Chapter 25 - Jalan Panjang
Aren menatap nanar pemandangan di depannya. Tangannya terkepal erat. Ia menutup hidung untuk menghalangi bau busuk yang memuakkan. Tidak terpikirkan olehnya, bahwa bau yang terhirup di perjalanan tadi, berasal dari tubuh-tubuh manusia yang berserakan di dataran gersang.
"Apa-apaan ini?" desis Flavian.
Mereka telah sampai di sebuah desa kecil. Pintu gerbang desa itu hanya terbuat dari kayu yang dulunya disusun serampangan tetapi sekarang, gerbang tersebut telah hancur berantakan. Kayu-kayunya terkoyak dengan ganas. Serpihan kayu bertebaran di jalan masuk yang terbuka, menampakkan bagian dalam desa yang membuat rombongan itu berdiri terpaku.
Eryl berjalan masuk dengan tatapan tajam. Matanya mengamati setiap rumah di depannya. Ia berusaha menemukan satu gerakan tak wajar yang mampu membahayakan mereka. Suasana desa itu hening. Bau busuk menyeruak dari berbagai arah. Eryl melewati beberapa mayat pria yang sudah dihinggapi makhluk-makhluk kecil bersayap.
Aren mengernyit ngeri saat mengikuti Eryl, begitu juga dengan Platina di sebelahnya. Wajah Ruby kaku. Corby menggelengkan kepala sedih. Si kembar berpisah jalan untuk mengelilingi desa, mencari tahu penyebab hilangnya semua jiwa dari tubuh yang tergeletak itu.
Xavier berjalan di sebelah Eryl sambil menghunus pedang. Awra melompat turun dengan ringan lalu melompat kecil dari mayat ke mayat sembari memerhatikan mereka satu per satu. Ia tampak tidak terganggu dengan adanya puluhan mayat yang sudah membusuk.
"Perbuatan siapa ini?" tanya Flavian tanpa mengalihkan pandangan dari tubuh seorang anak yang mati sambil menggenggam pisau. Bola mata anak itu sudah tidak pada tempatnya, hilang, mungkin ditelan burung-burung pemakan bangkai.
Platina berusaha keras untuk tidak muntah saat itu. Bau kematian sungguh menyengat, ditambah dengan hawa panas dan angin semilir yang terus menyampaikan aroma itu ke mana pun angin pergi. Platina bergidik melihat Awra yang dengan santai melompat-lompat ringan seperti anak kecil yang sedang bermain di taman. Ia memandang setiap mayat yang dilewatinya. Salah satu pemuda tergeletak dengan leher terbuka, digorok tanpa ampun sampai hampir putus. Pemuda yang lain memiliki banyak panah menancap di dada. Seorang lelaki paruh baya tewas dengan tangan dan kaki terpotong, menyisakan badannya yang memiliki perut tambun. Walaupun mereka semua memiliki cara kematian yang berbeda, satu hal yang pasti, mereka semua mati dalam keadaan tersiksa.
"Kita tanya saja pada mereka," ucap Xavier. "Keluarlah kalian. Kami bukan orang jahat. Kami hanya pengelana yang ingin meminta bantuan dari kalian." Xavier berseru dengan lantang ke arah rumah-rumah penduduk.
Aren tidak paham kepada siapa Xavier berbicara. Ia penasaran apakah masih ada penduduk yang tersisa dari pembantaian ini. Hatinya terasa panas. Emosinya naik ketika melihat mayat-mayat bergelimpangan. Untuk sesaat, tidak ada yang bergeming dari balik rumah-rumah. Tak ada pula suara yang mereka dengar.
Aren mendadak mendapat ide. Ia mengambil napas kemudian berseru, "Tidak apa-apa. Kami hanya butuh mengisi perbekalan makanan dan air. Setelah itu, kami akan membantu kalian."
Eryl menoleh tajam pada Aren yang tidak membalas pandangannya. "Jangan sembarangan menawarkan bantuan."
