Chapter 18 - Dua Peran

Platina duduk di kasur Aren sambil menunggu temannya itu membereskan tas ransel. Ia memandang tajam figurin serigala-yang tetap bergeming-di depannya. Lampu putih menerangi kamar Aren, kontras dengan lampu kuning di luar yang memberikan cahaya pada jalanan. Ayah Aren belum pulang dari tempat kerjanya sehingga rumah ini terasa sangat sepi.

"Aku sudah siap," ujar Aren sambil nyengir. Tas ranselnya sudah berada di pundak dan pedang di genggamannya. Ia menyerahkan pedang milik Platina yang langsung Platina ikat gespernya pada pinggang.

"Batumu sudah kaubawa?" tanya Platina yang dijawab dengan anggukkan dari Aren. "Baiklah, lakukan seperti yang tadi kujelaskan. Aku berharap ini bisa berhasil."

Mereka berdua ingin kembali ke Algaria tetapi tidak yakin tahu caranya. Platina sudah menjelaskan teorinya pada Aren setelah selesai kuliah dan mereka sepakat untuk mencobanya malam ini pada jam 18.25 menurut jam digital Aren. Tangan kiri Platina dan tangan kanan Aren menyentuh figurin serigala di depannya. Platina menarik napas perlahan untuk menenangkan diri dan berharap agar yang mereka lakukan ini berhasil. Platina memejamkan mata lalu membayangkan dunia Algaria dan teman-temannya di sana dalam pikirannya.

"Kami berharap bisa pergi ke Algaria," ujar Platina dan Aren bersamaan.

Api berkobar dari tubuh Lupus. Platina dan Aren mundur ke belakang sambil tersenyum bersemangat. Teori Platina benar, mereka bisa pergi ke Algaria atau pulang ke dunia nyata dengan meminta pada figurin serigala itu. Sesuai dengan pesan Lupus di awal pertemuan mereka, figurin serigala itu tidak boleh hilang karena mereka tidak akan bisa kembali. Figurin itu bagaikan pintu gerbang yang menyatukan dua dunia. Lupus sudah membesar sesuai ukurannya yang biasa dengan api menyala di tubuhnya.

Lupus menerjang maju ke arah mereka berdua. Rasa dingin menusuk dari api-yang menyelimuti mereka-bisa mereka rasakan lagi. Platina dan Aren memejamkan mata dan berusaha untuk tenang karena sudah tiga kali mereka mengalami hal seperti ini. Ketika dingin itu terasa menembus tulang, mendadak perasaan itu hilang. Mereka berdua membuka mata dan bersorak gembira.

"Kita kembali," seru Aren bersemangat.

Mereka berada di dalam gerbang depan Esmevere. Sinar matahari menyusup melalui pepohonan besar di Esmevere. Aren mengambil Lupus-yang sudah menjadi figurin-dari rerumputan lalu mengantonginya. Dengan semangat yang meluap, Aren berlari menuju bagian timur Wisetree diikuti oleh Platina.

Platina melihat seseorang berambut merah ke luar melalui pintu raksasa Wisetree. Aren menambah kecepatan larinya untuk mengejar perempuan berambut merah itu. Ia sadar harus menjelaskan sesuatu pada Ruby yang pasti merasa ditinggalkan oleh mereka..

"Ruby, tunggu." Aren berteriak memanggil Ruby yang terus berjalan tanpa menoleh pada mereka. Aren berlari sampai di depan Ruby untuk menghentikan langkahnya. "Tunggu sebentar, dengarkan dulu penjelasan kami," ujar Aren terengah di depan Ruby. Platina berhasil menyusulnya dan berdiri di samping Aren.

Wajah Ruby datar tanpa ekspresi persis seperti saat mereka pertama kali bertemu. "Tidak perlu. Sudah cukup tiga belas hari ini aku memikirkan alasan kalian meninggalkan kami di sini. Tidak usah kembali, tetap saja berada di dunia nyata kalian dan menjadi remaja biasa. Urusan di sini biarkan kami saja yang membereskannya," kata Ruby dingin dengan penuh penekanan pada setiap katanya.

"Tiga belas hari?" ulang Platina tidak percaya. "Kami berada di dunia nyata kurang dari dua puluh empat jam. Kami hanya ..."

"Tiga belas jam," sahut Aren. "Kami hanya tiga belas jam di dunia nyata. Ternyata satu hari di Algaria sama dengan satu jam di dunia nyata juga berlaku untuk kami ketika ada di sana." lanjut Aren yakin.

Ruby mendengar penjelasan Aren dengan kening berkerut. "Benarkah ada perbedaan waktu antara dua dunia ini? Aku kira kalian telah meninggalkan kami di sini," seru Ruby.

"Bahkan kami belum tidur sama sekali semenjak kami pergi dari sini. Jujur saja, aku sekarang sangat mengantuk," kata Aren sambil menguap. Platina baru sadar bahwa mereka belum tidur karena perbedaan waktu ini.

