Chapter 22 - Tawanan

"Tangkap mereka!"

Suara perintah itu bagaikan alarm yang berdenging di telinga Platina. Jantungnya mulai berdebar lebih cepat saat para prajurit mulai merangsek maju untuk menangkap mereka. Dave dan Derrick—yang berada paling depan—sudah merobohkan empat prajurit yang memaksa untuk masuk. Namun, puluhan prajurit lain siap menggantikan tempat prajurit yang roboh kesakitan karena luka di kaki atau pundak mereka.

"Lewat sini," kata Ruby sambil menggamit lengan Platina.

Platina melihat para kurcaci sudah tidak ada di ruangan itu dan kaki Adolf tampak menggantung di jendela.

"Cepat," kata Eryl. Ia menebas prajurit yang berlari ke arahnya dalam sekali tebasan mematikan ke leher.

Platina mengikuti Ruby yang sudah lebih dulu ke luar jendela. Ia menyerahkan gesper pedangnya lalu duduk di bingkai jendela dengan kepala di luar. Ia mencengkeram pinggiran atap kayu kemudian menarik dirinya untuk berdiri dan berusaha mengangkat tubuhnya melewati bingkai jendela. Ia menjatuhkan tubuhnya di atap yang datar dan menggenggam tangan Ruby yang terulur padanya. Platina segera memasang gesper pedangnya kembali di pinggang.

Aren, Corby, dan Flavian juga sudah berhasil naik ke atap. Mereka berlima berlari melewati atap-atap bangunan yang datar. Mereka melompati setiap bukaan sempit yang menjadi pemisah antar bangunan. Corby melongok ke bawah lalu melihat puluhan prajurit mengejar mereka sambil menunjuk. Flavian menariknya tepat waktu sebelum anak panah menyasar pundak Corby. Ruby merendahkan kepala sambil memasang panahnya pada busur. Ia mengarahkan senjatanya pada tiga prajurit terdepan. Tiga anak panah dilepaskan oleh Ruby dengan cepat, tepat mengenai paha masing-masing prajurit yang berteriak kesakitan.

"Berpencar," ujar Flavian. Ia berlari ke arah kiri diikuti oleh Corby.

Ruby berlari ke arah kanan sambil melepaskan anah panahnya yang keempat dan kelima. Aren dan Platina mengikutinya. Prajurit yang mengejar mereka terpisah menjadi dua rombongan, masing-masing berusaha menangkap targetnya.

"Atap selanjutnya terlalu jauh," seru Aren khawatir.

Platina melihat jarak antar atap yang harus mereka lompati dan langsung yakin kalau mereka tidak mungkin bisa melewatinya. Ruby menoleh ke kanan dan kiri mencari pintu loteng yang terbuka.

Seorang penduduk muncul membawa tumpukan pakaian basah ke atas loteng. Ruby melihatnya membiarkan tingkap pintu kayunya terbuka. Ia melesat maju menuruni tangga sambil berkata, "Permisi, bu. Kami izin lewat."

Perempuan itu terkejut melihat Ruby, Aren, dan Platina—yang mengucap maaf tanpa suara—berlari melewatinya.

Mereka bertiga turun dan keluar melalui pintu belakang rumah itu, mengabaikan teriakan protes dari seorang pria yang sedang mengasah kapak. Mereka berlari melewati jalan sempit berkelok-kelok tanpa mengurangi kecepatan. Platina hanya berfokus pada rambut merah Ruby yang berlari di depannya. Rumah-rumah penduduk di kanan dan kirinya tidak dihiraukan. Jantung Platina terus memompa darah untuk memberikan suplai oksigen pada seluruh bagian tubuhnya. Dadanya terasa berdebar kencang karena adrenalin yang meningkat dan keinginan agar tidak tertangkap.

Mereka terengah ketika melewati jalanan kota yang ramai. Aren menoleh untuk melihat keadaan mereka dan tampak beberapa prajurit masih mengejar di belakang.

"Mereka masih mengejar," desis Aren pada teman-teman di depannya.

Mereka terus berlari menyusuri jalan itu lalu mengubah arah ke kiri menuju sebuah jalan kecil. Mereka berbelok beberapa kali mengikuti jalan itu. Di akhir belokan, mereka menemukan tembok tinggi yang menghalangi jalan.

"Buntu," kata Platina cemas, "ayo, kita cari jalan lain."

Mereka berbalik untuk kembali ke jalan sebelumnya tetapi gagal ketika melihat puluhan prajurit sudah memenuhi jalan kecil itu.

"Sial, kita terjebak," ujar Aren kesal.

Ruby menembakkan anak panahnya ke beberapa prajurit di depan dengan harapan dapat memberi mereka jalan kosong untuk kabur. Namun, prajurit di belakang dengan cepat maju mendekati mereka. Platina dan Aren mengeluarkan pedang mereka dari sarungnya. Platina menelan ludah, darahnya berdesir, dan jantungnya terus-menerus berdentum. Tangannya yang memegang pedang sedikit gemetar saat prajurit pertama menerjangnya.

