Chapter 2

Sepasang mata Jani menatap materi senyawa hidrokarbon dengan lesu. Tenaganya selalu terkuras habis jika sudah bertemu dengan mata pelajaran kimia.

"Kepala gua rasanya mau meledak," keluh Jani menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal.

Suara ketukan pintu dari depan kamar Jani membuat perhatiannya teralihkan. Ia menemukan sosok ibu yang tengah berdiri di daun pintu.

"Malam ini mau belajar mandiri sampai jam berapa?"

Tanpa melihat kembali materi senyawa hidrokarbon yang membuatnya gumoh, Jani menutup buku kimia. "Sekarang, Jani udah enggak kuat. Oh, iya ... ayah malam ini pulang?" Jani tak mau lagi kepergok sedang membuat teks siaran. Cukup sekali saja, jangan lagi.

"Enggak dibales pesannya dari sore. Mau nyusun teks siaran buat besok?"

Berbeda dengan ayah yang selalu menuntut Jani menjadi dokter, ibu membiarkan Jani melakukan apa saja yang disukai asalkan tak merugikan.

"Ibu tahu aja, deh. Jani takut kepergok, kemarin malam hampir aja kepergok. Untung anak Ibu pintar akting bohong."

"Bangga bohong sama orang tua?"

"Bukan begitu. Lagian ayah terlalu banyak ngatur, sampai jam segini aja masih harus belajar mandiri. Seumuran Jani biasanya nongkrong sama temen atau enggak nonton film. Jani kan juga pengin kayak temen-temen, jalanin hari tanpa perlu mikir gimana caranya tembus kedokteran."

Mendengar curhatan Jani, tangan kanannya bergerak mengelus puncak kepala sang anak. "Lain kali kalau kamu mau nongkrong sama temen bilang sama Ibu terlebih dahulu, nanti Ibu bilang ke ayah kalau kamu pergi sama Ibu."

"Kirain tadi Ibu enggak terima kalau Jani bohong ke ayah."

"Memang. Ibu tuh berharap kamu juga cerita ke ayah tentang impian kamu, siapa tahu ayah jadi sadar kalau keinginannya itu bukan jalan takdir kamu."

Sudah beribu kali Jani memikirkan saran ibu, tetapi wajah kakeknya selalu muncul. Kakek selalu membanggakan dan memanjakan Jani saat ia memiliki segudang prestasi, tak jarang sepupu Jani menjadi iri dan mengucilkannya. Prestasi itu yang membuat harapan dari kakek untuk menjadi dokter muncul di pundak Jani.

"Kenapa keluarga besar dari ayah cari pasangan yang anak kesehatan juga? "

"Mungkin karena dosisnya seimbang. Terkadang seseorang itu mencari pasangan yang sefrekuensi, biar nyambung aja gitu kalau ngobrol. Coba kalau misalnya anak akuntansi ketemu sama anak kesehatan. Anak akuntansi ngomongin kredit sama debit, tapi anak kesehatan ngobrolin trias epidemiologi. Sama-sama harus seimbang sih, cuman anak akuntansi harus seimbang biar balance pengeluaran dan pemasukan tapi kalau anak kesehatan harus seimbang biar enggak terjadi sebuah pandemi atau penyakit."

"Ibu sama ayah beda jurusan nyambung aja tuh," ujar Jani membuat ibu tersenyum.

"Terkadang, bukan semuanya. Memang ada yang kayak Ibu dan ayah, cuman kerikilnya terkadang lebih banyak."

Paham. Jani sangat memahami maksud ibu. Ia selalu menahan amarah jika kakek mengadakan acara keluarga, karena ibunya akan dijadikan sasaran sindiran halus dari saudara ayah dan kakek neneknya.

"Ibu enggak capek senyum seperti logo Kumon kalau disindir keluarga besar dari ayah?" Mendengar persamaan yang dibuat Jani, ibu terkekeh kecil.

"Perjalanan Ibu sama ayah sampai sini itu menandai bahwa hubungan yang sudah dibangun enggak bakalan mudah dihancurkan begitu saja hanya dengan sindiran dan omongan buruk."

Ibu melirik jam kecil berbentuk kepala Doraemon di atas meja belajar. "Udah malam, teks siaran udah jadi?"

"Belum, keasikan ngobrol jadi lupa. Jani nyusun teks siaran di rumah Naren aja deh, takut kepergok ayah."

