Chapter 21 - Pemberontak
"Rose. Namanya Rose. Temanku ini memang sedikit ...," ujar Aren sambil menaruh jari telunjuknya di dahi dan menggerakkannya miring. Ia berjalan mendekati Platina setelah urusannya selesai dengan penjaga satunya.
Penjaga berjambang itu mengerutkan dahi sambil menulis sesuatu di perkamen yang ia bawa. "Hmph, baiklah. Jaga ia baik-baik. Jangan sampai membuat masalah."
"Pasti," ujar Aren sambil nyengir dan menarik tangan Platina untuk masuk ke gerbang sebelum ia bisa menyuarakan protesnya.
"Dasar, kau membuatku terlihat buruk." Platina mendengus kesal pada Aren. Padahal dalam hati, ia merasa lega telah diselamatkan oleh Aren yang kebetulan melihat dirinya bingung di depan gerbang tadi.
Aren terkikik puas. "Kau sih lambat sekali mengarang nama padahal Eryl sudah mengingatkan kita tadi. Penjaga akan curiga kalau kau terlihat bingung."
"Memangnya, Eryl mengatakan kita harus mengganti nama?" tanya Platina heran.
"Memangnya tidak?"
Aren tertawa makin keras saat melihat wajah Platina berubah menjadi kesal. "Tidak lucu."
"Diamlah, jangan menarik perhatian!" Eryl mendesis pada Aren yang langsung terdiam. Platina menatap Aren sambil tertawa tanpa suara.
Mereka berdua terdiam ketika menyadari telah berada di bagian dalam Kota Amortium. Kota itu penuh dengan bangunan yang berjajar tidak beraturan. Jalanannya terbuat dari susunan batu berwarna abu-abu kusam. Tidak ada pepohonan di sepanjang jalan sejauh yang bisa dilihat Platina. Hanya ada beberapa tanaman dalam pot yang menyembul dari balik jendela rumah. Puluhan manusia berseliweran di jalan-jalan kota, sibuk dengan urusan masing-masing.
"Ikuti aku," ujar Eryl berbisik.
Rombongan itu mengikuti Eryl dengan langkah biasa agar tidak menimbulkan kecurigaan para penduduk.
"Kita mau ke mana?" tanya Dave dari belakang.
"Temanku," ujar Eryl pendek. "Jangan bicara. Belum aman."
Platina mengikuti Eryl sambil sesekali mengamati keadaan jalanan kota itu. Orang-orang saling berjalan tanpa memerhatikan satu sama lain. Beberapa kelompok kecil di pinggir jalan mengumandangkan tawa. Mereka terus berjalan sampai ke bagian paling ujung kota karena Platina melihat tembok batu yang mengelilingi kota sudah ada di belakang bangunan-bangunan di depan mereka.
Eryl masuk ke sebuah gang sempit di antara bangunan-bangunan batu. Mereka harus berbaris satu per satu agar bisa melewati jalan itu. Suasana terasa gelap karena matahari terhalang bangunan tinggi di samping kanan mereka.
Eryl berbelok ke kanan lalu ke kiri lalu lurus lalu berbelok lagi. Platina sudah tidak dapat menghafal banyaknya belokan yang mereka lalui. Eryl sepertinya sangat mengenal jalanan sempit bagai labirin itu. Platina mulai terkena serangan klaustrofobia. Ia merasa seperti tidak dapat bernapas dan memandang ke atas seakan ingin terbang ke luar. Ia berusaha menenangkan diri dengan menarik napas panjang dan dalam.
Tiba-tiba, ia menabrak Flavian yang berjalan di depannya. Ia buru-buru menggumamkan maaf. Flavian hanya mengangguk singkat.
"Kedai minum itu," tunjuk Eryl ke belakang punggungnya. "Di situ ada markas pemberontak." Platina melihat papan kayu gantung, bergambar dua gelas bir, yang sudah menghitam dimakan usia. "Kita masuk bergantian agar tidak tampak seperti rombongan dari luar Amortium."
Mereka semua mengangguk lalu membagi diri. Eryl masuk lebih dulu bersama Platina dan Aren. Mereka bertiga bergegas masuk ke kedai dipimpin oleh Eryl.
Platina spontan menutup hidung dengan tangan begitu masuk ke kedai itu. Bau tembakau terbakar memenuhi ruangan yang padat oleh pengunjung. Suasana ruangan itu ramai, penuh celotehan kasar dan dalam karena sebagian besar pengunjungnya adalah lelaki. Pencahayaannya temaram disebabkan jumlah jendela yang minimal. Eryl berjalan santai menuju meja tengah, tempat seseorang sedang berdiri sambil mengelap gelas besar di tangannya.