"Kami minta maaf, Ruby. Kami tidak bermaksud meninggalkanmu di sini untuk menghadapi takdir kita," ujar Platina sambil menunduk. "Kami tidak menyangka Lupus akan secepat itu membawa kami pulang."

Selama beberapa saat tidak ada yang berbicara di antara mereka bertiga. Suara kicauan burung menjadi terdengar nyaring.

"Maafkan aku karena sudah menuduh kalian," kata Ruby menyesal. Platina mengangkat wajahnya dan melihat ekspresi Ruby sudah tidak dingin lagi. Ruby mengamati wajah mereka berdua. "Kalian benar-benar butuh tidur."

Platina dan Aren tersenyum senang karena Ruby memaafkan mereka. Bersama-sama mereka berjalan menuju rumah pohon yang mereka tempati. Platina masih mengagumi keindahan Esmevere. Saat mereka sampai, Ruby membuka pintu sambil berseru, "mereka datang."

"Aren, Platina," teriak Corby sambil berlari memeluk mereka berdua. "Akhirnya, kalian kembali. Aku yakin kalian akan kembali." Corby berseru dengan bersemangat melihat kedatangan mereka berdua.

Dave dan Derrick sudah mendekati mereka dan saling berjabat tangan mengucapkan selamat datang serta bertanya tentang lamanya mereka pergi. Aren menjelaskan perbedaan waktu yang mereka alami hingga mereka bertiga mengangguk mengerti.

"Bukannya kalian kehilangan nyali? Karena itu kalian pergi," sahut Flavian sinis dari balik meja di ujung ruangan. "Takdir ini terlalu besar untuk kalian yang tidak bisa apa-apa di Algaria."

Aren mengepalkan tangan dan sudah bersiap untuk menyerang Flavian tetapi Platina mencengkeram lengannya. Platina menggelengkan kepala.

Flavian mendengus lalu memandang Aren dengan cengirannya yang menyebalkan. "Berduel pedang denganku saja kalah."

Aren maju selangkah mendekati Flavian-yang lebih tinggi darinya-sehingga ia harus sedikit mendongak. "Kita bisa duel ulang," ujarnya menantang. Perasaan Aren semakin bergejolak untuk melindungi harga dirinya. Ia bertekad tidak akan kalah lagi dari makhluk kuning menyebalkan di depannya itu.

"Kalau itu maumu," sahut Flavian sambil mengedikkan kepala. Aren tersenyum menantang cengiran Flavian.

"Tidak. Tidak untuk saat ini," seru Derrick memecahkan ketegangan di antara mereka berdua. Aren mengangkat kedua tangannya meminta penjelasan, begitu pula Flavian yang tampak keberatan dengan interupsi mendadak ini.

"Aren butuh tidur, begitu pula Platina. Aku bertugas menjaga kalian semua agar tidak saling bunuh dengan alasan konyol. Lagipula, mulai besok Aren dan Platina harus berlatih pedang dan sihir. Mereka harus mengejar ketertinggalan mereka dari kalian dalam berlatih," ujar Derrick dengan tegas. "Jangan membantah atau aku akan menantang kalian duel masing-masing," tambahnya mengancam ketika melihat kedua remaja laki-laki di depannya masih akan mengucapkan kata-kata protes.

Aren dan Flavian terdiam mendengar ancaman Derrick. Tidak ada yag mau melawan Derrick yang berbadan besar dan lebih kuat dari mereka. Flavian mendengus kesal dan berjalan ke luar rumah. Aren menghela napas panjang setengah kesal setengah lega karena tidak harus berduel saat itu juga. Tenaganya belum penuh seutuhnya karena membutuhkan tidur cukup.

"Kalian beristirahatlah," ujar Ruby. "Kami akan ke luar agar tidak mengganggu."

"Tidurlah yang nyenyak, aku yakin tenaga kalian akan dibutuhkan tidak lama lagi," ujarnya ceria.

Platina dan Aren mengucapkan terima kasih lalu masuk ke kamar masing-masing.

Aren merebahkan tubuhnya di kasur setelah melepaskan ransel dan pedangnya. Ia memejamkan mata sambil mengatur napas seperti yang diajarkan oleh Victor. Bagaimana keadaan Carmine, ya? batinnya bertanya.

Kelebatan ingatan dalam pikirannya muncul satu per satu. Mulai dari pertama kali ia menemukan figurin, datang di Carmine, berlatih pedang dan sihir, sampai saat ini ada di Esmevere. Pikirannya melayang pada ayahnya di rumah. Ia masih belum bertanya pada ayahnya tentang ibunya. Aren berusaha mengingat sosok ibunya yang samar-samar masih tertinggal di pikirannya. Ibunya cantik dan memiliki sifat yang tegas. Aren mengingat ketika ibunya tersenyum padanya, menggenggam tangannya, menggumamkan sesuatu untuknya hingga kilatan petir dan suara yang memekakkan telinga di hari sang ibu terenggut dari dirinya untuk selamanya. Aren menghembuskan napas panjang untuk menenangkan pikirannya. "Waktu adalah obat terbaik," bisiknya perlahan kepada diri sendiri.

