Chapter 8

Bebas dari les, Jani memanfaatkan waktu luangnya untuk mewawancarai Naren dengan syarat yang sudah disetujui kemarin. Jani dan Naren setuju untuk melakukan wawancara terlebih dahulu di cafe dekat perumahan mereka tinggal, setelah melakukan sesi wawancara mereka akan berbelanja di supermarket untuk membeli bahan makanan yang akan dimasak oleh Jani.

Naren sudah membayangkan bagaimana Nara memasak makan malam untuknya sejak pelajaran terakhir masih berlangsung. Saat bel pulang sekolah berbunyi, dengan cepat ia menuju parkiran untuk mengambil motornya. Ia sudah sangat tidak sabar.

Sayangnya Naren harus benar-benar belajar bersabar karena ada sesi wawancara yang menanti. Saat sampai di cafe, sosok Jani masih belum terdeteksi. Naren terpaksa memesan dan mencari meja terlebih dahulu.

"Maaf telat, macet parah." Jani baru tiba setelah Naren menunggu kurang lebih 10 menit.

"Enggak papa, harusnya gua bareng sama lu cuman karena suruhan gua kita jadi kayak gak kenal gitu di sekolah. Udah nyiapin pertanyaan?" tanya Naren memotong brownies yang ia pesan.

Jani menggangguk, ia sudah membuatnya sejak semalam. "Udah dong, rajin gua mah. Bentar ya gua siapin kamera dulu."

Naren mengangguk. Ia mulai merapikan potongan rambutnya dan seragam yang ia kenakan agar terlihat baik dalam rekaman.

"Udah siap?" tanya Jani setelah kamera siap.

Naren lagi-lagi mengangguk, ada rasa gugup yang menyerangnya secara tiba-tiba. Semula ia merasa biasa saja saat mendapat tawaran wawancara dari Jani, karena ia sudah terbiasa mendapatkan tawaran tersebut dari orang lain. Siapa sangka saat melakukan sesi wawancara ia malah grogi.

"Gua mulai, ya? Kamera udah gua nyalain. Nanti tinggal dipotong aja." Jani duduk tepat di hadapan Naren, di samping kanan ada kamera yang akan merekam setiap jawaban Naren.

"Dalam rangka wawancara siswa berprestasi. Saat ini, saya Narapati Dwi Renjani akan ditemani tamu yang tidak terduga, Narendra Prakasa Bumi. Diketahui Naren seringkali membawa pulang kemenangan untuk sekolah kita tercinta. Pasti senang dong dengan kemenangan yang diraih, selamat ya!"

"Baik, terima kasih." Mendengar jawaban Naren, Jani ingin tertawa saat ini juga. Kalimat yang ia buka cukup panjang, sedangkan jawaban Naren hanya tiga kata. Malang sekali yang mengidamkan Naren menjadi kekasihnya, cowok di hadapannya ini begitu dingin dan tidak peka. Miris, nyatanya ia juga jatuh dalam pesona Naren.

"Apa perlombaan terkahir yang Anda ikuti? Lalu persiapan apa saja yang Anda lakukan?"

"Lomba esai yang diadakan oleh salah satu universitas negeri di Jakarta. Tidak butuh persiapan banyak selain riset." Jani tersenyum pasrah, sepertinya Naren hanya akan menjawab sewajarnya saja.

"Tidak banyak tetapi mampu membawa pulang piala juara satu, ya? Selamat Narendra." Naren mengangguk menerima ucapan selamat dari Jani.

"Apakah ada rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu dekat?" tanya Jani masih tersenyum, tetapi sepasang matanya menatap Naren dengan tatapan tajam.

Naren yang ditatap hanya mengedikkan kedua bahunya sembari menjawab, "Mungkin."

"Kira-kira lomba dalam bidang apa yang akan Anda ikuti?" Tak ingin menyerah, Jani masih terus berusaha mengulik lebih dalam mengenai Naren.

"Penelitian."

"Penelitian dalam bidang? Sosial dan humaniora atau matematika dan IPA?"

"Belum tahu."

"Baik. Apakah penelitian ini akan Anda ikuti sendiri atau ada pembuatan tim?"

"Belum tahu, tetapi sepertinya sekolah akan membuat tim."

"Berarti lomba penelitian ini akan mewakilkan nama sekolah?" Naren mengangguk menjawab pertanyaan Jani.

"Jika Anda bisa memilih, siapa nama yang akan Anda undang ke dalam tim untuk lomba penelitian ini?"

"Narapati Dwi Renjani." Jawaban Naren membuat Jani melotot kesal. Kaki Jani sengaja menginjak kaki Naren untuk melampiaskan kekesalan, karena namanya dibawa-bawa.