Platina menangkis ayunan pedang prajurit yang ada di depannya. Platina mendorong pedang itu dengan keras, melepasnya, kemudian menyabetkannya ke bagian paha prajurit itu yang tidak terlindung baju besi. Prajurit itu berteriak ketika sayatan logam berhasil menembus dagingnya. Platina meringis mendengar teriakan kesakitan prajurit itu.

"Ini tidak mudah," gumam Platina. Pertarungan ini berbeda dengan pertarungannya dengan pasukan Molk di malam sebelumnya. Sekarang, yang Platina hadapi adalah manusia. Melukai bahkan membunuh manusia bukanlah hal yang menyenangkan untuk dilakukan.

"Aku tidak perlu membunuhnya," gumamnya, "aku hanya perlu menyakitinya hingga ia tidak akan bisa menangkapku."

Dari sudut matanya, Platina dapat melihat Aren dan Ruby juga berusaha melawan para prajurit yang berusaha menawan mereka. Platina menusukkan pedang ke pinggang prajurit di depannya. Prajurit itu menjerit keras karena gagal menangkis pedang Platina. Tampak noda merah yang makin lama makin membesar merembes dari kain bajunya. Platina tidak melepaskan kesempatan ini. Ia sedikit melompat dan berputar lalu memukulkan gagang pedangnya pada leher lawan di depannya. Prajurit itu jatuh menelungkup dan tidak bisa berdiri lagi.

Rasa aneh memenuhi dada Platina. Belum sempat ia mendefinisikan rasa aneh yang baru ia rasakan itu, seorang prajurit lain menerjang maju ke arahnya dengan pedang terhunus. Platina sedikit bergerak ke kiri untuk menghindari pedang itu lalu langsung menusukkan pedangnya ke pinggang lawan. Darah kembali mewarnai pedangnya.

Berulang kali Platina melukai prajurit yang seperti tak ada habisnya terus menyerang dirinya. Rasa sakit menghantam bagian pundak kanannya karena terkena tusukan pedang lawan. Prajurit lainnya melihat pedang Platina sedikit turun dari posisinya. Prajurit itu langsung memukul lengan kanan Platina dengan keras.

Platina menggertakkan gigi untuk menahan nyeri. Ia berusaha mengayunkan pedang tetapi tangannya terasa berat. Ia berkelit menghindari serangan dua prajurit di depannya sampai punggungnya menyentuh tembok yang keras. Jantungnya mencelos ketakutan. Ia berusaha meminta bantuan pada Aren dan Ruby. Ia menoleh pada mereka dan melihat keadaan mereka berdua sama buruk seperti dirinya.

Aren berusaha mati-matian menghindari tiga prajurit yang mengepungnya. Pedang Aren sudah tak lagi di tangannya, jatuh saat kepalanya dipukul keras dengan gagang pedang milik si prajurit. Ruby sudah membasahi dua belati tajam miliknya dengan darah prajurit yang tidak mau menyerah menangkapnya. Ia mendapatkan pukulan telak di perut sampai jatuh terduduk.

Platina pasrah saat melihat tangan kedua temannya diikat ke belakang. Kedua tangannya pun tak luput dari sasaran. Ia mengernyit kesakitan ketika tali kasar memelintir kulit tangannya. Prajurit yang mengikat Platina, mengeratkan tali itu seerat yang ia bisa. Pedang dan gesper Platina diambil paksa dan dibawa oleh salah satu prajurit bersama dengan senjata milik Aren dan Ruby.

Aren melemparkan pandangan khawatir pada Platina ketika mereka bertiga digiring ke luar jalan kecil itu. Platina membalasnya dengan senyum menenangkan walaupun hatinya dipenuhi kecemasan dan ketakutan. Apa yang akan terjadi pada kami? batinnya. Ia ingin berontak melepaskan diri tetapi menyadari hal itu akan sia-sia. Pikirannya melayang ke teman-temannya yang saling berpencar. Ia berharap teman-temannya berhasil kabur dan bisa menyelamatkan mereka.

Mereka bertiga melewati jalan utama kota Amortium dengan dikawal oleh prajurit-prajurit yang tampak puas di belakang. Rombongan mereka tampak menarik bagi para penduduk yang sedang beraktivitas di luar mau pun di dalam rumah. Puluhan pasang mata memerhatikan mereka sambil bertanya-tanya tentang apa yang telah terjadi.

Platina menatap balik beberapa orang yang bertemu pandang dengannya. Kebanyakan dari mereka memakai baju berkain tipis yang lusuh seakan tidak pernah diganti selama bertahun-tahun. Ia sempat melihat anak kecil—yang memandanginya dengan mulut terbuka—mendapatkan tamparan keras dari pria berbaju bagus yang kemudian memarahi anak itu. Platina meringis melihatnya saat menyadari bahwa anak kecil itu adalah budak.

