Chapter 20

Saat ini Jani ingin sekali melakban mulut Naren agar tak lagi berbicara sembarangan, tetapi situasi tidak mendukung rencana busuknya. "Baik. Terima kasih atas waktu dan kesempatan untuk kami dapat mewawancarai kalian. Saya Narapati Dwi Renjani melaporkan untuk Jurnalistik."

Aldan dengan cekatan mengoperasikan kamera untuk menekan tombol shutter dan rekaman tersebut langsung tersimpan dalam memori kamera. 

"Aman. Ini nanti videonya mau lu edit sendiri atau gua kasih ke Atika?" 

"Kasih ke Atika aja. Habis ini gua ada acara, enggak bisa ngedit." 

Jani membalikkan tubuhnya untuk melihat Naren dan Aqila yang masih di tempat. Hawa canggung menyelimuti Aqila, gadis itu tampak malu mengangkat kepalanya.

"Makasih banyak kalian udah mau meluangkan waktu untuk wawancara. Next time mungkin bakalan Aldan traktir."

Mendengar namanya disebut, Aldan protes, "Lah kok gua?" 

"Enggak boleh pelit, nanti rejeki orang tua lu sempit." 

"Doanya jelek amat. Gua traktir tapi ada syaratnya, gimana? Setuju enggak?" Akal culasnya tiba-tiba saja bekerja. Aldan ingin sekali mengetahui hubungan apa yang terjalin di antara tiga orang yang ada di ruangan jurnalistik saat ini.

"Apaan dulu syaratanya?" tanya Jani berharap syarat yang berlaku tidak aneh-aneh.

"Lu bertiga ada hubungan apaan? Gua berminat nih untuk wawancara kalian." 

Biasanya Jani bertugas sebagai wartawan untuk bertanya kepada murid yang memiliki prestasi baik di bidang akademik maupun non akademik. Kali ini berbeda, Jani yang akan ditanya-tanya untuk pertama kalinya.

"Mending gua keluar duit," tolak Jani dengan tegas.

Melihat Jani yang menolak tegas, Naren membuka mulutnya. "Kenapa lu enggak mau? Lu suka memaksa orang untuk diwawancara, tetapi kenapa lu enggak mau diwawancara?" 

Pergerakan Jani yang semula merapikan peralatan di ruang jurnalistik terhenti. Ia belum bisa menebak apa keinginan Naren saat ini. Balas dendam, karena ia selalu memaksa Naren untuk melakukan wawancara atau cowok itu ingin membeberkan hubungan mereka. 

Jani menatap Naren dalam menyelami sepasang mata Naren, tetapi sedalam apa pun Jani berusaha menyelaminya, ia tak dapat menemukan apa yang diinginkan Naren. Cowok itu selalu mengambil langkah di luar dugaan siapa pun. 

"Bukan tentang hubungan di antara kita bertiga. Gua enggak mempermasalahkan jika gua mendapatkan tawaran untuk diwawancarai perihal prestasi." 

Terdengar tawa kecil keluar dari bibir Naren, namun di telinga Jani terdengar seperti meremahkan jawaban yang baru saja ia lontarkan.

"Kenapa lu keberatan cerita di depan kamera tentang hubungan kita bertiga? Bukankah kita bertiga enggak ada hubungan apa-apa?" Naren bangkit dari duduknya, tetapi sepasang matanya masih betah menatap Jani. "Jika lu dapat tawaran wawancara, gua yakin kakek lu bakalan bangga." 

Bangsat.

Kedua tangannya mengepal. Dalam hidupnya, Naren bagaikan luka dan penawar. Saat ini yang Jani khawatirkan hanya satu, Naren akan menelanjanginya hidup-hidup di hadapan Aqila dan Aldan, membeberkan segala luka batin yang pernah ia alami.

"Jani." Suara Naren lebih pelan dari sebelumnya, tetapi mampu didengar oleh mereka semua yang berada di ruang jurnalistik. "Berhenti bersikap seperti anak kecil, lu enggak capek terus-terusan menyembunyikan sesuatu hal yang enggak penting?"

Mendengar kalimat Naren, hati Jani luluh lantak di tempat. Paru-parunya terasa sesak dan oksigen di sekitar seakan-akan bekerja sama membuat Jani kesulitan bernapas. Kedua tangannya masih mengepal, menguatkan Jani untuk menghampiri Naren yang masih menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. 

Jani berjinjit, bibirnya berhadapan langsung dengan telinga Naren. "Ngaca. Ego lu yang hancur perihal dianak tirikan apa kabar, Ren?" 