Selama tinggal di Esmevere, Platina dan Aren menjalani latihan pedang dan sihir untuk meningkatkan kemampuan mereka. Latihan pedang dipimpin oleh seorang penyihir pria yang bertubuh setengah pohon. Penyihir ini bernama Eryl. Mulai dari setengah kepala sampai kakinya tampak seperti kulit pohon yang keras berkayu dengan bentuk yang unik. Namun, gerakan tubuhnya sangat fleksibel seperti tidak terganggu dengan penampilannya yang terkesan kaku. Aren tidak pernah bisa melukainya sekeras apa pun ia berusaha.

Eryl memiliki banyak tekhnik berpedang yang dapat Platina dan Aren serap saat mereka berlatih. Pedang yang mereka pakai untuk latihan bukan lagi pedang kayu melainkan pedang asli yang mereka bawa. Namun, mereka tidak perlu khawatir untuk saling memotong dan membunuh karena pedang itu dilindungi dengan sihir yang membuat permukaan pedangnya tumpul.

Satu-satunya hal yang mengecewakan Aren adalah Flavian ikut berlatih pedang bersamanya. Ia merasa kesal dengan keberadaan si rambut pirang tetapi tidak bisa protes kepada Eryl karena penyihir itu tidak akan menolerir ketidaksetujuan yang hanya berasal dari perasaan.

Saat itu, siang hari terasa sangat panas. Cahaya matahari terik membakar tubuh para remaja di bawahnya. Platina, Aren, dan Flavian sedang memelajari gerakan baru dalam berpedang. Eryl mengamati mereka berulang kali melakukan gerakan ritmis bersamaan.

"Latihan hari ini cukup," ujar Eryl sambil mengangguk puas. Ketiga remaja di depannya menghela napas lega dan memberikan salam hormat kepadanya.

Aren meregangkan badannnya yang terasa sangat pegal terutama tangan kanannya yang memegang pedang. Pedang asli yang ia gunakan ternyata cukup menguras tenaga bila diayunkan berkali-kali. Ia masih tidak bisa membayangkan harus terus menghunus pedang saat terlibat peperangan.

"Hei," sahut suara lelaki di sebelahnya, "ayo, kita duel."

Aren memandang Flavian yang mengajaknya. Tidak ada cengiran menyebalkan yang biasa menghiasi wajah Flavian. Setiap bagian tubuh Aren menolak keras ajakan duel itu tetapi harga dirinya yang menang.

"Tentu, bersiaplah." Aren sudah akan bersiap mundur untuk memberi jarak antara dirinya dan Flavian ketika Platina-yang sedari tadi memerhatikan mereka-meremas lengan Aren kuat-kuat.

"Tahan emosimu," kata Platina cemas, "jangan membuat masalah. Eryl melihat kalian."

Aren nyengir saat teringat ancaman Eryl kepada dirinya dan Flavian. Entah sudah berapa kali mereka terlibat saling sindir hingga menyulut emosi masing-masing. Kesal melihat ulah mereka yang mengganggu latihan, Eryl mengancam akan memantrai mereka berdua menjadi keledai karena kedunguan yang mereka perlihatkan.

"Tenang saja, aku pandai menyimpan emosi."

Platina hanya menggeleng tidak percaya kemudian berjalan menjauh beberapa meter untuk melihat duel kedua lelaki itu. Eryl menghentikan gerakan-gerakan rumit yang ia buat ketika Aren dan Flavian sudah saling berhadapan. Ia berdiri di samping Platina untuk mengamati kedua muridnya.

Aren sudah berdiri dengan posisi siap bertarung. Ia bertekad tidak akan melepaskan pandangan atau terkecoh oleh Flavian. Mereka berdua saling menatap, menunggu salah satunya melakukan gerakan. Flavian menggerakkan kaki kanannya tetapi Aren tahu itu hanya gerakan tipuan. Aren menepis pedang Flavian yang mengayun ke bahu sebelah kirinya. Ia menekan dan menyentak pedangnya lalu mundur beberapa langkah untuk kembali menyerang.

Aren maju sambil menghunus pedangnya tegak lurus. Tubuh Flavian berbelok ke samping untuk menghindar lalu berusaha menusuk bagian perut Aren yang tidak terlindungi. Aren sudah menduga pergerakan ini, ia berkelit menghindar kemudian mengayunkan pedangnya ke leher kiri lawannya. Flavian menahan pedang Aren dengan pedangnya. Kedua pedang itu beradu selama beberapa saat, saling mendorong dan menahan, kemudian saling menyentak untuk kembali beradu bersama dalam gerakan-gerakan rumit yang telah mereka pelajari.

Platina sedikit terkejut melihat kemampuan pedang mereka berdua yang meningkat pesat dibandingkan dengan duel pertama mereka. Mereka berdua berduel dengan sekuat tenaga, seakan-akan nyawa yang menjadi taruhannya. Duel itu terus berlangsung sampai Platina bertanya-tanya dari mana stamina kedua lelaki itu datang.

