Chapter 5
Harum sate ayam yang sedang dibakar menguar memasuki rongga penciuman Jani yang baru saja tiba di rumah Naren. Mencium sate ayam dengan olesan bumbu kecap beserta bawang membuat Jani bersemangat menemukan Naren. Cowok itu tengah menyiapkan nasi sembari menunggu sate ayam terbakar sempurna.
"Nasinya mau juga!" Hampir saja nasi berisi piring panas terlepas dari tangan Naren, teriakan Jani membuatnya kaget bukan main.
"Masuk lewat mana?" tanya Naren heran karena tak mendengar suara pintu depan dibuka.
"Lewat pintu, masa lewat jendela." Jani mendengkus sebal, "Emangnya maling?"
"Emang maling, nih buktinya!" Naren memberikan sepiring nasi panas beserta 4 tusuk sate ayam yang sudah matang.
Jani tersenyum manis. "Makasih Mas Naren."
Mendengar panggilan Jani, Naren mematung di tempat. Tanpa ia sadari senyum terpatri di bibirnya.
"Ini enak, nanti nambah ya?" Permintaan Jani membuat Naren tersadar dan memasang wajah pura-pura kesal.
"Beneran maling. Perasaan tante belum ada jadwal liputan, kenapa lu jadi nangkring di sini mulu?"
"Ibu belum pulang, makanya gua ke sini. Lapar tahu!"
Jika rumah kosong, Jani tak diperbolehkan masuk ke dalam rumah. Rumah Jani memang sering kosong, jika ibu sedang liputan atau pulang terlambat dan ayah sedang melakukan operasi terhadap pasien, maka ia akan dititipkan di rumah Naren. Saat Jani SMP, ia hampir membakar seisi rumah dan sejak itu orang tuanya melarang Jani untuk di rumah sendirian.
"Ren gua ada gosip terpanas nih, mau dengar enggak?" tanya Jani semangat karena perutnya sudah kenyang.
"Enggak." Mendengar jawab Naren, Jani melengos kesal.
"Ih, masa lu nggak mau tahu gosip terbaru?"
"Lu dipanggil guru?" tanya Naren membuat hawa di sekitar mereka mencekam bagi Jani.
Jemari Jani terpaut, kedua ibu jari tangannya ia mainkan dengan saling beradu. Sepasang matanya menatap Naren dan bibirnya tersenyum lebar seperti anak anjing yang tengah menatap pemiliknya.
"Enggak usah ngelihatin gua kayak gitu. Gua omelin juga telinga lu bakalan kebal."
"Marah?" tanya Jani tak menyangka reaksi Naren bakalan secuek itu. Biasanya Naren akan mengomel panjang.
"Ikut ekstrakurikuler enggak selamanya membawa dampak baik. Waktu lu terkuras habis buat siaran, enggak ada lagi waktu buat persiapan lomba. Om kalau tahu anak kebanggaannya enggak pernah ikut lomba karena siaran bakalan sekecewa apa nantinya?"
Amarah memenuhi Jani, tetapi ia berusaha untuk menahannya karena tak mau jika kata-katanya akan membuat Naren sakit hati. Padahal kalimat Naren tadi membuatnya tak karuan.
"Gua kira tanpa gua harus cerita semuanya lu bakalan memahami gua sebaik gua memahami lu, Ren. Nyatanya enggak, lu sama sekali enggak memahami gua."
"Enggak usah kayak anak kecil. Enggak ada di dunia ini yang paling memahami lu kecuali diri lu sendiri, paham? Gua paham lu cinta sama jurnalis, tapi mau sampai kapan lu sembunyi? Bisa kan tinggal bilang kalau lu mau terjun dibidang jurnalis, bukan kedokteran."
Saat di sekolah Jani mendapatkan ceramah dari bu Cahyani, tak sangka saat pulang ia mendapatkan ceramah dari Naren. "Gua suruh lu bilang ke Mahen kalau dari kecil ada perasaan iri di hati lu karena orang tua kalian selalu memperlakukan kalian berbeda. Mahen seperti anak emas yang selalu dibanggakan sedangkan lu, seperti anak buangan yang enggak pernah dianggap. Rasa iri itu yang ngebuat lu menarik diri dari Mahen, berani?"
Tangan Naren mengepal sempurna, ia dikerubungi amarah mendengar kalimat Jani. Dengan nyalang Naren menatap Jani yang juga menatapnya dengan sorot terluka.
"Jangan sok tahu, lu enggak tahu apa-apa." Hanya itu yang keluar dari bibir Naren, karena mau mengelak pun kalimat Jani benar-benar tepat sasaran.
"Enggak mau ngaca? Jangan sok-sokan deh. Gua lebih milih lu ngomel dibanding nyuruh gua buat menantang maut, karakter ayah gua sama ayah lu enggak jauh berbeda, Ren."