"Kami akan membantu apa pun yang kalian butuhkan," teriak Aren. Ia membalas tatapan Eryl dan Xavier dengan cengiran. "Kita harus saling menolong, kan?" tambahnya berbisik kepada Platina dan Ruby yang dijawab dengan sorot mata khawatir.
Sekelebat bayangan muncul dari salah satu jendela. Bayangan itu melongokkan kepala sedikit lalu bergegas menariknya kembali.
"Letakkan senjata kalian di tanah," seru suara wanita dari dalam rumah paling depan. "Atau kalian pergi dari desa kami."
Xavier menoleh kepada anggota rombongan dan berkata, "Tidak ada desa lain di dekat sini. Desa selanjutnya berjarak sehari sedangkan kita butuh perbekalan."
"Kita tidak punya pilihan lain," ujar Derrick sambil meletakkan senjatanya di tanah. "Lagipula kita masih bisa melindungi diri walaupun tanpa senjata."
"Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," lanjut Dave, "kita bisa bertahan."
Mereka semua meletakkan senjata yang tadinya tersandang di punggung atau pinggang. Mereka mengangkat tangan untuk menunjukkan tak ada senjata lagi yang menempel di tubuh. Langit mulai memunculkan warna biru gelap di samping oranye yang semakin matang. Bau busuk lagi-lagi tertiup angin, merasuk sampai ke mulut seakan mereka bisa merasakan daging busuk itu berputar-putar di perut.
Salah satu pintu rumah terbuka pelan. Seorang wanita keluar sambil membawa golok, menatap para tamunya dengan tajam. Anak perempuan berumur belasan tahun mengikuti di belakang wanita itu sambil membawa pisau daging. Dari rumah-rumah yang lain, keluarlah para wanita, muda dan tua, bahkan anak-anak. Masing-masing membawa senjata rumahan, yang tampak tajam atau berat, terngenggam erat di tangan.
Aren memperhatikan raut wajah wanita-wanita itu yang berjalan semakin mendekati rombongan. Wajah mereka menunjukkan kekuatan tekad, kecemasan, dan keletihan. Aren tertohok saat pemahaman mengaliri dirinya. Wanita-wanita itu terpaksa harus belajar melindungi diri karena semua pria sudah mati.
"Siapa kalian?" tanya wanita yang tadi pertama kali keluar dari rumah.
"Pengelana," jawab Eryl singkat.
Wanita itu menampakkan sorot mata tak percaya saat melihat Eryl bertubuh setengah pohon, Xavier bertubuh setengah kuda, dan Awra yang tersenyum lebar dengan mata kucing kuningnya. Aren tidak terkejut kalau wanita-wanita itu tidak memercayai rombongannya.
"Kami hanya butuh sedikit perbekalan, kemudian kami angkat kaki dari sini," ujar Xavier.
"Tidak," sahut salah satu wanita sambil mengacungkan tongkat garpu panjang. "Kalian berjanji akan membantu kami."
Aren bisa melihat tangan wanita itu bergetar. "Kami sudah berjanji, kami akan menepati. Bolehkah kami minta makanan dan air yang cukup untuk rombongan kami untuk satu atau dua hari?" Aren berjalan maju sambil tersenyum.
Para wanita mengarahkan senjata kepada Aren yang langsung menghentikan langkahnya. "Jangan maju lagi. Aku tidak segan melukaimu," ujar wanita paruh baya yang paling dekat dengan Aren.
"Letakkan tas dan wadah air kalian di depanku," perintah wanita pembawa golok. "Akan kami isi semampunya."
Aren dan rombongannya mematuhi perintah wanita itu dan meletakkan semuanya di tanah. Empat orang wanita lain bergegas mengambil semuanya dan berlari ke salah satu rumah.
"Siapa yang melakukan ini semua?" tanya Awra sembari mengibaskan tangan ke arah tubuh-tubuh busuk para pria.
Wanita-wanita itu terkejut mendengar suara Awra yang tidak sesuai dengan tubuh kecilnya. Mereka berbisik-bisik sejenak sebelum salah satunya menjawab, "Prajurit berbaju hitam."