Aren sudah merasa lelah mengayunkan pedang begitu sering dan cepat mengikuti frekuensi serangan dari Flavian. Keringat membasahi seluruh bajunya. Ia melihat Flavian mulai kehabisan napas sama seperti dirinya. Namun, tidak ada yang mau mengakui keletihan yang mereka rasakan. Lengan Aren terasa seperti terbakar. Tubuhnya memrotes setiap gerakan yang ia lakukan. Cahaya matahari yang jatuh tepat di atas kepalanya membuatnya perlahan merasa pening. Memar yang ia dapatkan dari serangan pedang Flavian, mulai terasa nyeri. Aren berhasil mendaratkan satu lagi serangan ke pinggang Flavian saat tumpuan kaki lawannya goyah.

"Cukup," seru Eryl sambil mendekati mereka. "Kalian sudah melakukan pertunjukkan yang bagus. Tidak peduli siapa yang menang atau kalah, kemajuan kemampuan kalian membuatku senang." Eryl menepuk punggung mereka berdua lalu berjalan pergi meninggalkan lapangan latihan.

Aren dan Flavian menghentikan serangan pedang mereka bersamaan dengan seruan dari Eryl. Aren langsung merebahkan dirinya di rerumputan sembari menutup kedua matanya dengan lengan untuk menghalangi sinar matahari yang menyilaukan. Flavian duduk di sampingnya, terengah-engah, sambil meluruskan tangan kanannya yang terasa kaku.

"Kau lumayan sekarang," ujar Flavian. Perlahan, ia berhasil menguasai pernapasannya kembali. "Namun, belum cukup. Kau harus lebih kuat." Flavian beranjak lalu berjalan pergi melewati Platina tanpa menoleh.

"Ah, sial. Kenapa aku tidak bisa menang melawannya?" gumam Aren kesal. Ia bangkit dari posisi tidurnya dan mendapati Platina sudah berdiri di depannya.

"Tidak usah kesal begitu. Kau kan juga tidak kalah," ujar Platina menenangkan. "Ayo, kita bersihkan diri lalu pergi menemui Seleca."

Aren berusaha berdiri sambil mengernyit kesakitan saat otot-ototnya kembali menegang. "Harusnya Ruby saja yang berlatih bersama kita."

Platina terkikik. "Sayang sekali Ruby lebih memilih berlatih memanah. Kau jadi tidak bisa selalu memandanginya, kan?"

Wajah Aren bersemu merah mendengar godaan Platina. "Aku tidak selalu memandanginya," sahut Aren. "Mungkin hanya beberapa kali," tambahnya malu.

Aren tetap diam selama Platina tertawa dan terus menyindirnya sepanjang perjalanan mereka kembali ke rumah pohon. Mereka bergegas membersihkan diri dan pergi ke rumah Seleca. Mereka mendapati teman-temannya-termasuk Flavian-sudah duduk dengan posisi setengah lingkaran di depan Seleca. Mereka masuk lalu menempati dua posisi kosong di ujung.

"Waktunya kalian semua untuk berlatih melindungi pikiran," ujar Seleca setelah Platina dan Aren duduk. "Penyihir dapat masuk ke dalam pikiran kalian serta membaca semua yang ada di dalam ingatan. Nero sangat ahli melakukannya sehingga perlindungan kalian harus benar-benar kuat."

Aren mengangguk mendengarkan penjelasan penyihir tua itu. Selama beberapa hari ini, ia dan Platina sudah mendapatkan pelatihan sihir dari Seleca. Mereka berdua melatih mantra-mantra baru yang berguna saat menghadapi pertempuran. Awalnya, Ruby ikut berlatih bersama mereka namun perempuan berambut merah itu tampak kesulitan. Ia harus berusaha lebih keras untuk bisa membuat sihir bekerja, meski pun sihir yang paling sederhana. Setelah beberapa saat berlatih, ia akhirnya memilah sihir yang paling berguna untuk dirinya di pertempuran dan memilih untuk mendalaminya daripada harus belajar semua jenis mantra yang ia tahu sulit untuk dilakukannya.

"Cara yang paling sederhana untuk pertama kali mencoba adalah pikirkan satu benda di pikiran dan tetap fokus pada benda itu," ujar Seleca, "jangan biarkan ingatan kalian menyeruak ke luar dari pikiran."

Aren mengerutkan kening berusaha untuk memilih benda yang paling mudah diingatnya. Ia menoleh kepada Platina untuk bertanya tetapi temannya itu sudah memasang wajah datar tanpa ekspresi.

"Aku akan menyerang pikiran salah satu dari kalian," lanjut Seleca. "Untuk pertama kali ini, aku akan memberitahu siapa yang kuserang. Namun, pada tahap selanjutnya kalian harus bersiap kapan pun karena aku akan menyerang kalian secara acak."

