly.
"Ah, dia mah enggak usah ditanya. Ingin rasanya nabok mukanya pake tumpukan faktur!" jawabku. Sherly tertawa.
"Kenapa lagi sih kamu?" tanyanya sembari memberikan beberapa camilannya.
"Ini aku merasa tersentil, sebagai seorang penulis yang enggak terlalu minat sama membaca. Bukan enggak baca sama sekali, cuma ya jujur aku bukan kutu buku kayak kebanyakan penulis lain."
"Ah, begitu. Mau aku kasih tahu buku bagus? Yakin, pasti kamu baca sampai habis." Sherly tersenyum penuh makna.
"Sebenarnya aku tidak peduli sih, Sher. Cuma ya kalau memang ada buku yang bisa bikin aku baca sampai habis, pasti bagus dong itu buku," ucapku.
"Kalau begitu baca buku yang judulnya Temanmu dari Neraka, penulisnya bernama Kaka Wakaka," ucapnya yang langsung membuatku tertawa.
"Njir, Si Kaka ini lagi ngakak?" tanyaku.
"Ye, minta dikutuk ini anak," jawab Sherly. "Ini bukunya, kebetulan aku bawa," sambungnya.
Aku melihat cover buku yang cukup menyeramkan. Beragam bola mata tanpa darah tergeletak, di ujungnya ada siluet buku. Entah buku apa. Buku di dalam buku dengan mata yang seolah melihat ke arahku. Persetan pemuja surealis yang membuat cover buku ini!
Aku mengambil buku tersebut. "Terima kasih, kalau sudah selesai akan kukembalikan."
"Santai saja, aku yakin kamu tidak akan keluar rumah sampai selesai membacanya," balasnya. Aku tertawa dan menganggap semua itu adalah candaan ala Sherly.
Sesampainya di rumah aku membaca buku tersebut. Pembukaan buku tersebut cukup sederhana dan ya bisa terbilang aneh, tapi melihat cover bukunya yang aneh, tidak heran isinya juga aneh.
Baca aku, sebelum kamu mati dengan mata di wajahmu.
Apa coba maksudnya, tolol?
Kubaca beberapa halaman, semakin kubaca, semakin aku tidak mengerti dan semakin membuatku mengantuk. Buku apa ini?
"Sepertinya aku harus bilang ke Sherly, kalau buku ini tidak masuk otakku," gumamku.
"Otak kau saja yang terlewat bodoh untuk membaca buku!"
"Weh, mulut siapa itu? Siapa yang ngomong itu?" ucapku sambil melihat sekeliling, aku lihat juga ke luar rumah. Tidak ada orang, padahal aku mendengar suara pria barusan.
"Sini kau tolol, aku yang bicara!"
"Buku ini bicara?" gumamku.
"Iya, makanya punya kuping tuh dipakai!" ucap buku tersebut.
"Buset, kayaknya aku harus pergi ke dokter ini besok. Kayaknya aku stres berat, tidur ah." Dengan merinding, aku mencoba mengabaikan panggilan dari buku tersebut dan beranjak menuju kasur.
"Kamu mau baca aku sampai selesai enggak?" tanyanya.
"Mana ada yang mau baca buku yang bisa bicara? Lagipula kalau bisa bicara, kau saja bacain isi badanmu itu. Aku tinggal mendengarkan!"
"Bodoh, penulis kok enggak mau baca!" ucapnya mengejek.
"Apa kau bilang?"
"Penulis yang enggak mau baca buku itu sampah, kenapa? Enggak suka?" ejeknya.
"Baiklah, sini aku baca kamu sampai habis." Aku kembali ke meja belajar.
"Baiklah, tapi sebelum itu, ada sedikit tantangan dulu. Silakan kamu lihat wajahmu di kaca!" ucapnya.
"Mau ngapain dah, baca aja harus ngaca?" tanyaku malas.
"Lihat saja dulu!" ucapnya. Aku pun mengalah dan melihat cermin. Betapa terkejutnya aku melihat wajahku. Mataku masih utuh, hidungku berubah menjadi mata, mulutku berubah menjadi mata, telinga kananku berubah menjadi hidung. Aku tidak punya mulut, tidak dapat bicara! Sial sejak kapan?
"Enak, bukan? Sekarang, kau harus baca aku sampai selesai kalau mau wajahmu kembali seperti semula."
Kurang ajar!
"Apa? Kau bicara apa?" Dia tertawa. "Mulutmu banyak bacot, jadi aku menghilangkannya," sambungnya.
Aku pun berusaha membakar buku tersebut, tapi dia bilang, "Kau bakar aku, kau pun ikut terbakar. Kau sobek aku, tubuh kau pun ikut sobek." Buku itu semakin keras tertawa.
