Chapter 1

Rumah sudah sepi sejak satu setengah jam yang lalu. Jani memeriksa setiap ruangan di rumah terutama ruangan di lantai satu untuk memastikan ayah belum pulang dan ibu sudah tertidur. Merasa aman setelah melihat ibu sudah tertidur pulas, Jani mengendap kembali ke kamar yang berada di lantai dua.

Jani membereskan beberapa buku mata pelajaran Biologi, ia baru saja selesai belajar mandiri. Lelah dan merindukan kasur, tetapi Jani memaksakan diri untuk membuka laptop dan mencari referensi untuk menyusun teks siaran.

Sudah kurang lebih satu tahun Jani menjadi penyiar radio di sekolah setiap jam istirahat. Sedikit merepotkan dan melelahkan karena jam istirahat yang seharusnya mengobrol dengan teman, mengisi cacing beranak pinak di perut, dan bercanda di kantin akan ditemani microphone, headphone, komputer, dan perangkat lainnya saat di ruang siaran yang berukuran tiga kali tiga meter. Jani memang merasa program kerja siaran sedikit kelelahan dan merepotkan, tapi Jani menikmatinya.

Tangan kanannya dengan lincah menggerakkan mouse yang terpaut ke laptop, mencari referensi yang ia butuhkan mengenai love language. Jani akan memberikan informasi mengenai love language saat siaran radio esok hari.

Sedang asik menyusun teks siaran untuk esok, sepasang telinga Jani mendengar deru mesin mobil. Jani kira ayah sedang melakukan operasi terhadap pasiennya, maka dari itu ayah tak pulang. Ternyata dugaannya salah.

Secepat kilat Jani menyimpan teks siaran yang belum rampung di flashdisk dan menghapus riwayat pencarian di laptopnya. Jani tak ingin ayah sampai mengetahui ia diam-diam membangkang dengan mengikuti ekskul jurnalistik.

Entah sejak kapan ayah sudah masuk ke dalam rumah, tetapi Jani dapat merasakan langkah kaki ayah yang berada di lantai satu sedang menuju tangga untuk pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua.

Dengan tergesa Jani mematikan laptop dan mengambil kembali buku mata pelajaran Biologi yang tadi ia bereskan, membuka di sembarang halaman.

Tangan kanan Jani mengelus dadanya pelan, menenangkan degup jantung yang ritmenya semakin cepat. Tepat ayah membuka pintu kamar Jani, senyuman tipis Jani hadir melihat keberadaan ayah yang memakai kemeja biru laut dengan kancing pertama terlepas dan celana bahan berwarna hitam.

"Masih belajar aja, enggak capek?" tanya ayah terdengar sangat tulus di telinga Jani, tetapi Jani tak yakin jika Jani membangkang apakah nada tulus itu masih dapat Jani dengar?

Jani mengangguk pelan. "Sedikit capek. Habis ini Jani langsung tidur. Ayah baru pulang? Jani kira ayah lagi nanganin pasien operasi."

"Walaupun kedokteran susah digapai, tetap jangan lupa untuk jaga kesehatan. Ibu enggak kasih tahu kalau Ayah ada acara makan malam sama teman?"

Jani menggeleng pelan, bukan karena ibu tak memberi info ayah sedang makan malam, tapi Jani tak bertanya karena ibu sudah tidur sebelum Jani menyelesaikan jam pembelajaran mandiri.

"Tidur gih, besok malam dilanjut. Ini sudah dini hari, nanti susah dibangunin bisa telat ujung-ujungnya."

Perintah ayah segera Jani patuhi. Setelah merapikan buku Biologi, Jani naik ke atas kasur dan ayah keluar dari kamar. Setelah tiga menit Jani rasa ayah berada di pantai satu, ia turun dari kasur dan menyalakan kembali laptopnya. Ia harus menyelesaikan teks siaran sekarang.

***

Sepertinya ayah sangat berbakat menjadi peramal. Sesuai dugaan ayah, Jani kesiangan dan terpaksa melewatkan sarapan.

"Beneran enggak sarapan?" tanya ibu bersiap memindahkan nasi goreng ke dalam kotak bekal.

