Chapter 24 - Jalan Baru

Platina menutup matanya dengan tangan karena panas sinar matahari terasa menusuk. Ia bangun dari pembaringan sembari menggosok kelopak matanya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan mata menyipit, berusaha menyesuaikan terpaan cahaya ke wajahnya. Platina menggerakkan pundak dan memiringkan kepala, berusaha untuk mengusir rasa pegal di tubuhnya. Tidur di atas bebatuan—walaupun datar—ternyata bisa membuat tubuh menjadi kaku.

Platina ingat, ketika fajar mulai merekah, mereka sudah menempuh jarak yang lumayan jauh—menurut Eryl—untuk bisa beristirahat tetapi belum tentu bisa lolos dari prajurit-prajurit Amortium. Didera rasa lelah dan mengantuk, sebagian besar anggota rombongan setuju untuk menginap sementara di balik batu-batu yang menjulang tinggi di sepanjang perjalanan mereka. Platina bersandar ke batu di belakangnya. Tempat mereka saat ini cukup tersembunyi dan tidak terlihat jika ada prajurit yang mencari mereka.

Platina menyisir rambut hitamnya yang kusut dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencari sisir di dalam ransel. Ia dengan mudah menemukannya lalu merapikan rambut dengan layak sembari memandang ke langit yang tampak biru dengan hiasan kapas-kapas awan tipis. Cahaya matahari pagi—yang membelai tubuh dan wajah Platina—membuatnya merasa nyaman. Ia menghirup napas dalam-dalam untuk mencari udara segar tetapi yang didapatkan hanya udara kering memenuhi tenggorokkannya.

Botol air minum di samping ransel Platina menjadi penyelamat perempuan itu ketika ia mulai terbatuk-batuk. Platina meminum cairan hangat di dalamnya yang hanya tersisa beberapa teguk. Ia mengernyit saat menyadari itu adalah airnya yang terakhir. Tiba-tiba, perutnya berbunyi cukup keras sehingga Aren dan Ruby—yang sedang berbincang berdua—menoleh kepadanya. Platina nyengir malu saat ditatap dua temannya sambil tertawa.

"Ini roti bagianmu, Pat," kata Aren sambil menahan tawanya karena ia sudah ditatap tajam oleh Platina untuk menghentikan rasa gelinya. "Roti terakhir khusus untukmu."

Platina menjulurkan tangan—agak jauh—untuk menerima roti itu dengan dengusan kesal karena ejekan teman lelakinya. Ia sadar bahwa persediaan bekal mereka telah habis. Saat di Amortium, mereka tidak sempat mengisi ulang perbekalan akibat kejadian yang tidak diharapkan. Platina menggigit ujung rotinya sembari mengamati kegiatan setiap orang di tempat rombongannya beristirahat.

Aren dan Ruby sudah melanjutkan obrolan mereka yang sempat terputus akibat suara lapar dari Platina. Corby dan Flavian duduk bersebelahan tetapi melakukan kegiatannya masing-masing. Flavian sedang membersihkan pedangnya dengan teliti. Corby mengecek semua pisau pendeknya dan langsung membersihkannya jika ada yang kotor. Corby berkali-kali mengajak Flavian untuk mengobrol tetapi lawan bicaranya menolak untuk ikut dalam kegiatan sosialisasi itu. Saat Flavian diam, justru Corby semakin penasaran. Ia menceritakan apa pun yang bisa ia bicarakan kepada Flavian, berharap suatu kisah akan membuat si rambut kuning itu merespon. Eryl, Xavier, Dave, dan Derrick sedang berdiri sambil berdiskusi dengan raut muka serius. Mereka mendiskusikan sesuatu yang tidak bisa didengar oleh Platina.

Roti yang dimakan Platina hampir habis, tinggal satu gigitan lagi. Platina memasukkan semuanya ke mulut lalu terkejut ketika Awra sudah berada di sampingnya. Ia yakin—beberapa detik yang lalu—anak itu tidak ada di sebelahnya.

"Kau membuatku kaget," seru Platina dengan mulut penuh. Ia buru-buru mengunyah dan menelan sarapan terakhirnya.

Awra tersenyum lebar melihat kekagetan Platina. Ia ikut menyandarkan diri di sebelah perempuan yang masih tampak heran itu. Telinganya yang tajam mendeteksi kedatangan sesuatu sehingga membuatnya bergegas berdiri dan menuju ke balik batu.