Mereka semua mengangguk. Aren menatap buku yang tergeletak di meja di depannya. Ia memilih untuk fokus pada bayangan buku itu di pikirannya.

"Aren, aku akan menyerangmu," kata Seleca, "kau siap?"

Belum sempat Aren menjawab pertanyaan itu, ia tersentak karena kepalanya terasa nyeri. Pikirannya disusupi oleh sulur-sulur dari luar yang berusaha menerobos masuk ke bagian terdalam ingatannya. Ingatannya beberapa hari terakhir, Carmine, dan Lupus semuanya ke luar tanpa ia inginkan. Aren berusaha mempertahankan bentuk buku yang berdiri untuk melindungi pikirannya. Sesaat setelah buku itu terbentuk, bayangannya langsung buyar dihancurkan oleh sulur yang terus merasuk. Ingatan tentang Ruby, ayahnya, ibunya, bahkan Ethan dan Lylod, ke luar dengan cepat satu per satu walaupun ia sudah berusaha menghentikannya.

"Fokus, Aren," ujar Seleca tajam.

Aren menggertakkan gigi karena kesal. Sulit sekali mempertahankan bayangan suatu benda jika berbagai ingatannya terus-menerus menerobos ke luar. Ia terus berusaha membayangkan buku itu tetapi lagi-lagi ditembus dengan mudah oleh pikiran asing yang menyusupi kepalanya. Mendadak, sulur-sulur itu hilang lalu semua ingatannya seperti dijatuhkan bersamaan dan tercampur menjadi satu. Kepalanya terasa ringan diikuti denyutan tak wajar dari bagian pelipisnya cukup mengganggu.

"Kau harus lebih fokus," kata Seleca sambil menatap Aren yang sedang menekan pelipis kepalanya. "Cari benda lain yang benar-benar kau kenal sampai detailnya dapat teringat dengan jelas."

Aren nyengir sambil mengangkat ibu jarinya ke atas. "Kau harus merasakan sensasinya," ujarnya sambil tersenyum jahil kepada Platina. Teman perempuannya hanya mengenyit tidak mengerti.

Seleca mencoba memasuki pikiran Dave, Derrick, dan Ruby secara berurutan. Mereka bertiga melakukan hal yang sama seperti Aren-menekan bagian pelipis kepala-setelah mereka gagal menahan serangan dari Seleca. Aren melihat Platina meremas kedua tangannya ketika Seleca berfokus kepadanya. Aren berusaha menahan tawa melihat ekspresi kebingungan Platina menghadapi penyihir yang memasuki pikirannya. Tawa Aren tersembur ke luar saat Platina menekan kepalanya dengan kedua tangan kuat-kuat.

"Jangan tertawa." Platina berkata ketus sambil melirik kesal Aren.

Sekarang Seleca berhadapan dengan Corby yang tampak percaya diri. Seleca memberikan aba-aba lalu mulai menyerang Corby dengan pikirannya. Aren memandang mereka berdua selama beberapa saat. Wajah Corby tetap tenang, begitu pula dengan Seleca. Aren penasaran dengan yang terjadi di pikiran Corby saat ini.

Seleca mengangguk puas sambil berkata, "lumayan. Bayangan tembok baja cukup untuk melindungimu dari penyihir tetapi kau tetap harus meningkatkan pertahanannya."

"Bagaimana kau bisa melakukannya?" tanya Aren penasaran.

Corby tersenyum bangga. "Aku sudah lama berlatih seperti ini. Sejak menjadi pembawa pesan, aku harus melindungi pikiranku untuk berjaga-jaga. Jika aku tertangkap oleh musuh, tidak ada informasi yang bisa mereka ambil dari pikiranku."

Aren mengangguk mengerti lalu mengalihkan tatapannya kepada Flavian. Wajah dinginnya yang tanpa ekspresi selalu membuat Aren merasa kesal. Ia tak sabar melihat wajah Flavian berubah menjadi kesakitan saat diserang oleh Seleca. Aren terkekeh pelan membayangkan hal itu.

"Jangan menyerangku, Nak." Seleca berkata dengan tenang. "Saat ini kau sedang berlatih mempertahankan, bukan menyerang."

Aren heran mendengar perkataannya. Flavian sedang menyerang Seleca? Batinnya.

Flavian mendengus kesal lalu kembali berkonsentrasi pada penyihir di depannya. Mereka berdua bertatapan sedikit lebih lama dibandingkan dengan serangan-serangan sebelumnya.

Seleca sedikit tersenyum. "Kau melindungi diri dengan perasaan."

Flavian mengangguk masam. Ia menghindari tatapan empat remaja dan si kembar yang sedari tadi memerhatikan dirinya.

"Perasaan atau emosi juga bisa digunakan sebagai benteng pikiran kalian," ujar Seleca menjelaskan kepada semua orang yang penasaran di depannya. "Itu bagus karena kalian bisa merasakannya sehingga lebih mudah untuk membentuknya menjadi pertahanan. Namun, pertahanan itu tidak stabil karena emosi manusia mudah berubah."