"Enggak usah, Bu. Jani udah telat!" Jani mengambil sepatu di rak dan memakainya asal dengan menginjak bagian belakang sepatu.

Saat ingin berlari ke depan komplek untuk mencari angkutan umum, Jani dihadang oleh Mahen. Entah sejak kapan cowok itu menunggu Jani di depan pagar.

"Lu belum sarapan, 'kan? Bekal gua buat lu aja. Udah mepet nih, cepetan naik. Nanti gua antar sampai sekolah." Mahen memberikan kotak bekalnya dan helm bogor berwarna hitam.

"Lu emang enggak bakalan telat kalau nganter gua dulu?" tanya Jani ragu mengambil helm Mahen.

"Telat kalau lu ngajak gua ngobrol. Buru naik, gua tinggal nih!" Tanpa ragu lagi Jani mengambil helm yang disodorkan Mahen dan langsung naik ke atas motor.

Mahen dan Naren merupakan saudara kembar yang tinggal tepat di sebelah rumah Jani. Mereka bertiga seperti tiga sekawan yang selalu lengket seperti prangko, tetapi sejak SMP hubungan Naren dan Mahen merenggang membuat Jani ragu dalam mengambil sikap di antara keduanya.

Saudara kembar dengan kecerdasan di luar nalar membuat Mahen dan Naren saling berkompetisi. Saat SD kecerdasan Mahen sangat diasah, ia selalu membawa pulang piala perlombaan di tingkat nasional, baik bidang akademis maupun non akademis. Naren merasa tertinggal, apalagi saat Mahen diterima di SMAN 28 Jakarta, salah satu SMA negeri unggulan.

"Makasih Hen udah dianterin. Nih helmnya, hati-hati bawa motornya ya!" Setelah menyerahkan helm bogo berwarna hitam yang Jani pakai untuk menghindari tilangan polisi. Mahen melajukan motornya cepat, takut bila ia terlambat datang ke sekolah.

***


Setelah setiap perangkat siap, Jani memakai headphone dan menyesuaikan microphone di depan bibir agar suara Jani dapat terdengar ke penjuru sekolah dengan jelas.

"Selamat hari Selasa teman-teman seperjuangan, yang baru saja dijemur di lapangan. Pasti kalian telat lagi, 'kan?" Jani terkekeh kecil mendengar kalimat pembukanya yang menyindir.

Pagi tadi ia hampir saja telat, jika ia telat sudah dipastikan dirinya akan telat juga untuk memulai siaran. Murid-murid yang terlambat akan dijemur di lapangan dan baru boleh masuk ke dalam kelas saat jam istirahat pertama. Biasanya akan ada hukuman tambahan seperti membersihkan toilet atau gudang tergantung hukuman yang diberikan oleh guru piket.

Saat menyusun teks siaran, Jani juga memilih pesan yang akan ia bacakan untuk hari ini. Pesan tersebut berisi mention confess yang sudah diisi oleh teman-teman yang berniat menyatakan perasaan, permintaan maaf, mengajak kencan, ataupun pesan yang ingin mereka sampaikan tetapi tak berani bila ada nama pengirimnya. Pesan tersebut ditampung melalui google form dengan format nama pengirim yang bersifat opsional, nama penerima, dan isi pesan yang ingin disampaikan.

"Pesan pertama untuk hari ini datang dari anonim dan tertuju kepada Narendra Prakasa Bumi dari kelas XI IPA 1 ... dari awal kita sekelas aku udah tertarik sama kamu, semakin lama perasaan ini semakin membuncah. Semoga kita bisa ada projek lomba lagi tahun ini, biar kita bisa sering bertemu dan ngobrol berdua."

Satu kata dari Jani, manis. Cewek yang menyampaikan pesan kepada Naren kali ini tipe cewek pemalu yang berharap bahwa takdir akan membantu mereka untuk bersatu.

"Wah, pesan kali ini ternyata datang dari teman sekelas dan sepertinya mereka sudah pernah dekat melalui projek lomba. Semoga kalian memiliki kesempatan untuk ada projek lomba bersama, ya!"