Aren dan Platina menoleh bersamaan kepada Corby untuk meminta penjelasan.
"Nero. Prajurit berbaju hitam adalah prajurit milik Nero," jawab Corby dingin.
Aren menggertakkan gigi. Ia sudah menduga hal semacam ini hanya bisa dilakukan oleh prajurit Nero. Kemarahannya perlahan kembali memuncak.
"Dua hari yang lalu mereka datang," lanjut wanita lain sembari menurunkan pisau pendek yang dipegangnya, "memaksa semua pria di desa ini untuk ikut mereka. Ayah, suami, bahkan anak-anak kami ditarik untuk menjadi prajurit kastil hitam milik Raja Nero."
"Tentu saja para pria kami melawan," lanjut wanita lain, "tapi ... tapi mereka malah ...."
Kalimat wanita itu tidak selesai karena isakannya muncul lebih dulu. Ia menangis di pelukan teman wanitanya yang berusaha menenangkan. Aren menyadari satu hal, tatapan mata para wanita itu tidak pernah lepas dari rombongan bukan karena waspada tetapi karena menghindari melihat pria-pria terkasih mereka tergeletak tak berdaya dimakan waktu.
Semua ransel dan wadah air mereka telah diisi penuh dan dibawa kembali oleh keempat wanita tadi. Mereka meletakkannya perlahan di tanah lalu bergegas mundur kembali ke kawanannya.
"Sekarang, giliran kalian yang membantu kami," ujar wanita pembawa golok. Ia menatap lekat mata Aren. "Tolong, bereskan semua mayat pria di sini. Kami tidak mampu melakukannya. Kami tidak mau ingatan terakhir tentang mereka ternodai oleh segala kekejaman dan keburukan yang mereka rasakan saat ini."
Leher Aren tercekat. Ia mengangguk pelan yang dibalas dengan anggukkan dari wanita itu. Para wanita desa berjalan kembali ke rumah mereka, menutup pintu pelan, dan samar-samar terdengar tangisan.
Aren berbalik dan menatap teman-temannya sembari tersenyum miris. "Nah, kalian mau menolongku, kan?"
Corby terkekeh pelan. "Apa boleh buat."
"Kita harus menyelesaikannya sebelum malam," ujar Eryl sambil menatap langit yang sudah kehilangan warna oranye. "Buat dua tumpukan di kanan dan kiri lalu kita bakar."
Platina berjengit mendengarnya. Ia tidak ingin membayangkan setumpuk manusia yang harus ia kumpulkan dan kemudian dibakar.
Dave dan Derrick sudah mulai mengangkat satu mayat pria berbadan besar dan membawanya ke luar gerbang. Mereka kembali lalu mengangkat mayat pria besar lain. Aren masih memandangi pekerjaan si kembar ketika pundaknya ditepuk oleh Ruby.
"Ayo, kita juga bekerja. Sebentar lagi malam," kata Ruby.
Aren terkejut karena ia berpasangan dengan Ruby untuk melakukan ini. Setelah terlalu biasa melakukan segalanya dengan Platina, ia merasa agak asing untuk melakukan kegiatan berdua dengan perempuan lain. Ia melihat Platina mengangkat tubuh pria tak bertangan dengan Flavian. Dari jauh pun Aren tahu, Platina pasti menahan rasa mualnya karena berusaha mengangkat mayat itu dengan tangan kosong.
Aren dan Ruby memilih tubuh yang sekiranya kuat mereka angkat. Pria ceking tanpa kaki yang tampak tidak terlalu berat. Ruby memegang kepala mayat itu dan Aren di bagian paha. Aren mengernyit saat tangannya terasa basah dan licin ketika menyentuh daging lunak si mayat. Ia berusaha menahan dorongan rasa mual yang mendadak muncul di perutnya. Ia dan Ruby berjalan cepat menggotong si mayat lalu meletakkannya di atas tubuh mayat lain. Mereka berdua terengah-engah sejenak untuk mencari udara segar tetapi bau busuk selalu menyertai.
