Ampersand

Petualangan Algi dan Gianna di dalam dunia lukisan tak berjalan dengan mulus begitu saja. Setelah berhasil mengumpulkan berbagai huruf yang membentuk namanya, mereka justru terperangkap di dalam perut gorila. Sebab masih ada simbol yang harus ditemukan, agar bisa keluar dari dunia dalam lukisan tak terbatas itu.

"Lakukan sesuatu. Aku gak mau berakhir menjadi muntahan atau kotoran gorila!" hardik Gianna dilanda kalut. Ia mempelajari lamat-lamat dinding mukosa, dan masih ada lapisan lambung lain yang harus diterjang agar bisa keluar, sementara cairan asamnya tidak akan menunggu lama untuk meleburkan mereka.

"Tenang saja. Lagi pula secara harfiah kita sedang di dalam dunia lukisan, kok. Bukan perut gorila," sahut Algi menenangkan kala dilimpahki tanggung jawab. Mudah saja untuk bebas dari sini sendirian, tetapi bersama Gianna membuatnya berpikir lagi, tidak akan mengajaknya mati kedua kali.

Situasi sekarang memang sudah berbeda. Dengan keberadaan Gianna, dibutuhkan & atau disebut dengan simbol ampersand untuk menjadi konjungsi antar dua nama sebagai pelalengkap papan tik yang dicari. Agar nama keduanya tidak terlihat seperti satu orang, dengan nama marga di belakang semata.

Terlepas dari kelupaan Algi, hal itu juga dipicu karena tanda ampersand sudah dihapus dalam daftar huruf. Dahulu, & menjadi huruf terakhir yang menempati alfabet. Namun, karena tanda and dan & memiliki arti serupa, simbol & pun dimodifikasi menjadi and per se and yang seiring berjalan waktu menjadi ampersand. Karena kemiripan fungsi, tanda tersebut akhirnya dihilangkan dalam alfabet, kemudian hanya dijadikan simbol pelengkap.

Oleh karena itu, Gianna dibuat kebingungan harus menemukan tanda & di mana. Pada akhirnya, mereka hanya mengikuti garis spiral jingga yang menjadi penghubung antar dunia lukisan semata. Setelah sama-sama sepakat, mereka pun meluncur ke dalam saluran pencernaan gorila.

Di sana ada berbagai sisa makanan dan air. Tempat lapisan air terdalam itu di sebut Bikini Bottom, sebuah daerah yang tak tersentuh oleh sampah-sampah makanan. Konon, daerah itu dikatakan sebagai tempat segala jenis makhluk air hidup selayaknya manusia.

"Algi, lihat kamu memiliki ekor!" Ia memekik histeris menyaksikan perubahan tubuh lelaki itu kala ekornya berkecipak di air, kemudian menciprat wajah Gianna dengan lincah.

Algi menggeleng-gelengkan kepala. "Gak berkaca sama diri sendiri, ya? Kulit mulus yang dulu sering Gia banggakan itu sekarang malah berisisik." Ia menyelisik. Tubuh Gianna tampak licin. Namun, ia suka saat sisik tersebut terproyeksi matahari dari dasar air, tampak jernih nan mengkilap. Apa lagi warna abu-abu cerah alaminya.

"Oh, ya ampun!" Gianna mengembuskan napas kasar sambil mencoba meraup udara, tetapi nihil. Ia justru merasa kepayahan. "Bahkan sekarang, aku merasa sistem pernapasanku berbeda."

Algi berdehem pelan seraya berenang di antara pusaran air. "Jika saja Gianna sadar kalau kita sekarang berubah menjadi ... ikan pesut," paparnya kemudian. Kini, ia menggunakan wujud ikan untuk menyembulkan kepala ke air, memastikan kelihaiannya sebagai makhluk akuatik.

Sementara Gianna malah tercenung saat berkaca dari bola mata Algi. Sepersekian detik kemudian, barulah tertawa kerasa menyaksikan wujudnya yang sekarang. Namun, hal ini tidaklah buruk. Menjadi spesies ikan justru menyempurnakan penyamarannya untuk menyesuaikan diri di Bikini Bottom.

Kedua ikan pesut itu pun berenang lebih jauh ke bawah lapisan air tempat pembuangan sang gorila. Sampai di lapisan terdalam, mereka disambut dengan pelang kawasan tersebut. Sementara tanda ampersand sendiri berbentuk denah bawah laut milik Bikini Bottom.