Mereka terus berjalan sampai ke depan sebuah kastil—yang terbuat dari batu—berwarna abu-abu muda. Pintu gerbang kastil dijaga oleh dua prajurit berseragam besi lengkap dan bersenjata. Kedua penjaga itu langsung membuka gerbang saat melihat rombongan prajurit dan tiga tawanannya datang.

Platina mengamati kastil besar yang ia masuki. Mereka berjalan masuk ke lorong panjang yang menuju sebuah ruangan dengan pintu besar. Walaupun sinar matahari dapat masuk melalui jendela, tetapi bagian dalam kastil itu terkesan suram. Platina melirik Aren yang tampak penuh emosi ketika pintu besar di depan mereka terbuka.

Ruangan itu memanjang lurus ke depan. Platina didorong oleh salah satu prajurit untuk berjalan masuk. Ia melihat dua barisan prajurit berjejer rapi saling berhadapan—menyisakan jalan di antara mereka—dengan pandangan lurus ke depan seakan tidak peduli dengan kedatangan para tawanan. Di ujung jalan, tampak sebuah kursi tinggi berhiaskan permata yang berada di atas podium tinggi. Seorang pria paruh baya berambut keriting duduk di atasnya. Ia mencondongkan badan penuh semangat ketika rombongan itu tiba di hadapannya.

Dada Platina terasa mencelos saat melihat Eryl, si kembar, Corby, dan Flavian berdiri di depan singgasana dengan tangan dan kaki dirantai. Teman-temannya juga tertangkap. Platina menghentikan langkahnya di sebelah Corby—yang menoleh dan tersenyum senang ketika melihat dirinya, Aren, dan Ruby.

"Syukurlah, kalian selamat," bisik Corby.

"Kalian juga tetapi kita tertangkap," balas Platina berbisik. Ia merasakan tali di tangannya dikendorkan. Darah kembali mengalir lancar ke telapak tangannya. Platina ingin mengusap pergelangan tangannya yang terasa nyeri tetapi dua prajurit telah memasangkan rantai di tangan—yang sekarang berada di depan—dan kakinya. Ia menggerakkan tangan tak nyaman karena beban rantai itu terasa berat.

"Nah, akhirnya, kalian semua ada di hadapanku," seru pria di singgasana dengan penuh semangat. Ia tampak bersemangat melihat seluruh buruannya berhasil ditangkap. Ia bertepuk tangan kemudian masuklah dua wanita muda—berpakaian terusan putih—membawa baki berisi buah dan teko. Wajah dua wanita itu tampak lusuh walaupun mereka mengenakan baju bagus. Mereka menaiki podium lalu berdiri di kanan dan kiri singgasana. Pria di singgasana itu tersenyum lalu mengisyaratkan seorang wanita untuk menyuapinya anggur hitam yang ada di baki.

Aren berlagak ingin muntah ketika pria itu melahap lima anggur sekaligus diikuti dengan kernyitan dahi Platina yang merasa jijik. Pria itu mengusap cairan hitam yang mengalir ke dagu dengan lengan bajunya yang bersulam emas.

"Kalian pasti tahu siapa aku. Jadi, berlututlah," ujar pria itu santai dengan mulut penuh anggur. Ia menerima secangkir minuman dari wanita di sebelah kirinya lalu menghabiskannya dalam dua teguk.

Platina memandang Corby meminta penjelasan tentang pria di depannya. Jika pria itu adalah raja, maka Platina tidak percaya. Perilaku pria itu tidak mencerminkan keanggunan para raja yang selama ini Platina lihat.

"Ayo, berlututlah! Kalian harus tahu Raja Arlo ini tidak suka dibuat menunggu." Pria itu mengulangi perintahnya ketika melihat para tawanannya masih tetap berdiri sambil menatapnya tajam.

"Kami menolak," kata Eryl dingin.

"Tidak boleh ada penolakan di kastil ini," geram Raja Arlo. Ia mengibaskan tangannya kepada prajurit sambil berkata, "Paksa mereka!"

Platina memekik kesakitan saat kedua betisnya terasa seperti disayat. Ia goyah, tak bisa lagi mempertahankan posisinya, lalu terpaksa jatuh berlutut. Ia menoleh ke kanan dan melihat Aren serta Ruby melakukan hal yang sama dengannya. Corby mendecakkan lidah kesal di sebelah kirinya tetapi ia juga terpaksa berlutut. Begitu juga dengan Flavian, si kembar, dan Eryl.

Platina mendengar Aren membisikkan kata sihir untuk membuka kunci rantai tetapi yang diinginkan tidak terjadi. Aren memandang Platina dengan bingung. Platina menggelengkan kepala tanda tidak mengerti. Ia merasa kakinya berdenyut di tempat luka yang ditorehkan paksa.

"Bagus! Kalian semua menghormatiku sekarang," kata Raja Arlo sambil tertawa senang. Ia menegakkan posisi duduknya lalu mengamati tawanannya satu per satu. "Nah, beritahu aku, siapa para pendatang di antara kalian?"

Mereka semua diam dan menampakkan wajah tanpa ekpresi. Raja Arlo rupanya belum tahu wajah sesungguhnya dari para pendatang.