"Mengapa prajurit Nero bisa sekejam ini?" tanya Ruby ketika mereka sedang mengangkat mayat yang kedua.
Aren mengerutkan kening. Setengah berpikir setengah konsentrasi agar tidak menjatuhkan mayat yang diangkatnya. Setelah kembali meletakkan tubuh itu dengan aman, ia menjawab, "mungkin Nero mempengaruhi mereka agar menjadi jahat."
Ruby tersenyum kecil mendengar jawaban Aren. "Atau para prajurit itu tidak punya pilihan."
Jantung Aren berdebar lebih cepat melihat senyuman Ruby. Tenang, batinnya, bersikaplah keren. "Aku ingin segera mengalahkan Nero agar tidak terjadi lagi hal seperti ini."
"Aku juga," jawab Ruby sambil mengangguk. Ia memegang kepala si mayat ketiga. "Melihat mereka melakukan semua siksaan ini, membuatku marah. Namun, aku juga takut."
"Kenapa?" tanya Aren terengah. Mayat ketiga ini lebih berat dibanding dugaannya. Segera saja ia merasa kewalahan menggotong kaki si mayat. Dave dan Derrick membantu mereka berdua untuk meletakkan mayat itu di tumpukkan atas. Tangan Aren kotor bercampur darah, tanah, serpihan daging, lendir, dan hewan-hewan kecil menggeliat. Ia tidak sabar ingin mencuci tangan.
Ruby berjalan di sebelah Aren sambil memilah mayat keempat. "Takut jika kita nanti kalah, apa yang mampu Nero perbuat kepada kita? Mereka ini semua manusia," ujarnya, "dulu hidup dan memiliki perasaan sama seperti kita. Dengan mudahnya Nero menghancurkan semuanya. Aku membayangkan Nero akan melakukan hal yang lebih kejam kepada kita nantinya."
Aren memperhatikan raut wajah Ruby yang tampak cemas. Ia jarang melihat Ruby seperti itu. "Itu hal wajar. Aku menduga itulah tujuan Nero memperlihatkan semua kekejaman ini, agar semua orang takut padanya dan tidak ada yang berani memberontak pemerintahannya."
Ruby mendongakkan kepalanya. Matanya menatap bola mata cokelat Aren lekat-lekat. "Apakah kau takut, Aren?"
Aren ingin menjawab jujur tetapi yang keluar dari mulut justru sebaliknya. "Tidak, aku tidak takut."
"Aku tahu ketakutanmu." Sebuah suara melewati telinga Aren diikuti dengan kikikan.
Aren menoleh ke kiri dan mendapati Platina tersenyum jahil. "Kau harus menjaganya," kata Platina pada Ruby, "ia tidak seberani yang dikatakannya."
Aren melotot pada Platina yang mengedipkan sebelah mata. Ruby tertawa melihat tingkah mereka berdua.
Pertunjukkan kekuatan yang Nero lakukan ini membuat Aren merasa marah. Bukan hanya marah, tetapi juga takut. Ia tidak menyangka kekejaman Nero begitu brutal. Namun, ia tidak dapat memilih mana yang lebih baik, pembunuhan massal atau siksaan sebelum pembantaian. Orang-orang yang Aren dan Ruby angkat selama setengah jam terakhir tidak pantas mendapat akhir hidup yang keji. Mereka hanya penduduk desa kecil. Aren menduga mereka tidak pernah mengangkat senjata, apalagi berperang. Serbuan mendadak dari prajurit-prajurit Nero bagaikan mimpi buruk, itu pun kalau mereka masih bisa bermimpi.
Aren dan Ruby berdiri di hadapan tumpukan mayat di sebelah kiri gerbang. Flavian menyiram minyak ke seluruh tubuh yang saling menumpuk. Dave dan Derrick melakukan hal yang sama di tumpukan sebelah dan Xavier menuang minyak di tumpukan yang lain. Mata Aren mengejap beberapa kali saat Awra dengan cepat menyulut api di empat gundukan yang mereka buat. Kobaran api membumbung tinggi, asap hitam bergulung naik menuju langit yang mulai kehilangan warnanya. Matahari telah sepenuhnya pergi.