Platina membelalak ketika melihat kelincahan dan kecepatan Awra. Belum sempat ia memahaminya, perempuan berambut keriting emas itu muncul dari balik batu dengan kedua telapak tangan tertutup seperti sedang memegang sesuatu. Platina mengamati Awra yang duduk di sebelahnya. Awra membuka kedua tangannya perlahan.

Sesosok hewan berbulu menyembul keluar dari tangan Awra yang sedikit terbuka. Hidungnya yang kecil mengendus udara dengan panik. Kedua mata hitam kecilnya memancarkan kekhawatiran. Telinga kecil dan pendeknya bergerak-gerak. Platina terkesima melihatnya. Ia belum pernah melihat hewan seperti itu sebelumnya.

Awra mendekatkan hewan itu ke mulutnya lalu dibisikkannya suatu kalimat. Platina merasa makhluk kecil itu menjadi lebih tenang dan tidak lagi bergerak panik. Awra membuka telapak tangan kanannya, menampakkan hewan kecil berbulu cokelat tebal dengan corak lurus berwarna hitam di punggungnya.

"Wah, imutnya," seru Platina. Ia mengelus kepala hewan itu dengan telunjuknya sambil mengamati. Keempat kaki hewan itu panjang dan menekuk ke depan. Ekornya yang pendek mengibas pelan.

"Apa itu?" tanya Aren yang penasaran mendengar seruan Platina tadi. Ia memandang dari balik bahu Platina lalu mengernyit. "Seperti tupai berkaki panjang tetapi berekor pendek."

"Pluma," jawab Ruby sambil beringsut mendekati hewan berbulu itu. "Baru kali ini aku melihatnya. Ia jarang bisa dilihat dan ditangkap karena tubuhnya kecil dan gesit." Ruby mengalihkan pandangannya pada Awra. "Kau yang menangkapnya? Wah, hebat."

Awra tersenyum lebar mendengar pujian dari Ruby.

"Ruby, kau tau dari mana nama hewan ini padahal melihat saja belum pernah?" tanya Aren heran.

Ruby tersenyum simpul dengan pipinya yang perlahan merona merah. "Aku membaca," jawabnya pelan. "Buku sejarah Algaria milik Lunette."

Platina langsung teringat buku kecil tebal bersampul merah yang diberikan oleh Lunette kepadanya untuk dibaca. Ia merogoh ranselnya di bagian paling bawah untuk mencari buku yang sudah lama terlupakan. Tangannya menyentuh sesuatu yang keras dan kasar lalu ia mengangkatnya.

"Maksudmu, buku yang ini?" tanya Platina diikuti dengan anggukkan dari Ruby sebagai jawaban.

"Asal usul Algaria dan makhluk-makhluk di dalamnya," kata Awra sambil memiringkan kepala untuk melihat lebih jelas judul buku yang dipegang Platina.

"Kalian bisa membaca tulisannya?" tanya Aren kagum kepada Ruby dan Awra. "Tulisan apa itu?"

Ruby duduk di dekat hewan—yang disebut Pluma—yang sudah diletakkan ke tanah oleh Awra. Ia mengambil biji-bijian dari ranselnya kemudian memberikannya pada hewan itu. Dengan semangat, Pluma itu memunguti satu per satu biji-biji yang dijatuhkan di dekatnya, memasukkannya ke mulut sebanyak yang ia bisa.

"Pluma menyimpan makanannya di kantong bawah mulut untuk dibagikan kepada keluarganya di sarang." Ruby memberikan penjelasan kepada Platina dan Aren yang tampak heran. "Tulisan di buku itu ditulis dengan huruf penyihir dan bahasa manusia. Jadi, lebih mudah memahaminya. Mungkin, buku itu memang diperuntukkan untuk manusia."

"Dan, kau sudah membaca semuanya? Bagaimana bisa?" tanya Aren.

Ruby tersenyum dan mengangguk. "Menyenangkan rasanya bisa membaca tulisan yang kumengerti. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa membaca tulisan penyihir tetapi tidak dengan tulisan manusia. Tulisan penyihir lebih mudah dipahami."

Pluma—yang sudah selesai memasukkan semua biji ke dalam mulutnya—tiba-tiba berlari cepat menuju tempat Corby dan Flavian. Hewan itu memandang kedua lelaki—yang balas memandangnya dengan tertarik—kemudian berlari menjauh ke balik bebatuan.

