Chapter 15

Kaget. Kata itu merangkum semua ekspresi wajah Jani saat ini. Sepasang bola mata yang melotot menatap Alisa dan Aqila bergantian. Jani masih ingin berpikir bahwa hubungan Alisa dan Aqila hanya sebatas sahabat, namun banyak kemiripan terletak di wajah mereka.

"Kalian saudara kandung?" tebak Jani sedikit terbata karena masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya sangat jahat, membiarkan Alisa membacakan mention confess tentang kakaknya sendiri. Pantas saja gadis itu sempat terkejut saat di ruang siaran.

Alisa dan Aqila menganggukkan kepalanya serentak membuat mereka semakin terlihat mirip di mata Jani. Mereka bukan anak kembar, tetapi perbedaan mereka bisa dihitung jari. Selain warna bola mata dan warna rambut mereka terlihat sedikit berbeda di mata Jani.

"Kaget banget, kayak enggak pernah lihat orang punya saudara," saut Sakha membuat Jani menghentikan kekonyolannya, termasuk mengondisikan raut wajahnya sendiri. 

Cowok yang kepalanya baru berciuman dengan bola basket itu sengaja menghentikan kekonyolan Jani setelah puas mengabadikan ekspresi Jani dalam galeri ponselnya.

"Diem deh lu, gua ambil lagi nih nasi gorengnya," ancam Jani memberikan nasi goreng yang dibungkus dengan kotak styrofoam. "Jangan lupa foto gua harus lu hapus, kalau enggak minumnya gua tahan. Mampus biar seret!"

Sakha merutuki dirinya sendiri, kok bisa-bisanya ia ketahuan oleh Jani. "Kok lu sadar sih?"

"Mata gua masih lengkap dan berfungsi normal, enggak buta!" Mendengar jawaban Jani, Sakha langsung menutup mulutnya untuk beradu debat dengan Jani, ia lebih memilih menikmati nasi goreng.

"Kalian pacaran?" tanya Aqila basa-basi.

"Enggak." Jani melirik Naren ingin mengetahui ekspresi saat ia dekat dengan cowok lain. Sayang seribu sayang, cowok itu dengan santai rebahan di atas ranjang dengan mata terpejam namun dalam diam ia mendengarkan segala obrolan Jani dan Sakha.

"Ngomong-ngomong, gua bisa minta tolong enggak Qil?" tanya Jani melanjutkan kalimatnya yang sebelumnya menggantung.

Aqila memilih mengangguk, karena mulutnya masih harus mengunyah bubur ayam dan kerupuk. 

"Jurnalistik ada program kerja untuk mewawancarai siswa dan siswi berprestasi, baik setelah menang lomba ataupun saat kalian mempersiapkan untuk mengikuti lomba tersebut. Lu sama Naren gua dengar-dengar lagi menyiapkan lomba, berkena gua wawancara?" Sepanjang jalan dari kantin ke UKS, Jani sudah memikirkan alternatif lain jika Naren masih menolak tawarannya.

"Boleh banget. Gua sih mau banget, apalagi pas lihat wawancara kalian yang udah diposting." Terlihat rona kebahagian di wajah Aqila saat mendapatkan tawaran wawancara langsung dari Jani. 

Hasil wawancara mereka memang sudah diposting dan memiliki banyak penonton karena untuk pertama kalinya Naren mau diwawancarai. 

Tak hanya Aqila yang bahagia, Jani juga ikut bahagia mendapat lampu hijau dari Aqila untuk melakukan wawancara. Tinggal Naren, apakah cowok itu merubah keputusannya atau tidak. "Wawancaranya berdua, Naren setuju atau enggak?" tanya Jani ingin memastikan.

"Enggak, gua harus mempersiapkan ujian. Kalian mau ujian dengan tangan kosong?" Naren masih ngotot mempertahankan keputusannya.

"Wawancara enggak menghabiskan waktu satu minggu." Jani masih berusaha membujuk Naren supaya cowok itu bisa luluh dan merubah keputasannya.

"Gua bilang enggak ya enggak!" Suara Naren tanpa sadar meninggi, seluruh manusia yang berada di ruang UKS terkejut, tak terkecuali dengan Alisa dan Sakha yang sedari tadi mendengarkan obrolan mereka.