"Dari mana kau belajar mempertahankan pikiran seperti itu?" tanya Corby pada Flavian.

"Lunette," jawab Flavian pendek. Corby terus memandanginya dengan tatapan meminta penjelasan sehingga ia merasa risih dan menambahkan jawabannya. "Aku memintanya mengajariku."

Corby tersenyum lebar dan menepuk punggung si rambut kuning tetapi gagal mencapai sasarannya karena Flavian berkelit menghindar.

"Aren, kita mulai lagi," kata Seleca.

Aren terkesiap mendengarnya. "Apa? Latihan kita masih berlanjut?"

Platina terkekeh mendengar kepanikan dari temannya itu. Aren bergegas mencari bayangan benda lain yang bisa ia pikirkan dengan detail. Sulu-sulur asing kembali menghantam pikirannya sebelum ia sempat membayangkan apa pun.

Latihan itu berlangsung sampai langit yang tadinya biru muda berubah menjadi gelap. Seleca terus menyerang pikiran-pikiran manusia di depannya secara bergantian. Terdengar samar-samar pekikan kesakitan dan kekesalan mengambang di udara saat serangan demi serangan terjadi.

"Baiklah, latihan ini berakhir."

Mereka semua mendesah lega mendengar kabar baik dari Seleca.

"Besok kita lanjutkan lagi."

Mereka semua mengerang mendengarnya. Seleca terkekeh kecil lalu mempersilakan mereka kembali ke rumah pohon untuk beristirahat. Aren berjalan gontai ke luar dari rumah Seleca. Tenaganya seakan terkuras habis sehingga tubuhnya menjerit ingin segera beristirahat.

Rutinitas seperti itu terus mereka lalui setiap hari di Esmevere. Setiap sebelas hari di Esmevere, Platina dan Aren akan kembali ke dunia nyata untuk tetap melanjutkan peran mereka di sana agar tidak ada yang curiga. Untuk kali ini, mereka berpamitan pada teman-temannya yang tersenyum memahami. Lupus kembali hidup ketika Platina dan Aren mengucapkan harapan mereka. Rasa dingin yang biasa mereka rasakan dari api di tubuh Lupus sudah tidak membuat mereka khawatir. Ketika mereka membuka mata, mereka sudah berada di kamar Aren.

Mereka melakukan kegiatan sehari-hari di dunia nyata seperti yang biasa mereka lakukan. Berangkat kuliah, mengerjakan tugas, mengobrol dengan teman-temannya, bahkan bermain bersama seperti biasa. Platina juga menyempatkan diri untuk berbincang dengan ibunya setiap sore agar ibunya tenang apalagi setelah pembicaraan terakhir mereka yang begitu emosional. Aren masih belum menanyakan perihal Valora ke ayahnya. Ia jarang bertemu dengan ayahnya. Bila ada kesempatan bertemu, mereka hanya bertegur sapa sekenanya. Tanpa sadar, ia lebih suka memalingkan muka jika ada ayahnya di rumah.

Beberapa kali mereka melakukan pergantian peran di dunia yang berbeda ini tanpa masalah. Menjadi remaja biasa di dunia nyata serta menjadi para pendatang dengan takdir besar di Algaria. Hingga pada suatu hari, Platina ketahuan tidak membuat tugas kuliahnya lagi selama tiga hari berturut-turut. Ia merasa lelah dengan latihan yang ia jalani di Algaria sehingga lupa akan tugas kuliahnya. Platina hanya meringis menyesal mendengar omelan dosen padanya. Teman-temannya mulai merasa heran pada dirinya. Tidak biasanya Platina tidak mengerjakan tugas bahkan sampai tiga kali terus-menerus.

"Kau kenapa, Pat? Akhir-akhir ini kau aneh," ujar Chloe khawatir.

Platina tersenyum sambil berkata, "aku baik-baik saja. Tidak usah khawatir, Chloe."

"Aku merasa kulitmu sekarang bertambah cokelat, Pat? Atau ini hanya perasaanku saja?" tanya Adele pada teman-temannya. Chloe dan Debra mengangguk menyetujui perkataannya.

Platina memandangi tangannya sendiri. Memang terlihat sedikit lebih cokelat, batinnya. Latihan di Algaria telah mengubah warna kulit dan sedikit bentuk tubuhnya menjadi lebih tegak serta memadatkan ototnya.

"Ketidaktahuan mungkin menjadi sebuah perlindungan. Tetapi, bukan sifat kami untuk ingin dilindungi," ujar Debra. "Aku merasa kau dan Aren menyembunyikan sesuatu dari kami. Kulit kalian bertambah cokelat, Aren tampak semakin berotot padahal Ethan menyangkal kalau Aren berlatih di gym. Kalian berdua juga tidak mengerjakan tugas, bahkan refleks kalian berdua membuat kami terkejut. Tidak mungkin semua ini tidak ada apa-apa." Debra menjelaskan pemikirannya pada Platina.

