Chapter 9

Dengan mahir Naren menghentak-hentakkan teflon agar spageti dan bumbu barbeku yang sudah dioseng bersama bawang bombai tercampur rata.

Sesuai kesepakatan kemarin, seharusnya Jani yang membuatkan makan malam mereka, kenyataannya gadis itu saat ini diam mematung memerhatikan pergerakan Naren sejak tadi.

"Maaf, Naren." Suara Jani terdengar seperti tikus kejepit di telinga Naren.

"Gua suruh lu ngiris bombai, Jani. Bukan jari telunjuk. Udah gua bilang hati-hati kalau pegang pisau. Ceroboh banget." Omelan Naren kali ini masih tergolong manusiawi dibandingkan omelan Naren saat Jani baru saja tak sengaja mengiris jari telunjuknya.

"Iya, maaf. Terus sekarang gua harus ngapain? Masa diam jadi patung? Gua kalau durhaka sama emak nggak ada disuruh cosplay jadi Malin Kundang. Giliran sama lu, ceroboh sedikit langsung disuruh cosplay jadi patung."

"Ceroboh sedikit? Enggak ingat saus barbeku lu tumpahin?"

Jani salah berbicara, ia lupa bila Naren pendendam dengan ingatan kuat seperti emak-emak jika ditanya letak kaus kaki, kunci mobil, atau mungkin STNK.

"Jadi ini gua diam aja nih? Lu enggak butuh bantuan gua?" tanya Jani masih berusaha untuk melelehkan pertahanan Naren yang keras kepala. Ia juga ingin bisa memasak, tetapi pada kenyataannya masak bukan bakat alami Jani.

Dengan terpaksa Naren menyuruh Jani mendekat. Sebelum meratakan bumbu barbeku dengan spageti, Naren sudah menyiapkan tiga dinner plate berwarna hitam. "Dengerin arahan gua kalau lu mau makan sekarang." Ancaman Naren membuat Jani mengangguk spontan.

"Tugas lu cuman taruh spageti di atas piring, jangan sampai tumpah." Naren membungkus tangan Jani dan meletakkannya di atas pegangan teflon.

Antara takut spageti tumpah atau karena jarak mereka yang cukup dekat, Jani dan Naren dapat mendengar degup jantung masing-masing yang saling berdebar tak beraturan. Mereka dengan susah payah memfokuskan pikiran masing-masing agar spageti untuk makan malam tidak mendarat di lantai. Dengan hati-hati Naren dan Jani menaruh spageti di atas tiga dinner plate dengan porsi sama rata.

"Akhirnya ...." Kelegaan Jani juga dirasakan Naren. Saat tangan mereka sudah tak lagi membungkus pegangan teflon, Jani membawa dua dinner plate ke atas meja makan.

Sebelum Naren menyusul Jani ke meja makan, ia mencuci terlebih dahulu peralatan yang sudah ia gunakan. Bagi sebagian orang, termasuk dirinya hal yang paling malas dilakukan adalah mencuci peralatan masak setelah digunakan.

"Makan dulu, Ren. Nanti gua cuci piring setelah kita makan bareng. Keburu dingin spagetinya." Jani kembali ke dapur mengambil satu dinner plate yang belum ia bawa ke meja makan.

Naren tak percaya dengan ucapan gadis itu, karena ia tahu bahwa Jani tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah. Ia takut perabotan di rumahnya rusak karena kecerobohan Jani.

"Dinner platenya aja nanti lu cuci." Jani mengangguk pasrah, ia sebenarnya hanya basa-basi menawarkan bantuan tetapi Naren malah menyetujuinya.

Melihat menu sepiring spageti tersaji di meja makan membuat cacing di perut Mahen demo. "Tumben makan malamnya spageti, ada apa nih?" tanya Mahen yang baru saja turun dari lantai dua.

"Biasanya menu rumahan ya, Hen?" tanya Jani menatap Mahen yang tiba-tiba duduk di sebelahnya, padahal kursi di sebelahnya ia siapkan untuk Naren.

"Yoi. Baunya udah kecium sampai lantai dua, makanya turun."

"Kalau lapar tuh masak. Enggak mungkin diam aja tiba-tiba makanan ada di meja makan," sindir Naren kesal melihat Mahen yang apa-apa selalu disediakan di depan mata.