"Hei, hewan apa itu?" seru Corby sambil menatap jalur yang dilewati hewan berbulu tadi. "Kalian melewatkan kesenangan tanpa diriku," kata Corby sambil berjalan mendekati tempat teman-temannya berkumpul. Ia menarik lengan Flavian—yang menolak ikut—dengan kuat. Flavian menghela napas kemudian menyerah dengan tarikan Corby karena ia tidak bisa membersihkan pedangnya hanya dengan satu tangan. Corby duduk di sebelah Awra dan Flavian di samping Ruby.

"Kalian tadi membicarakan apa?" tanya Corby.

Platina menjelaskan obrolan mereka tentang Pluma dan Ruby. Corby tampak bersemangat mendengar cerita itu.

"Aku beruntung bisa melihat Pluma, meski pun hanya sekilas," kata Corby sambil terkekeh. Ia menolehkan kepalanya ke arah Awra yang sedang menatapnya. "Nah, mungkin kau mau bercerita tentang dirimu? Kau ini siapa atau apa?" tanya Corby kepada Awra.

Awra menyeringai. "Kaum Fairlyer. Ia pasti tahu," ujar Awra sembari menunjuk Ruby yang menampilkan ekspresi wajah terkejut.

"Kau kaum Fairlyer?" tanya Ruby tidak percaya. Ia bergegas menjelaskan saat melihat wajah teman-temannya yang tampak bingung. "Kaum Fairlyer dianggap sudah punah atau terancam punah. Si pembuat buku sejarah mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat satu pun sosok dari kaum itu lagi."

Awra mengangguk, membenarkan penjelasan dari Ruby. "Sudah hakekatnya bahwa kaum Fairlyer adalah kaum yang haus darah. Kami suka membunuh tanpa alasan. Hanya demi kesenangan saja."

Platina bergidik mendengarnya meski pun matahari mulai beranjak tinggi dan cahayanya memanaskan kulit.

"Beratus-ratus tahun yang lalu, kami pindah ke Algaria. Jangan tanya asal kami dari mana karena itu rahasia nenek moyang kami," tambahnya ketika melihat Aren sudah membuka mulut untuk bertanya. "Tujuan kepindahan kami adalah untuk mencari mangsa baru yang mudah diburu. Ah, aku lupa bilang, kaum kami sebagian besar adalah wanita yang suka membunuh lelaki."

Aren dan Corby mengernyit mendengarnya bahkan Flavian sedikit berjengit.

"Demi harga diri, lelaki dewasa di kaum kami akan terbunuh di tangan wanitanya sendiri. Memang begitu kebiasaan kami. Sampai suatu hari, tinggal satu lelaki dewasa yang masih hidup. Kepanikan mulai muncul. Ras kami tidak akan bisa bertahan. Dalam kegentingan itu, pemimpin kami membunuh satu-satunya harapan kami. Si lelaki tewas, begitu juga dengan harapan kaum Fairlyer."

Aren menahan napas sejenak ketika menyadari asal ketakutannya selama ini. Penyebab ia merasa tidak nyaman dengan Awra adalah kebrutalan mereka terhadap para lelaki yang mendarah daging. Ia berjanji dalam hati tidak akan pernah membuat Awra marah kecuali ingin nyawanya cepat pergi.

"Begitu lelaki terakhir itu mati, kaum kami berseteru. Bukan berseteru dengan cara berdebat, tetapi dengan saling membantai. Kaum kami musnah akibat penghargaan diri yang terlalu tinggi. Namun, beberapa dari kami memutuskan untuk diam-diam menjauh dari pesta pembunuhan itu, termasuk aku." Awra bercerita sambil menyeringai melihat Aren, Corby, dan Flavian. "Kami berkelana bersama mencari lelaki yang bisa kami bunuh. Saat itu kami berada di hutan, ada seorang lelaki yang sedang memetik daun-daunan. Kami mengundi siapa di antara kami yang mendapatkan giliran pertama untuk membunuhnya. Aku menang. Aku sudah bersiap untuk menggorok lehernya ketika kutatap wajahnya untuk pertama kali. Lelaki itu menangis."

"Tanganku membeku. Guratan-guratan di wajah lelaki itu membuatnya tampak lebih tua dari usianya. Ia menoleh kepadaku tepat saat aku menyembunyikan pisau di balik punggung. Aku tidak tahu kenapa aku tidak langsung membunuhnya saat itu. Ada sesuatu yang menahanku. Lelaki itu tampak terkejut ketika melihat kami lalu ia tersenyum. Kami menduga, ia pasti mengira kami anak kecil dengan ukuran tubuh seperti ini. Kami tidak bicara hanya saling berpandangan senang karena lelaki itu tidak menaruh curiga bahkan mengajak kami ke rumahnya yang pasti akan lebih banyak orang yang bisa kami bunuh di sana."