"Cepat, katakan!" teriak Raja Arlo. Teriakannya bergema di ruangan yang panjang itu. Suasana hening sampai yang terdengar hanyalah dengusan kesal dari Raja Arlo.

"Kalian selalu butuh paksaan," ujar Raja Arlo sambil terkekeh. Ia berdiri lalu berjalan mondar-mandir di hadapan tawanannya. "Begini saja, bagaimana kalau kupenggal kepala kalian satu per satu sampai ada yang mengaku?" Ia tertawa senang sambil menggosokkan kedua tangannya. "Oh, ini akan menyenangkan."

Platina membelalakkan mata tidak percaya. Betapa mudahnya seorang raja mampu menentukan hidup dan mati seseorang. Ia mulai merasa panik ketika seorang prajurit berkapak berjalan maju setelah mendapat isyarat dari Raja Arlo. Dilema mulai memenuhi hatinya. Jika Platina mengaku dirinya adalah pendatang maka ia pasti akan dibawa ke hadapan Raja Nero saat itu juga. Ia belum siap berhadapan langsung dengan musuh utamanya itu. Ia juga tidak ingin membahayakan Aren dan Ruby yang pasti akan langsung mengaku juga sebagai pendatang untuk menemaninya. Selain itu, ia tidak tahu pasti nasib teman-temannya yang lain jika pengakuan itu benar-benar dilakukannya.

"Nah, nah, kita mulai saja dari manusia di ujung sana," ujarnya seraya menunjuk Eryl. "Kalau manusia itu bukan pendatang, pasti yang lain akan diam. Lalu, masih ada tujuh kepala lagi yang bisa dipilih."

Platina menelan ludah. Ia memutar otak berusaha mencari celah untuk selamat dari pesta-pemenggalan-kepala ini. Ia ragu Eryl bisa menggunakan sihirnya untuk menyelamatkan diri karena Aren telah mencobanya dan gagal. Raja Arlo tampak bersemangat untuk segera melaksanakan pembataian. Platina mendecakkan lidah kesal karena otaknya tidak mau diajak bekerja sama di saat seperti ini. Serangan rasa panik menguasai pikirannya.

"Bersiaplah," ujar Raja Arlo tersenyum lebar. Ia menatap wajah Eryl yang balik menatapnya dengan dingin.

Kapak sudah menempel di leher Eryl dan siap terhunus untuk memutus sambungan badan dan kepala. Prajurit pembantai mengangkat kapaknya. Aren sudah berdiri untuk menghentikan prajurit itu ketika Platina berteriak.

"Hentikan!" seru suara perempuan dan pria bersamaan.

Platina menoleh ke belakang, mencari sumber suara pria yang terdengar bersamaan dengan suaranya barusan. Aren tetap berdiri ketika pintu gerbang menutup di belakang pria yang berjalan mendekati mereka.

Pria itu memiliki rambut cokelat panjang yang diikat membingkai wajahnya. Rahangnya tampak lebar, telinganya runcing, dan bola matanya berwarna cokelat gelap. Ia memiliki tinggi badan melebihi ukuran rata-rata pria dewasa.

Platina menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas. Awalnya, ia tidak memercayai matanya. Namun, semakin pria itu mendekat, Platina semakin yakin dengan penglihatannya. Pria itu memiliki tubuh manusia pada bagian perut ke atas, sedangkan kakinya—yang seharusnya ada dua—berjumlah empat. Platina menduga pria itu adalah Centaurus. Suara derap langkah kuda terdengar bersamaan dengan pria itu berjalan mendekati podium dan menatap Raja yang tampak kesal karena kesenangannya diganggu.

"Raja," ujar pria itu dengan suaranya yang besar dan dalam. "Ada apa ini?" Ia melirik sekilas ke arah tawanan-tawanan yang dirantai.

"Kau mengganggu, Xavier." Raja Arlo mengibaskan jubah abu-abu panjangnya kemudian kembali duduk di kursinya yang nyaman. "Mereka adalah pemberontak. Aku yakin ada para pendatang di antara mereka."

"Bagaimana kau tahu?" Xavier bertanya sembari berjalan di depan tawanan-tawanan itu dan mengamati mereka. Ia berhenti agak lama di depan Eryl yang membalas tatapannya dengan tenang.

"Surat di kaki elangku mengatakan begitu," gerutu Raja Arlo. "Mana elangku?"

Seorang prajurit bertubuh pendek datang tergopoh-gopoh sambil membawa sangkar berisi burung elang di dalamnya. Ia berlutut dan membuka sangkar lalu membiarkan burung itu terbang menuju tuannya. Prajurit itu bergegas kembali ke belakang dan berdiri diam di samping prajurit lainnya.

Platina merasa mengenali elang yang bertengger di singgasana raja. Ia mendengar Aren berkata pelan dengan geram di sebelahnya.

"Kurcaci."