"Aku ingin bertemu dengan pemilik kedai ini," ujar Eryl sambil membuka tudung jubahnya.
Orang yang mengelap gelas itu hanya melirik sesaat lalu berkata, "Aku pemiliknya. Mau apa kalian?"
Platina dan Aren menatap rak-rak besar yang dipenuhi botol-botol kaca dengan berbagai bentuk dan warna. Rak-rak itu berdebu seperti tidak pernah dibersihkan walaupun botol-botol di dalamnya tampak berulang kali dikeluarkan dari tempatnya.
Pemilik kedai menyadari pandangan penasaran dua remaja yang baru dilihatnya itu. Ia mendekatkan wajahnya ke depan Platina sambil menyeringai, "Mau minum apa, Nak?"
Platina membelalakkan mata. Ia terkejut menatap wajah kusam di depannya dengan dua mata kecil licik serta kepala botak.
"Bir, huh? Sepertinya kau masih terlalu muda untuk itu. Aku bisa buatkan koktail semut merah, setup buah api, atau sari bunga menjerit," lanjut pemilik kedai itu.
"Sari bunga menjerit?" sahut Aren. Ia bergegas menutup mulut tetapi terlambat. Kepala botak pemilik kedai telah menoleh ke arahnya.
"Kau tidak tahu? Dari mana kau berasal?" tanya pemilik kedai curiga. "Semua anak kecil pasti pernah bermain dengan bunganya dan meminum sarinya."
Aren hanya bisa meringis menyadari kebodohannya. Sekarang, ia harus menahan rasa sakit pada lengan bawahnya yang dicubit kuat oleh Platina dan tatapan tajam penuh kekesalan dari Eryl. Platina menengok ke belakang dan melihat Flavian, Ruby, serta Derrick baru saja masuk ke kedai dengan tenang.
"Aku butuh sesuatu yang keras," sahut Eryl berusaha untuk mengalihkan perhatian si pemilik kedai dari Aren.
Pemilik kedai itu menoleh ke arah Eryl dan menyipitkan mata yang membuat matanya semakin tampak kecil. "Sebutkan yang kau mau," katanya kasar.
"Bukan keras yang itu, keras yang satunya."
Eryl dan pemilik kedai itu melakukan kontak mata selama beberapa saat. Platina menggerakkan kakinya dengan gelisah. Lengannya disenggol oleh Aren untuk menunjukkan bahwa Corby dan Dave sudah di dalam kedai.
"Ke atas," ujar pemilik kedai sambil menunjuk tangga di sebelah rak-rak minumannya. "Dinding paling timur." Ia kembali mengelap gelas-gelas yang tadi ditinggalkannya sembari memasang wajah merengut.
Eryl mengangguk lalu berjalan ke arah tangga yang tadi ditunjuk. Platina dan Aren mengikutinya dalam diam, begitu juga teman-temannya yang lain. Mereka memberi jarak waktu sebelum mengikuti Eryl naik ke tangga.
Setelah semuanya sudah berada di lantai dua, Eryl menuju ke dinding kayu sebelah timur. Platina mengamati lorong lantai dua itu cukup sempit sehingga mereka semua terpaksa berdiri saling berdempetan. Platina mengernyit bingung saat Eryl mengetuk dinding kayu yang tampak kosong.
Sesaat kemudian, terdengar bunyi kayu berderit membuka, dan tampaklah sepasang bola mata hitam muncul dari balik dinding yang tadi diketuk. Sepasang mata itu melirik melalui bukaan persegi panjang setinggi pria dewasa dan selebar jarak kedua mata.
"Telur pecah," ujar Eryl pada seseorang di balik dinding.
Kedua mata itu membelalak sesaat kemudian ia menutup bukaan persegi itu dengan cepat. Perlahan, dinding kayu itu terbuka lebar membentuk sebuah pintu yang batasnya tersembunyi dengan baik diantara guratan-guratan kayu. Seorang pria bermuka masam dan bertubuh kekar dengan kulit kecokelatan, berdiri di balik pintu itu. Potongan rambut hitamnya pendek tak beraturan dengan beberapa bagian yang sudah tampak memutih. Ia memegang pisau daging besar di tangan kanan seakan sudah siap mencincang seluruh daging yang ada di hadapannya.
"Carmine sudah diserang. Esmevere bergerak," bisik Eryl pada lelaki di depannya.