Kelima remaja itu terdiam mendengar cerita dari Awra. Suara Dave dan Xavier terdengar semakin meninggi di belakang mereka. Namun, mereka tidak mengacuhkannya. Awra memiliki kemampuan memikat orang dalam ceritanya.

"Rumahnya reot, hanya berupa gubuk. Kami masuk dan mendapati sesosok tubuh wanita ringkih terbaring di atas dipan. Selama ini, kaum Fairlyer memiliki masa hidup yang panjang bahkan saat di penghujung kematian, wujud kami tidak akan pernah berubah. Kami tidak tahu bahwa wujud manusia akan berubah sesuai usia. Wanita itu tersenyum pada kami sambil terbatuk-batuk. Ia mempersilakan kami masuk dan menginap di sana."

"Beberapa hari di rumah itu, kami tetap tidak bersuara. Entah karena apa, kami sama-sama menahan diri untuk tidak membunuh kedua mangsa empuk itu. Setiap malam, kami mendengar lelaki dan wanita itu bercakap-cakap. Walaupun tidak memahami pembicaraan mereka, tetapi nada suara mereka berdua menghanyutkan kami. Setiap hari, si lelaki merawat wanita itu tanpa lelah. Kami mengamati semuanya bahkan saat malam hari karena kami tidak butuh tidur. Tidur kami hanya terombang-ambing antara dunia ini dan fana, semua hal dari dunia ini tetap bisa kami pahami."

"Apa yang membuat kalian tetap bertahan selama itu?" tanya Corby.

"Ada perasaan aneh yang meliputi kami. Perasaan itu tidak bisa dijelaskan. Perasaan itu semakin memuncak ketika si wanita pergi untuk selamanya. Lelaki—yang tadinya akan kami bunuh—menangis di samping jasad wanitanya. Kami bingung dengan perasaan baru yang muncul di hati kami. Selama ini, tak pernah kami menangisi mereka yang telah tiada, apalagi menangisi pria yang kami bunuh. Lelaki itu terus terisak sepanjang malam, membisikkan sesuatu di telinga si wanita, kemudian memandikan dan memakaikan baju terbaik yang wanita itu punya. Kami hanya diam. Memandanginya melakukan semua itu, membuat dada kami sesak. Si lelaki menguburkan tubuh wanita itu kemudian kembali menangis di atas tanahnya. Sebagian hasrat kami terus mendorong untuk membunuh lelaki itu tetapi pikiran kami menolaknya. Kami membiarkan lelaki itu malam demi malam menemani makam yang ia buat. Sampai akhirnya, si lelaki mencapai batasnya. Ia tersenyum bahagia sambil memandang kami. Lelaki itu berkata bahwa ia akan berkumpul kembali bersama cintanya di surga."

Platina merasa ada air menggenang di pelupuk matanya. Ia buru-buru mengusap kedua matanya dengan lengan bajunya. Ia merasa terhanyut ke dalam kisah yang diceritakan oleh Awra.

"Kami saling berpisah jalan setelah itu, berusaha memahami perasaan baru yang muncul di hati kami. Aku melakukan perjalanan kemana pun yang kumau. Di berbagai perjalanan kutemukan perasaan yang sama seperti lelaki dan wanita di hutan. Namun, banyak juga yang menunjukkan kekerasan dan pembunuhan seperti kaum kami dulu. Aku tetap suka membunuh, itu ada dalam darah dagingku tetapi tidak seperti dulu. Sekarang, aku harus punya alasan untuk membunuh."

Corby mengerjapkan mata sambil bertepuk tangan. "Woah, kisah yang sangat bagus. Nah, aku masih penasaran. Berapa umurmu?"

Awra menyeringai misterius. "Kalau yang itu rahasia."

Corby mendecakkan lidah karena tidak berhasil mengorek informasi penting itu.

Platina terkekeh melihat Corby yang terus bertanya untuk mencari tahu usia Awra. Platina masih terbawa ke dalam suasana kisah Awra tadi. Tentang ketulusan yang ditunjukkan oleh sepasang manusia dan juga cinta yang mampu mengubah jalan hidup Awra. Aren menepuk punggung Platina sembari tertawa kecil untuk menyemangati. Ia tahu pasti Platina merasa terharu dan berusaha menahan tangis mendengar cerita tadi.