Platina tersentak. Ia ingat bahwa elang itu sama dengan elang yang ada di markas pemberontak. Bercak kuning di sayap kanan elang itu membuktikannya. Salah satu kurcaci pemberontak sepertinya telah berkhianat dengan melaporkan kedatangan mereka ke Raja Arlo. Platina menduga kurcaci yang memberi makan elang itu adalah pengkhianat karena hanya ia yang tampak dekat dengan si burung. Itu sebabnya prajurit tahu keberadaan kami di kedai, batinnya.

Raja Arlo berdiri lalu mengelus elang cokelat bermata tajam itu. "Nah, Xavier. Pergilah. Aku akan melanjutkan kesenanganku yang terputus."

"Tindakan itu tidak bijaksana."

Platina mengernyit. Centaurus itu berani menentang raja Arlo sedangkan seluruh orang di ruangan itu sedari tadi tampak sangat takut pada raja dan langsung mematuhi semua perintah.

"Ah, Xavier. Panglima perangku. Tunjukkan di bagian mana aku tidak bersikap bijaksana?" kekeh Raja Arlo percaya diri. Ia kembali duduk dan membiarkan Xavier menjawab pertanyaannya.

"Pertama, tindakanmu bodoh karena mengancam memenggal kepala mereka. Jika mereka semua mati dan salah satunya memang benar adalah pendatang, kau harus menghadapi konsekuensi mengerikan dari Raja Nero. Kedua, keputusanmu menangkap mereka secara terang-terangan di hadapan para penduduk, justru mempertegas keyakinan mereka bahwa pemberontak mulai bergerak lagi. Mereka akan tersulut untuk bersatu melawanmu."

Raja Arlo merengut mendengar penjelasan dari Xavier. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Apakah Raja Nero akan menghukumku?" Ia bertanya dengan suara gemetar ketakutan.

Platina bingung dengan perubahan suasana hati Raja Arlo yang begitu cepat. Saat di awal tadi, Raja Arlo tampak begitu berkuasa dan bersemangat. Sedangkan sekarang, ia terlihat tidak berdaya di hadapan Xavier dan ketakutan. Raja ini bodoh atau gila? Batin Platina tak mengerti.

"Masukkan mereka ke penjara belakang," ujar Xavier, "tempat paling lembab dan gelap di sudut. Kita akan bawa mereka ke hadapan Raja Nero besok pagi."

Dada Platina terasa tertohok mendengar rencana dari Centaurus itu. Meski pun sudah menjadi takdir para pendatang untuk mengalahkan Raja Nero, tetapi Platina tidak mau bertemu dengan raja lalim itu sebagai tawanan.

Raja Arlo kembali bersemangat seraya mengangguk menyetujui ucapan panglima perangnya. Ia menegakkan badan lalu berdehem sebelum berkata dengan suara lantang, "Bawa mereka ke penjara sesuai penjelasan Eryl. Kalian tadi dengar, kan?"

Sepuluh prajurit bergerak dari tempatnya, mendekati tawanan, dan menarik mereka berdiri. Platina mengernyit ketika kedua kakinya yang terluka terpaksa harus digunakan untuk berjalan. Ia merasa darah kering menempel ke kulitnya.

Mereka semua digiring ke luar pintu besar aula, diapit oleh lima prajurit di depan dan belakang. Platina heran ketika melihat Eryl dan si kembar bisa berjalan seperti biasa tanpa menunjukkan rasa sakit. Padahal, Platina sendiri harus menyeret kedua kakinya agar bisa tetap bergerak maju. Apalagi dengan rantai yang mengikat kaki mereka, memberikan beban tambahan hanya untuk berjalan. Flavian dan Corby juga terus melangkahkan kaki tanpa memedulikan rasa nyeri yang membakar di setiap langkah. Platina meringis prihatin melihat darah masih merembes ke luar dari luka Flavian setiap ia bergerak.

Platina berada di antara Aren dan Ruby yang juga berusaha menyembunyikan kesakitan mereka. Aren terus-menerus mendesis ketika kakinya harus melewati jalan menanjak di samping kastil. Setiap langkah yang harus mereka lakukan terasa pedih. Di balik tanjakan terdapat halaman luas yang tampak gersang. Tak ada pepohonan di sana, hanya semak-semak rimbun di beberapa tempat.

Mereka terus berjalan sampai menemui sebuah gerbang sempit berjeruji besi yang dijaga oleh dua orang prajurit. Mereka masuk bergantian dan mendapati puluhan sel penjara kosong yang berjajar memanjang di sebelah kiri. Sinar matahari memanaskan jalan berbatu yang mereka lewati, begitu juga dengan lantai penjara yang terbuat dari batu. Platina dan teman-temannya didorong masuk ke sebuah sel yang terletak paling ujung.

Platina mengamati sel itu cukup luas untuk mereka berdelapan. Jika sel lain tampak panas karena dapat ditembus cahaya matahari, maka tidak begitu adanya dengan sel mereka. Tempat mereka dipenjara justru terkesan gelap dan suram karena matahari terhalang oleh menara batu tinggi di seberang. Salah satu prajurit mengunci pintu dan menggoyangnya sebentar untuk memastikan pintu tertutup rapat. Ia mengangkat jempol pada prajurit lainnya dan mereka pun berjalan pergi.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Aren ketika prajurit-prajurit tadi sudah tidak terlihat.