Platina meringis. Pernah suatu hari, saat istirahat siang, mereka dan teman lelaki mereka mengerjakan tugas bersama di taman sekolah. Tanpa sengaja, Debra menyenggol handphone di sebelahnya sampai hampir terjatuh dari meja. Platina dan Aren yang berada di antaranya dengan sigap menangkap handphone itu sebelum berhasil menyentuh keramik. Teman-temannya ternganga melihat mereka berdua berhasil menyelamatkan handphone Debra.

Platina sangat gugup sekarang. Ia tidak mungkin menceritakan perjalanannya ke Algaria bersama Aren karena takut teman-temannya akan khawatir dan menyuruhnya menghentikan perannya di Algaria. Ia tidak mau itu terjadi.

Platina tersenyum untuk menenangkan teman-temannya. "Percayalah padaku, aku dan Aren baik-baik saja."

Teman-temannya mengangguk tetapi masih menatapnya dengan penasaran. Untungnya, tugas kuliah yang mereka miliki telah menyita seluruh pikiran dan fokus mereka untuk menyelesaikannya. Selama sisa hari itu, Platina aman dari kecurigaan teman-temannya. Ketika hari menjelang sore, mereka saling berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing.

Platina menemukan Aren, Ethan, dan Lylod sudah duduk di bis sambil berbincang ringan. Ia duduk dan mendengarkan pembicaraan mereka. Ethan dan Lylod sedang seru membahas tim sepak bola favorit mereka sedangkan Aren hanya menambahkan sedikit-sedikit hal baru yang ia ketahui. Platina meringis melihat Aren yang kebingungan. Aren tidak pernah menonton siaran pertandingan sepak bola lagi semenjak harus pulang pergi ke Algaria.

Setelah turun dari bis, Platina dan Aren mengucap sampai jumpa pada kedua temannya. Mereka bergegas menuju rumah Platina untuk berpamitan pada ibunya namun ternyata ibunya belum pulang dari rumah sakit. "Ayo, kita langsung ke rumahmu," kata Platina.

Mereka berdua langsung naik ke kamar Aren lalu memersiapkan barang-barang yang akan mereka bawa ke Algaria. Platina mengambil pedangnya dari bawah kasur lalu mengelapnya dari debu yang menempel. Aren mengeluarkan figurin serigala dari tas ransel kuliah dan meletakkannya di atas rak. Ia memasukkan barang-barangnya dengan sembarangan ke dalam ransel. Platina menatapnya tidak setuju tetapi lebih memilih untuk diam.

Sebuah foto terpajang di dinding kamar Aren, di atas rak dekat dengan novel-novelnya yang berjajar rapi. Keluarga Aren dan Platina tampak di foto yang diambil ketika mereka pertama kali masuk sekolah dasar. Platina tersenyum memandangnya. Ia ingat betapa bahagianya orang tua mereka pada saat itu. Ia memerhatikan wajah ayahnya yang tak pernah berubah-sejauh yang bisa ia ingat-walaupun usianya bertambah. Apakah penyihir sulit untuk menua? Batinnya penasaran.

"Kau tahu berapa umur Seleca?" tanya Platina pada Aren yang sedang berusaha menjejalkan kaos kakinya ke saku depan ransel.

Aren menghentikan kegiatannya sejenak. Ia mengernyit lalu berkata, "tidak tahu. Mungkin sekitar seratus tahun?"

"Bisa jadi," kata Platina, "tunggu dulu. Kalau begitu, berapa umur ayahku dan ibumu? Kalau mereka pergi ke Algaria yang berjalan lebih cepat daripada dunia nyata. Bukankah seharusnya umur mereka juga lebih tua?"

Aren mengencangkan tali tasnya sambil berpikir. "Benar juga. Kalau dihitung dengan umur kita saat itu berarti ..."

Platina sibuk menghitung dalam pikirannya lalu menyadari hitungannya sangat tidak masuk akal untuk umur seseorang, bahkan penyihir sekali pun.

"Tidak mungkin umur mereka beratus-ratus tahun," seru Platina setelah menyelesaikan hitungannya. "Wajah ayahku bahkan tampak tidak berubah sejak dulu."

Aren mengangguk menyetujui. "Sepertinya ini masih menjadi misteri. Lalu, aku juga punya pertanyaan yang masih belum terjawab. Bagaimana ayahmu dan ibuku bisa masuk ke dunia nyata? Figurin yang membawa kita selama ini baru dibuat saat mereka akan melawan Nero."

Platina menggigit bibirnya. Ia tidak pernah terlalu memikirkan hal itu sebelumnya. Ternyata, masih ada hal-hal yang belum mereka ketahui meski pun telah mendapatkan penjelasan dari Seleca.

"Nanti saja kita pikirkan," kata Aren yang sudah mengikatkan gesper pedang di pinggang. Senyumnya mengembang. "Waktunya kembali ke Algaria."

Platina memutar bola matanya ketika melihat Aren yang selalu lebih semangat ketika akan pergi ke Algaria dibandingkan kembali ke dunia nyata.