Tatapan Naren berubah, kedua tangannya seketika mengepal sempurna. Sama persis seperti kedua tangan Jani saat ini. "Kalau lu enggak mau dikuliti hidup-hidup, mari kita berhenti di sini, okay? Gua enggak akan serang lu, kecuali lu mengibarkan bendera perang terlebih dahulu," ujar Jani dengan suara pelan yang hanya dapat didengar oleh Naren. 

Hanya kepada orang yang bersangkutan Jani dengan sengaja membisikkan kalimat yang mampu menyihir sorot mata Naren. Ia tak mau Aqila dan Aldan mengetahui luka Naren. Setulus itu perasaan Jani, tak mau orang lain tahu luka sedalam apa yang Naren punya hingga membangkitkan sisi terapuh Naren.

Kaki Jani mundur beberapa langkah, badannya berbalik menatap Aqila yang kebingungan. Dari raut wajah Aqila, Jani tahu bahwa gadis itu tengah menebak hubungan apa yang terjalin di antara Naren dan dirinya.

"Maaf banget kalian harus melihat bakat akting gua sama Naren, lain kali gua janji bakalan traktir sebagai uang tutup mulut, okay? Gua balik dulu." Jani pamit undur diri dan pergi meninggalkan ruang jurnalistik.

***

Acara yang Jani maksud ialah berbelanja kebutuhan untuk barbeku yang akan diadakan akhir pekan. Orang tua Jani dan orang tua Naren terbiasa membuat acara barbeku setelah anak-anak mereka menghadapi UAS sebagai ajang refreshing.

Setelah mengambil beberapa bakso dan sosis, baik sosis yang terbuat dari daging sapi maupun daging ayam, Jani beralih ke bagian seafood. Ia ingin membeli 1 kilogram udang Windu dan 1 kilogram kerang hijau. Mendapatkan apa yang ia mau Jani beralih ke lorong di mana bumbu aneka bumbu jadi dipajang. 

Ealah ketemu lagi.

Dari berbagai supermarket mengapa Jani harus bertemu sosok menyebalkan yang mengajaknya adu argumen di ruang jurnalistik? Salahnya yang memilih supermarket terdekat dari rumah.

Dua bungkus bumbu barbeku dan 1 bungkus bumbu dengan rasa lada hitam ia taruh di keranjang belanjaan yang ia tenteng. Sesegera mungkin Jani ingin pergi ke kasir dan pulang ke rumah. Naren yang menyadari kehadiran orang yang ia kenal tak membiarkan keinginan Jani terkabul, Naren segera menahan pergelangan tangan Jani sebelum pergi.

"Ada yang harus kita omongin."

Dengan susah payah Jani meloloskan pergelangan tangannya dari cekalan Naren. Tanpa suara ia memilih melangkah pergi meninggalkan Naren, namun cowok itu sama keras kepalanya dengan Jani.

"Mau sampai kapan diem-dieman? Ada yang harus kita bahas, Jani." Naren mengekori ke mana langkah kaki Jani berjalan.

Jani membalikkan badannya secara tiba-tiba membuat Naren harus berhenti secara mendadak. "Harus banget sekarang? Kita lagi di supermarket loh!" tegur Jani tak habis pikir.

Naren memandang ke sekeliling. Tidak mungkin tempat untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga dijadikan ajang adu debat. "Oke, kita cari tempat." 

"Gua lagi dapat perintah buat belanja, bukan buat ngobrol. Next time, ya!" Dengan lihai Jani mengubah alasan untuk menolak ajakan Naren dan pergi begitu saja.

Seenaknya saja cowok itu bersikap. Sudah memalukan Jani di hadapan Aqila dan Aldan, membuat lukanya lagi-lagi menganga, dan sekarang ingin mengajaknya berbicara empat mata. Enggak tahu malu apa enggak tahu diri? Jani terus merutuki nama Naren, namun tetap saja tak membuatnya lega.

"Kalau lu enggak mau ngobrol, gua antar lu pulang, gimana?" Entah Naren jelmaan jailangkung atau sahabatan dengan sejenisnya, cowok itu tiba-tiba saja berada di belakang Jani, ikut mengantre di kasir yang sama. 

Astaga dragon!

Tangan kanan Jani mengelus dadanya pelan, ia cukup kaget dengan kehadiran Naren, sehingga tangan kirinya menjatuhkan keranjang belanjaan yang ia jinjing.

"Terima kasih untuk tawarannya Narendra Prakasa Bumi, gua bisa pulang sendiri." Jani dengan sengaja menekan setiap kata yang keluar dari bibirnya agar Naren dapat memahami kalimat yang ia lontarkan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top