Lelaki itu menyipitkan mata lalu berkata, "Masuk."
Mereka semua tidak perlu diperintah dua kali untuk menuruti perkataan lelaki itu. Platina melangkah ke dalam dan mendapati dirinya berada di ruangan yang lumayan luas. Dua jendela persegi menjadi satu-satunya penghias dinding ruangan itu. Di dekat jendela, duduklah tiga orang kurcaci pria berjenggot tebal, salah satu kurcaci itu sedang memberi makan burung elang yang bertengger di bingkai jendela. Platina memerhatikan elang itu memiliki bercak kuning di sayap kanannya yang berwarna cokelat. Di ruangan itu juga ada satu orang kekar lagi yang sedang duduk sambil minum bir.
Lelaki kekar—yang memegang pisau daging—menutup pintu lalu menguncinya. Ia mengamati Eryl dengan seksama tanpa melepaskan pisau di tangannya. Tiba-tiba, ia tersenyum lebar lalu memeluk Eryl dengan bersemangat.
"Hei, kawan. Aku tidak mengenalimu," seru lelaki itu. "Ke mana perginya tubuh setengah pohonmu?"
Eryl melepaskan diri dari pelukan itu, melirik pisau daging yang nyaris mengenai tubuhnya. "Tenangkan dirimu, Rey. Suaramu bisa menarik perhatian orang-orang di bawah."
Rey tertawa keras mendengar perkataan Eryl seolah itu lelucon. "Tak perlu khawatir. Kebisingan di bawah selalu mengalahkan keramaian di atas sini." Ia berjalan ke meja pria kekar yang satunya lalu meletakkan pisau daging di sana.
"Penyihir selalu tak punya adat," sahut salah satu kurcaci.
Semua orang menoleh pada kurcaci yang sudah turun dari tempat duduknya. Kurcaci itu hanya setinggi perut Platina namun tubuhnya yang besar diselubungi baju besi. Rambut panjangnya bersaing dengan panjang jenggotnya yang tebal menjuntai sampai ke perut kurcaci itu. Ia maju mendekati Eryl dengan kepala mendongak sedangkan Eryl menunduk untuk melihatnya.
"Selalu pergi tanpa kabar lalu datang begitu saja," lanjutnya, "kabar buruk apa yang kini akan kau sampaikan pada kami?"
Eryl memandang dingin kurcaci itu. "Kau tak tahu diuntung ya, Corwin. Coba kau ingat, siapa yang telah menyelamatkan kaki kirimu?"
Kurcaci itu sedikit berjengit mendengar sindiran yang ditujukan ke kakinya. Ia mengepalkan tangan bersiap untuk menyerang Eryl.
Platina panik mendengar nada perselisihan dari mereka berdua. Ia hampir melerai saat Eryl juga mengepalkan tangan lalu mempertemukannya dengan kepalan milik si kurcaci.
"Lelucon lama. Kau harus mencari yang baru." Kurcaci itu—yang bernama Corwin—tertawa terbahak sambil terus mengadu tangannya dengan Eryl.
"Kau tidak berubah. Tetap saja pendek," ujar Eryl tersenyum.
Platina dan Aren berpandangan. Eryl yang jarang tersenyum, justru melakukannya pada kurcaci yang tampak setengah mati membencinya. Mereka penasaran dengan masa lalu yang terjadi antara Eryl dan Corwin.
"Duduklah kalian semua," ujar Corwin sambil terus terbahak. "Teman lama kita ini memang seenaknya sendiri," lanjutnya sambil mengibaskan tangan.
Mereka semua duduk di kursi kayu yang diposisikan sehingga saling berhadapan dengan orang dan kurcaci yang baru mereka temui. Platina dan Aren membuka jubah yang mereka kenakan begitu juga dengan yang lainnya. Udara di dalam ruangan itu cukup panas. Keringat sudah membasahi dahi dan leher Platina. Ia mengibaskan tangan kanannya ke leher dengan harapan bisa mendapat angin segar.
Rey terkekeh melihat tamu-tamunya kepanasan. Ia menarik tali berulir tebal di belakangnya lalu terdengar suara gemerincing lonceng—yang Platina duga—berada di bawah.
"Bagaimana keadaan Amortium?" tanya Eryl memulai percakapan.
Rey mendecakkan lidah. "Parah," katanya, "Raja Arlo bersumpah setia pada Nero. Ia sudah gila." Perkataan Rey diikuti anggukkan setuju dari temannya dan ketiga kurcaci.
