Chapter 38

Perdebatan Rania dan Jani di kantin sekolah bisa dibilang perdebatan besar yang membuat mereka tak lagi bertegur sapa. Namun, Sakha dan Atika mengundang mereka termasuk Daffa untuk bercengkrama di rumah Atika. 

Semula tanpa kehadiran Jani, Sakha merasa kesepian karena Jani sudah jarang berkumpul dengan mereka. Sahabat yang ia anggap sebagai adik itu lebih sering menghabiskan waktu istirahat di ruang siaran, belajar di perpustakaan, latihan soal untuk persiapan lomba, dan bertemu Naren.

"Mentang-mentang sudah laku, bisa-bisanya lu melupakan kita," sindir Sakha menatap Jani sinis.

"Itu mata dikondisikan sebelum gua colok ya!" ancam Jani membalas Sakha dengan tatapan tajam.

Rania dan Atika sibuk di dapur menyiapkan makan. Mereka berdua sangat mengharamkan Jani memasuki area dapur, gadis itu sama sekali tidak berbakat dibidang memasak sedangkan Daffa memilih memperhatikan keributan di antara Jani dan Sakha.

"Galak banget kayak anjing perawan." 

Memang anjing bisa dibedakan mana yang masih perawan dan mana yang sudah pernah? Malas meladeni Sakha, diam menjadi pilihan Jani. Walaupun tak akan bertahan lama karena Sakha akan kembali memancing keributan. 

"Udahan nih?" tanya Daffa menggoda Sakha dan Jani.

Tatapan membunuh dilayangkan ke arah Daffa. Meminta cowok itu untuk membungkam mulut atau diusir dari rumah Atika. Padahal tempat mereka berkumpul bukan milik Jani, tetapi sikap gadis itu seakan-akan tuan rumah yang mampu mengusir siapa saja jika membuat dirinya naik darah. 

"Galak banget, kok bisa sih lu pacaran sama Naren? Pakai pelet apa lu?" ledek Sakha memulai kembali pertikaian mereka.

Sayangnya Jani bukan tipikal cewek yang tak mau meladeni bocah. Ia akan meladeni siapa saja yang dapat membuatnya emosi.

"Pelet ikan, kenapa mau juga lu?" balas Jani.

"Lu pikir cowok lu duyung?" 

Jani mengangguk ragu. Apa yang dinyatakan Sakha tak salah juga karena kondisi keuangan keluarga Naren makmur, termasuk Naren dan Mahen. Mereka berdua seringkali mengikuti perlombaan dengan uang tunai sebagai hadiah yang bisa dibawa pulang dan itu menjadi salah satu keuangan mereka jaya.

"Duyung kalau menangis dapat menghasilkan berlian yang bisa dijual dan bikin mereka kaya raya. Anggap aja Naren duyung. Dengan lomba yang diikuti dia bisa membuat hidupnya kaya, belum lagi harta dari orang tua Naren. Gua enggak bakalan bisa hitung sih kekayaannya berapa, soalnya gua kere. Ujung-ujungnya jiwa iri gua meronta-rona."

"Lebih kaya dari keluarga gua?" tanya Sakha yang memang hidup dari sendok perak di mulutnya.

Jani mengedikkan kedua bahunya dan menjawab, "Tunggu gua nikah sama Naren baru bisa mengecek kekayaan keluarga mereka."

"Ngarep banget," ejek Daffa tanpa sadar.

"Iri tanda tak mampu!" balas Jani tak mau kalah.

"Tumben banget kalian berdua adu mulut. Biasanya Jani sama Sakha," ujar Atika membawa ayam bakar untuk memberi jatah cacing di perut masing-masing.

"Fakta baru yang belum kalian ketahui ialah gua sama Jani udah kenal sejak SMP. Dulu gua, Jani, Naren, Naufal, dan Ghifari juga dekat," jelas Daffa membuat Jani kaget karena ia kira cowok itu tak ingin orang lain tahu.

"Oh ya?" tanya Atika tak percaya.

Jani mengangguk. "Cuman pas SMA mereka sekelas. Gua diasingkan di kelas berbeda, untung gua sekelas sama kalian. " Kalian yang dimaksud Jani itu Atika dan Sakha sedangkan Rania berada di kelas yang berbeda.

"Pantas, tapi gua masih enggak habis pikir deh. Jani sama Naren benar-benar enggak kelihatan dekat, tapi tiba-tiba jadian," saut Rani membawa nasi dan bungkus nasi.

Mereka setuju makan menggunakan bungkus nasi agar tidak capek-capek mencuci piring yang kotor.