Bau daging terbakar merasuk ke hidung Aren. Mual kembali datang ke perutnya, memaksa isinya keluar tetapi Aren berhasil menahannya. Panas api terasa membelai wajahnya. Ia menikmati kehangatan itu sesaat kemudian bergegas membuang muka ketika melihat kulit-kulit mayat yang mulai menyusut dan menghitam tanpa ampun di depannya. Ia berjalan bersama Ruby ke arah Platina dan Corby yang sedang mencuci tangan.
Dua ember kayu besar menampung air yang disediakan oleh wanita-wanita desa saat mengetahui pekerjaan mereka hampir selesai. Penduduk desa yang tersisa buru-buru kembali ke rumah ketika api mulai dikobarkan. Isak tangis kembali terdengar dari dalam rumah.
Aren menggosok kedua tangannya dengan kuat, berusaha menyingkirkan lendir, darah, dan serpihan-serpihan daging atau kulit yang menempel. Ia menerima batu hitam dengan rongga-rongga kecil dari Platina. Batu itu terasa kasar di tangannya. Aren menggosok tangan dengan batu itu, seketika juga tangannya terasa bersih, lendir yang menempel sudah terhapus oleh gosokan batu itu.
"Batu Laberi," ujar Corby sebelum Aren sempat mengucapkan pertanyaan. "Diambil dari tepian sungai Lique, sebelah utara hutan Esmevere. Batu itu sering dipakai oleh kami setelah bertempur. Ampuh menghilangkan darah yang menempel di kulit. Aku tidak pernah lupa membawanya."
Aren mengangguk mengerti. Ia menyerahkan batu itu kepada Ruby yang langsung menggosok tangannya. Tangan Aren terasa bersih sekarang tetapi bau busuk masih samar-samar menguar. Ia mengelap tangannya di potongan kain yang diberikan oleh Derrick beserta beberapa daun kecil.
"Robek daun-daun itu lalu gosokkan merata ke tanganmu," kata Derrick, "Daun Doribus bisa menghilangkan bau busuk."
Aren mematuhi cara Derrick. Ia melakukannya kemudian tersenyum senang. Daun itu langsung mengeluarkan bau harum ketika dirobek dan tangannya sekarang bebas dari bau busuk. Di sebelahnya, Platina melakukan hal yang sama.
"Ini mengerikan," gumam Platina. Perempuan itu menoleh dan menatap tajam mata Aren. "Tampaknya kematian manusia mudah dilakukan di sini."
"Kau cukup kuat menghadapinya." Aren membalas tatapan temannya itu sambil tersenyum. "Aku berusaha keras menahan agar tidak muntah di sana tadi."
"Asal kau tahu saja, aku juga menahannya mati-matian," ujar Platina, "sangat tidak sopan jika itu terjadi. Mayat-mayat itu sudah kehilangan harga diri, tidak perlu kita tambah kebusukan lain di dekat mereka."
Aren mengangguk setuju. Ia melempar robekan daun-daun yang tadi digenggamnya ke wajah Platina lalu segera menghindar dari serangan balik dengan bersembunyi di balik Dave. Aren menahan tawa ketika melihat Platina merengut kesal.
"Kita lanjutkan perjalanan," seru Eryl. Ia menyihir bola putih sebagai sumber cahaya yang melayang-layang setinggi dadanya. Ia menunggu anggota rombongan yang lain memasang ransel dan pedang masing-masing lalu berjalan ke luar gerbang desa dengan api yang masih berkobar di belakang.