Dalam mimpi saja! Menyukai seseorang yang terkenal memang merepotkan, tetapi Jani tak bisa berhenti menyukai Naren. Kehidupan Jani sudah berpusat kepada Naren, hanya dengan Naren sikap manja, cerewet, dan suka mengeluh keluar dengan bebas. Jika Naren bersama cewek lain, tentu Jani akan kehilangan rumahnya, tempatnya untuk berkeluh kesah.

"Sebelum gua kasih informasi menarik tentang love language. Gua ada satu lagu dari Taylor Swift, Enchanted. Selamat menikmati waktu istirahat kalian, guys!"

Tepat saat musik mengalun, Jani menikmati bekal yang diberikan Mahen. Ada sandwich telur dan dua onigiri tuna mayones yang akan memuaskan cacing-cacing di perutnya.

Dalam waktu kurang lebih lima menit Jani berhasil menelan bekal makanannya. Tanpa sadar Jani mengelus perutnya, ia sangat menikmati bekal kali ini.

"Sesuai kalimat gua sebelum lagu Taylor Swift mengalun di telinga kalian ... gua bakalan kasih informasi tentang love language atau bahasa cinta untuk memperkuat ikatan cinta buat yang punya pasangan. Kalau enggak punya pasangan, bisa dong kenalan sama gua biar sama-sama punya pasangan." Tanpa sadar bibirnya mengulum senyum membayangkan bagaimana reaksi Naren saat mendengar siarannya kali ini, apakah cowok itu cemburu saat ia secara terang-terangan mengajak cowok berkenalan melalui siaran radio?

"Jadi ada lima bahasa cinta, guys. Siapa di sini yang suka dengar kata cinta dari pasangan? Atau kalimat pengakuan bahwa pasangan sangat menghargai usaha kalian? Kalau kalian menyukai hal seperti yang gua sebutkan, berarti bahasa cinta kalian itu kata-kata penegasan. Selanjutnya ada waktu berkualitas, bahasa cinta kali ini bisa diisi bersama pasangan dengan membicarakan masa depan yang ingin kalian bangun bersama atau sekedar berkomunikasi tentang hari yang sudah kalian jalani."

Jani melirik jam tangan yang berada di pergelangan tangan kirinya, waktu istirahat sudah berjalan kurang lebih 10 menit.

"Bahasa cinta yang ketiga ada menerima hadiah. Wajar pasangan memberikan atau meminta sebuah hadiah, tetapi bukan berarti matre. Tidak perlu yang berlebihan, cukup sesuatu yang terlihat kecil, tapi dapat memberikan sesuatu yang bermakna. Untuk bahasa cinta yang keempat ada tindakan melayani, bukan berarti jadi upik abu ya guys. Kalian bisa membantu pasangan saat kesibukan kalian sudah selesai seperti memasakkan makanan, membantu memecahkan soal yang sulit dipecahkan, atau mengantar pasangan pulang ke rumah.

Iri. Jani ingin dibonceng Naren, sayangnya mereka sudah memiliki kesepakatan akan seperti orang asing jika berada di sekolah. Naren tidak ingin kejadian di SMP terulang kembali, di mana Jani sering dirundung karena memiliki hubungan dekat dengannya.

"Kalau gua pribadi sih pengin banget di antar pulang, kayak Milea yang diantar Dilan naik motor sampai depan rumah."

Sisa waktu istirahat kurang lebih 5 menit lagi, Jani yakin masih cukup untuk membacakan mention confess dan memutar satu lagu sebagai penutup siaran hari ini.

"Bahasa cinta yang terakhir ada sentuhan fisik. Buat teman-teman yang punya pasangan harap melakukan sentuhan fisik sewajarnya dan tahu tempat ya, guys! Jangan pelukan di depan ruang BK, sama aja kalian menyerahkan diri kalian ke kandang macan." Jani tak bermaksud menyamakan guru BK seperti macan, walaupun memang sama-sama mengerikan.

"Sebelum gua akhiri siaran hari ini dengan sebuah lagu, gua bakalan membacakan satu pesan rahasia lagi nihh. Pesan dari Atika Tsabita dari XI IPA 5 untuk Sakha Ibadil Kiram dengan kelas yang sama ...." Jani menahan tawa sebisa mungkin untuk tak meledakkannya di tempat, bisa-bisa ia ditegur guru tata usaha, tetapi setiap ia membaca pesan Atika tentang kelakuan Sakha, Jani pasti akan meledakkan tawanya, kelakuan kedua sahabatnya itu bagaikan anjing dan kucing, ada saja bahan pertengkaran.