Alhasil, keduanya harus mengitari penjuru Bikini Bottom hingga membentuk simbol & dengan begitu sempurna. Dalam petualangan, Pearl menyambut baik kedatangan keduanya. Terlebih sebagai sesama makhluk akuatik. "Ayolah, singgah sejenak di restoran milik ayahku. Makan krabby petty akan membuat tubuh kecil kalian ternutrisi untuk sirkus. Sepertku, tinggi dan langsing."

Gianna tahu itu hanya intrik belaka bagi anak orang kaya untuk pamer. Organ-organ di tubuhnya juga berteriak haus ingin dipuja. Padahal, sejatinya paus dan pesut tidak bisa disamakan dari segi fisik, mereka berbeda jenis meski satu spesies. Gianna jadi enggan menerima tawaran, tetapi Pearl justru menangis kencang hingga menenggelamkan Bikini Bottom.

Algi menjadi khawatir jika air mata paus itu menghanyutkan perut Gorila. Alhasil, ia membujuk Gianna untuk menerima tawaran agar Pearl berhenti menangis. Nasib baik, mereka bertemu Mermaid Man dan Barnacle Boy yang sedang menyantap hidangan di Krusty Krab.

Saat kedua legenda itu sedang sibuk dengan tanda tangan para penggemar, sekali lagi ide janaka Algi muncul sebagai pemilik dunia lukisan. Ia mengambil alih Invisible Boat Mobile milik mereka yang transparan dan super cepat untuk menyempurnakan kitaran denah bawah laut. Lantas ketika sudah membentuk simbol &, komputer yang menjadi titik awal petualangan pun seketika menyala. Pada layar monitor tertulis, 'Selamat! Algi & Gianna berhasil menyelesaikan perjalanan.'

Bersama dengan itu, tubuh ikan milik keduanya terurai oleh cat minyak, lalu kembali ke dunia manusia. Tepatnya, pada sebuah gazebo tempat mereka bertukar obrolan tadi. Serta-merta, penglihatan Gianna kembali buram. Ia menitihkan air mata. Bukan untuk bersedih, melainkan sebuah suka cita; haru, sekaligus lelah tertawa hingga matanya mulai berair.

"Makasih, Algi." Melalui pandangan nirfungsi, ia membayangkan wajah Algi dalam ingatannya. "Setelah puisi, lukisan dari tugas Seni Budaya ini adalah kejutan luar biasa buat aku." Raut wajah gadis itu tampak jenaka. "Jadi apa boleh aku tahu, kuas ajaib macam apa yang kamu gunakan untuk membuat lukisan ini?"

Algi menggaruk tengkuk yang tak gatal sembari berbicara dengan malu-malu, "Se-sebenarnya Algi melukis dengan sapu lidi." Belum sempat Gianna angkat suara, ia lebih dulu melanjutkan, "Ini gak se-random yang kamu pikirkan, kok. Hanya saja, ada aura mistis pada serat sapu lidi," ungkapnya jujur. Karena kemistisan itulah mereka bisa terhubung dengan dunia gaib dalam lukisan.

Gianna hanya manggut-manggut untuk berusaha memahami lelaki itu. Toh, ia juga cukup puas dengan petualangan menguji adrenalin. Untuk pertama kali setelah sekian lama berada dalam sisi terendah hidup, ini kali pertama ia bisa tertawa lepas. Ia pun bertanya, "Jadi, apa kamu sudah memberikan nama untuk lukisan ini?"

Algi menggeleng. Karena lukisan ini sebetulnya menjadi tugas kelompok, ia ingin tetap melibatkan Algi dalam proses pembuatannya. "Gia saja yang memberikan nama."

Gianna langsung terpikirkan judul unik. Tercipta dari sebuah nama tanda yang menjadi simbolis pertemuan antara nama keduanya dalam dunia lukisan. "Baiklah, kuberi nama lukisannya Ampersand."

***

Ketika kalian mendedikasikan diri dalam seni, maka secara tidak langsung kalian harus menerima bahwa menjadi seniman ibarat sukaralewan. Leluasa untuk menuangkan hobi dalam sebuah karya, tetapi orang lain bisa menikmati dengan gratis.

Penghargaannya, seniman mendapat apresiasi dari tanggapan positif khalayak. Sesederhana itulah, tetapi cukup untuk membuat bahagia. Seniman memang hobi yang bisa dijadikan profesi. Hanya saja, cenderung tidak bisa menjadi prioritas utama.

