{ 8 | r a i n }
Prompt 8:
Cari arti namamu dan jadikan itu tema hari ini.
── * ‹ ° . ☾ . ° › * ──
Di suatu hari yang tidak cerah, langit tak henti-hentinya menangis. Entah hanya perasaanku saja atau memang itu kenyataannya, alih-alih mereda, hujan itu semakin deras.
Aku terjebak di koridor sekolah. Teman-temanku pulang satu demi satu, menyisakan diriku seorang di sepanjang koridor. Yang dari tadi dapat kulakukan cuma mondar-mandir putus asa, menengadah untuk mengecek apakah ada tanda-tanda hujannya akan berhenti, dan mengumpat ketika berada di puncak frustasi.
Sabar ... sabar ....
Inilah akibatnya jika rumah jauh sendiri, kere, dan tidak bisa bawa kendaraan. Aku jadi tidak ada barengan pulang, tidak bisa pesan ojek online, atau naik motor menerobos hujan. Teman-temanku sudah pulang terlebih dahulu, ada yang naik angkot sebelum hujan deras, ada yang nekat ngebut naik motor, ada yang dijemput pakai mobil, atau yang pesan ojek atau taksi daring. Uangku sisa tujuh ribu, hanya sisa untuk pulang naik angkot, itu pun jika aku licik dan memberi tiap sopir angkot dua ribu tak peduli seberapa jauh jarak yang ditempuh—harga pelajar, kalau kata teman sebangkuku.
Nanti ... jika pun hujan sudah reda, aku tetap harus menunggu angkot yang super lama itu. Habis hujan, sudah sore, mana ada angkot yang mau lewat?
Rasanya aku ingin ...—
"Goblok!" umpatku sambil menojok tiang beton.
Tidak, aku masih takut tiba-tiba disambar petir karena mulut comberanku. Lantas kutarik napas dalam-dalam. Sabar ... sabar ....
Beberapa kali air mataku hendak tumpah, beberapa kali aku cekikikan sendiri mengingat kejadian di kelas, beberapa kali emosiku meluap dan harus kulepaskan, semua itu tak berhasil menghentikan hujan.
Oke, mungkin nggak nyambung. Tapi ... aku sudah terjebak di sini setidaknya selama dua jam.
Hujannya reda sebentar, lalu kembali deras disertai angin kencang, dari tadi selalu seperti itu.
Ayolah, aku cuma kepengin pulang. Aku pengin menyeduh teh panas, membuat mi instan rebus, pakai telur, cabai rawit, sawi. Ah, membayangkannya membuatku meneguk air liur.
Seandainya aku bawa ponsel ke sekolah dan bisa menelepon Mama, maka kuyakin dia akan berkata, "Sabar, nanti pasti reda kok."
Memang sekali tidak membantu, tetapi aku paham betul tak ada yang bisa ia lakukan. Tadi pagi dia bilang, uang dua puluh ribu yang kubawa ke sekolah adalah satu-satunya uang lembar yang tersisa di dompetnya, maka kalau aku memintanya untuk memesankan ojek online artinya aku anak keparat.
Oke, mari berbincang sejenak—meskipun cuma aku yang mengoceh di sini. Kondisi keuangan keluargaku memang semenyedihkan itu sejak ayahku kena PHK, dan kondisi itu telah berlangsung sejak tahun lalu. Makanya kadang aku kepikiran, kenapa keluarga kami bisa kuat bertahan hidup selama itu tanpa nafkah bulanan yang tetap. Bukannya aku tak bersyukur, justru aku kagum akan keluargaku.
Mama bilang, kuncinya adalah sabar. Menyalahkan keadaan bukanlah jalan keluar, diam berpasrah akan keadaan juga bukan jalan keluar dari sebuah kesalahan. Mama termasuk yang percaya bahwa Tuhan adalah pelarian yang paling tepat ketika seseorang mendapat musibah. Katanya, ketika seseorang mendapat ujian hidup yang luar biasa, maka Tuhan rindu dengan hamba-Nya. Mungkin sebelumnya kami terlalu lalai akan masalah agama, dan karena tahu kami mendadak alim kalau sedang miskin, maka jatuhlah kami.
Mama juga bilang, di saat-saat susah seperti ini, adalah saat yang paling tepat untuk introspeksi diri. Di saat seperti ini, kami jadi sadar akan betapa tidak bersyukurnya kami sebelum ini, kami juga jadi bisa lebih mensyukurkan hal-hal kecil.
Dulu aku pernah ngambek karena diajak ke mall cuma untuk beli buku pelajaran, padahal aku sudah menyusun rencana untuk belok ke restoran sushi. Sekarang, saking jarangnya makan enak, aku senang sekali hanya dengan makan ketoprak di depan perumahan kami.
Aku menengadah untuk sekian kalinya. Kuluruskan tangan demi mengecek seberapa deras hujan yang turun.
Oh, ceramahku ternyata berhasil. Aku sejenak lupa sedang terjebak di sekolah. Hujan telah reda, dan ini saat yang sangat tepat bagiku untuk kabur dari tempat ini.
Aku jalan cepat-cepat dengan langkah yang kecil-kecil—takut kepeleset—menyusuri koridor. Kuturuni anak tangga satu per satu.
Ternyata, di bawah masih ada beberapa orang yang aku kenal, tampaknya mereka juga terjebak hujan sama sepertiku. Ada salah satu teman sekelasku juga, dan aku tahu rumahnya searah denganku, cuma beda kelurahan.
"Fay!" Yang kuperhatikan memanggilku. Maka aku berlari kecil ke tempatnya.
"Loh, Nit, belom pulang?" tanyaku agak terdengar basa-basi.
"Iya, nih baru mau pulang," ujarnya, "Lo pulang naik apa?"
Lantas kujawab, "Enggg, nggak tau." Aku menggeleng pelan.
"Bareng gue aja yuk, sekalian," ajaknya.
Dalam hati aku benar-benar girang, akhirnya aku tak perlu mengeluarkan ongkos untuk pulang. Benar-benar rezeki anak sholehah.
── * ‹ ° . ☾ . ° › * ──
Hayo, tebak tema cerita ini!
Senin, 8 Februari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top