"Duduk," sahut Eryl sembari melakukan perkataannya sendiri. Ia menghadap ke tembok batu membelakangi yang lainnya. "Angkat kaki kalian ke atas." Ia berbaring kemudian menyandarkan kedua kakinya pada tembok sehingga posisi kepalanya lebih rendah.

Mereka semua mengambil posisi bersebelahan untuk mendapat sandaran tembok. Kaki-kaki mereka berjajar menempel tembok dengan kedua tangan yang dirantai diletakkan di atas perut atau dada. Tubuh mereka terpaksa saling berdempetan untuk melakukannya. Platina menahan tawa saat tahu Aren salah tingkah di samping kirinya. Aren berusaha setengah mati mengatur detak jantungnya karena pundak Ruby menyentuh lengan kirinyanya serta pinggang mereka saling bersentuhan. Aren melotot kepada Platina yang terkikik pelan.

"Kita harus mencoba melarikan diri," ujar Corby sembari memandang atap batu di atasnya. Ia merasa nyaman dengan posisinya. Rasa nyeri di kakinya perlahan semakin berkurang dan bertambahnya aliran darah ke jantung serta otak membuat ia bisa berpikir jernih. "Sebelum mereka membawa kita ke Aglaia."

"Nanti kita coba saat hari mulai gelap," sahut Derrick, "terlalu berbahaya jika melakukannya sekarang. Prajurit-prajurit itu pasti masih berjaga di depan gerbang. Raja Arlo juga masih bersemangat menahan kita di sini." Ia terdiam sejenak lalu menambahkan, "Kurasa ia tidak terlalu pintar."

Terdengar gumaman setuju dari semua orang di penjara itu.

"Raja Arlo bahkan tampak tunduk pada Xavier," kata Dave diikuti dengan ucapan-ucapan setuju lagi. "Mungkin, kita harus lebih waspada kepada Centaurus itu dibandingkan raja."

"Xavier benar-benar Centaurus?" tanya Aren penasaran.

"Kami menyebutnya seperti itu," jawab Derrick. "Kaum Centaurus ahli dalam berperang tetapi hanya sedikit yang bersedia tinggal dan hidup bersama manusia. Kebanyakan dari mereka tinggal di hutan atau gunung."

Aren mencerna penjelasan dari Derrick sambil mengingat bentuk tubuh Xavier yang tidak terlalu berotot tetapi padat bahkan tubuh bagian belakangnya—yang berbentuk seperti kuda—juga tampak kuat.

"Apakah kita bisa melewati penjagaan kastil nanti?" tanya Ruby. "Belum lagi dengan penjagaan pintu gerbang Amortium. Waktu kita sempit dimulai dengan kabur dari sini sampai ke luar kota. Kita harus merencanakannya."

Mereka semua mengeluarkan pendapat tentang berbagai cara melarikan diri. Setiap cara memiliki keuntungan. Namun, kelemahan semua cara itu sama, yaitu waktu. Mereka tidak memiliki waktu sebanyak yang mereka harapkan. Dibutuhkan pengalih perhatian untuk memberi mereka jeda waktu yang cukup.

Aren mendengarkan dengan seksama setiap pendapat yang dilontarkan. Ia juga menyampaikan idenya sendiri tetapi langsung dipatahkan karena rencananya terlalu gegabah. Ia memutar otak untuk mencari rencana yang paling tepat bagi mereka sembari memejamkan mata. Tanpa ia sadari, suara-suara perdebatan itu perlahan menjauh dan menghilang, digantikan dengan umpatan yang terdengar keras.

"Sial, kenapa rantai ini sulit sekali dibuka?" tanya Corby frustasi. Ia telah mencoba berulang kali mengakali kunci pada rantainya dengan sepotong besi tipis yang ia temukan di sela-sela batu.

"Sstt, suaramu terlalu keras. Nanti penjaga bisa datang," desis Ruby mengingatkan Corby yang sedang duduk dan berusaha mengotak-atik rantai di kakinya.

Aren baru menyadari kalau dirinya tertidur tanpa mengubah posisi. Ia mengerjapkan mata beberapa kali lalu menyadari hanya dirinya yang masih menyandarkan kaki ke tembok. Ia bergegas berguling ke samping kanan kemudian meringis kesakitan saat mencoba menekuk kedua kakinya.

"Tidurmu nyenyak? Mulutmu tadi sampai terbuka," kata Platina sambil terkekeh.

Aren buru-buru mengusap mulutnya. Ia malu jika sampai bersikap konyol saat tertidur di dekat Ruby. Aren menatap langit yang sudah gelap. Lama juga tidurku, batinnya. Ia memutar lehernya perlahan untuk mengusir rasa kaku akibat tidur di lantai batu yang keras.