Ruby menoleh ke belakang untuk mengecek keberadaan empat pria dewasa yang terus-menerus berdiskusi tanpa lelah. "Oh, Awra, apa yang kau lakukan di Amortium?" Ruby bertanya sambil mengalihkan pandangnya kembali pada Awra.

Awra memiringkan kepala sembari berusaha mengingat sesuatu. "Sudah lama aku tinggal di Amortium, semenjak muncul pemberontakan. Aku memaksa bergabung di dalamnya dan bertemu Xavier di sana. Seru sekali bekerja diam-diam dalam gelap, membunuh satu per satu prajurit yang bersikap kejam pada penduduk."

"Kau membunuh mereka?" tanya Platina.

"Yah, aku kan punya alasan. Mereka kejam. Jadi, mudah saja bagiku membunuh mereka dengan berbagai macam cara," sahut Awra sambil terkikik senang.

"Aku heran, kenapa pasukan prajurit belum menemukan kita," kata Flavian sambil menjentikkan jarinya berulang ke tanah.

Aren mengangkat bahu. "Mungkin saja, Raja Arlo bingung harus memerintahkan prajuritnya mencari ke mana. Apalagi Xavier juga tidak ada."

"Tak kusangka salah satu kurcaci yang kita temui kemarin ternyata pengkhianat," kata Corby sambil merenung. "Ternyata, tidak semua pejuang berhati bersih."

Mereka semua terdiam sejenak. Kesan kehadiran adanya pengkhianat di antara para pejuang telah menurunkan semangat mereka. Sinar panas mulai benar-benar membakar sekarang akibat matahari yang sudah muncul sepenuhnya. Hawa kering tempat peristirahatan mereka terasa tidak nyaman. Segera saja kerongkongan Platina seakan dipenuhi pasir yang membuatnya ingin terus menelan ludah. Tidak ada air yang tersisa untuk bisa membasahinya.

"Kita harus segera pindah," ujar Eryl. Ia mendekati lingkaran para remaja di depannya. "Kemasi barang-barang kalian."

Mereka semua melaksanakan perintah Eryl dengan cepat. Tak banyak yang harus Platina masukkan ke dalam ransel. Hanya alas tidurnya, sisir, dan buku merah yang sedari tadi ia pangku. Suatu saat aku harus belajar membacanya, batinnya.

"Aku akan menghubungi Seleca," kata Eryl pada Xavier yang mengangguk. "Kita bisa meminta pertimbangannya tentang langkah yang harus kita lakukan setelah ini." Eryl mengeluarkan cermin kecil dari balik jubahnya ketika ia melihat remaja berambut kuning mendekatinya.

Flavian menatap mata cokelat Eryl dan mengabaikan pandangan tajam dari Xavier. Ia bertanya, "Bisakah kau melihat keadaan Carmine?"

Telinga Platina bereaksi mendengar nama Carmine disebut. Ia menoleh untuk mendapati Flavian yang tampak mendesak Eryl.

"Aku ingin tahu keadaan adikku—Grizelda—di sana," lanjut Flavian pelan sambil memalingkan muka.

Eryl bertukar pandang dengan Xavier lalu menghela napas. "Baiklah, kita lihat keadaan Carmine dulu."

Semua orang sudah berkumpul di belakang Eryl—yang menggelengkan kepala heran dengan antusiasme mereka.

"Longe Aspiciat." Eryl mengucapkan kata sihir sembari meletakkan tangan kanannya di atas cermin. Perlahan-lahan, bayangan wajah mereka di cermin, digantikan dengan wajah tua penyihir perempuan di Carmine.

"Salam, Lunette," ujar Eryl sambil melihat pada cermin yang dipegangnya. "Bagaimana keadaan di Carmine?"

Platina menatap wajah Lunette dari cermin. Wajahnya menunjukkan raut muka kelelahan tetapi tetap tanpa datar tanpa ekspresi.

"Salam, Eryl. Dua hari yang lalu, musuh berhasil menemukan Carmine. Sejak itu kami telah bertarung mati-matian melawan prajurit musuh. Mereka seakan tak ada habisnya meski pun sudah banyak yang kami bunuh." Lunette menjelaskan dengan nada datar.

Mereka semua saling berpandangan. Nasib Carmine sepertinya sudah berada di ujung tanduk.

"Bagaimana keadaan Grizelda?" sahut Flavian dengan nada cemas.