Begitulah yang Algi rasakan, dalam fase mewujudkan impian menjadi pelukis. Karena hidup dalam keluarga konglomerat, Algi terpaksa menggantungkan cita-citanya begitu saja. Padahal, ia tidak memiliki bakat dalam bidang fisik maupun akademik seperti sang adik.

Jauh ketika masih kecil, Algi justru menemukan bakat dalam seni. Oleh karena itu, ia amat menyukai pelajaran Seni Budaya. Sayangnya, selama mengalami gangguan psikologi, Algi harus melalui berbagai perawatan. Alhasil, membuatnya tidak masuk sekolah beberapa lama, serta lalai dari tugas Seni Budaya.

Setelah berusaha berdamai degan diri sendiri, Algi pun memutuskan untuk pergi sekolah. Banyak siswa-siswi yang berlalu-lalang memasuki gerbang, tetapi ia justru mengalami kenopsia tatkala merasa sepi di tengah keramaian. Alhasil, ia pun semakin mempercepat langkah menuju kelas.

Ketika sudah sampai, raut tak bersahabat dari teman sekelas membuat ia merasa terasing. Namun, Algi berusaha abai akan sekitar, hingga kegiatan belajar mengajar dimulai. Pelajaran pertama adalah Seni Budaya. Ia memang sengaja masuk sekolah tepat saat jadwal tersebut.

Saat Weya memasuki kelas dan memulai pelajaran, Algi datang menghampiri meja guru sembari mengajukan pigura sebuah lukisan. "M-Maaf, saya telat mengumpulkan karya ujian praktikumnya," rutuk Algi dengan tergugup.

Weya tak serta-merta menyambut pemberian Algi. "Sebelum itu, tolong lepaskan dulu syal-mu. Karena kamu sedang mengikuti pelajaran."

Salah satu murid ikut menyahut, "Lagian kita tinggal di Indonesia yang beriklim tropis. Bukan negara dingin bersalju." Ungkapan itu mengundang gelak tawa penjuru kelas, sehingga Algi lagi-lagi merasa tak nyaman.

Akan tetapi, ia tidak bisa menyangkal perkataaan sang guru. Sebab dalam kegiatan formal seperti ini harus menghargai kedisiplinan. Tangan Algi pun tampak bergetar ketika mulai melepaskan syal yang membaluti lehernya.

Seketika ... suara tawa menjadi senyap tatkala mereka melihat sebuah lebam, melingkar pada leher Algi. Mereka langsung menangkap hal negatif yang telah terjadi, bahwasan lelaki itu sempat melakukan percobaan bunuh diri. Rundungan dari teman sekelas, baik secara verbal maupun non-verbal membuat luka pada batin dan fisiknya.

"Jadi, apa teman kelompokmu juga ikut andil dalam membuat lukisan ini?" Suara sang guru memecah keheningan, serta membuyarkan lamunan siswa-siswi.

Algi mengangguk mantap. "Ya. Gianna yang mencarikan nama untuk lukisan ini." Ia sebisa mungkin tidak menjatuhkan gadis itu, meski hanya Algi yang melukis sepenuhnya. Sambil menerawang pertemuannya dengan Gianna tempo lalu, ia berkata, "Nama lukisannya adalah Ampersand."

"Maaf, tapi aku tidak bisa menerima karya praktikum kalian," ungkap Weya dengan gamblang, kemudian memberikan kembali kepada sang murid. Algi sendiri sudah memprediksi, sebab pengumpulannya sangat-sangat terlambat.

Sebelum hendak berbalik, Weya beralih mengambil syal yang dilupakan pada mejanya, kemudian menghentikan Algi untuk melilitkan kembali ke lehernya. "Aku tidak bisa menerimanya, karena lukisan seindah ini lebih baik disimpan untuk pribadi, atau diberikan kepada seseorang yang benar-benar kamu kasihi."

Algi tampak terkesiap ketika mendapat respon tak terduga dari sang guru. Ia lantas tersenyum simpul. "Makasih, Bu."

Suatu saat nanti jika Gianna sudah bisa melihat lagi, ia ingin Lukisan Ampersand menjadi hal pertama yang gadis itu lihat di dunia ini. Melalui perkataan sang guru, Algi pun menjadi termotivasi untuk terus belajar dan belajar, kemudian melanjutkan perjalanannya sebagai seniman.

A/N

Meski cerpen sebelumnya dan yang ini terlihat nyambung, tapi aku tidak memutuskan menggabungkan. Karena genre dan konsepnya seketika berubah dari fantasi ke fanfiksi. Jadi sebenarnya bisa dibaca terpisah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top