Eryl berdiri di dekat pintu berjeruji besi, mengamati keadaan di luar sejauh matanya dapat memandang. Sel penjara itu gelap, hanya remang-remang api kuning dari obor di luar yang sedikit masuk memberi cahaya. Tak ada bulan di hari itu yang bisa menerangi langit. Eryl menggumamkan sebuah kata sihir tetapi pintu itu bergeming. Ia menggelengkan kepala.

"Penjara ini tidak mempan terhadap sihir," ujar Eryl pelan. "Begitu juga rantai yang mengikat kita."

"Bagaimana bisa?" tanya Flavian.

"Disihir agar menghalangi sihir kontranya," jawab Eryl sambil terus melihat ke arah luar.

Flavian mengangguk mengerti sedangkan Aren mengernyit bingung. Flavian menyadari kebingungan lelaki itu lalu berkata, "Kau tidak akan bisa membuka pintu dan rantai dengan sihir karena sihir sebelumnya akan bekerja menghalangi sihir selanjutnya." Ia memandang Aren yang masih berusaha untuk memahami penjelasannya. Ia menghela napas. "Singkatnya, semakin kau mencoba membuka pintu atau rantai, maka semakin rapat kunciannya."

Aren menjentikkan jari tanda mengerti. Otaknya memroses segalanya lebih lambat jika ia baru bangun tidur. "Tunggu dulu, kenapa kau bisa tahu?"

Flavian mengalihkan pandangannya dari Aren. "Aku hanya mengulang kata-kata Eryl."

"Perkataan Eryl tidak jelas."

"Cukup jelas bagiku," ujar Flavian dingin, "jangan samakan otakku dengan otakmu."

Aren sudah akan mengeluarkan ucapan balasan ketika tangannya ditarik oleh Platina.

"Sudahlah, kenapa kau begitu penasaran?" tanya Platina sambil memandang Aren tajam. Ia berusaha menghentikan teman lelakinya itu dari perdebatan panjang yang tak berujung jika sudah berhadapan dengan Flavian.

Aren menyadari dirinya juga ditatap oleh Ruby sehingga ia hanya mengangkat bahu dan menelan kembali kata-kata yang tadi sudah ada di ujung lidah. Ia berusaha mengalihkan perhatiannya dengan mengamati luka di betisnya. Ia mengernyit saat melihat luka menganga tampak di balik kulit yang dilumuri darah kering. Cahaya yang masuk ke sel itu hanya sedikit sehingga Aren tidak bisa menentukan seberapa dalam lukanya.

"Ini tidak akan berhasil," gerutu Corby yang duduk—dengan kaki diluruskan—di dekat pintu sel agar cahaya bisa menerangi kegiatannya. Ia tetap tidak bisa membuka kunci rantainya karena besi yang ia temukan terlalu tipis. Ia menopangkan dagu ke tangan seraya menatap ke luar. "Seandainya ada yang membawakan kita kunci."

Eryl merapatkan tubuh bagian kirinya ke jeruji pintu. Pandangannya—yang lebih tajam daripada manusia—menangkap sekelebat bayangan hitam yang bersembunyi di semak-semak terjauh dari penjara mereka. Ia menyipitkan mata dan melihat semak-semak itu bergoyang pelan padahal saat itu tidak ada angin yang berembus.

"Kau lihat itu?" bisik Corby pada Eryl. Corby juga melihat gerakan di balik semak-semak yang semakin mendekati tempat mereka dikurung. Walaupun tempat itu gelap, mata Corby masih bisa mengikuti gerakan aneh yang berada di seberang.

Si penyihir mengangguk. Gerakan pelan semak-semak itu berhenti. Eryl dan Corby berpandangan penasaran.

"Mungkin cuma hewan," kata Corby.

Suara gerisik semak terdengar pelan tetapi mereka semua menyadarinya. Dave dan Derrick sudah berdiri dan menatap semak-semak di dekat sel mereka. Platina dan Ruby bertukar pandang bingung. Aren berbisik pada Flavian, "Apa itu?"

Belum sempat Flavian menjawab, sesuatu di balik semak-semak itu bergerak cepat mendekati penjara. Sosok itu keluar dari semak dan menjadi lebih tinggi ketika mendekati pintu. Terdengar suara samar kunci terbuka, pintu mengayun ke dalam lalu sosok itu masuk dan menutupnya kembali. Semua terjadi dalam sekejap, sehingga tidak ada yang sempat bereaksi dengan kedatangan sosok misterius itu.

Sosok itu menarik tudung jubah hitamnya, menampakkan rambut bergelombang berwarna emas di baliknya. Sepasang mata kuning seperti kucing menatap mereka semua di dalam penjara. Ia menyeringai lalu berkata, "Aku akan menyelamatkan kalian."

Aren bergidik mendengar suara itu. Perempuan di depannya memiliki tubuh seperti gadis kecil tetapi suaranya seperti wanita dewasa. Ia lebih pendek dua kepalan tangan dari Platina.

"Siapa kau?" seru Corby penasaran dengan munculnya tamu tak diundang itu.

"Awra," jawabnya singkat. Ia sudah mendekati Platina dan membuka kunci rantai di tangan dan kakinya.