Mereka berjalan menuju kegelapan. Tidak ada cahaya bulan yang dapat membantu menerangi jalan. Nyala api dari tubuh-tubuh yang membusuk, perlahan menghilang. Aren tidak dapat melihat apa pun di kanan dan kirinya. Ia hanya bisa menatap siluet tubuh teman-temannya. Bola cahaya yang disihir oleh Eryl cukup menerangi mereka semua agar dapat saling melihat dan tidak terpisah jalan. Selain itu, mereka dikelilingi oleh kepekatan dan kesunyian yang mencekam.
********************
"Aren, kita harus kembali." Platina berbisik pada Aren yang sedang duduk di punggung Cervundus—rusa gunung—yang Eryl panggil untuk membantu mereka melewati lembah terjal berbatu.
Matahari bersinar sangat terang, dan tepat berada di atas kepala mereka, membuat setiap anggota rombongan menjadi kepanasan sehingga mereka memilih untuk diam tak berbicara dalam perjalanan kali ini. Sudah enam hari berlalu—sejak mereka meninggalkan Amortium—tidak ada perlawanan yang berarti dari prajurit mana pun, bahkan sama sekali tidak ada prajurit yang menghadang mereka. Platina merasa ada yang mengganjal hatinya, tetapi memilih untuk menyimpan kekhawatirannya agar tidak membuat teman-temannya ikut bingung.
Siang ini, mereka semua—kecuali Xavier—menunggangi Cervundus yang berjalan cepat melewati sebuah pengunungan batu. Suara langkah para Cervundus tidak terdengar walaupun kuku-kuku kaki mereka mengenai bebatuan di jalan. Cervundus berbentuk seperti rusa, bulu-bulunya berwarna cokelat muda, telinga mereka kecil lancip dengan hidung berwarna hitam. Tinggi dari Cervundus ini sedikit lebih rendah dari kuda dewasa tetapi kekuatannya sama dengan kuda, bahkan Cervundus mampu berlari tanpa mengeluarkan suara sehingga menguntungkan Platina dan rombongannya dari intaian musuh.
Platina menunggu jawaban dari Aren tetapi nihil. Merasa kesal, Platina menepuk leher Cervundus yang ditungganginya—sebagai tanda—agar membawanya maju bersebelahan dengan Aren. Platina menoleh pada teman lelakinya lalu terburu-buru menahan tawa. Aren sedang memandangi rambut merah Ruby, yang menunggangi Cervundus tepat di depannya. Ekspresi Aren tampak begitu menyanjung, membuat Platina merasa setengah geli setengah kesal padanya.
"Hei, aku berbicara padamu," bisik Platina sambil memukul lengan Aren, "aku akan memberitahu Ruby tentang perasaanmu kepadanya, kalau kau tidak mendengarkanku."
Ancaman Platina membuahkan hasil, Aren langsung gelagapan menyangkal perkataan Platina. "Ap ... Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apa-apa, hanya saja—," ujar Aren pelan, "—tidakkah kau berpikir rambutnya indah?"
Platina mendengus geli. Ia harus berusaha keras untuk menahan tawa agar tidak terdengar oleh anggota rombongan yang lain. Ia tidak ingin kisah cinta Aren menjadi pusat perhatian sebelum lelaki itu bisa menyatakannya sendiri. Platina mengusap keringat yang menetes dari dahinya.
"Jatuh cinta memang menyenangkan, tetapi tolonglah kembali ke bumi saat ini juga. Ada hal mendesak yang harus kau lakukan," bisik Platina geli, "sudah hampir sepuluh hari kita di sini, kita harus kembali sekarang atau kita bisa terlambat kuliah. Hal itu bisa memunculkan kecurigaan dari teman-teman di sana."
Platina melihat Aren sedang nyengir. "Terasa menyenangkan melihatnya, walaupun hanya bagian belakang kepalanya," bisik Aren sambil meregangkan badan. "Baiklah, kita pulang. Aku merindukan kasur, badanku sangat kaku."
"Sayangnya, kita harus berangkat ke kampus, bukan berangkat ke alam mimpi di kasurmu yang nyaman." Platina berkata sambil tertawa.
"Apa menyenangkan hidup di kampus?"