"Pilihannya jadi gembel atau jadi boneka ya?" tanya Naren dengan senyum sinis.
Walaupun sama-sama terbawa emosi, tetapi Naren dan Jani paham luka mereka sama-sama dibuat oleh orang terdekat. Daripada mereka beradu nasib yang berujung saling melukai, lebih baik mereka mencoba untuk saling menjaga dan memahami apa yang masing-masing mereka impikan.
***
Pergerakkan Jani untuk bersiap menuju ruang siaran terhenti. Ia menatap kehadiran Daffa yang saat ini menahan pergelangan tangannya.
"Siaran akan tetap nomor satu bagi lu?" tanya Daffa menatap sepasang mata Jani serius.
"Pasti. Ada apaan sih?" Jani jadi bingung tiba-tiba Daffa bertanya random seperti tadi.
"Lu akan menerima konsekuensi apa pun asalkan lu tetap pegang siaran radio, 'kan?" tanya Daffa lagi untuk memastikan sekali lagi.
Jani melepaskan tangan Daffa yang bertengger di pergelangan tangannya. "Iya, gua bakalan terima konsekuensi asalkan masih logis dalam otak gua. Ini ada apaan dah? Bisa sambil jalan ke ruang tata usaha gak sih? Gua mau siaran tahu!"
Gelengan kepala Daffa membuat Jani semakin bingung. "Enggak usah, gua udah dapat jawaban dari lu. Gua pergi dulu, ya!"
Belum ada setengah hari terlewati, Jani sudah kesal dengan tingkah Daffa yang random. Umpatan dan cacian ia lontarkan di sepanjang perjalanan menuju ruang tata usaha tanpa memperdulikan beberapa siswa atau siswi yang menatapnya aneh.
***
"Lu ikut rapat dadakan nanti, 'kan?" tanya Atika saat Jani kembali dari siaran.
Jani yang baru saja selesai siaran tak tahu mengenai rapat dadakan tampak bingung. Ia belum mengecek ruang obrolan mereka. "Kapan rapatnya?"
"Nanti sore. Lu belum baca group ya?" tanya Atika simpati karena ia tahu Jani termasuk murid sibuk.
"Kok dadakan lagi sih? Itu rapat apa datang bulan? Enggak ada perkiraannya, " sungut Jani kesal sendiri. Sudah terjadi dua kali tentu tak bisa dibiarkan, Daffa harus ditegur agar tak mengadakan rapat secara mendadak lagi.
Mendengar persamaan Jani, Atika terkekeh kecil. "Bisa aja lu. Pulang sekolah ada bimbel, ya?"
Jani mengangguk lesu, pilihannya antara tidak ikut bimbel atau tidak ikut rapat. Hanya dua itu, tanpa bisa ditawar.
"Izin aja sama Daffa bisa kayaknya. Lu selama ini kan rajin, ikut rapat mulu. Masa sekali izin enggak bisa?".
"Gua sih mikirnya memang mau izin enggak ikut rapat. Kemarin gara-gara rapat dadakan gua sampai telat, untungnya pas waktu itu hujan jadi gua bisa ada alasan."
"Kirain pinter otaknya masih polos, ternyata sesat juga ya." Sindiran Atika disambut tawa kecil Jani.
Guru perempuan dengan kisaran umur 4 dasawarsa memasuki kelas Jani. Rambut disanggul rapi ditemani kaca mata dengan lensa persegi panjang menjadi ciri khas dari bu Etno.
"Kalian abis istirahat apa abis nguli sih? Bau banget nih kelas," gerutu bu Etno meletakkan 2 buku paket mata pelajaran Biologi dan satu folder berisi data absensi serta nilai. Ia menatap setiap murid untuk menyaring siapa saja yang bisa tetap tinggal di kelas.
"Siapa yang tidak membawa buku paket dan buku catatan silakan angkat kaki dari ruang kelas sekarang juga!" Titah mutlak bu Etno membuat murid-murid XI IPA 5 berguguran tanpa ada protes.
Terpantau 18 murid masih bertahan dari 32 murid kelas XI IPA 5. Tanpa alasan Jani memiliki firasat buruk, ia tak ingin menerka bahwa bu Etno akan mengadakan ulangan mendadak tapi situasi dan kondisinya sangat khas sekali.
"Saya akan mengadakan ulangan, kalian boleh buka buku catatan dan buku paket kalian, tetapi saya tidak mengizinkan kalian untuk menyontek."
Dugaan gua tepat mulu udah kayak peramal, doa ayah mujarab banget. Hari Jani tambah buruk setelah dibuat bingung Daffa dan soal Biologi dari bu Etno tercinta.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top