Platina tidak bisa berkata-kata karena masih terpana dengan gadis kecil berambut emas itu. Ia meletakkan rantainya di lantai dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi yang membuat penjaga mendatangi mereka.

Terdengar suara tawa terbahak mengudara. Mereka semua membeku sejenak. Awra sudah akan membuka kunci rantai Ruby tetapi ia terdiam sesaat sambil menunggu suara selanjutnya muncul. Terdengar kembali suara tawa beberapa pria dari tempat yang sama. Awra dengan cepat membuka ikatan rantai Ruby, Eryl, dan Corby secara berurutan.

"Dari mana kau dapat kunci itu?" tanya Corby saat Awra mendekatinya. Terdengar bunyi kunci membuka dari rantainya.

"Mudah diambil dari penjaga," jawabnya tenang. Ia bergegas ke arah Aren, Flavian serta si kembar. Setelah semua rantai terbuka, ia mengikuti Eryl yang sedang mengamati keadaan di luar. Sedangkan yang lain sedang menggosok pergelangan lengan dan kaki mereka yang akhirnya terbebas dari beban berat yang merantai selama ini.

"Ada berapa prajurit yang berjaga?" tanya Eryl.

Awra memiringkan kepala. "Lima belas. Dua puluh paling banyak."

Aren mengernyit mendengar banyaknya jumlah penjaga di depan penjara. "Bagaimana kita bisa lolos dari mereka?"

"Aku, Dave, dan Derrick akan berada di depan," ujar Eryl yang sudah memikirkan sebuah rencana. Ia menunjuk Ruby, Flavian, dan Corby. "Kalian bisa bertarung tanpa senjata?"

"Kami usahakan," jawab Corby enteng diikuti anggukkan dari Ruby dan Flavian.

"Platina dan Aren, kalian di belakang kami," kata Eryl. Ia bergegas menambahkan penjelasannya ketika melihat Aren akan memrotes pembagian tugasnya. "Kalian gunakan sihir untuk melindungi kami. Pasti ada penjaga bersenjatakan busur panah di luar. Hentikan panah mereka sebelum mengenai kami."

Aren merubah ekspresi tidak setujunya dengan cengiran senang. Ia baru sadar bahwa sihirnya sudah bisa digunakan kembali. Ia merasa ada bagian yang bergejolak—menuntut untuk dikeluarkan—di pikirannya yang paling dalam. Ia menepuk punggung Platina yang tampak gugup untuk melawan prajurit bersenjata tanpa senjata.

"Haruskah kita membunuh mereka?" tanya Dave.

"Ya," jawab Awra bersamaan dengan kata 'tidak' dari Eryl.

Awra memandang Eryl dengan tatapan tidak percaya. "Lebih mudah jika kita langsung membunuh mereka."

Aren merinding mendengar perkataan enteng Awra. Ia masih belum bisa menerima pembunuhan manusia sebagai jalan utama. Namun, dalam keadaan terdesak, mungkin ia dapat melakukannya. Mendadak, ia merasa mual dengan pikirannya sendiri.

"Tidak," ujar Eryl tegas. "Jangan berikan alasan untuk Raja Arlo kembali menangkap kami."

Awra mengangkat bahu. "Aku paling depan," kata Awra sembari mengangkat tudung menutupi kepalanya. "Ayo."

Gadis kecil itu sudah membuka pintu penjara sebelum Eryl sempat memrotes pengaturan sepihak darinya. Mereka semua keluar bergantian dan langsung berbaris di tempat yang paling gelap. Mereka tertutup bayang-bayang dari menara tinggi. Namun, semakin maju, mereka akan semakin terlihat oleh para penjaga.

Para penjaga di pintu gerbang belum menyadari keberadaan mereka. Mereka masih berbincang sambil berdiri dan tertawa membelakangi penjara. Awra memimpin menuju bagian depan, mendekati pintu gerbang.

Tanpa sengaja, kaki Platina menginjak daun-daun semak yang kering. Suaranya pelan tetapi salah satu dari penjaga kebetulan menoleh ke belakang. Penjaga itu membelalak marah melihat semua tahanannya berhasil keluar dari kurungan.

"Diam di tempat!" serunya. Ia bergegas membuka pintu lalu masuk diikuti belasan penjaga lainnya yang sudah siap dengan pedang di tangan. Lima prajurit berpanah bergegas berdiri di posisinya masing-masing, di atas tembok batu menghadap para tawanannya.

Aren menghitung prajurit-prajurit itu dengan cepat. Api obor yang tergantung di dinding gerbang, membuatnya dapat melihat dengan baik. Sekitar tiga puluh prajurit menghadang mereka, menutupi jalan menuju kebebasan. Aren menelan ludah. Ia dan Platina berfokus pada lima prajurit yang sudah menarik busur dan mengarahkannya kepada target. Mereka harus siap kapan pun anak panah itu dilepaskan.

Awra berbalik menghadap mereka dan tersenyum bersemangat. "Kita lakukan sesuai rencana."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top