"Raja Arlo menetapkan pajak yang tinggi kepada warganya. Kuduga ia diharuskan membayar upeti untuk Nero. Jual beli budak mulai diberlakukan lagi. Para pemberontak tidak berani menentangnya sekarang setelah ia bersekutu dengan Nero. Mereka lebih memilih bekerja untuk membayar pajak. Dasar cecunguk," lanjut Rey kesal. "Hanya kami yang mau berkumpul di markas ini."
"Beberapa hari yang lalu, pasukan prajurit Nero diperbolehkan melewati gerbang kita. Tidak ada perlawanan sama sekali dari kerajaan. Cih, raja otak udang. Mereka menggeledah seisi kota termasuk ke berbagai penginapan dan rumah warga. Tanpa ampun mereka berani mengacak-acak tempat itu, yang kuyakini hanya sebagai kesenangan mereka saja. Namun, mereka tidak menemukan apa pun itu yang mereka cari. Pasukan itu pergi dari Amortium dengan tangan kosong." Rey mencondongkan tubuhnya ke arah rombongan. "Ada desas-desus yang beredar, kalau Nero sedang mencari pemberontak yang katanya bisa mengalahkannya," ujar Rey memelankan suara. "Kudengar, mereka disebut sebagai para pendatang."
Platina dan Aren menggeser posisi badan mereka dengan tidak nyaman.
Rey menyandarkan punggung di kursi sambil meneguk birnya yang tinggal separuh. "Kabar burung semacam itu cepat menyebar. Seluruh penduduk sekarang sedang membicarakannya. Mereka mulai berharap Nero akan bisa dikalahkan."
"Itu bukan kabar burung," kata Eryl tenang.
Rey menyemburkan bir yang baru saja diminumnya, terkejut mendengar sangkalan dari Eryl. Ia mengusap tetesan bir di dagu menggunakan lengan kanannya.
"Apa maksudmu?" sahut Corwin sebelum Rey bisa kembali berkata-kata.
"Aku sedang bersama mereka," kata Eryl sambil melambaikan tangannya ke arah para remaja di sebelahnya. "Bisa kupastikan kabar itu benar. Para pendatang akan menjadi kunci bagi kita untuk merebut kembali kesejahteraan Algaria."
Rey dan temannya serta para kurcaci mengamati remaja di depan mereka satu per satu, berusaha menebak siapa para pendatang yang Eryl maksud. Platina merasa gugup diperhatikan seperti itu. Sebaliknya, Aren justru merasa senang dan tidak bisa berhenti tersenyum.
"Bisa apa mereka?" tanya kurcaci yang sedang menyuapi elangnya dengan potongan daging. "Mereka tidak tampak kuat di mataku. Bagaimana bisa mereka mengalahkan Nero?"
"Mereka punya cara," ujar Eryl sambil melirik Platina, Aren, dan Ruby. Ketiga remaja itu hanya bisa diam karena mereka masih belum memiliki cara untuk menghancurkan kekuasaan Nero. "Seleca dan Fidel yang mengatakan bahwa para pendatang dapat membantu kita. Saat ini, mereka adalah harapan kita satu-satunya."
"Ah, Fidel," kata Rey sambil menghela napas. "Penyihir baik. Sayang, nasibnya mengenaskan. Aku berani mempertaruhkan nyawaku untuknya saat itu tetapi ia malah menghadapi Nero berdua saja dengan Valora. Pertempuran yang mengerikan."
Hati Aren mencelos mendengar nama ibunya disebut. Ia mengepalkan tangan untuk menguatkan hati. Pikirannya sedang menimbang tindakan yang akan ia lakukan selanjutnya.
"Aku Aren, putra Valora," sahut Aren. Ia tahu sangat berisiko untuk menunjukkan diri pada orang lain sebelum para pendatang terang-terangan menantang Raja Nero. Namun, ia tetap melanjutkan,"Platina, putri Fidel. Serta Ruby, perempuan kuat yang kutemui." Ia menepuk punggung Platina dan Ruby. "Kami memang baru mengetahui kejadian di Algaria tetapi kami paham tentang kekejaman Nero. Tentang perasaan kehilangan," lanjutnya tegas. Ia ingin menumpahkan perasaan yang selama ini dipendamnya. Ia kesal karena mereka selalu saja diremehkan tetapi diberikan tanggung jawab yang besar. Aren ingin menunjukkan bahwa para pendatang juga memiliki keinginan yang sama untuk mengalahkan Raja Nero.