"Dulu gua sempat dirundung gara-gara dekat sama Naren, Daffa, Naufal, dan Ghifari. Mereka berempat itu jajaran cowok dengan tampang dan otak oke. Hadirnya gua di antara mereka bikin kaum ciwi-ciwi di SMP berubah jadi reog," jelas Jani biasa, tak ada rasa kesal karena itu sudah masa lalu.

Daffa mengangguk. Jika diingat mereka berempat tak hanya sibuk belajar, tetapi juga melindungi Jani. Bahkan Mahen juga sering turun tangan jika Jani dikunci di toilet cewek atau seragam olahraga gadis itu ditemukan di tempat sampah.

Wajar saja jika saat SMA Jani memilih menjaga jarak dengan Naren untuk ketenangan batin gadis itu di sekolah.

***

"Tumben tante di rumah. Biasanya nongki cantik di PICU sama pasien."

PICU adalah pediatric intensive care unit, tempat perawatan khusus untuk anak yang baru berumur 28 hari sampai 18 tahun yang memerlukan perawatan intensif dengan harapan hidup dan pengobatan khusus.

Bunda Naren memiliki profesi sebagai dokter anak. Selain berada di ruang konsultasi untuk pasien rawat jalan, wanita yang melahirkan Naren dan Mahen itu juga sering ditemukan di ruang PICU dan jarang berada di rumah. Takut sewaktu-waktu pasien yang berada di ruang PICU membutuhkan penanganannya.

"Mana gua tahu. Tadi sih pulang bareng Mahen, enggak lama Mahen pergi lagi," balas Naren acuh tak acuh.

Mendengar balasan Naren, Jani memilih untuk menemui bunda Naren di lantai bawah.

"Halo Tante," sapa Jani melupakan bahwa dirinya pernah menjadi topik obrolan hangat di keluarga Naren dan Mahen.

"Eh ada Jani. Dari tadi di kamar Naren?"

Jani mengangguk. "Kata Naren tadi Tante pulang bareng sama Mahen. Kalau boleh tahu Mahen di mana yaa Tan?"

"Mahen biasa kayak gitu. Suka pergi enggak bilang," jawab bunda Naren memasukkan beberapa bahan makanan ke dalam kulkas.

"Jani mau tanya hal sensitif. Apakah boleh, Tante?"

Jani sempat meragu untuk menanyakan hal sensitif. Namun, bunda Naren mengangguk setelah diam sejenak, memperbolehkan Jani mengeluarkan apa yang berada di pikirannya sejak mereka melakukan pesta barbeku.

"Mahen sempat melakukan percobaan bunuh diri ya, Tan?" tanya Jani langsung.

Pergerakan bunda Naren terhenti saat mendengar pertanyaan Jani. Dirinya tahu cepat atau lambat ia akan mendapatkan pertanyaan tadi hanya dengan melihat pergelangan tangan Mahen.

"Jani tahu dari mana? Apa Mahen pernah cerita?"

Jani menggeleng dan menjawab, "Jani pernah lihat bekas garis tipis di pergelangan tangan Mahen."

"Jani sudah kasih tahu seseorang atau mungkin Naren?"

Lagi dan lagi Jani menggeleng dan menjawab dengan jujur, "Belum. Bahkan Mahen juga enggak tahu kalau Jani enggak sengaja melihat bekas garis tipis itu."

"Tante harap kamu bisa menjaga rahasia ini ya? Tante sama Om sadar kalau Mahen dan Naren itu kesepian, tetapi profesi kita memang membutuhkan banyak waktu dan tenaga. Mahen berusaha menarik perhatian untuk mendapatkan kasih sayang orang tuanya dengan melakukan percobaan bunuh diri."

Ternyata benar garis tipis yang Jani lihat malam itu ada, dan dirinya tidak salah terka.

"Mahen sudah mendapatkan penanganan dari psikolog klinis anak. Om dan Tante juga memberikan perhatian lebih kepada Mahen. Namun, tidak setiap saat kami bisa memberikan hal itu dan terkadang emosi Mahen bisa meledak di tempat."

"Tante pernah cerita hal ini ke Naren? Bagaimana pun Naren salah satu anggota keluarga di sini."

Gelengan pelan membuat Jani paham mengapa Naren menyimpan kebencian. Mahen mendapatkan kasih sayang karena mentalnya sedang terombang-ambing, tetapi perlakuan berbeda membuat Jani takut bila Naren akan berujung seperti Mahen.

"Jani takut jika Naren akan seperti Mahen. Setidaknya jika Naren mengetahui kondisi Mahen, dia akan mencoba mengerti apa yang terjadi di keluarganya."

"Tante akan berusaha untuk berbicara dengan Naren, tetapi enggak sekarang."

Tanpa perlu menunggu, Naren sudah mengetahui kenyataan keluarga mereka. Cowok itu tengah berdiri di balik dinding, mendengarkan perbincangan di antara Jani dan wanita yang melahirkannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top