Baiklah, aku tidak punya pilihan untuk membacanya. Kulihat buku itu terdapat 500 halaman. Bangsat, keparat, untuk aku yang biasa baca kumpulan puisi yang hanya 100 halaman, ini sungguh berat.
"Baca aku!" Buku itu berkata sambil tertawa lagi.
Banyak bacot. Aku pun mulai membacanya. Tanpa bisa protes apa pun, mulutku tidak bisa bicara. Baru membaca beberapa halaman aku ingin muntah, tapi tidak punya mulut. Mereka hanya menumpuk di leherku. Buku ini benar-benar dari neraka.
Siapa penulisnya? Di buku ini bahkan dikatakan penulisnya akan mati jika tidak menyelesaikannya.
Apa kabar penulis buku ini sekarang? Apa dia sungguh menyelesaikan buku ini? Terlebih lagi, apa dia masih hidup?
Sherly? Apakah Sherly sudah membaca buku ini? Seharusnya dia tahu cara menghentikannya.
Aku mencoba menghubunginya dan bangsatnya aku lupa mulutku sekarang berubah jadi mata. Aku mendengar Sherly mengangkat teleponnya. Namun, ketika aku tidak bisa bicara apa-apa, Sherly pun bicara hal yang menakutkan.
"Ah, kamu pasti sedang asyik membaca bukunya. Baca sampai selesai ya, buku itu untukmu saja. Kita tidak perlu bertemu lagi, karena aku sebentar lagi, tidak lagi di bumi. Selamat tinggal, Nad. Kamu teman terbaikku." Tidak lama aku mendengar suara benda terjatuh teramat keras, seperti, manusia? Aku juga mendengar banyak teriakan histeris di sana. Sial, Sherly, apa yang terjadi denganmu?
Ambulans, panggil ambulans! Seorang wanita terjun dari lantai 13!
Keparat, pasti ulah buku ini! Aku melanjutkan bacanya sambil mengeluarkan air mata. Air mata yang keluar dari empat mata sekaligus membasahi leherku dan menetes ke meja dan buku. Anehnya buku itu tidak basah dan rusak.
"Sudah ikhlaskan saja temanmu itu. Dia yang menulis aku saja melakukan hal yang sama. Kenapa manusia-manusia itu? Diberi tekanan sedikit saja tidak kuat," ucap buku itu.
Bangsat, tutup mulutmu!
"Weh, santai aja matamu, Bung!" balasnya.
Tiga hari, tiga malam berlalu, aku berkutat dengan buku ini. Mustahil juga untuk bekerja dengan keadaan begini.
Aku juga tidak cuci muka dan keramas, ya kau bayangkan saja, dua mata saja kadang perih kena sabun atau sampo. Ini empat mata!
"Ah, kau sudah sampai bagian akhir! Hebat juga rupanya," ucap buku tersebut.
Diam kau. Aku lagi fokus. Kepalaku benar-benar pusing, isi buku ini isinya pembunuhan, bunuh diri, sesuatu yang akan membuatmu trauma berat. Mungkin ini alasan Sherly melakukan hal itu. Pembacanya saja terkena gangguan mental, apalagi yang menulis?
Isi terakhir buku tersebut:
Kau adalah milikku sampai kau memberikanku kepada orang lain. Setelah kau tidak lagi menjadi milikku, maka setan-setan itu akan mengincarmu. Bagaikan tubuh yang tidak memiliki roh, mereka akan terus menerus merebut tubuhmu.
Setelah selesai membaca, kulihat wajahku di cermin. Mereka kembali ke tempat semula. Sial, napasku rasanya begitu rusuh, tidak terkendali. Buku yang sedang tertutup itu diam seribu bahasa.
Kutukan itu ada pada diriku, pilihannya untuk memberikan buku ini kepada orang lain adalah sebuah kesalahan. Awalnya kupikir begitu.
Beberapa hari berlalu dan selama itu, tubuhku dikendalikan buku tersebut, beberapa kali aku melakukan hal berbahaya yang bisa saja membunuhku. Seperti, berjalan di atas atap dan melompat ke pohon mangga. Aku dengan sadar melakukan itu, tapi tubuhku tidak bisa dikendalikan.
Sial, sepertinya kedua pilihan itu sama-sama berbahaya, sama-sama punya kemungkinan membunuhku. Ya, buku itu bisa membunuhmu. Buku itu adalah temanmu dari neraka.
Ketika aku memilih untuk menyelamatkan orang lain, akulah yang akhirnya terbunuh oleh buku itu. Aku memilih membakarnya habis, sesuai ucapannya, aku pun ikut terbakar. Cukup sampai padaku, kutukan itu.
Sekian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top