"Kalian semua telah kehilangan teman, saudara, keluarga, bahkan rumah," ujar Aren sembari bangkit dari tempat duduknya. "Semua itu direnggut dari kalian dengan cara yang tidak pantas. Kami memang masih remaja, kami tidak kuat seperti Nero, dan kami belum punya cara untuk mengalahkannya. Namun, kami paham yang kalian rasakan. Kita sama-sama kehilangan orang yang berharga. Kami bersedia berjuang bersama kalian untuk mengalahkan Nero, menghentikan kekuasaannya, dan mengembalikan kedamaian Algaria. Aku percaya pada Fidel dan Valora. Jadi, percayalah, kami adalah harapan terbaik kalian."
Suasana hening sejenak. Aren bahkan sempat menahan napas. Otaknya berputar, khawatir luapan emosinya tadi justru memperlihatkan kelemahan para pendatang. Lalu, ledakan tawa mengudara di ruangan itu. Rey dan temannya bersorak, begitu pula para kurcaci. Burung elang yang sedari tadi bertengger di jendela, langsung kabur mendengar keramaian mendadak di ruangan itu.
"Kau memang putra Valora, Nak," ujar Rey sambil menepuk punggung Aren dengan semangat. Aren meringis lalu mengusap bagian punggungnya yang terasa nyeri. "Sudah lama tidak kudengar semangat seperti itu muncul dari kaum kita sejak Valora tiada."
"Bagus, kau berhasil membujuk kami kembali dalam masa pemberontakkan seperti dulu," kata Corwin mengelus jenggotnya dengan ekspresi puas. "Aku harus memberi kabar pada pejuang kurcaci yang lain."
"Kita juga akan memberi kabar pada cecunguk-cecunguk yang kehilangan harapan itu," kata Rey terkekeh senang. "Adolf, kau ambil minuman di depan pintu. Seharusnya pesanan Corwin sudah datang."
Adolf tidak tertawa, hanya menyunggingkan sedikit senyum mendengar kata-kata Aren tadi. Ia mengangguk kaku lalu berjalan ke luar pintu dan mengambil sebaki penuh gelas berisi minuman sejumlah tamu yang datang. Pintu perlahan tertutup di belakangnya saat semua masih saling tertawa dan memuji satu sama lain di ruangan itu. Adolf merasakan hal yang tak biasa saat keluar tadi. Lelaki kekar itu berdiri diam berusaha mencari penyebab keanehan yang dirasakannya.
"Dari mana kau belajar pidato seperti itu?" tanya Platina senang.
Aren mendengus bangga. "Tidak perlu belajar. Katakan saja semua yang ada di pikiranmu."
"Biasanya kan pikiranmu berisi hal-hal kotor," ejek Platina.
"Hal-hal kotor apa?" tanya Ruby kepada Platina. "Ucapanmu tadi bagus."
Aren salah tingkah mendengar pujian dari Ruby. Ia ingin menjawab pertanyaan Ruby tetapi yang keluar hanya kata-kata gagap yang sulit dimengerti.
"Para pemberontak mulai mendapat motivasi. Yang mereka butuhkan hanyalah harapan," kata Corby kepada Platina. "Setelah ini pasti ada dukungan untuk kita mengalahkan Nero. Kau juga senang, kan?" Corby menepuk punggung Flavian dengan semangat tetapi Flavian justru mengerutkan kening sambil menatapnya.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Platina penasaran.
"Sepi," ujar Flavian lambat-lambat sambil mengalihkan pandangannya kepada Platina.
Adolf meletakkan baki berisi minuman di belakang Flavian saat ia menyadari sesuatu. "Aku tidak mendengar suara ramai di bawah," serunya cukup keras sehingga semua yang ada di ruangan itu menoleh kepadanya. Raut muka senang mereka perlahan berubah menjadi waspada ketika memahami seruan Adolf.
"Sial," ujar Eryl, "kalian harus kabur." Ia berkata diikuti dengan anggukkan singkat dari dua manusia dan tiga kurcaci pemberontak. "Tunjukkan jalan kabur kepada mereka," lanjutnya sambil menunjuk kelima remaja di sebelahnya.
Platina masih berusaha memahami pembicaraan mereka ketika ia ditarik mundur oleh Flavian. Si kembar dan Eryl bergegas maju menghalangi dirinya dan pintu dengan senjata siap di tangan. Terdengar derap langkah kaki menaiki tangga kemudian pintu kayu didobrak membuka, menampakkan empat orang prajurit di baliknya. Seorang prajurit—yang berada paling depan—menyeringai puas karena menemukan buruannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top