"Beberapa kali terluka tetapi bisa kusembuhkan. Ia memaksa ikut bertarung dan menurut Raja Devon, tidak baik menghalangi keinginan seorang pejuang untuk memertahankan rumahnya," jawab Lunette.

Platina mengamati ekspresi Flavian yang tampak lega mendengar penjelasan Lunette. Ia merasa Flavian sedikit berubah akhir-akhir ini.

"Apakah Carmine masih mampu bertahan?" tanya Derrick. "Apakah perlu kami pulang untuk membantu?"

"Tidak, ini bukan tugas kalian. Kalian tidak perlu khawatir, serahkan saja pada kami di sini. Pasukan penyihir sudah bergabung sehingga menambah kekuatan Carmine. Sekarang, kalian sedang ada di mana? Apa yang akan kalian lakukan setelah ini?"

"Kami melarikan diri dari Amortium," jawab Eryl.

"Amortium?" tanya Lunette dengan nada penasaran.

Tiba-tiba, pintu di sebelah kanan Lunette terbuka. Penyihir itu menoleh ke arah kanannya sambil mengangguk. "Raja Devon," kata Lunette lirih.

Wajah Raja Devon menggantikan Lunette yang sudah mundur untuk memberikan jarak. "Salam kawan. Aku harap kalian aman di sana. Kulihat kalian sudah memiliki kawan baru di perjalanan." Raja Devon tersenyum sambil memandang Eryl, Awra, dan Xavier. "Aku dengar barusan, kalian melarikan diri? Apa yang terjadi?"

Eryl menjelaskan dengan singkat mulai dari penyerangan para Molk, keadaan Amortium, kejadian mereka menjadi tawanan dan cara mereka melarikan diri.

Raja Devon mengernyitkan dahi. "Aku sudah memperkirakannya. Nero mulai menguasai kota-kota besar. Menurutku, tidak ada jalan lain bagi kalian selain terus kabur." Raja Devon menjawab dengan nada serius sambil memandang Platina, Aren, dan Ruby. "Kecuali, kalian siap melawan Raja Nero secara terang-terangan sekarang. Jika itu yang kalian mau, bersikaplah bangga menjadi para pendatang. Pergilah ke Valonia dan hancurkan kastil hitam terkutuk miliknya."

Platina langsung merasa mual. Sudah lama ia menanti waktu saat ia dan teman-temannya harus melawan Raja Nero secara langsung. Ia merasa waktunya mulai mendekat sehingga dirinya berusaha untuk bersikap tegar. Namun, ia tidak bisa menepis rasa takut yang mencengkeram seluruh tubuhnya.

Platina memegang lengan kiri Aren yang membalas genggaman tangannya. Tangan kanan Aren perlahan menggamit tangan Ruby. Perempuan berambut merah itu sedikit kaget oleh sikap Aren tetapi merasa berterima kasih karena ia masih ditemani untuk menghadapi takdir. Aren mendapat tepukan dukungan di punggung dari Corby.

"Namun, kalian masih belum mampu," lanjut Raja Devon sambil mengatupkan kedua tangannya di depan bibir. "Kami juga belum bisa membantu kesulitan kalian."

Gelenyar rasa lega perlahan merambati punggung Platina. Ia merasa bisa sedikit bernapas karena masih memiliki waktu untuk mempersiapkan diri sebelum berhadapan langsung dengan Raja Nero.

"Ada saran ke mana kami harus pergi, Raja?" tanya Corby kepada Raja Devon yang sedang memejamkan mata. Raut wajah lelaki paruh baya itu tampak lelah dan penuh pikiran. Dahinya berkerut dalam seolah sedang berusaha menghentikan puluhan pikiran yang masuk tak beraturan ke dalam kepalanya.

"Allbion," desah Raja Devon. Ia membuka mata dan memusatkan perhatiannya ke arah cermin di depannya. "Pergilah ke Tebing Allbion. Kuharap kalian diterima dengan baik di sana."

Platina mendengar ketidakyakinan menyusup ke dalam perkataan Raja Devon barusan.

"Allbion menutup diri. Mereka tidak akan mau menerima pejuang seperti kami," ujar Xavier dingin. "Kuduga, Carmine pun tidak memiliki akses komunikasi ke dalam kerajaannya."

Raja Devon mengangguk lemah sembari memijat dahinya. "Memang. Namun, aku tetap menyarankan kalian menuju ke sana. Tempat itu paling aman bagi kalian untuk tinggal dan meningkatkan kemampuan," ujar Raja Devon. Ia mengangkat kepalanya dan menatap beberapa pasang mata yang balik memandanginya. "Kalian juga bisa memengaruhi mereka untuk berjuang bersama kita."

