Chapter 25

Untuk pertama kalinya siaran radio tidak mengalun di jam istirahat. Masalah di ruang BK baru usai saat mata pelajaran tersisa 1 jam sebelum bel pulang sekolah berdenting.

Pintu kelas XI IPA 5 Jani ketuk dari luar dan dengan perlahan ia buka. Semua pandangan tertuju ke arahnya. Saat ia menjadi penyiar SMA Nusa Pelita, pandangan teman sekelasnya merasa bangga, tetapi kali ini pandangan itu berubah. Tatapan mereka seakan-akan merendahkan dan mencemooh Jani.

Cukup. Pikirannya hari ini sudah cukup berat, ia tak boleh menambah beban tersebut. Jani hanya harus berfokus dengan masalah yang akan ia hadapi di rumah.

Walaupun tak fokus menerima materi yang dipaparkan, Jani tetap berada di atas kursinya. Pikirannya entah ke mana, namun telinganya masih berfungsi mendengarkan materi mengenai Limit Fungsi Trigonometri. Jani tahu, sesudah ini ia akan menyesal karena mengabaikan materi yang sangat berarti, tetapi otaknya benar-benar sudah tidak bisa diajak bekerja sama.

Hingga jam pulang sekolah berdenting Jani sama sekali tidak menggunakan pena yang berada di atas meja sebagaimana fungsinya. Mungkin ia harus meminjam catatan Atika kali ini.

"Tik," panggil Jani pelan.

Atika memandang Jani dengan tatapan yang sulit diartikan. Bagi Jani, tatapan Atika saat ini bercampur antara tatapan kecewa, khawatir, dan merendahkan.

"Gua enggak sangka saat itu lu cuman pura-pura kehilangan flashdisk." Kalimat yang dilontarkan Atika mengenai ulu hatinya.

Seharusnya sebagai seorang sahabat pandangan Atika kepada Jani tidak akan berubah, tapi kali ini Atika malah menuduhnya.

***

Langit malam ditemani bulan dan bintang sebagai tanda malam ini hujan tidak akan mendatangi bumi. Pikiran Jani bagaikan kaset kusut, ia tak tahu mulai dari mana letak kesalahannya sehingga ayah mengetahui kebohongan yang selama ini ia susun rapi. Apakah saat flashdisk tertinggal di ruang siaran atau memang sejak awal langkah yang ia ambil sudah salah?

Sepasang mata Jani menatap foto keluarga dalam bingkai cantik berwarna silver dengan tali di kedua sisi bagian atas menggantung pada paku yang dipalu di dinding. Foto itu diambil saat Jani masih belum ada keinginan untuk menjadi reporter dan keadaan keluarga mereka masih baik-baik saja.

"Jadi Ibu selama ini sudah tahu?!" Bentakan ayah dapat didengar oleh Jani di ruang tamu.

Saat ini Jani harus menunggu ayah dan ibu yang sedang beradu argumen di dalam kamar. Seharusnya ia menggantikan posisi ibu saat ini, tetapi karena ibu ikut andil bagian dalam menjaga rahasia Jani mau tidak mau ayah juga melampiaskan kemarahannya kepada ibu.

Jika suara ayah terus-menerus meninggi, Jani yakin keluarga Naren dapat mendengar segala permasalahan yang terjadi dalam rumah ini.

"Jelas-jelas kemauan dia itu salah! Gimana tanggapan keluarga nantinya? Terlebih Ibu dengar sendiri perihal Jani yang berjanji di depan keluarga untuk menjadi dokter. Seharusnya Ibu membantu dia jadi dokter, bukan malah sebaliknya!"

Cukup sudah. Jani muak dengan segala pembahasan tentang dirinya yang harus menjadi dokter. Dengan gusar Jani membuka pintu kamar orang tuanya yang tidak dikunci.

"Ayah seharusnya marah sama Jani, bukan sama ibu."

"Jelas. Jelas Ayah marah sama kamu Jani! Enggak hanya marah, tapi kecewa juga. Bisa-bisanya anak Ayah yang selalu dibanggakan membangkang dan membohongi Ayah secara diam-diam."