Ketika mereka telah tiba di Esmevere, Platina dan Aren merasakan ada sesuatu yang berbeda. Jalanan Esmevere yang biasanya sepi walaupun pada siang hari, sekarang justru tampak sebaliknya. Para penyihir berjalan cepat dalam diam seperti terburu-buru menyiapkan sesuatu. Platina dan Aren bergegas menuju pohon tempat tinggal Ruby dan yang lainnya.

Mereka membuka pintu lalu melihat Ruby sudah bersiap menyandang ransel dan anak panahnya. Corby sedang memeriksa satu per satu pisau belati kecilnya. Flavian menyarungkan pedang miliknya dengan wajah serius. Dave membawa perlengkapan hidup seperti makanan dan alas tidur di punggungnya begitu juga Derrick yang sudah siap dengan tombak di tangannya. Platina dan Aren merasa heran dengan persiapan-entah-ke mana di depan mereka.

Ruby-yang tampak senang dengan kembalinya mereka-segera menjelaskan keadaan yang berubah saat mereka ada di dunia nyata. "Kalian datang di waktu yang tepat. Carmine diserang lagi. Esmevere sedang mengumpulkan pasukan untuk membantu. Kita sudah tidak aman di sini," ujar Ruby singkat dan jelas. "Sekarang juga, kita akan pergi menuju kawan kita, para pemberontak di Pegunungan Amortium. Tidak usah membongkar barang bawaan kalian. Kita akan langsung pergi."

Aren memandang Ruby dengan tatapan tidak percaya. "Begitu cepat waktu mengubah keadaan."

Ruby mengangguk menyetujui pendapat Aren. Platina memastikan ranselnya sudah terpasang kuat dan pedangnya bersih terawat. Batunya sudah ada dalam kantung gesper di pinggangnya. Aren melakukan hal yang sama di sebelahnya. Sesaat kemudian, terdengar ketukan di pintu depan.

"A ... Ayo, ki ... kita segera ... ber ... berangkat," ujar sebuah suara gagap dari balik pintu.

Derrick membuka pintu depan dan menyuruh setiap orang untuk segera ke luar. Platina dan Aren lebih dulu ke luar diikuti dengan Ruby, Corby, Flavian serta Dave. Platina memandang dua penyihir pria di depannya. Platina mengenali salah satunya sebagai Eryl tetapi ia belum pernah melihat penyihir yang tersenyum gugup di sebelah kanan. Penyihir itu memiliki rambut pendek berwarna hijau terang, sangat kontras dengan rambut cokelat gelap milik Eryl yang diikat ke belakang.

"Na ... namaku Braz," ujar penyihir gagap itu sambil menyalami mereka satu per satu. Platina merasa aneh tangannya dijabat oleh penyihir. Sejauh yang bisa ia ingat, para penyihir di Esmevere tidak pernah memerkenalkan diri sambil menjabat tangan.

Braz sudah selesai menyalami rombongan di depannya dan kembali ke tempatnya dengan kikuk. Platina merasa ingin tertawa melihat tingkah laku penyihir yang tidak biasa ini.

"Kami akan mengawal kalian menuju Pegunungan Amortium," kata Eryl sambil mengeluarkan kertas perkamen dari balik jubahnya. Sekilas tampak gagang pedangnya-yang bertahtakan permata-berkilau terkena sinar matahari. "Kita akan menuju ke timur dengan cepat. Kalau beruntung, kita bisa sampai ke sana dalam waktu empat hari." Eryl membuka perkamen di tangannya-yang merupakan sebuah peta Algaria-yang digambar dengan tinta hitam. Ia menunjukkan peta ini pada seluruh rombongan.

Aren mengamati peta Algaria yang terbentang di depannya. Carmine berada di paling barat Algaria dan Esmevere sedikit di sebelah timurnya. Gambar segitiga tinggi-yang berada di sebelah timur Esmevere-bertuliskan Pegunungan Amortium. Di sebelah utara, terdapat Aglaia yang berubah nama menjadi Valonia dan Kota Sadergh di sebelahnya. Sungai panjang membentang menjadi batas antara hutan dan dua kota itu.

"Kita berangkat." Eryl melipat perkamen dan kembali menyimpannya di dalam jubah setelah semua anggota rombongan sudah paham arah yang akan mereka tuju.

Mereka semua berjalan mengikuti Eryl dan Braz yang memimpin rombongan ke luar dari Esmevere. Platina menoleh ke belakang untuk menyerap seluruh pemandangan yang bisa ia lihat untuk disimpan ke dalam pikirannya. Platina merasa berat meninggalkan Esmevere karena tempat itu menawarkan keindahan dan kedamaian. Angin semilir membelai rambut Platina seakan mengucap selamat tinggal padanya. Sinar matahari mulai meredup sehingga menciptakan bayang-bayang tinggi pepohonan. Tarian dedaunan yang perlahan tertiup angin, tampak seperti lambaian pengantar kepergian rombongan itu ke dalam bayang-bayang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top