Tak memedulikan kekesalan Jani, bahkan kakinya yang diinjak Jani pun tak membuat Naren terusik. Dengan senyum tipis ia bertanya dengan jahil, "Anda tidak bertanya kembali, kenapa saya memilih Narapati Dwi Renjani sebagai rekan saya?"

Jani memonyongkan bibirnya sebal, namun dengan terpaksa ia melanjutkan wawancara mereka. Bagian yang menurutnya menyebalkan akan ia pangkas. "Ah, maaf. Seharusnya tugas saya yang bertanya seperti itu. Lalu apa jawaban Anda mengenai pertanyaan yang Anda lontarkan?"

"Karena kita sudah satu paket dalam mengikuti lomba. Kita sudah terbiasa bersama dan sudah saling mengetahui potensi masing-masing." Saat SMP memang Jani dan Naren sering satu tim untuk mewakilkan nama sekolah, terkadang juga bersama Mahen. Mereka bertiga sudah seperti tiga sekawan, namun Mahen lebih suka mengikuti lomba perorangan, karena baginya jalan itu lebih menguntungkan.

"Baik, terima kasih atas waktunya untuk menerima wawancara dari kami. Saya Narendra Dwi Renjani melaporkan untuk Jurnalistik."

***

Berada di pusat perbelanjaan untuk membeli bahan-bahan makan malam menjadi kegiatan mereka selanjutnya. Sejak kamera dimatikan Jani tak henti-hentinya mengomel karena Naren sengaja membawa-bawa nama Jani dalam wawancara mereka, tetapi Naren menulikan indra pendengarannya.

"Jangan kayak gitu lagi," pinta Jani menarik ujung seragam Naren yang sedang membawa troli belanjaan.

"Itu namanya memanfaatkan kesempatan Jani, belum tentu lu bakalan wawancara gua lagi."

"Udah pasti gua wawancara lu lagi, Markonah. Katanya mau lomba, pasti nanti gua disuruh mewawancarai lu sama partner lu itu."

Dengan santai Naren menjawab, "Kan lu partner gua."

Tak menghiraukan pelototan tajam Jani, cowok itu sibuk memilih bumbu barbeku dan macam-macam pasta. Spageti menjadi pasta pertama yang Naren ambil untuk menjadi menu mereka malam ini.

"Lu bukannya lebih suka makanan warteg ya?" Naren mengangguk membuat Jani bingung.

"Kok mintanya spageti?" tanya Jani lagi.

"Kalau lu masak makanan warteg nanti bukan ayam yang lu bakar, tapi rumah. Disuruh ngangetin sayur sama lauk aja bikin setengah bagian rumah kebakar, gimana masak? Gua minta yang simpel biar lu adaptasi dulu sama kompor dan antek-anteknya. Paham?"

Jani mengangguk mendengar ocehan Naren. Ia sadar diri bahwa masak bukanlah bidangnya, daripada mereka adu mulut dan diusir dari pusat perbelanjaan, lebih baik ia menutup mulutnya rapat-rapat.

"Berarti beli pasta sama bumbu barbeku aja, 'kan?"

"Sama bawang bombai. Gua niatnya mau sekalian ngisi dapur sih, soalnya lagi kosong."

Biasanya yang suka berbelanja itu perempuan, tapi hanya Naren yang dengan ikhlas berbelanja untuk memenuhi kebutuhan dapur di rumah karena orang tuanya sibuk bekerja.

"Capek, Ren. Boleh naik ke troli enggak?"

"Enggak, nanti patah. Lu bukan balita. Udah makan?"

"Nanti kan makan bareng lu di rumah."

"Lapar enggak?" Dahinya mengernyit bingung, Naren selalu saja melemparkan pertanyaan random.

"Lapar. Kenapa sih? Kok tanyanya ngalor ngidul," protes Jani.

"Ya udah, ayo pulang. Besok aja gua belanjanya. Mau gendong?" tanya Naren membuat sudut bibir Jani melengkung ke atas.

Gila. Jani kira Naren tidak peka dan menyebalkan, tetapi kelakuan cowok itu selalu membuat jantung Jani berdegup tak normal.

"Enggak, tadi kan becanda doang gua mau naik ke atas troli."

Naren mengangguk paham, dengan memasang senyum licik ia membalas, "Gua juga becanda doang nawarin lu gendong."

"NAREN!" Dengan spontan Jani meneriaki cowok di sebelahnya. Tanpa sadar, teriakan Jani mengundang beberapa pasang mata.

Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang ingin tahu, Naren dengan luwes tertawa senang karena dapat meledek Jani. Gadis itu terlihat lucu saat ini, pipinya menggembung bak ikan balon dan jangan lupakan wajah Jani yang memerah bak kepiting rebus.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top