Ayah sama sekali tidak berbohong, Jani berhasil menyelami sepasang mata ayah dan ia mendapati kekecewaan yang begitu mendalam. Namun, Jani berhak mengambil langkah sesuai keinginannya, bukan dengan kemauan ayah, kakek, nenek, ataupun siapa pun. Ia berhak memilih. Ini hidupnya, bukan hidup mereka.

"Dokter bukan kemauan Jani." Jani menggeleng dengan tatapan memohon agar ayah dapat memenuhi keinginannya.

"Jelas sekali kemarin kamu bilang mau jadi dokter, sekarang apa-apaan kamu?!' bentak ayah berang.

"Kalau misalnya saat itu Jani jujur, pasti kakek sama nenek marah besar dan acara makan malam berakhir berantakan. Lebih parahnya kakek bakalan serangan jantung. Perintah Ayah, kakek, dan nenek enggak akan bisa Jani tentang. Jani tahu ini seharusnya reporter bukan masa depan yang baik menurut Ayah, tapi jalan yang Jani pilih bisa membuat Jani lebih bahagia."

Dengan getir ayah bertanya, "Kamu bahagia mengkhianati Ayah?"

Jani salah memilik kata, bukan itu yang ia maksud. Kegiatan jurnalistik walaupun membuatnya tambah sibuk, tetapi ia tidak perlu dituntut untuk mendapatkan hasil sempurna. Tidak seperti saat ia harus mengikuti kompetisi, Jani harus keluar sebagai juara.

"Ayah pasti tahu maksud Jani. Dokter bukan keinginan Jani."

Ayah menggeleng tegas. "Tidak ada pilihan lain. Dokter sudah jadi masa depan yang harus kamu capai!"

Jani menatap ayah yang memilih keluar dari rumah setelah mengucapkan kalimat final tentang masa depan yang harus ia capai.

***

Naren memilih keluar dari rumah dan tak mau lagi mendengarkan obrolan keluarganya. Pembicaraan mengenai masalah Jani dapat didengar dari rumah Naren dan menjadi topik hangat untuk keluarga mereka malam ini.

Tak lupa mengetuk pintu, Naren memasuki rumah Jani. Hawa rumah mereka malam ini sedikit berbeda. Baru beberapa langkah kakinya memasuki rumah Jani, indra pendengarannya menangkap tangisan dari kamar orang tua Jani. Sepertinya ibu Jani sedang menangis.

Jika ibu Jani melihat kehadiran Naren, dipastikan mereka akan terjebak dengan kecanggungan yang meradang. Naren lebih baik segera ke kamar Jani dengan langkah lebih hati-hati agar kehadirannya tidak diketahui.

"Pulang Ren," titah Jani melihat kehadiran Naren dari lantai dua.

Gadis itu tengah duduk di undakan tangga paling atas. Tak ada air mata yang keluar dari netranya. Jani sama sekali tak menangis, tetapi tatapan gadis itu terlihat kosong.

"Gua datang mau menghibur lu."

"Mending jadi badut Ancol aja kalau mau menghibur orang. Gua enggak butuh dihibur, Ren."

Jani hanya ingin mendengar tangisan ibunya sendirian, tanpa ditemani oleh siapa pun. Ia sadar dirinya melakukan kesalahan, maka dari itu biarkan dirinya sendiri menanggung segala kepedihan yang ibunya keluarkan melalui tangisan. Biarkan ia semakin merasa bersalah atas segala sesuatu yang terjadi.

"Lu mau cerita?" tanya Naren sembari duduk di undakan tangga yang hanya beda satu tingkatan dengan yang Jani duduki.

"Buat apa gua cerita? Lu udah dengar semuanya, 'kan? Kalau lu enggak dengar, lu bisa tanya anggota keluarga lu yang lain, Ren."

"Jangan menyalahkan diri sendiri."

Kepala Jani menggeleng lemah. "Dari awal gua udah salah, Ren. Gua sadar bahwa dari awal gua enggak punya pilihan, tapi gua malah memaksakan keadaan. Lihat sekarang? Gua bikin ibu sakit hati dan nangis."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top