"Tidak ada salahnya mencoba," kata Corby sambil mengangkat bahu. "Jika gagal, paling parah kita hanya akan berjalan tak tentu arah mengelilingi Algaria tetapi bila berhasil, coba bayangkan kemungkinan kita memiliki sekutu sekuat dan sebesar Kerajaan Allbion. Harapan untuk menang dari Raja Nero akan semakin besar."

Aren nyengir senang mendengar pendapat dari Corby. Ia menepuk pundak temannya itu dengan semangat. "Aku setuju."

Raja Devon tersenyum melihat semangat kedua remaja itu. "Baiklah, kabari aku jika kalian berhasil masuk ke Allbion. Untuk saat ini, aku harus kembali ke pasukanku."

"Semoga kedamaian melindungimu," kata Eryl sambil mengangguk dan melepaskan kekuatan sihirnya.

"Semoga bintang-bintang menjaga kalian." Ucapan terakhir Raja Devon terdengar semakin lirih saat sihir Eryl perlahan memudar dan cermin itu kembali menjadi cermin biasa.

"Aku harus menunda menghubungi Seleca." Eryl menengadahkan kepala ke langit. "Kita harus bergegas."

Matahari semakin meninggi, menampakkan kekuatan sinarnya yang memanasi daratan. Tidak ada suara burung berkicau seperti yang biasa terdengar di Esmevere. Eryl meletakkan kembali cerminnya di balik jubah dan mengeluarkan perkamen cokelat. Ia merentangkan perkamen itu dan semua orang mengerubunginya. Peta Algaria terhampar di depan mereka.

"Kita di sini," ujar Eryl menunjuk salah satu dataran dengan gambaran gunung-gunung di sekitarnya. Di ujung paling timur agak ke atas, tampak gambar kapal besar di atas garis-garis yang bergoyang. Di sampingnya, bertuliskan Tebing Allbion. "Untuk mencapai Allbion, tidak mungkin kita melewati Vallgrief. Kita harus melewati padang gersang."

Platina memerhatikan peta dan penjelasan Eryl. Tidak sulit untuk memahaminya dan Platina dapat melihat gambar gunung tinggi yang disebut Vallgrief. Bahkan dari gambar saja, rasanya mustahil untuk melewati gunung itu.

"Kita akan melewati pinggiran Kota Sadergh, kota terkutuk," kata Eryl pelan. Tidak ada nada kecemasan atau ketakutan dalam suaranya. Namun, entah mengapa, Platina bergidik mendengar Eryl menyebut nama kota itu.

"Itu berbahaya," sahut Dave sambil menggeleng.

"Memangnya ada apa di sana?" tanya Aren penasaran.

"Kota itu milik panglima perang kepercayaan Nero. Manusia itu sama sadisnya dengan Nero. Selama ini, ia yang melakukan eksekusi pada para pemberontak," jawab Eryl.

"Peython," geram Corby. "Orang itulah yang membunuh keluargaku. Keluarga Dave dan Derrick, serta ratusan keluarga lainnya yang dulu tinggal di Aglaia."

Platina merinding mendengar namanya. Bukan karena takut, tetapi heran. Bagaimana bisa seorang manusia mampu membunuh ratusan manusia lain tanpa merasa bersalah?

"Menurut kabar yang beredar," kata Derrick, "Kota Sadergh sudah berubah. Dulu kota itu sangat indah, hampir menyerupai Carmine karena banyaknya pepohonan. Sejak Peython menguasainya, pepohonan ditebang habis untuk membuat peralatan perang. Tanahnya menjadi kering dan gersang. Tidak ada satu pun hewan yang bisa hidup di sana. Untuk bisa makan, para prajurit di sana menjarah kota-kota kecil di sekelilingnya. Selain itu, kau bisa melihat ribuan tengkorak manusia, yang ditancapkan dengan besi, mengelilingi kastil milik Peython."

Aren dan Platina berpandangan ngeri mendengar penjelasan Corby.

"Kita harus sangat berhati-hati agar tidak diketahui oleh prajurit yang selalu berjaga di gerbang Kota Sadergh. Memang berisiko, tetapi hanya ini satu-satunya jalan." Eryl menjelaskan dengan serius.