Sering mendengar celotehan Atika, Jani berusaha menyampaikan pesan dengan menirukan nada dan suara Atika. "Kha demi hewan peliharaan Patrick, kalau lu nunggak uang kas setahun lagi gua jamin bokap lu yang bakal gua tagih dan lu siap-siap hengkang dari rumah tercinta. Pilih mana? Jadi gelandangan di masa depan atau bayar uang kas sekarang?!"

Jani yakin saat ini Sakha sedang mencari tempat persembunyian yang paling aman agar batang hidungnya tidak terlihat oleh Atika.

"Sakha jangan lupa bayar uang kas, ya! Cepat banget ya jam istirahat kita usai, siaran hari ini mau gua tutup. Jangan lupa buat kalian yang mau ungkapin perasaan, curahan hati, atau apa pun itu bisa banget isi link google from yang ada di bio Instagram kita, ya! Siaran hari ini akan gua tutup dengan Andra Day, Rise Up. See you tomorrow, guys!"

Sebelum lagu diputar habis, Jani memperbarui link google form yang akan ditaruh di bio Instagram untuk menampung mention confess. Pesan yang ditampung dalam semalam bisa sampai ratusan, tetapi Jani hanya mampu membacakan dua pesan, pesan yang lain akan dipasang di story Instagram.

***

Langkah kakinya memasuki rumah minimalis melalui pintu kaca. Pintu rumah Naren dan Mahen menggunakan kaca agar terlihat lebih modern. Dari dalam rumah sengaja di pasang teralis dan gorden berwarna abu-abu muda agar lebih aman.

Jani menuju dapur, terletak di lantai satu dekat ruang makan. Dari ruang makan, sepasang matanya menemukan sosok Naren menyiapkan makan malam. Cukup dengan melihat keberadaan Naren dari dekat Jani merasa bahagia, perlahan kedua sudut bibirnya melengkung ke atas.

Merasa ada yang memperhatikan gerak-geriknya, Naren menoleh menatap Jani memegang kotak bekal milik Mahen.

"Eh, Ren ... Mahen ada?" Gugup menyelimuti Jani, padahal sudah bersahabat dari orok, tetapi Jani masih suka grogi jika Naren tiba-tiba menatapnya.

"Dia di kamar." Mau ngapain?

Ingin bertanya, tetapi rasa cemburu Naren lebih besar. Ia memilih untuk menjawab pertanyaan Jani saja.

"Oh, baru pulang?"

Mengapa jadi QnA mengenai Mahen?

"Enggak tahu, tanya aja sendiri." Naren mengedikkan kedua bahunya dan kembali sibuk dengan masakannya. Berusaha untuk tak acuh, padahal ia sangat kepo.

"Tadi pagi gua hampir telat, enggak sengaja ketemu Mahen di depan rumah. Mahen antar gua ke sekolah sekalian kasih bekal. Gua mau balikin tempat bekalnya ... di dalam ada udang asam manis, tadi ibu buat kebanyakan." Sudah biasa Jani menerangkan tanpa ditanya, ia tahu jika sikap Naren tiba-tiba dingin dan acuh tanda gebetannya sedang kesal.

"Taruh aja di atas meja makan. Titip salam dan ucapan terima kasih dari gua."

Jani menurut, menaruh tempat bekal yang berisi udang asam manis di atas meja makan. "Ren gua pamit pulang, ya!"

"Baru datang udah balik aja. Besok mau gua bawain bekal sama sekalian antar ke sekolah lagi enggak?" Aroma mentol segar bercampura lemon menyelimuti lantai satu. Mahen baru saja selesai mandi, rambut dengan potongan bowl cut terlihat basah.

Pesona Mahen bertambah dua kali lipat dari biasanya, sayang hati dan mata Jani sudah terpikat oleh pesona Naren.

"Sok banget mau ngasih bekal, yang bikin aja gua!" saut Naren kesal sendiri mendengar tawaran Mahen dari dapur.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top