Platina memekik kaget mendengar sebuah suara di sampingnya karena Corby ternyata sudah berada di sebelah kanan Platina. Ia melihat wajah Corby memancarkan rasa penasaran.
"Yah, cukup seru, kau akan mendapatkan ilmu-ilmu eksak, seperti matematika, biologi, dan lain-lain. Selain itu, kau bisa mendapatkan banyak teman," jawab Platina bersemangat.
"Kau juga akan mendapat banyak tugas yang menyusahkan," sahut Flavian.
Platina menoleh ke belakang sambil mengernyit. Flavian tampak salah tingkah, lalu mengangkat bahu sambil membuang muka.
"Dari mana kau tahu?" tanya Aren heran.
"Kurasa kalian pernah menceritakannya pada kami," jawab Flavian ketus, "dasar pelupa."
"Sudahlah," kata Corby menenangkan sebelum Aren mampu mengutarakan serangan balasan, "biarkan saja Flavian. Mungkin ia sebenarnya juga sama penasarannya denganku. Coba kalian ceritakan kehidupan kalian di dunia sana."
Platina dan Aren menceritakan kisah-kisah mereka di dunia nyata, termasuk teman-teman mereka di sana. Masing-masing kisah memiliki bagian seru dan menyenangkan, banyak istilah dan nama-nama tempat yang sangat asing di Algaria, sehingga sekarang bukan hanya Corby yang mendengarkan mereka bercerita, tetapi juga seluruh anggota rombongan itu.
"Karena itu, kami harus pulang dulu sekarang, maafkan kami," kata Platina setelah mengakhiri ceritanya.
"Kami akan kembali secepatnya. Berapa lama lagi kita akan tiba di Allbion?" tanya Aren pada Eryl yang sedang memejamkan mata sambil duduk bersila di punggung Cervundus. Dalam posisi seperti itu, Eryl masih mampu mempertahankan keseimbangannya sehingga tidak jatuh.
Eryl terdiam sejenak. "Sekitar lima belas hari lagi dengan menunggangi Cervundus, empat puluh hari bila berjalan kaki."
Platina dan Aren mengangguk mengerti. Mereka harus kembali sebelum rombongan itu sampai di Allbion karena Lupus tidak akan bisa mengantarkan mereka ke tempat yang belum pernah Lupus datangi sebelumnya.
Anggota rombongan itu berhenti sejenak untuk melepas kepulangan Platina dan Aren. Awra dan Xavier tertarik untuk melihat cara mereka kembali ke dunia nyata.
Aren mengambil figurin serigala dari ransel kemudian meletakkannya di atas tumpukan bebatuan yang berkilau terkena sinar matahari. Lupus perlahan berubah menjadi besar seukuran serigala dewasa dengan bulu berwarna hitam dan putih. Bulu-bulunya diselimuti api yang berkobar. Platina mengerutkan kening memandang serigala sihir di depannya.
"Apakah ini hanya perasaanku atau memang apimu tidak sebesar biasanya?" tanya Platina pada Lupus.
Lupus menggeram pelan. "Aku juga tidak mengerti."
"Itu kan—," sahut Flavian dari belakang Platina.
Platina memandang Flavian untuk meminta kelanjutan dari kalimatnya yang terpotong. Flavian tampak ragu-ragu sejenak, kemudian membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu. Ia menelan ludah lalu berkata, "Tidak, tidak ada apa-apa."
Platina melihat Aren akan membuka mulut untuk mengatakan sesuatu yang akan mendesak Flavian untuk memberikan penjelasan. Buru-buru Platina menepuk pundak Aren dan memelototinya sambil menggelengkan kepala.
Lupus menggerakkan bulu-bulunya lalu menggeram. "Apa yang kalian inginkan?"
"Kami berharap bisa pulang ke rumah." Platina dan Aren berkata bersamaan.
Lupus menerjang maju dan menyelimuti mereka berdua dengan kobaran api di tubuhnya yang terasa dingin seperti es. Mereka menghilang di balik kobaran api itu dengan tatapan terpesona dari Awra dan Xavier.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top