"Aqila enggak mungkin gua wawancara sendiri, ini lomba lu berdua Ren." 

Pergerakan Naren yang semula berbaring menjadi duduk membuat Jani sedikit waspada, takut cowok itu mengamuk walaupun sepertinya tidak mungkin karena Naren yang Jani kenal selama ini jarang terbawa emosi. 

Dengan tajam Naren menatap sepasang mata Jani. "Kalau gitu batalin aja wawancaranya, beres kan?" 

"Gimana kalau habis ujian kita wawancara? Permasalahan di sini kan karena Naren merasa ujian lebih penting daripada wawancara, jadi enggak masalah kalau wawancara bakalan tetap diadakan asal setelah wawancara, 'kan?" usul Aqila tak ingin kehilangan kesempatan satu frame dengan Naren.

Jani menghela napas pasrah, jika sudah begini ia harus menjilat Daffa agar cowok itu luluh dan mau meringankan tugasnya.

"Daripada ngemis sama orang dingin enggak punya hati, mending makan berdua sama gua, Jan." Ajakan Sakha mampu membuat seluruh pasang mata yang ada di ruang UKS menatap ke arahnya dengan tatapan bermacam-macam. 

"Gua tahu gua ganteng, enggak usah ditatap gitu juga dong. Jadi salah tingkah gua." Wajah Sakha seperti tanpa dosa yang sudah pasti membuat Naren ingin memberikannya oleh-oleh bogeman mentah di wajah cowok itu.

Bertemu dengan Sakha membuat Naren sadar, cowok yang tertarik dengan Jani tak hanya Mahen dan itu membuat posisinya berbahaya. Sangat berbahaya.

"Bayi gede lu bisa suruh diam enggak?!" perintah Naren namun tak dapat menyiutkan emosi Sakha yang membara karena melihat Jani yang mengemis meminta tolong agar mereka berdua mau diwawancara.

Naren yang merasa ditatap tajam oleh Sakha membalas tatapan tersebut dengan tetapan dingin. Ia tak takut dengan Sakha.

"Sakha udah deh, kepala lu butuh istirahat. Mending turu," titah Jani tak ingin membuat keributan lagi. Hari ini sudah cukup berat baginya.

***

Semalam Jani sudah membuat janji dengan Daffa untuk dapat bertemu pagi ini. Mereka ingin mencari pengganti karena sudah dipastikan wawancara untuk Aqila dan Naren akan dilakukan setelah mereka ujian, sedangkan.

"Jadi gimana?" tanya Daffa saat mereka sudah duduk berhadapan di ruang jurnalistik. 

Wajah Jani semakin murung, ia sudah pusing dengan jadwal yang padat merayap tetapi ia juga harus mencari alternatif sebagai pengganti Aqila dan Naren.

 "Enggak tahu gua. Udah capek bujuk Naren, dia enggak mau." Membujuk Naren itu lebih susah daripada menyuapi anak kecil yang tidak memiliki nafsu makan, karena Naren memiliki pendirian kuat, keputusannya tak mudah untuk diganggu gugat.

"Kalau gitu cari pengganti aja untuk wawancara murid berprestasi." 

"Siapa?" 

"Maga Shaquile anak IPA 3. Seingat gua dia ikut lomba renang." 

Baru pertama kali Jani akan mewawancarai siswi yang mengikuti lomba non akademi, semoga saja wawancara kali ini tidak berlangsung dengan drama seperti wawancara bersama Naren saat di kafe.

"Boleh. Maga ini sekadar saran yang lu kasih atau lu udah buka omongan sama dia untuk mau diwawancara?" Jika Daffa belum membuka obrolan dengan Maga sudah dipastikan tugas Jani bertambah, karena ia harus menyisihkan waktunya untuk membujuk Maga.

"Saran doang. Gua mana ada waktu."

Jani merasa kesal mendengar kalimat Daffa yang keluar secara spontan. "Lu pikir gua ada waktu? Lu pikir gua wawancara anak berprestasi karena enggak ada kerjaan?" tanya Jani dengan senyum miring. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top