"Tinggal pesan makanan di aplikasi, makanan bakalan sampai depan mata, Ren. Ngapain sih ributin makanan yang udah jadi, mending dinikmatin." Dengan santai Mahen menikmati spageti terlebih dahulu tanpa menunggu Naren yang masih mencuci piring.

Gadis yang berada di tengah-tengah si kembar hanya berharap Naren tak tersulut amarah dan Mahen tak lagi memancing amarah Naren. Walaupun sejak di pusat perbelanjaan perutnya sudah lapar, tetapi Jani akan tetap memilih sabar menunggu Naren selesai mencuci piring untuk menghargai Naren.

"Enggak dimakan, Jan?" tanya Mahen membuat fokus Jani menatap punggung Naren teralihkan.

"Nunggu Naren aja."

"Kalian sadar enggak sih? Kedekatan kalian tuh bikin gua merasa enggak dianggap. Lu berdua selalu aja asik sendiri," protes Mahen.

Tampak raut bingung di wajah Jani. Selama ada Naren dan Mahen di dekatnya, ia sama sekali tak mengabaikan kehadiran salah satu di antara mereka. Bahkan saat timbul percikan api di antara Naren dan Mahen, ia akan memilih diam dan tak memihak salah satu di antara keduanya. Walaupun Jani memiliki perasaan kepada Naren, tetapi memihak tanpa mengetahui permasalahan mereka sama sekali tidak adil.

Wajah Mahen yang semula tampak kesal digantikan dengan kekehan kecil. "Becanda, gituan aja tegang Jan." Mendengar kalimat Mahen yang terlontar, Jani terpaksa ikut terkekeh kecil padahal ia tak tahu di mana letak lucunya.

Setelah selesai mencuci piring, Naren langsung menuju kamarnya. Ia sudah tak lagi memiliki nafsu makan, bahkan perutnya yang keroncongan tak lagi ia pedulikan.

"Ren? Enggak makan malam dulu?" Jani yang melihat kepergian Naren beranjak dari duduknya dan mengambil dua dinner plate yang berada di atas meja.

Pergerakan Jani terhenti kala Mahen menggenggam pergelangan tangannya. "Jangan pergi, temenin gua. Sekali aja lu lebih milih gua dibandingkan Naren, Jan. Sekali ini aja, lu nemenin gua ngobrol di sini."

Kali ini Mahen memilih egois. Ia lelah selalu mengalah dengan Naren jika bersangkutan perihal Jani. Ia akan memberikan segalanya kepada Naren termasuk medali, sekolah yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya, dan kasih sayang orang tua kepadanya asalkan perasaan Jani hanya tertuju padanya.

"Bisa?" tanya Mahen menuntut kesediaan Jani untuk menemaninya saat ini juga.

Jani menggeleng pelan membuat Mahen kecewa. "Kapan gua pernah mengabaikan kehadiran lu, Mahen? Gua selalu berusaha untuk berada di tengah-tengah kalian."

"Terus kenapa saat ini lebih mementingkan untuk nyusul Naren?!"

"Gua punya kesepakatan karena dia udah bantu gua untuk tugas wawancara. Kalau lu ngerasa gua enggak menghiraukan kehadiran lu, ayo ikut gua ke kamar Naren."

Dengan terpaksa Jani mengajak Mahen untuk ikut agar tak ada yang merasa diabaikan. Jani tahu Mahen tak akan menerima ajakannya, karena dipastikan jika Mahen menampakkan batang hidungnya di hadapan Naren mereka berdua akan adu mekanik.

Genggaman Mahen terlepas dari pergelangan tangan Jani. Ia benci mengalah jika mengenai Jani, tetapi ia yang paling tahu bahwa perasaan Jani hanya untuk Naren. Hanya saudara kembarnya yang buta akan perasaan tulus Jani. "Gua minta maaf atas sikap gua malam ini, Jani. Gua harap kita enggak canggung kalau ketemu."

Jani mencoba mengerti kondisi Mahen tanpa bertanya lebih dalam. Sejujurnya ia ingin tahu alasan sebenarnya hubungan Naren dan Mahen merenggang walaupun ia sudah bisa menerkanya. "Gua juga minta maaf kalau sikap gua bikin lu ngerasa enggak dipedulikan."

Mahen mengangguk, ia memutuskan untuk meninggalkan Jani dan terlebih dahulu naik ke lantai dua untuk pergi ke kamarnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top