Semuanya terdiam sehingga suasana siang itu menjadi hening. Angin masih tetap berembus dengan perlahan. Aren merasa seperti ada yang kurang di siang hari itu. Kemudian ia sadar, tidak ada suara kicauan burung. Aren memandang ke langit dan memang tidak menemukan satu pun burung yang terbang. Tanpa sadar ia kembali bergidik, apakah Kota Sadergh akan sehening ini tanpa kehidupan lain selain manusia?

"Kita berangkat sekarang," kata Eryl sambil melipat petanya. "Kita akan mampir di salah satu desa kecil yang ada di perjalanan."

Semua orang mengangguk, termasuk Awra dan Xavier. Platina mengangkat tas ransel ke pundaknya, begitu juga Aren. Matahari bersinar terik sehingga membuat Platina mudah merasa haus. Namun, ia harus bersabar karena cadangan air yang mereka bawa sudah habis. Menemukan salah satu desa di perjalanan tidak mungkin sulit, kan? batin Platina.

Rombongan itu mulai bergerak, dipimpin oleh Eryl yang berada paling depan lalu Awra dan Xavier. Dengan tenang, wanita bertubuh anak kecil itu duduk menyamping di punggung si Centaurus. Si kembar tetap berjalan di bagian paling belakang, mewaspadai apa pun yang mungkin menyergap rombongan ketika lengah.

Platina menundukkan kepala agar wajahnya terlindung dari sinar matahari. Tudung jubah yang ia pakai cukup membantu menyembunyikan wajahnya tetapi membuat tubuhnya terasa gerah. Ia melihat Aren dan Ruby sedang berbincang di sebelahnya. Ia tersenyum melihat mereka berdua dan tidak ingin mengganggu sehingga ia mempercepat langkah untuk menyamai Corby dan Flavian yang berjalan dalam diam.

"Panas sekali hari ini," gumam Platina. Corby menoleh kepadanya sambil mengangkat ibu jari. Platina tertawa lemah.

"Rasanya aku ingin mandi di sungai jernih yang airnya dingin," kata Corby, "pasti rasanya menyegarkan."

Platina mengangguk setuju. Sejauh mata memandang, ia hanya bisa melihat padang gersang serta bebatuan berbagai bentuk dan ukuran. Beberapa semak terlihat tumbuh tidak beraturan. Pohon-pohon yang mereka temui, hanya menyerupai ranting tipis yang tersusun jarang-jarang. Daunnya pun tidak hijau, tetapi cokelat dan kuning. Platina juga tidak pernah menyangka bahwa kehidupan di padang gersang begitu sepi.

Beberapa kali angin berembus, meniup poni Platina yang menempel ke dahi karena keringat. Ia selalu mengangkat wajah jika angin datang, untuk merasakan sensasi dingin yang diidamkan. Namun, percuma saja, angin yang datang selalu terasa hangat seakan sudah berjanji untuk selalu menyamai hawa panas di padang itu.

Mereka terus berjalan sampai langit kembali berubah warna, biru menjadi oranye. Platina penasaran dengan cara Eryl menentukan arah perjalanan mereka karena ia merasa semuanya tampak sama. Ia yakin bisa tersesat jika ditinggal sendirian di padang gersang itu. Eryl tampak tidak ragu dengan jalan yang diambilnya. Tidak pernah sekali pun kebingungan atau berusaha membuka peta.

Angin kembali berembus, lebih kencang dari sebelumnya sampai tudung jubah Platina tertiup ke belakang. Platina mengernyitkan dahi. Ia mengendus sesuatu yang aneh. Gerakan-gerakan gelisah di samping Platina menandakan teman-temannya juga merasakan hal yang sama.

"Bau apa ini?" tanya Aren. Platina mengangkat bahu. Aroma yang baru saja mereka hirup terasa asing tetapi juga mereka kenali.

"Firasatku tidak enak," kata Eryl sembari mempercepat langkah diikuti oleh rombongannya.

Mereka berjalan lebih cepat sekarang. Matahari mulai kehilangan keinginan untuk memancarkan sinarnya. Angin berembus lebih sering saat senja. Hidung Platina beberapa kali menangkap bau itu lagi. Ia mulai berlari ketika kecepatan langkah Eryl sudah tidak dapat ditandingi. Mereka berhenti tepat di belakang Eryl yang sudah lebih dulu menghentikan langkah.

Platina terkesiap. Ia menutup mulut dengan kedua tangannya. Matanya membelalak menatap pemandangan paling mengerikan yang pernah ia lihat seumur hidupnya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top