Chapter 18
Hanya saat pekan ujian Jani bisa merasakan sumpeknya kondisi kantin saat istirahat di jam pertama. Memasuki pekan ujian, seluruh kegiatan ekstrakurikuler di non aktifkan dan itu menjadi salah satu keuntungan Jani untuk dapat bersosialisasi secara langsung tanpa terhalang ruang siaran radio.
"Mau makan apa lu?" tanya Rania menggeser pantatnya agar Jani dapat duduk di sampingnya. Jemarinya bersiap mengetik pesanan Jani di ponsel untuk mengirimkan pesannya kepada Atika yang tengah mengantre.
"Mau nasi hokben sama jus alpukat. Lapar banget, butuh nasi gua." Mengerjakan soal bahasa Indonesia yang hampir keseluruhan soalnya diisi dengan soal cerita membuat otak Jani harus bekerja ekstra.
"Mana habis ini matematika lagi. Mau musnah aja gua rasanya," keluh Sakha mengelus perutnya dengan wajah lesu, menanti semangkok mie ayam untuk mengisi kembali energinya yang habis.
Rania geleng-geleng kepala melihat ekspresi Sakha. "Kalau enggak suka matematika, kenapa masuk IPA?" Menurut Rania, Sakha merupakan cowok yang memiliki kepribadian tidak bepikir panjang, suka membual, dan mengambil keputusan seenaknya sendiri. Sikap itu yang membuat Rania menolak Sakha saat cowok itu menyatakan perasaannya dan mengajak ia jadian.
"Mau jadi dokter, biar bisa sembuhin hati gua sendiri. Jani hati gua hancur berkeping-keping," adu Sakha dengan wajah sengsara.
Dengan malas Jani menatap Sakha. Ia lelah mendengar keluhan sahabatnya itu. "Kalau hati lu hancur berkeping-keping, nanti urine lu nasibnya gimana? Amonia enggak bisa berubah jadi urea kalau hati enggak berfungsi dengan baik."
"Gua yang ngeluh, kok gua yang capek ya ngadepin lu, Jan?" tanya Sakha geleng-geleng kepala.
"Jani," panggil Rania membuat yang dipanggil menoleh. "Mau bantuin gua enggak?"
Dengan heran Jani bertanya, "Gua? Emang lu kenapa?"
Kepala Rania menggeleng pelan. "Bukan gua, tapi kita. Gua, Sakha, Atika, dan Daffa."
Sepasang mata Jani memicing, ia sudah paham ke mana arah pembicaraan mereka. Jani memberikan kode agar Rani menjelaskan maksudnya.
"Bantuin kita buat UTS kali ini. Soal bahasa Indonesia aja udah bikin gua sakit kepala, gimana soal-soal yang lainnya?"
Setiap ada ujian baik itu tengah semester maupun akhir semester Rania selalu meminta Jani untuk membantunya, tetapi Jani menolak. Hanya sekali Jani menerima ajakan tersebut, karena ia berpikir persiapan ujian kali ini tidak lagi ditemani sepi. Memang tak lagi ditemani sepi, namun selama mereka berkumpul bukan untuk belajar bersama, tetapi untuk bercanda, membicarakan keburukan orang lain, dan bermain.
"Bantu kalian dengan apa? Ngajarin kalian? Belajar bareng? Atau bercanda bersama?" Jani sebenarnya tidak pelit untuk berbagi ilmu, namun jika akhirnya hanya buang-buang waktu, nilainya bisa dalam bahaya.
"Lu mah ingat kejadian itu mulu. Lu kan baru sekali Jan ikut kita belajar bareng." Rania masih berusaha membujuk Jani agar sahabatnya itu mau mengajarinya.
"Karena itu makanya gua cukup datang sekali, Rania. Maaf banget bukannya gua pelit, tapi gua enggak bisa mengorbankan waktu gua yang berharga. Menurut gua, untuk saat ini ada yang lebih penting daripada menghabiskan waktu bareng teman, baik itu belajar bersama, nongkrong bareng, atau sekadar ngobrol bareng di luar area sekolah." Jani berharap Rania cukup memahami kalimatnya.