"Jangan sampai tengah malam, apalagi nginep di sana. Kalau ayah tiba-tiba pulang terus diinterogasi ayah kenapa pulang dari rumah Naren ... kamu bakalan jawab apa?"

Senyum licik terpancar di bibir Jani. "Habis belajar bareng sama Mahen dan Naren."

Ibu geleng-geleng kepala mendengar alasan Jani. "Pintar banget cari alasannya."

Entah pujian atau sindiran, Jani terkekeh kecil. "Ajaran Ibu, 'kan?"

***

Kamar Naren didominasi warna abu-abu tua, tanpa ada lukisan yang membuat kamar terlihat menjadi lebih hidup. Bahkan piala, medali, dan piagam kejuaraan yang dimenangkan Naren tidak ada di kamarnya. Sebagian ditaruh di sekolah dan sebagian lagi berada dalam satu ruangan dengan piala, medali, dan piagam yang dimenangkan Mahen. Karena terlalu banyak, orang tua mereka membuat ruangan khusus untuk memajang hasil kemenangan mereka.

"Ren pinjam laptop dong," pinta Jani langsung mengambil laptop berwarna silver di atas meja belajar tanpa mendengar persetujuan Naren.

"Bikin teks siaran?" Bagi Jani, laptop Naren sudah seperti komputer di WarNet sejak ia mengikuti ekskul jurnalistik.

"Semalam hampir ketahuan ayah."

"Jangan gitu lagi," pinta Naren tiba-tiba.

"Maksudnya ... jangan sampai hampir ketahuan ayah?" tanya Jani bingung.

"Jangan obral diri di siaran." Singkat dan padat namun jelas. Larangan Naren membuat Jani melebarkan kedua sudut bibirnya. Jani merasa senang, karena mengira Naren cemburu.

"Cabai aja harganya melonjak, masa lu ngobral sih?" lanjut Naren menjatuhkan hati Jani yang baru saja ia lambungkan.

Kurang ajar

***

Ruangan dengan ukuran empat kali empat meter dipenuhi anggota jurnalistik inti yang diminta untuk rapat dadakan setelah pulang sekolah.

"Sebelum gua mulai rapat kali ini, gua mau mengucapkan terima kasih untuk kalian yang sudah menyempatkan waktu untuk hadir walaupun rapat ini diadakan secara mendadak kayak tahu bulat. Gua baru aja dapat kabar kalau program kerja siaran radio akan diambil alih oleh OSIS."

"Ketua apa salah satu anggota OSIS yang minta?" tanya Jani merasa daerah teritorialnya diganggu.

"Gua tahu lu mau berubah jadi hulk, tapi mesti tenang dulu. Kenapa mereka mau ambil alih? Awal mulanya program siaran radio memang milik OSIS, tetapi mati. Enggak ada yang menjalankan, akhirnya jurnalistik mengambil alih saat Renjani mengusulkan inovasi."

Penjelasan dari Daffa sebagai ketua jurnalistik mental di telinganya, Jani sudah mengetahui sejarah itu. "Kak Abraham sebagai ketua jurnalistik sebelumnya sudah meminta persetujuan yang ditandatangani oleh ketua OSIS sebelum angkatan kita dan wakil kesiswaan."

"Gua tahu Jani sayang. Masalahnya ketua OSIS saat ini punya hubungan dengan wakil kesiswaan yang menjabat tahun ini, maka dari itu program kerja yang lu jalankan mau diambil alih." Bukan hanya Jani, Daffa juga kesal tetapi dirinya tak mau maju sendiri. Jika perlawanannya dalam mempertahankan siaran radio berakhir buruk, namanya menjadi tercoreng.

"Terus lu mau pasrah gitu aja?" tanya Atika.

"Gua ngumpulin kalian di sini untuk mencari jalan keluarnya bersama, karena gua enggak menemukan jalan keluarnya."

Bukan karena Daffa tak menemukan, tetapi ia tak berani mengambil risiko. Dirinya tak mau jatuh sendirian atau bahkan kalau bisa bukan dirinyalah yang maju untuk mempertahankan program kerja siaran radio.

"Gua udah nemu jalan keluarnya." Jani tersenyum culas, ia tiba-tiba mendapatkan ide cemerlang untuk menggagalkan rencana OSIS. "Kali ini kita enggak bakalan adu mekanik, cukup adu nasib. Besok kita lihat, ekskul siapa yang akan mendapatkan simpatik."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top