"Dari dulu gua cuman minta tolong ajarin, bukan minta contekan, Jan. Pelit banget punya sahabat!" Seperti anak kecil yang tidak dituruti keinginannya, Rania memilih pergi setelah mengucapkan kalimat yang membuat Sakha tertegun.
Atika dan Daffa baru saja tiba dengan membawa pesanan mereka.
"Rania mau ke mana?" tanya Atika bingung saat, dari jauh Atika sempat melihat Rania yang pergi keluar dari area kantin.
Bukannya menjawab pertanyaan Atika, Jani menatap Sakha dengan serius. "Ini yang buat gua capek ngadepin curhatan lu tentang dia. Dia enggak sebaik yang lu kira dan gua berharap dia enggak seburuk yang gua pikirkan."
Sebenarnya Rania baik, hanya saja gadis itu terkadang menyebalkan. Seperti anak kecil. Setiap kemauannya harus dituruti, sedangkan Jani yang terbiasa dididik sesuai kemauan orang tuanya dengan tegas tak biasa mengimbangi kebiasaan Rania.
"Kalian lagi bahas apa sih?" tanya Daffa ingin tahu karena ia tak memahami ke mana arah pembicaraan Jani dan Sakha saat ini.
"Pulang sekolah kita harus obrolin tentang ini, Jani." Permintaan Sakha langsung Jani tolak di tempat, ia harus menyiapkan ujian untuk esok hari.
"Oke kalau lu enggak bisa, gua samperin ke rumah lu."
Jani meminum jus alpukatnya sembari mengedikkan kedua bahunya tak peduli. Ia yakin itu hanya ancaman belaka yang keluar dari mulut Sakha, cowok itu tak akan sampai di depan rumahnya karena yang mengetahui posisi rumahnya hanya Daffa dan teman-teman Naren.
"Emang lu tahu rumah Jani di mana?" tanya Atika ingin tahu.
"Kalian enggak ada yang tahu?" tanya Sakha menatap Daffa dan Atika secara bergantian.
Atika menggeleng, sedangkan Daffa mengedikkan kedua bahunya tak mau ikut campur urusan Sakha dan Jani.
"Sahabatan macam apa sih kita? Rumah sahabat sendiri enggak ada yang tahu?!" geram Sakha membuat Jani bersorak gembira dalam hati.
***
Sudah berulang kali kepalanya ia benturkan di atas meja belajar. Jani membenci situasi saat ini, adegan sepulang sekolah masih membekas dalam ingatannya. Dengan keadaan sadar Jani melihat Naren membonceng Aqila dan adegan itu membuat murid-murid SMA Nusa Pelita yang sedang berada di lokasi yang sama seketika geger.
"Ah! Bisa musnah aja enggak sih lu?! Kalau enggak bisa dimiliki, tolong jangan bikin gua frustasi." Dadanya kembang kempis, Jani dikuasai perasaan cemburu.
Tangan kanannya mengacak-acak rambut hitamnya, sosok Naren benar-benar membuat Jani berantakan.
"Lebih baik gua mandi, mendinginkan kepala. Daripada bisa gila."
Baru saja ingin mengambil baju dari lemari, pintu kamarnya diketuk tiga kali dari luar.
"Mau mandi atau makan dulu?" Ibu baru saja selesai menyiapkan hidangan untuk mereka makan bersama.
"Mandi dulu, Bu. Kepala Jani rasanya mau pecah, capek banget."
"Ujiannya tadi susah banget?" tanya ibu dengan nada khawatir.
Jani mengangguk lesu, dua mata pelajaran hari ini sangat menyulitkan hidup Jani. Pikirannya tak hanya lelah memikirkan tentang hasil kedua ujian hari ini, namun juga memikirkan tentang Rania yang marah kepadanya dan Naren yang membuatnya cemburu.
"Ya sudah mandi dulu. Habis mandi langsung ke bawah buat makan ya? Biar ada tenaga lagi atau mau makannya Ibu bawa ke kamar?"
"Enggak usah. Nanti Jani langsung turun aja kalau udah selesai mandi."
Ibu mengangguk paham, dengan sedikit berjinjit ibu berhasil mengelus puncak kepala Jani. Jani memang lebih tinggi daripada sang ibu, entah hanya Jani atau hampir kebanyakan remaja saat ini memang memiliki tubuh lebih tinggi daripada tinggi orang tua masing-masing.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top